Pernah mendengar jamban awet? Sebutan awet untuk jamban yang dimaksud karena fisik bangunannya tetap baik meski telah berbilang tahun. Namun, kondisi yang masih baik tersebut bukan karena perawatan tetapi karena jamban tersebut kurang atau sama sekali tidak difungsikan masyarakat.
Ahmad Syam
Peneliti FIPO
Harian Fajar, 9 November 2011
Pengalaman yang hampir sama dengan kisah jamban awet di atas juga dapat ditemukan di Desa Marannu, Kecamatan Baebunta, Luwu Utara. Bantuan fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) umum dari pemerintah daerah (pemda) sama sekali tidak digunakan. Padahal, anggaran pembangunannya menelan puluhan juta dari sumber APBD. Apa yang salah? Ternyata, sumber permasalahannya karena masyarakat tidak berpartisipasi dalam perencanaan pengadaan MCK tersebut.
Sesungguhnya, pemerintah telah lama menyadari bahwa partisipasi masyarakat adalah elemen dan modal sosial yang penting dalam pembangunan. Dalam UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) menyebutkan, partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasikan kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.
Kesadaran pentingnya partisipasi masyarakat itulah yang kemudian mengilhami pemda, khususnya yang bergerak di sektor kesehatan, untuk menggalang kekuatan masyarakat menyukseskan setiap program kesehatan.
Berdasarkan monitoring dan evaluasi (monev) FIPO terhadap 23 kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan pada 2011 ini, terdapat tiga kasus menarik terkait partisipasi masyarakat pada sektor kesehatan.
Pertama, pengalaman bantuan MCK umum yang gagal di Luwu Utara memotivasi Dinas Kesehatan, khususnya kader kesehatan di Desa Marannu, untuk mengubah perilaku masyarakat dari kebiasaan tidak menggunakan jamban menjadi pengguna jamban. Kader kesehatan mencari cara sehingga program jamban tidak top down tetapi bottom up. Artinya, kesadaran untuk memiliki dan menggunakan jamban bukan semata atas imbauan pemda tetapi juga atas kebutuhan masyarakat untuk hidup lebih sehat. Maka pemda (puskesmas kecamatan dan kader kesehatan desa) bersama-sama masyarakat menggagas implementasi arisan jamban.
Arisan jamban di Luwu Utara adalah bergabungnya beberapa keluarga untuk membentuk kelompok arisan. Setiap kelompok beranggotakan 10 keluarga. Hasilnya, biaya jamban sederhana yang nilainya sekira Rp400.000 bukan lagi masalah bagi masyarakat. Setoran Rp40.000 per keluarga memungkinkan ke-10 keluarga tersebut dapat menikmati jamban sekaligus hidup lebih sehat. Seandainya tidak ada arisan tersebut, warga Desa Marannu tidak akan memiliki jamban karena biaya Rp400.000 tergolong besar bagi mereka yang tergolong miskin.
Kedua, upaya merangsang partisipasi masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat juga bisa ditemukan di Kabupaten Pangkep. Arisan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) di Desa Mangilu, Kecamatan Bungoro, sangat membantu memperbaiki gizi anak-anak warga desa yang dikenal masih berada dalam kondisi prasejahtera.
Dikoordinir kader posyandu setempat, setiap orang tua yang memiliki anak-anak di bawah usia lima tahun (balita) menyetor Rp1.000 per bulan untuk keperluan bahan pembuatan PMT. Namun, iuran sebesar tersebut tidak mengikat. Artinya, bagi orang tua yang masih berat dengan iuran Rp1.000 tersebut, dimungkinkan menyumbang bahan pembuatan PMT dari hasil kebun yang mereka miliki.
Dampaknya, warga Desa Mangilu yang selama ini mengalami masalah ketercukupan gizi bagi anak-anak mereka secara perlahan teratasi berkat arisan PMT. Keberadaan arisan PMT juga mendorong perbaikan tingkat partisipasi masyarakat untuk membawa balitanya ke posyandu. Pada dua posyandu di desa tersebut terlihat ada peningkatan jumlah kunjungan dari sekitar 40 persen menjadi 70 persen. Demikian pula dengan peningkatan berat badan balita yang sebelumnya hanya berkisar 18-36 persen menjadi 40-60 persen.
