Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Januari-Juli 2009 menempatkan Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai “kampiun” korupsi di negeri ini. Data hasil penelitian tersebut menyebutkan, dari 86 perkara korupsi di Indonesia dengan jumlah tersangka 217 orang dan kerugian negara Rp1,17 triliun, Sulsel menjadi provinsi terbanyak kasus korupsinya yakni 26 kasus (30,2 persen) dengan kerugian negara yang ditimbulkan Rp48,20 miliar (Danang Widoyoko, Tempo, 11 Desember 2009).
Oleh Ahmad Syam
Fajar, 8 September 2010
Kasus (dugaan) korupsi di Sulsel dalam dua tahun terakhir (2009 dan 2010) ternyata menunjukkan tren konsisten. Pasalnya, pada periode yang sama (Januari-Juli) tahun 2010 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kantor Wilayah Sulsel menyebutkan, kasus dugaan korupsi di Sulsel (termasuk di Sulawesi Barat) masih tinggi yakni 47 kasus (Wawan Ridwan, Fajar, 28 Juli 2010).
Data kasus korupsi yang fenomenal di atas menggambarkan masih lemahnya akuntabilitas pemerintah daerah (pemda) di Sulsel. Akuntabilitas sebagai suatu metode untuk menjaga agar publik mendapatkan informasi dan kekuasaan mendapatkan kontrol, seperti dikemukakan Richard Mulgan (2006), belum berjalan sebagaimana mestinya. Penyebabnya, karena pilar utama akuntabilitas yakni transparansi (transparency) masih diterapkan “setengah hati”.
Monev FIPO
Dalam skema The Fajar Institute of Pro Otonomi ( FIPO), akuntabilitas atau pertanggungjawaban publik yang merupakan salah satu parameter penilaian Otonomi Awards (OA) terdiri atas beberapa isu strategis seperti transparansi dan akses informasi, sanitari birokrasi, pengaduan masyarakat, serta responsivitas dan responsibilitas aparatur.
Transparansi dan akses informasi merupakan pilar utama untuk membangun good governance dan clean government. Terkait dengan isu strategis ini, FIPO menilai inisiatif pemerintah daerah untuk membuka informasi menyangkut kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan seluas-luasnya kepada masyarakat sebagai wujud dari pertanggungjawaban publik.
Sanitari birokasi dalam kerangka FIPO menyangkut upaya pemda membuat program-program yang mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Pengaduan masyarakat diukur dari keseriusan pemda memfasilitasi masyarakat dengan media dan unit pengaduan. Adapun responsivitas dan responsibilitas aparatur tercermin dari sikap sensitif pemda untuk bereaksi cepat menjawab keluhan-keluhan masyarakat. Bentuk program pemda pada setiap isu strategis tersebut beragam.
Untuk isu transparansi dan akses informasi, FIPO menemukan sejumlah program seperti kalender APBD, e-Procurement, dan Unit Layanan Pelelangan (ULP), layanan informasi melalui radio, surat kabar, TV lokal, penyuluhan, dan papan bicara. Pada isu pengaduan masyarakat program pemda meliputi Komunitas Intelijen Daerah (Kominda), Unit Pengaduan Masyarakat (UPM), dan pengaduan masyarakat melalui SMS, website, tudang sipulang (duduk bersama untuk bermusyawarah), surat kabar, dan radio. Sedangkan terkait isu sanitari birokrasi pemda membuat program yang diantaranya pakta integritas kinerja, metode manual praktis, dan tim verifikasi administrasi dan fisik.
Untuk menilai bagaimana persepsi masyarakat terhadap kinerja akuntabilitas 23 kabupaten/kota, FIPO mengadakan survei publik sebagai satu dari tiga komponen penilaian OA. Untuk keperluan survei publik FIPO mengambil 2.300 responden dari berbagai latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan lainnya untuk setiap kabupatennya. Dan hasilnya, secara keseluruhan survei publik di 23 kabupaten/kota menunjukkan dari total 2.300 responden, 1.176 responden atau hanya 51 persen menyatakan kinerja akuntabilitas pemda sudah baik dan 1.124 responden atau 49 persen menilai kinerja akuntabilitas pemda belum baik. Kabupaten/kota dengan kinerja akuntabilitas yang sudah baik sesuai hasil survei publik antara lain Luwu Utara, Palopo, Luwu Timur, Sinjai, dan Luwu. Sedangkan kabupaten/kota dengan kinerja akuntabilitas yang belum baik menurut penilaian masyarakatnya adalah Parepare, Maros, Wajo, Takalar, dan Bantaeng.
