Dalam
beberapa jam ke depan, lapangan dengan permukaan keras di Key Biscayne, Florida,
akan menjadi saksi duel semifinal seru Roger Federer dan Nick Kyrgios. Jika
Federer menang maka berarti peluang baginya mengangkat trofi ketiganya di Miami
Open sekaligus trofi ketiganya di awal 2017 ini. Bila Kyrgios yang menang maka
akan menjadi pengalaman pertama baginya masuk di final ATP World Tour Master 1000.
Picture: Sydney Moning Herald |
Benarkah
bagi mereka berdua kemenangan hanya untuk memenuhi target-target prestasi di
atas? Menurut saya, Federer memiliki target lainnya yakni membalas kekalahan
dari Kyrgios ketika mereka bertemu kali pertama tahun 2015 silam. Kala itu,
Kyrgios menghentikan laju Federer di ATP World Tour Master 1000 Madrid dalam
pertarungan tiga set. Sebenarnya Federer berkesempatan membalas kekalahan
tersebut di Indian Wells akhir Maret 2017. Sayangnya, Kyrgios yang sedianya
bertarung untuk satu tiket ke semifinal mundur karena alasan sakit.
Bagaimana
dengan Kyrgios? Saya mengira-ngira target paling pribadinya adalah terus
mempelajari bagaimana Federer, idola dia, bermain. Meski menang, itu pun dengan
susah payah karena tiga set dengan tie break, di Madrid tahun 2015, tentu bagi
Kyrgios bukan ukuran bakal menang lagi kali
ini. Maka, daripada mengejar target menang, Kyrgios akan lebih realistis untuk
terus membaca bagaimana Federer mengatur emosi saat bermain. Permainan dengan
emosi labil itulah yang menjadi kelemahan utama Kyrgios.
Tentu para
penggemar tennis masih mengingat dengan sangat segar di Wimbledon 2015 ketika
dia beberapa kali mendebat wasit garis lapangan. Puncak kontroversi dari
tingkahnya adalah saat melawan Milos Raonic di putaran ketiga. Kyrgios yang
emosi membanting raketnya ke lapangan. Raket tersebut terpental ke arah
penonton. Sikap kontroversi lainnya pada Australia Open 2016 saat dia
menyampaikan berulang kali komplain ke wasit bahwa terdengar olehnya seseorang
menyetel musik di kursi penonton. Hanya dengan dua kontroversi tingkah Kyrgios
di lapangan itu saja? Tidak, karena ada banyak jika ditelusuri pada setiap
pertandingan yang dia ikuti.
Tahun 2017
ini petenis berdarah Yunani dan Malaysia tersebut (ibunya yang seorang insinyur
komputer berasal dari keluarga kesultanan di Selangor dan ayahnya yang
sehari-hari bekerja sebagai tukang cat rumah berasal dari Yunani) berjanji bisa
lebih menahan emosi. Kesempatan itu datang karena lawannya adalah Federer.
Berhadapan dengan Federer dengan mental yang teruji dan emosi yang stabil akan
menjadi ujian bagi Kyrgios membuktikan janjinya tersebut.
Bila anak
muda kelahiran Canberra tersebut bisa terus memperbaiki emosi bukan tidak
mungkin kelak, dalam 3-4 tahun ke depan, akan menjadi petenis nomor satu dunia
versi ATP. Modal skill sudah ada di tangannya. Permainan yang ciamik juga telah
dimilikinya. Catatan mentereng dari pertemuan perdana dengan tiga petenis top
saat ini yakni Federer, Nadal, dan Djokovic dilakoninya dengan kemenangan.
Bahkan, Djokovic merasakan bagaimana anak muda usia 21 tahun itu menghajarnya secara
beruntun dalam dua turnamen awal 2017 ini yakni di Mexican Open dan Indian
Wells Masters.
Bila
berpedoman pada usia berprestasi beberapa petenis seperti Federer, Djokovic,
atau pun Nadal, maka di usianya yang telah memasuki 21 tahun semestinya Kyrgios
sudah merebut titel grandslam. Nadal telah juara di Perancis Open 2005 kala
usianya 19 tahun. Djokovic juara Australia Open 2008 ketika masih di 21 tahun.
Sedangkan Federer meraih titel grandslam kali pertama di Wimbledon 2003 saat
berusia 22 tahun.
Picture: News.com.au |
Maka, mari
menunggu pembuktian Kyrgios di Perancis Open 2017, atau Wimbledon 2017, atau
mungkin di grandslam penutup tahun 2017 di US Open. Bila sepanjang 2017 Kyrgios
masih juga puasa titel grandslam, bolehlah kita berikan toleransi waktu setahun
berikut di 2018. Tetapi, jika di 2018 masih juga tanpa gelar grandslam, biarlah
jalan itu diberikan kepada seorang anak muda asal Jerman berusia 19 tahun,
Alexander Zverev.
Bergegaslah
Kyrgios, waktumu tak banyak….