Siang yang terik. Matahari seperti sedang
membakar bumi. Angin yang hanya sesekali berhembus tidak kuasa meredam panas;
mungkin karena debu-debu yang ikut beterbangan telah menyerap semua kandungan
airnya.
Panas dari terik matahari menyatu dengan
panas dari api ban yang dibakar; menyatu dengan kata-kata panas dari sejumlah
demonstran; dan menyatu dengan panasnya hati para pengguna jalan. Ya, hari ini,
10 November, tepat di Hari Pahlawan, para demonstranmenggelar demonstrasi!
Ratusan kendaraan berjejal. Mengular hingga
satu-dua kilometer. Bergerak sedikit, lalu berhenti lagi. Bunyi klakson,
teriakan para supir, dan irama berbagai genre musik dangdut, pop, slow rock
dari tape angkutan kota (angkot) memekakan teliga.
Dari ratusan kendaraan, umum dan pribadi,
yang mengantri berjam-jam untuk lepas dari aksi demo, pada satu angkot duduk
seorang lelaki tua di jok depan, bersebelahan dengan supir. Dia mengenakan
jaket kulit berwarna hitam. Rambut putihnya mengkilap menunjukkan betapa dia
menyapuhnya dengan minyak rambut secara teratur. Kaca mata minus bergagang
coklat tua tidak bisa menutupi sinar matanya yang tajam; seperti ada semangat yang
masih menyala di dalam sana. Di bagian belakang angkot, dua jok panjang di kiri
dan kanan penuh. Di deret kanan duduk enam penumpang, di deret kiri duduk empat
penumpang.
Angkot di mana seorang lelaki tua duduk di
jok depan semakin dekat ke titik para demonstran yang sedang berorasi. Jarak
yang tadinya 500 meter kini tinggal 100 meter. Meski untuk menempuh jarak
tersebut setiap kendaraan butuh 15-20 menit. Sungguh kemacetan yang parah.
Terlihat beberapa polisi berjaga-jaga dan mengatur lalu lintas; namun mereka
seperti tidak berdaya membujuk para demonstran membubarkan diri, atau
setidaknya membujuk para demonstran untuk memberi akses jalan yang lebih lebar
sehingga kendaraan leluasa lewat.
Dari jarak 100 meter lebih jelas terlihat
titik demonstrasi. Ya, sekitar tiga puluhan anak-anak muda meneriakkan
kata-kata perlawanan, bernyanyi dan bersorak. Sebagian mengibarkan bendera
merah putih dan atribut organisasi mereka. Sebagian yang lain memegang spanduk
bertuliskan kata-kata kecemasan, keprihatinan, dan penolakan. Tiga dari mereka
menyampaikan orasi dari atas kepala mobil truk secara bergantian. Mereka
menguasai tiga lajur jalan dan hanya menyisakan satu lajur bagi kendaraan
lewat.
Angkot di mana seorang lelaki tua duduk di
jok depan beringsut perlahan, dan tulisan-tulisan serta pidato-pidato para
demonstran itu semakin terlihat dan terdengar jelas. Di antara isi
spanduk-spanduk itu: “Mengusir penjajah selesai, mengusir koruptor?” “Stop
gaji pensiun koruptor di DPR!” “Bangsa besar adalah yang menghargai
pahlawannya!” Dan banyak tulisan-tulisan lainnya.
Orasi tiga tokoh demonstran seolah menjelaskan
detail dari tulisan-tulisan tersebut. Ya, belasan mahasiswa itu menggunakan
moment Hari Pahlawan merespons banyak persoalan di negeri ini. Dari soal
penegak hukum yang semakin tidak kebal korupsi, para pensiunan anggota DPR yang
menerima gaji pensiun, bahkan yang berstatus koruptor sekalipun, hingga nasib
para eks pejuang yang kurang mendapatkan perhatian pemerintah; tunjangan
pensiun seadanya dan tempat tinggal dengan status rumah dinas yang
sewaktu-waktu harus mereka tinggalkan.
“Ayo kawan-kawan, di hari yang heroik ini, Hari Pahlawan, mari kita kembali suarakan perjuangan melawan korupsi, perlawanan terhadap ketidakadilan demi kesejahteraan rakyat! Bayangkan kawan-kawan, bagaimana mungkin para mantan anggota DPR itu menerima gaji pensiun padahal mereka tidak lebih dari lima-sepuluh tahun duduk di dewan, itu pun dengan kinerja seadanya, malas ikut rapat, jarang menemui konstituen mereka. Ironisnya, kawan-kawan, bahkan mantan anggota dewan yang tersangkut korupsi juga menerima uang pensiun! Kawan-kawan, inilah datanya, gaji pensiunan mantan anggota dewan yang mencapai empat hingga lima juta rupiah. Cobalah bandingkan dengan gaji pensiun para veteran kita yang hanya berkisar dua juta rupiah! Mana keadilan untuk para pejuang kita? Mana keadilan buat rakyat?”
Kecuali lelaki tua, tidak satu pun dari
sepuluh penumpang lainnya yang menyimak orasi para demonstran. Semua asyik dan
sibuk dengan aktivitas masing-masing; memainkan telepon selular, mengintip
halaman media sosial, terkantuk-kantuk oleh buaian lantunan lagu pop terbaru
yang agak melankolis dari tape angkot. Bahkan, tiga pelajar dari satu sekolah
menengah atas sama sekali tidak mendengarkan apa pun kecuali musik-musik dari
headset mereka.