Hasil survei publik FIPO tersebut di atas ternyata secara kebetulan memiliki “kedekatan” dengan data jumlah pengaduan kasus (dugaan) korupsi masyarakat di Sulawesi Selatan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kurun waktu 2004-2008 (Haryono Umar, Fajar, 17 Juni 2008). “Kedekatan” data yang dimaksud adalah kabupaten/kota yang ditemukan FIPO sebagai daerah dengan akuntabilitas buruk dan data KPK tentang jumlah pengaduan masyarakat terkait kasus (dugaan) korupsi tidak berbeda jauh. Jika survei publik FIPO menempatkan Parepare, Maros, Wajo, Takalar, dan Bantaeng sebagai lima daerah paling rendah kinerja akuntabilitasnya (Makassar berada di peringkat ke-8 terendah), maka dari 766 jumlah pengaduan masyarakat terkait kasus (dugaan) korupsi yang diterima KPK menempatkan Makassar sebagai daerah dengan jumlah aduan terbanyak yakni 280 kasus. Kabupaten/kota lainnya yang juga termasuk tinggi jumlah pengaduan masyarakatnya adalah Tana Toraja (38 kasus), Parepare (35 kasus), dan Maros (25) kasus.
Meski dalam penilaian masyarakat kinerja akuntabilitas pemerintah kabupaten/kota belum memuaskan namun FIPO menemukan upaya daerah memperbaiki akuntabilitas publiknya sudah lebih maju dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Contohnya, jika tahun sebelumnya baru ada satu kabupaten yakni Bulukumba yang memiliki Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) maka pada tahun 2009 Kota Palopo juga membentuk KTP. Hebatnya, baik KTP di Bulukumba maupun di Palopo sudah memiliki peraturan daerah (perda) sebagai dasar hukum. Bahkan, Perda No. 10/2005 (KTP Bulukumba) dan Perda No.5/2006 (KTP Palopo) mendahului Undang Undang (UU) No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Program lain seperti e-Procurement di Luwu Utara juga elemen penting dalam mengurangi praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sedangkan sejumlah kabupaten yang membuat program seperti Kalender APBD sebagaimana dilakukan oleh Luwu juga bagian penting guna mendorong transparansi dan membuka akses informasi bagi publik.
Data kasus korupsi yang fenomenal di atas menggambarkan masih lemahnya akuntabilitas pemerintah daerah (pemda) di Sulsel. Akuntabilitas sebagai suatu metode untuk menjaga agar publik mendapatkan informasi dan kekuasaan mendapatkan kontrol, seperti dikemukakan Richard Mulgan (2006), belum berjalan sebagaimana mestinya. Penyebabnya, karena pilar utama akuntabilitas yakni transparansi (transparency) masih diterapkan “setengah hati”.
Monev FIPO
Dalam skema The Fajar Institute of Pro Otonomi ( FIPO), akuntabilitas atau pertanggungjawaban publik yang merupakan salah satu parameter penilaian Otonomi Awards (OA) terdiri atas beberapa isu strategis seperti transparansi dan akses informasi, sanitari birokrasi, pengaduan masyarakat, serta responsivitas dan responsibilitas aparatur.
Transparansi dan akses informasi merupakan pilar utama untuk membangun good governance dan clean government. Terkait dengan isu strategis ini, FIPO menilai inisiatif pemerintah daerah untuk membuka informasi menyangkut kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan seluas-luasnya kepada masyarakat sebagai wujud dari pertanggungjawaban publik.
Sanitari birokasi dalam kerangka FIPO menyangkut upaya pemda membuat program-program yang mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Pengaduan masyarakat diukur dari keseriusan pemda memfasilitasi masyarakat dengan media dan unit pengaduan. Adapun responsivitas dan responsibilitas aparatur tercermin dari sikap sensitif pemda untuk bereaksi cepat menjawab keluhan-keluhan masyarakat. Bentuk program pemda pada setiap isu strategis tersebut beragam.