Ketiga, program kelas ibu hamil di Bulukumba yang pertama kali dilaksanakan di Desa Benteng Malewang dan Desa Bonto Masila, Kecamatan Gantarang, adalah pengalaman lainnya terkait sinergi pemda dan masyarakat. Program ini dijalankan guna mengatasi kematian ibu yang melahirkan dan kematian anak.
Kelas ibu hamil diselenggarakan dalam bentuk pertemuan-pertemuan sesama ibu hamil atas pendampingan kader kesehatan setempat. Pertemuan secara bergiliran tersebut membahas mulai dari kesehatan ibu hamil hingga penanganan risiko ibu hamil. Anggaran pertemuan sebagian besar bersumber dari swadaya masyarakat.
Manajemen kelas ibu hamil menjadi lebih tertib karena peran Kelompok Peminat Kesehatan Ibu dan Anak (KPKIA) yang pengurusnya berasal dari masyarakat. Kelompok ini pula yang membentuk kelas, menetapkan ketua kelas, dan anggota kelas. Dampak kehadiran kelas ibu hamil yang paling selain mengurangi kematian ibu hamil, juga dari membaiknya kesadaran ibu hamil mengunjungi puskesmas/rumah sakit untuk memeriksakan kandungan.
Masyarakat Kurang Dilibatkan Bahas Anggaran Kesehatan
Monitoring dan evaluasi (monev) terkait program dan kinerja pemerintah kabupaten/kota juga menyertakan survei pubik. Tujuannya sebagai alat untuk mengonfirmasi persepsi publik terhadap program pemda.
Untuk sektor kesehatan, khususnya menyangkut partisipasi masyarakat, terdapat lima pertanyaan yang dikonfirmasi ke masyarakat. Pertanyaan menyangkut keterlibatan masyarakat dalam perbaikan pelayanan di fasilitas-fasilitas kesehatan; jawaban sangat tidak baik (7,6 persen), tidak baik (37,3 persen), baik (47,3 persen), dan sangat baik (7,8 persen). Sedangkan pertanyaan: apakah masyarakat semakin terampil dan berani untuk berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan (mulai perumusan hingga pelaksanaan kebijakan), jawaban sangat tidak baik (7,9 persen), tidak baik (37,8 persen), baik (45,6 persen), dan sangat baik (8,7 persen).
Selain kedua hal di atas, terdapat tiga hal lainnya yang ditanyakan ke publik terkait partisipasi masyarakat di layanan kesehatan. Ketiga hal tersebut yakni: penggunaan cara-cara partisipatif dalam pengambilan kebijakan pemda/sekolah-sekolah negeri dalam pelayanan kesehatan; meningkatnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan anggaran kesehatan di APBD; dan tentang apakah masyarakat semakin berani lakukan pengaduan (komplain) atas pelayanan yang tidak sesuai (lihat di grafik untuk hasil surveinya).
Hasil survei yang mengonfirmasi 2.300 responden pada 23 kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan mencerminkan masih perlunya meningkatkan partisipasi masyarakat di sektor layanan kesehatan. Persentase antara jawaban baik dan tidak baik yang tidak berselisih jauh adalah indikator bahwa publik masih belum sepenuhnya puas terhadap pelibatan masyarakat dalam program kesehatan. Misalnya, pada pertanyaan tentang penggunaan cara-cara partisipatif dalam pengambulan kebijakan, secara akumulatif jawaban baik (55,2 persen) dan jawaban tidak baik (44,8 persen). Bahkan pada aspek pelibatan masyarakat dalam penyusunan anggaran kesehatan secara akumulatif jawaban baik hanya 48,9 persen, sedangkan yang menjawab tidak baik 51,1 persen (ahmadsyam_1@yahoo.com).