Aksi demo memang bukan lagi hal baru bagi
penumpang angkot itu dan juga bagi seluruh penduduk kota. Orasi pun telah
menjadi pidato-pidato yang selalu terdengar sama. Hal itu karena hampir setiap
muncul isu nasional, peringatan hari-hari nasional dan internasional selalu
disambut dengan demo lokal. Tidak ada mengetahui persis kenapa di kota ini
tiba-tiba mudah sekali menggelar demo, seperti mudahnya jamur-jamur bertumbuhan
di musim hujan. Mulai dari demo dengan puluhan massa hingga yang hanya belasan
massa tetapi dengan dampak yang sama, kemacetan parah.
Angkot di mana lelaki tua duduk di jok
depan sudah akan melewati titik demonstrasi ketika para demonstran berinisiatif
lain dengan memalang jalan. Memasang batu dan kayu besar pada satu-satunya
lajur jalan yang bisa dilalui saat ini. Angkot yang ditumpangi kakek tua
terhenti persis di depan batu-batu besar tersebut.
Kecuali lelaki tua itu, sepuluh penumpang
lainnya, termasuk supir, hanya bisa menyembunyikan amarah dalam diam. Lalu
mulai sibuk dengan telepon selular masing-masing. Membuka menu kontak dan
ramailah angkot dengan suara para penumpang yang sedang menelepon. Ibu yang
duduk paling belakang terdengar menghubungi guru di sekolah anaknya jika
dirinya telat menjemput, sedangkan bapak setengah baya yang duduk di belakang
jok supir terdengar meminta maaf pada istrinya tidak bisa mengantar ke dokter
kandungan.
Demonstrasi makin memanas. Beberapa polisi
yang semula hanya mengawasi di kejauhan mulai merapat ke titik demonstrasi.
Mencoba melakukan negosiasi agar blokade jalan kembali dibuka. Tetapi harapan
polisi seperti bertepuk sebelah tangan. Para demonstran malah lebih menguatkan
barisan, saling bergandengan tangan, dan bernyanyi lagu-lagu perjuangan.
Bunyi klakson, teriakan supir-supir, alunan
musik dari tape kendaraan, ditambah pekikan orasi yang lantang, semuanya tumpah
ruah di jalanan, melayang-layang di udara bercampur asap hitam dari ban yang
dibakar.
Tambahan satu satuan setingkat pleton dari
Brimob baru saja tiba di lokasi demonstrasi. Sepertinya petugas kepolisian
sudah mengantisipasi jika kondisi terburuk terjadi: bentrok dengan para
demonstran. Derap suara sepatu laras yang membentur aspal seharusnya
menggetarkan hati para demonstran. Tetapi ternyata tidak karena anak-anak muda
itu telah lama menghimpun keberanian dalam dada mereka. Kini kedua kelompok
sudah berhadap-hadapan.
Pintu angkot di mana lelaki tua duduk di
jok depan terbuka. Lelaki tua itu turun dari mobil dan berjalan ke arah dua
kelompok yang mulai terlibat aksi saling dorong. Bentrok polisi dan demonstran
hanya akan memperparah situasi. Bentrok yang akan semakin merugikan masyarakat.
Tidak berguna mempertontonkan keberanian masing-masing dengan cara seperti ini.
Keberanian dan kepahlawanan dalam falsafah para pejuang adalah pengorbanan
membela kebenaran. Dan kedua kelompok ini jika pada akhirnya bentrok maka
keduanya hanya berani tetapi sama sekali tidak membela kebenaran sehingga tidak
pantas dipredikati sebagai pahlawan.
Lelaki tua itu melangkah dengan kaki tegap,
kaki yang masih kuat menopang tubuh ringkihnya. Ratusan pasang mata, dari
supir, para penumpang hingga para wartawan berbagai media menunggu gerangan apa
yang akan dilakukan lelaki tua itu. Sambil berjalan, dia membuka jaket hitamnya
dan menghempaskan ke tanah. Lelaki tua itu, tanpa jaket hitamnya, ternyata
mengenakan baju berwarna hijau yang di dadanya berbaris atribut-atribut. Dia
merogoh peci dari kantong baju, peci berwarna kuning dengan logo bintang lima
di sisi kiri, kemudian dikenakan di kepalanya. Ya, lelaki tua itu nampak gagah
dalam seragam veteran pejuang.
Tidak ada yang mengetahui apa yang lelaki
tua itu katakan kepada koordinator demonstrasi dan kepada pemegang komando
lapangan dari pihak kepolisian. Tentu hanya mereka bertiga yang tahu. Yang
jelas, setelah pembicaraan mereka bertiga, demonstran bersedia membuka blokade
jalan dan para polisi bergerak mundur. Supir dan para penumpang senang karena
kendaraan bisa lewat kembali.
Lelaki tua, para demonstran, dan bapak-bapak
polisi telah menjadi pahlawan hari itu. Bukankah pahlawan berarti memberi
manfaat bukan susah? Bukankah pahlawan adalah 'phala-wan'
(sansekerta); yakni orang yang pada dirinya menghasilkan buah (phala)?
Esoknya, tidak satu pun media yang
memberitakan demonstrasi dengan banyak bumbu heroisme tersebut dari seorang lelaki tua; mungkin karena
tidak berlangsung ricuh.
Melbourne, 10 November 2013