Untuk isu transparansi dan akses informasi, FIPO menemukan sejumlah program seperti kalender APBD, e-Procurement, dan Unit Layanan Pelelangan (ULP), layanan informasi melalui radio, surat kabar, TV lokal, penyuluhan, dan papan bicara. Pada isu pengaduan masyarakat program pemda meliputi Komunitas Intelijen Daerah (Kominda), Unit Pengaduan Masyarakat (UPM), dan pengaduan masyarakat melalui SMS, website, tudang sipulang (duduk bersama untuk bermusyawarah), surat kabar, dan radio. Sedangkan terkait isu sanitari birokrasi pemda membuat program yang diantaranya pakta integritas kinerja, metode manual praktis, dan tim verifikasi administrasi dan fisik.
Untuk menilai bagaimana persepsi masyarakat terhadap kinerja akuntabilitas 23 kabupaten/kota, FIPO mengadakan survei publik sebagai satu dari tiga komponen penilaian OA. Untuk keperluan survei publik FIPO mengambil 2.300 responden dari berbagai latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan lainnya untuk setiap kabupatennya. Dan hasilnya, secara keseluruhan survei publik di 23 kabupaten/kota menunjukkan dari total 2.300 responden, 1.176 responden atau hanya 51 persen menyatakan kinerja akuntabilitas pemda sudah baik dan 1.124 responden atau 49 persen menilai kinerja akuntabilitas pemda belum baik. Kabupaten/kota dengan kinerja akuntabilitas yang sudah baik sesuai hasil survei publik antara lain Luwu Utara, Palopo, Luwu Timur, Sinjai, dan Luwu. Sedangkan kabupaten/kota dengan kinerja akuntabilitas yang belum baik menurut penilaian masyarakatnya adalah Parepare, Maros, Wajo, Takalar, dan Bantaeng.
Hasil survei publik FIPO tersebut di atas ternyata secara kebetulan memiliki “kedekatan” dengan data jumlah pengaduan kasus (dugaan) korupsi masyarakat di Sulawesi Selatan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kurun waktu 2004-2008 (Haryono Umar, Fajar, 17 Juni 2008). “Kedekatan” data yang dimaksud adalah kabupaten/kota yang ditemukan FIPO sebagai daerah dengan akuntabilitas buruk dan data KPK tentang jumlah pengaduan masyarakat terkait kasus (dugaan) korupsi tidak berbeda jauh. Jika survei publik FIPO menempatkan Parepare, Maros, Wajo, Takalar, dan Bantaeng sebagai lima daerah paling rendah kinerja akuntabilitasnya (Makassar berada di peringkat ke-8 terendah), maka dari 766 jumlah pengaduan masyarakat terkait kasus (dugaan) korupsi yang diterima KPK menempatkan Makassar sebagai daerah dengan jumlah aduan terbanyak yakni 280 kasus. Kabupaten/kota lainnya yang juga termasuk tinggi jumlah pengaduan masyarakatnya adalah Tana Toraja (38 kasus), Parepare (35 kasus), dan Maros (25) kasus.
Meski dalam penilaian masyarakat kinerja akuntabilitas pemerintah kabupaten/kota belum memuaskan namun FIPO menemukan upaya daerah memperbaiki akuntabilitas publiknya sudah lebih maju dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Contohnya, jika tahun sebelumnya baru ada satu kabupaten yakni Bulukumba yang memiliki Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) maka pada tahun 2009 Kota Palopo juga membentuk KTP. Hebatnya, baik KTP di Bulukumba maupun di Palopo sudah memiliki peraturan daerah (perda) sebagai dasar hukum. Bahkan, Perda No. 10/2005 (KTP Bulukumba) dan Perda No.5/2006 (KTP Palopo) mendahului Undang Undang (UU) No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Program lain seperti e-Procurement di Luwu Utara juga elemen penting dalam mengurangi praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sedangkan sejumlah kabupaten yang membuat program seperti Kalender APBD sebagaimana dilakukan oleh Luwu juga bagian penting guna mendorong transparansi dan membuka akses informasi bagi publik.
No comments:
Post a Comment