Tahun 2011 menandai tepat satu dekade implementasi otonomi daerah sejak dicanangkan secara resmi 1 Januari 2001. Banyak perbaikan yang telah berlangsung meski masih banyak harapan yang belum terwujud. Memang masa sepuluh tahun belum dapat memenuhi semua harapan. Namun, alih-alih terus mendukung pelaksanaan otonomi daerah untuk mewujudkan semua harapan tersebut, sejumlah pihak malah berpikir untuk kembali ke sistem sentralisasi.
Oleh Ahmad Syam
Pihak-pihak yang mengampanyekan kembali ke sentralisasi adalah pihak yang menilai bahwa otonomi daerah telah gagal. Terdapat dua kasus yang sering dijadikan premis untuk mengajukan re-sentralisasi tersebut. Pertama, maraknya kasus korupsi di daerah. Kedua, adanya kasus-kasus ketidaksinkronan program diantara para penyelenggara pemerintahan di daerah.
Premis pertama, maraknya kasus korupsi di daerah dinilai, salah satunya, disebabkan kebijakan otonomi daerah. Kewenangan yang begitu besar dalam mengelola pemerintahan sendiri membuat banyak pejabat daerah menjelma menjadi “raja-raja” kecil. Pejabat daerah yang dengan kewenangan penuhnya, termasuk kewenangan mengatur keuangan daerah, seringkali menyalahgunakan kewenangannya tersebut untuk kepentingan pribadi
Secara perlahan perkara korupsi yang pada sistem sentralisasi masih didominasi Jakarta (baca: pusat), pada era otonomi daerah ikut terdesentralisasi ke daerah-daerah. Laporan kasus korupsi yang diterima Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), contohnya, menguatkan fenomena baru tersebut. Dari 2004 hingga 2010 jumlah pengaduan kasus korupsi di daerah mencapai kurang lebih 35 ribu kasus .
Premis kedua, ketidakpaduan koordinasi diantara para penyelenggara pemerintahan di daerah dianggap berkontribusi terhadap tidak maksimalnya program di daerah. Kasus di Sulawesi Selatan, misalnya, dapat menunjukkan bahwa akibat otonomi daerah membuat seorang gubernur tidak leluasa mewujudkan program provinsi di seluruh kabupaten dan kota. Program-program layanan publik seperti kesehatan dan pendidikan gratis tidak mendapat apresiasi penuh oleh seluruh kabupaten dan kota.
Program kesehatan gratis yang dicanangkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2008 diabaikan Pemerintah Daerah (Pemda) Sinjai, satu-satunya kabupaten dari 23 kabupaten dan kota se-Sulsel yang menolak program tersebut. Pemda Sinjai mengklaim bahwa program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang dijalankan sejak 2004 telah menjamin layanan kesehatan gratis. Padahal, berdasarkan penilaian provinsi, Jamkesda Sinjai tersebut hanya berlaku intern sehingga tidak berlaku di luar wilayah Sinjai
Sementara kebijakan pendidikan gratis dari provinsi, seolah-olah, berseberangan dengan konsep pendidikan yang dicanangkan Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar. Di Makassar konsep pendidikan bukanlah pendidikan gratis ala provinsi melainkan pendidikan bersubsidi penuh. Program yang dijalankan pemkot sejak 2007 lalu tersebut penekanannya pada pemberian subsidi secara penuh terhadap sekolah-sekolah yang mayoritas anak didiknya dari kalangan kurang mampu.
Sebagai suatu premis, kedua kampanye negatif tentang otonomi daerah di atas sah-sah saja untuk dipercaya. Bahwa ada peningkatan kasus korupsi di daerah, itu benar. Bahwa terjadi disharmoni antara gubernur dan bupati/wali kota, ini juga benar. Tetapi, apakah kebijakan otonomi daerah adalah penyebab meningkatnya korupsi di daerah dan terjadinya disharmoni provinsi dengan kabupaten dan kota? Tentu saja, kedua premis ini masih debatable (dapat dibantah).
