Ahmad Syam
Fajar, 1 Desember 2010
Meski belum benar-benar memuaskan, aksesibilitas layanan administrasi kependudukan dan perizinan di Sulawesi Selatan (Sulsel) dipersepsi mulai membaik. Hasil survei publik menunjukkan, sebagian besar responden (di atas 70 persen responden) memberi respons positif terkait kemudahan dan keterjangkauan layanan.
Survei yang dilakukan terhadap 2300 responden dari 23 kabupaten/kota di Sulsel (Toraja Utara belum dimasukkan dalam penilaian) mengindikasikan, aspek-aspek seperti lokasi pelayanan yang mudah dijangkau dan prosedur pelayanan yang semakin mudah dinilai sebagian besar responden telah berlangsung baik. Secara akumulatif, yakni 76,50 persen responden mengakui bahwa ada kemudahan menjangkau lokasi layanan, dan hanya 23, 50 persen menyatakan masih sulit menjangkau lokasi layanan. Sedangkat menyangkut kemudahan dalam prosedur layanan, sebanyak 75,20 persen responden menyatakan sudah baik, sisanya 24,80 persen menyatakan belum baik.
Sayangnya, aspek lain yakni kecepatan layanan masih berada dalam kategori buruk. Layanan-layanan kependudukan seperti kartu keluarga-KK, kartu tanda penduduk-KTP, dan akta kelahiran maupun layanan perizinan yang antara lain izin mendirikan bangunan-IMB, surat izin usaha perdagangan (SIUP), izin usaha (HO) dan lain-lain masih dinilai lamban oleh sebagian besar responden. Secara detail, sebanyak 5,22 persen responden menyatakan kecepatan layanan masih sangat tidak baik, yang menyatakan kurang baik sebanyak 28,19 persen, sedangkan yang menganggap sudah baik adalah 59,00 persen, adapun yang menilai sudah berjalan sangat baik hanya 7,57 persen responden. Layanan administrasi kependudukan dan perizinan, sebagai bagian dari layanan publik, merupakan salah satu bagian penting dan sangat bersentuhan dengan tujuan pemberlakuan otonomi daerah.
Mendekatkan layanan administrasi kependudukan dan perizinan, selaian layanan pendidikan dan kesehatan, kepada masyarakat adalah hakikat otonomi daerah. Karena itu, desain institusi-institusi yang menangani layanan publik juga berubah seiring pelaksanaan otonomi daerah. Jika sebelumnya layanan-layanan publik masih dikelola secara sentralistik, sekarang layanan publik telah didesentralisasikan.
Dampak pendelegasian kewenangan itu antara lain tercermin dari tumbuhnya inisiatif daerah untuk membuat program, termasuk layanan administrasi kependudukan dan perizinan, berdasarkan potensi dan kebutuhan masyarakat masing-masing daerah. Kreativitas daerah terkait layanan tersebut di atas setidaknya terlihat dari berkembangnya program-program baru hasil karya-karya inovatif pemerintah daerah. Kegairahan daerah berinovasi dalam layanan perizinan, contohnya, juga karena keluarnya sejumlah kebijakan yang mendorong terbukanya ruang-ruang berinovasi. Terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pembentukan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) memberi peluang daerah mereformasi pelayanan perizinannya. Apalagi permendagri tersebut tidak menyebut secara spesifik nomenklatur kelembagaan sehingga daerah leluasa menentukannya sendiri, apakah akan berbentuk dinas atau kantor. Karena itu, lembaga-lembaga pelayanan perizinan di daerah sangat bervariasi dari Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPTSP) hingga Dinas Perizinan. Namun, walaupun nama kelembagaan berbeda, hampir seluruh kantor pelayanan perizinan telah menggunakan prinsip kerja one stop service atau layanan terpadu. One stop service yang memusatkan beberapa layanan perizinan di dalam satu kantor mendapatkan apresiasi tinggi masyarakat. Dari segi aksesibilitas, sistem ini jelas memudahkan masyarakat yang hendak mengurus lebih dari satu jenis izin. Apalagi jika pada kantor pelayanan tersebut juga telah tersedia layanan perbankan sehingga transaksi pembayaran dapat langsung melalui bank.
