Wednesday, October 12, 2011
Pemda Setengah Hati Layani Informasi Publik
Apakah akses mendapatkan informasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) membaik? Hampir setengah dari total 2.300 responden menjawab belum baik. Sebanyak 48,6 persen responden mengatakan akses APBD belum baik dan hanya 51,4 persen responden lainnya menilai sudah baik.
Ahmad Syam
Peneliti FIPO
Harian Fajar, 12 Oktober 2011
Pertanyaan tentang kemudahan mengakses APBD adalah satu dari delapan pertanyaan yang dikonfirmasi ke publik terkait dampak implementasi otonomi daerah terhadap kemudahan akses informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sama halnya pada aksesibilitas informasi APBD, tujuh pertanyaan lainnya yang dikonfirmasi melalui survei publik tersebut menunjukkan bahwa selisih antara persentase jawaban belum baik dan sudah baik tidak begitu jauh –selengkapnya lihat tabel dan grafis.
Artinya, kemudahan mendapatkan informasi seluruh kebijakan daerah seperti peraturan daerah (perda), peraturan kepala daerah, dan keputusan kepala daerah; informasi rancangan dan pembahasan kebijakan daerah; informasi rencana pembangunan daerah, baik jangka menengah maupun panjang; informasi pelayanan publik menyangkut biaya, prosedur, dan tarif; serta transparansi proses tender oleh pemerintah daerah masih menunjukkan pemda setengah hati melayani informasi publik.
Masih buruknya penilaian publik terkait akses informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah juga telah diakui pemerintah pusat. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, beberapa waktu lalu mengatakan, Informasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (IPPD) seharusnya dilaporkan kepada masyarakat, ditempel di tempat umum. Sayangnya, ungkap Djohermansyah Djohan, belum semua daerah melakukan dan karena itu perlu terus didorong (Media Indonesia, 20 April 2011).
Untuk mengukur sejauhmana pemerintah daerah menjamin kemudahan akses informasi bagi publik, FIPO memiliki dua komponen penilaian. Pertama, survei publik sebagai alat untuk mengukur pandangan dan penerimaan masyarakat atas program dan kinerja pemerintah daerah (pemda). Kegiatan survei berlangsung Januari-April dengan jumlah responden 2.300 orang, mencakup 100 responden per kabupaten/kota. Responden minimal berusia 17 tahun yang dipilih secara purposif. Mereka mewakili kalangan well-educated dan well-informed dari berbagai latar belakang profesi seperti asosiasi profesi pendidikan, asosiasi profesi kesehatan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan, mahasiswa dan pelajar, serta investor.
Kedua, studi program inovasi daerah yang relevan dengan transparansi dan kemudahan akses informasi. Penelitian FIPO mencari program terobosan menyangkut akses informasi yang dijalankan pemda melalui wawancara mendalam dan observasi program. Dalam skema FIPO, akses informasi tidak hanya akses pasif tetapi juga akses aktif.
Akses pasif yang dimaksud adalah keterbukaan dan ketersediaan informasi, data, dan dokumen publik yang disediakan pemda ketika masyarakat mencarinya. Artinya, seluruh data dan dokumen tentang penyelenggaraan pemerintahan yang sewaktu-waktu dibutuhkan masyarakat telah tersedia dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah. Sedangkan akses aktif diartikan sebagai upaya aktif pemda atas inisiatif dan kesadaran sendiri (good will) untuk menyebarluaskan informasi publik.
Monev 23 Kabupaten/Kota
Berdasarkan pemonitoran dan evaluasi (monev) FIPO, baik akses pasif maupun akses aktif tidak dijalankan maksimal oleh pemda. Dokumen-dokumen publik seperti Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) APBD atau pun peraturan daerah (perda), serta data-data publik lainnya, misalnya profil pendidikan dan profil kesehatan tidak tersedia dan tersaji dengan baik. Kalau pun seluruh dokumen dan data tersebut telah disusun dan didokumentasikan secara rapi oleh pemda, terkadang masyarakat menemui kesulitan untuk mengakses.
Sebenarnya, pemda bisa menggunakan website masing-masing untuk memublikasikan dokumen dan data publik tersebut. Hanya saja, dari temuan FIPO, cuma sedikit pemda yang menginput dokumen dan data publik tersebut ke dalam website. Terdapat hanya 30 persen kabupaten/kota yang melakukan sharing informasi seperti LPPD, Ringkasan APBD, maupun RPJMD melalui website. Persentase yang kecil itu juga masih bermasalah karena kabupaten/kota tidak melakukan updating dokumen karena yang ditampilkan, terkadang, bukan dokumen terbaru.
Hal yang menarik, sebagian besar website milik kabupaten/kota cenderung memilih memajang foto kepala/wakil kepala daerah lengkap dengan biodata ketimbang menyajikan dokumen-dokumen publik tersebut. Juga ada kecenderungan website kabupaten/kota menjadi portal berita yang tidak mengaver dua kepentingan secara berimbang. Artinya, berita-berita di website dimonopoli informasi kepala/wakil kepala daerah atau pun pejabat daerah lainnya yang sedang in action. Di satu sisi, pemberitaan kegiatan pejabat daerah tidak salah sama sekali karena juga menjadi bentuk pelaporan kepada masyarakat. Namun, di lain sisi, juga penting untuk memberitakan/menginformasikan tentang, misalnya prosedur mengurus layanan pendidikan dan kesehatan gratis.
Angin segar pernah berhembus dari sedikit pemda yang secara aktif mengupayakan penyebarluasan dokumen publik atau akses aktif. Program kalender APBD yang dilaksanakan oleh sedikit pemda menjadi program yang dapat mendekatkan informasi terkait rencana pembangunan dan penganggarannya kepada masyarakat. Pada dua tahun monev sebelumnya, FIPO menemukan 13 persen kabupaten/kota yang membuat Kalender APBD. Sayangnya, perkembangan program tersebut tidak sebagaimana harapan FIPO karena tahun ini tinggal 4,3 persen dari 23 kabupaten/kota yang dimonev yang memiliki Kalender APBD.
Hasil-hasil survei publik dan analisis program kerja daerah yang disajikan di atas mencerminkan masih lemahnya political will pemerintah daerah dalam menyediakan informasi kepada publik. Ujung-ujungnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum kabupaten/kota di Sulsel “kompak” belum terlalu serius menguatkan akuntabilitas publik karena akses informasi yang mudah adalah bagian dari akuntabilitas publik.
Selain pertimbangan penguatan akuntabilitas publik yang menjadi cikal bakal terbangunnya good governance, kemudahan akses informasi menjadi sesuatu yang wajib hukumnya karena telah diatur dalam Undang Undang (UU) Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Harapannya, implementasi UU tersebut dapat berjalan efektif sehingga tidak ada lagi kabupaten/kota yang beranggapan bahwa APBD adalah dokumen rahasia. (ahmadsyam_1@yahoo.com)
Subscribe to:
Posts (Atom)