Namun demikian, terlepas dari kerangka berpikir premis-premis tersebut, ternyata muncul kesadaran baru dari sejumlah pihak untuk melakukan kampanye tandingan; kampanye positif mengenai dampak dari praktik otonomi daerah. Kampanye positif itu bernama: Otonomi Awards.
Otonomi Awards merupakan kegiatan yang mengapresiasi prestasi pemerintah kabupaten/kota berkinerja terbaik. Prestasi dan kinerja terbaik tersebut dalam wujud daya kreatif dan inovatif dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Melakukan terobosan program sehingga tidak saja terbebas dari masalah yang dihadapi, melainkan juga menjadi jalan memintas kemajuan. Karena itu, wacana otonomi daerah dalam bingkai Otonomi Awards tidak lagi soal pendelegasian wewenang dari pusat ke daerah, tetapi tentang sebuah jalan bebas memintas kemajuan.
Sebagai jalan bebas otonomi daerah telah memberikan nafas kebebasan bagi daerah. Nafas yang menyadarkan semua pihak bahwa sentralisasi yang puluhan tahun diberlakukan telah membelenggu hal paling fundamen dalam pembangunan: kebebasan. Padahal, sudah menjadi fitrah bahwa sepanjang kemajuan diupayakan secara bebas maka kebebasan akan mendatangkan kemajuan.
Buktinya, sejak kran otonomi daerah dibuka inisiatif dan prakarsa mengalir deras seperti air yang ditumpahkan dari tempayan. Satu dekade otonomi daerah terlihat nyata betapa kreatifitas dan inovasi tumbuh di daerah-daerah. Inovasi untuk membuat sesuatu dari yang belum ada menjadi ada; dari yang sudah ada menjadi semakin berkembang. Inovasi yang didasarkan pada upaya menyiasati keterbatasan dan memaksimalkan potensi yang dimiliki.
Program kesehatan gratis yang dicanangkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, misalnya, adalah satu dari sekian banyak terobosan yang dilakukan daerah. Hal yang menarik, terobosan daerah tersebut mendapat sambutan positif dari masyarakat. Data masyarakat pengguna kesehatan sejak diluncurkan pertama kali terus meningkat dari tahun ke tahun; 2007 (2.336.875 jiwa), 2008 (3.020.428 jiwa), 2009 (4.646.438 jiwa), dan 2010 (6.407.554 jiwa) . Keseluruhan inisiatif, prakarsa, kreatifitas, inovasi, dan terobosan yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota itulah yang diapresiasi dalam Otonomi Awards. Praktik-praktik cerdas sebagai buah dari inovasi didukung, dihargai, dan dipublikasikan secara luas melalui media sebagai upaya diseminasi informasi atas praktik cerdas tersebut. Penyebarluasan informasi ini yang menjadi bagian penting dari kampanye positif otonomi daerah.
Dorong Kemajuan dengan Kompetisi
Otonomi Awards lebih dari sebuah kegiatan. Otonomi Awards adalah festival bagi penyelenggara pemerintahan daerah di 23 kabupaten dan kota se-Sulsel (Kabupaten Toraja Utara belum dimasukkan dalam penilaian karena daerah pemekaran baru). Festival untuk memberikan rewards atas upaya dan kinerja yang telah dicapai kabupaten/kota. Dikategorikan festival karena menjadi ajang pertemuan seluruh bupati/wali kota dan para satuan kerja perangkat daerah (SKPD) se-Sulsel. Ajang yang tidak sekedar untuk menunjukkan prestasi masing-masing tetapi juga mengkomunikasikan kemajuan satu sama lain.