Kemudahan-kemudahan dalam layanan perizinan ini yang menghasilkan persepsi positif dari masyarakat sebagaimana tergambar dari hasil survei publik di atas. Kepuasan masyarakat atas aksesibilitas ternyata kurang tergambar pada sisi kecepatan layanan. Dari total responden yang disurvei, responden yang menyatakan layanan masih sangat lamban tergolong cukup besar yakni 33,42 persen. Bila mencermati hasil temuan di lapangan, khususnya layanan non perizinan, keterlambatan layanan disebabkan beberapa faktor.
Pada sejumlah kabupaten/kota yang telah mulai menggunakan sistem layanan KTP secara online, faktor gangguan jaringan dan sinyal dijadikan alasan lambannya proses pembuatan KTP. Faktor lainnya yang kerap dilontarkan staf yang menangani KTP, misalnya, adalah kepala kantor yang harus bertanda tangan di KTP sedang keluar kantor atau, bahkan, sedang dinas di luar daerah.
Faktor keterbatasan jaringan dan sinyal bagi sejumlah daerah memang sangat tergantung pada faktor eksternal berupa tersedianya base transceiver station (BTS). Namun tidak demikian dengan faktor lain seperti kepala kantor sedang tidak berada di tempat. Faktor yang terakhir ini sebenarnya bisa diatasi instansi terkait secara intern. Misalnya, tanda tangan bisa dalam bentuk stempel atau ada staf pejabat lainnya yang telah ditunjuk untuk bertanda tangan jika kepala kantor sedang di “luar” jangkauan.
Secara umum, kinerja pemerintah daerah pada layanan administrasi kependudukan dan administrasi perizinan, terutama menyangkut program-program yang dianggap baik oleh masyarakat, antara tahun 2009 dan 2010 menunjukkan peningkatan. Jika pada tahun 2009 sebanyak 60,00 persen masyarakat yang disurvei menilai program yang dijalankan pemerintah sudah baik, maka pada tahun 2010 meningkat menjadi 70,68 persen responden/masyarakat yang menilai program sudah baik. Dari sisi implementasi program juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2009, hanya 35,00 persen masyarakat yang disurvei yang menilai program sudah dijalankan sebagaimana mestinya, juga jauh lebih kecil dibandingkan persentase responden yang menilai program telah dilaksanakan secara baik pada tahun 2010 yang mencapai 59,46 persen.
Survei yang dilakukan terhadap 2300 responden dari 23 kabupaten/kota di Sulsel (Toraja Utara belum dimasukkan dalam penilaian) mengindikasikan, aspek-aspek seperti lokasi pelayanan yang mudah dijangkau dan prosedur pelayanan yang semakin mudah dinilai sebagian besar responden telah berlangsung baik. Secara akumulatif, yakni 76,50 persen responden mengakui bahwa ada kemudahan menjangkau lokasi layanan, dan hanya 23, 50 persen menyatakan masih sulit menjangkau lokasi layanan. Sedangkat menyangkut kemudahan dalam prosedur layanan, sebanyak 75,20 persen responden menyatakan sudah baik, sisanya 24,80 persen menyatakan belum baik.
Sayangnya, aspek lain yakni kecepatan layanan masih berada dalam kategori buruk. Layanan-layanan kependudukan seperti kartu keluarga-KK, kartu tanda penduduk-KTP, dan akta kelahiran maupun layanan perizinan yang antara lain izin mendirikan bangunan-IMB, surat izin usaha perdagangan (SIUP), izin usaha (HO) dan lain-lain masih dinilai lamban oleh sebagian besar responden. Secara detail, sebanyak 5,22 persen responden menyatakan kecepatan layanan masih sangat tidak baik, yang menyatakan kurang baik sebanyak 28,19 persen, sedangkan yang menganggap sudah baik adalah 59,00 persen, adapun yang menilai sudah berjalan sangat baik hanya 7,57 persen responden. Layanan administrasi kependudukan dan perizinan, sebagai bagian dari layanan publik, merupakan salah satu bagian penting dan sangat bersentuhan dengan tujuan pemberlakuan otonomi daerah.