Program utama Otonomi Awards adalah pemonitoran dan evaluasi (monev) pelaksanaan otonomi dan kemajuan daerah. Ini bukan monev biasa karena pemeringkatan yang dilakukan bukan semata untuk mendapatkan daerah yang berhasil atau yang belum berhasil meraih trofi. Lebih dari itu, Otonomi Awards adalah suatu cara memantau pelaksanaan otonomi khususnya yang terkait dengan perencanaan, pembahasan, dan pelaksanaan program pemerintah daerah. Karena itu dalam penilaian yang dilakukan, sumber informasi bukan hanya digali dari bupati, kepala SKPD, atau pejabat-pejabat terkait lainnya, tetapi juga dilakukan cross check melalui observasi langsung dan survei publik. Unsur cover both sides diharapkan dapat menjamin informasi tentang suatu program lebih valid dan seimbang.
Secara substantif, pelibatan masyarakat untuk menilai program pemerintah daerah memiliki efek ganda seperti munculnya kepedulian dan daya kritis masyarakat untuk terlibat secara aktif mengajukan, melaksanakan, dan mengawasi suatu program. Sikap proaktif masyarakat tersebut tentu saja akan mempengaruhi budaya kerja penyelenggara pemerintahan daerah untuk lebih bertanggung jawab.
Desain Otonomi Awards memang secara sengaja dirancang agar tumbuh sikap inovatif dari masyarakat dan pemerintah. Dengan memberikan ruang bebas untuk seluruh kabupaten dan kota untuk berkompetisi dalam ajang ini secara otomatis merangsang berkembangnya gagasan-gagasan baru di kabupaten dan kota. Namun demikian, dengan sistem monev kompetitif-partisipatif yang digunakan niscaya tidak akan melahirkan para pemenang trofi yang cepat berpuas diri, juga tidak akan melemahkan daerah yang belum berhasil meraih trofi. Dalam sistem ini, setiap daerah yang sukses meraih trofi akan terus didorong melakukan inovasi program dalam rangka mempertahankan prestasi sebelumnya. Sedangkan yang belum berhasil juga akan dimotivasi untuk melakukan perbaikan-perbaikan program.
Leverage Advokasi Media
Banyak praktik-praktik cerdas sebagai good things di kabupaten/kota yang kurang mendapat ruang dalam pemberitaan media. Padahal, sesungguhnya praktik cerdas tersebut berpotensi menjadi berita karena memang memiliki nilai berita. Hanya karena sebagian pekerja dan manajemen media masih memegang kredo bahwa bad things are good news sehingga melupakan bahwa, sebenarnya, bisa saja good things are good news.
Bagaimana FIPO menjadi faktor leverage (pengungkit) dalam advokasi media? FIPO memiliki posisi strategis mendorong media untuk penyebarluasan praktik cerdas. Pertama, FIPO sebagai penyelenggara Otonomi Awards memiliki afiliasi dengan Harian Fajar, surat kabar berpengaruh di Sulsel dan Kawasan Timur Indonesia. Kedua, FIPO secara khusus mengelola satu rubrik di harian bertiras sekira 60.000 eksamplar tersebut yakni rubrik “Otonomi Awards” yang secara berkala, sekali seminggu, memublikasikan hasil monev dan praktik cerdas kabupaten/kota.
Publikasi hasil monev dan temuan praktik cerdas dari kegiatan Otonomi Awards oleh FIPO atas dukungan Harian Fajar, membuka isolasi atas informasi kemajuan kabupaten/ kota. Publikasi ini tidak hanya akan menyebarkan informasi praktik cerdas dengan cepat tetapi juga membuat informasi itu menembus ruang, hal yang memungkinkan daerah lainnya mengetahui dan mereplikasi.
Bagi kabupaten dan kota setidaknya akan mendapatkan keuntungan dari publikasi. Keuntungan itu adalah meningkatnya kepercayaan diri kabupaten/kota sehingga tidak lagi merasa canggung melakukan improvisasi program. Sebagai insentif atas prestasi yang diraih kabupaten/kota, publikasi ini juga sekaligus dapat menjadi kanal promosi.