Mendekatkan layanan administrasi kependudukan dan perizinan, selaian layanan pendidikan dan kesehatan, kepada masyarakat adalah hakikat otonomi daerah. Karena itu, desain institusi-institusi yang menangani layanan publik juga berubah seiring pelaksanaan otonomi daerah. Jika sebelumnya layanan-layanan publik masih dikelola secara sentralistik, sekarang layanan publik telah didesentralisasikan.
Dampak pendelegasian kewenangan itu antara lain tercermin dari tumbuhnya inisiatif daerah untuk membuat program, termasuk layanan administrasi kependudukan dan perizinan, berdasarkan potensi dan kebutuhan masyarakat masing-masing daerah. Kreativitas daerah terkait layanan tersebut di atas setidaknya terlihat dari berkembangnya program-program baru hasil karya-karya inovatif pemerintah daerah. Kegairahan daerah berinovasi dalam layanan perizinan, contohnya, juga karena keluarnya sejumlah kebijakan yang mendorong terbukanya ruang-ruang berinovasi. Terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pembentukan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) memberi peluang daerah mereformasi pelayanan perizinannya. Apalagi permendagri tersebut tidak menyebut secara spesifik nomenklatur kelembagaan sehingga daerah leluasa menentukannya sendiri, apakah akan berbentuk dinas atau kantor. Karena itu, lembaga-lembaga pelayanan perizinan di daerah sangat bervariasi dari Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPTSP) hingga Dinas Perizinan. Namun, walaupun nama kelembagaan berbeda, hampir seluruh kantor pelayanan perizinan telah menggunakan prinsip kerja one stop service atau layanan terpadu. One stop service yang memusatkan beberapa layanan perizinan di dalam satu kantor mendapatkan apresiasi tinggi masyarakat. Dari segi aksesibilitas, sistem ini jelas memudahkan masyarakat yang hendak mengurus lebih dari satu jenis izin. Apalagi jika pada kantor pelayanan tersebut juga telah tersedia layanan perbankan sehingga transaksi pembayaran dapat langsung melalui bank.
Kemudahan-kemudahan dalam layanan perizinan ini yang menghasilkan persepsi positif dari masyarakat sebagaimana tergambar dari hasil survei publik di atas. Kepuasan masyarakat atas aksesibilitas ternyata kurang tergambar pada sisi kecepatan layanan. Dari total responden yang disurvei, responden yang menyatakan layanan masih sangat lamban tergolong cukup besar yakni 33,42 persen. Bila mencermati hasil temuan di lapangan, khususnya layanan non perizinan, keterlambatan layanan disebabkan beberapa faktor.
Pada sejumlah kabupaten/kota yang telah mulai menggunakan sistem layanan KTP secara online, faktor gangguan jaringan dan sinyal dijadikan alasan lambannya proses pembuatan KTP. Faktor lainnya yang kerap dilontarkan staf yang menangani KTP, misalnya, adalah kepala kantor yang harus bertanda tangan di KTP sedang keluar kantor atau, bahkan, sedang dinas di luar daerah.
Faktor keterbatasan jaringan dan sinyal bagi sejumlah daerah memang sangat tergantung pada faktor eksternal berupa tersedianya base transceiver station (BTS). Namun tidak demikian dengan faktor lain seperti kepala kantor sedang tidak berada di tempat. Faktor yang terakhir ini sebenarnya bisa diatasi instansi terkait secara intern. Misalnya, tanda tangan bisa dalam bentuk stempel atau ada staf pejabat lainnya yang telah ditunjuk untuk bertanda tangan jika kepala kantor sedang di “luar” jangkauan.
Secara umum, kinerja pemerintah daerah pada layanan administrasi kependudukan dan administrasi perizinan, terutama menyangkut program-program yang dianggap baik oleh masyarakat, antara tahun 2009 dan 2010 menunjukkan peningkatan. Jika pada tahun 2009 sebanyak 60,00 persen masyarakat yang disurvei menilai program yang dijalankan pemerintah sudah baik, maka pada tahun 2010 meningkat menjadi 70,68 persen responden/masyarakat yang menilai program sudah baik. Dari sisi implementasi program juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2009, hanya 35,00 persen masyarakat yang disurvei yang menilai program sudah dijalankan sebagaimana mestinya, juga jauh lebih kecil dibandingkan persentase responden yang menilai program telah dilaksanakan secara baik pada tahun 2010 yang mencapai 59,46 persen.
No comments:
Post a Comment