Senin, 29 April 2019.
Awan tebal masih menggantung di sebagian langit Makassar. Sisa-sisa air yang
membonceng di awan tersebut mungkin belum seluruhnya jatuh saat hujan deras
semalam. Bahkan rintik-rintik hingga subuh tidak serta merta menurunkan seluruhnya.
Maka boleh jadi sore ini atau di malam hari hujan kembali merangkul kota ini.
Hujan yang airnya akan mengalirkan kenangan hingga jauh ke muara hati.
Beberapa hari yang lalu aku tancapkan bunga di atas
ubun-ubunmu. Bunga dengan daun berwarna merah cerah. Meski belum pernah aku
tengok lagi sejak aku tanam tiga belas hari yang lalu, bunga itu akan tumbuh
subur. Selain karena hujan masih datang sesekali menyiram bunga itu, ada embun di pucuk bunga
yang meresap ke dalam batang. Air embun bergerak masuk melalui pori-pori batang
hingga sampai ke akar. Tetesan air bening dari akar jatuh tepat di dadamu. Itulah
perantara rindu kita.
Aku tahu selain bunga berdaun merah itu ada banyak hiburan
di sekelilingmu. Dari gesekan batang-batang bambu yang melahirkan musik alam,
angin yang berdesir, hingga getaran lembut daun-daun bambu kering yang melayang
jatuh. Tetapi aku selalu menggengam khawatir yang berlebihan. Aku menganggapmu
kesepian di sana. Ternyata, dirikulah yang memeluk sunyi.
Senin, 29 April 2019.
Sinar matahari timbul tenggelam. Awan tebal di sana-sini menghalangi sinar
matahari konsisten tetap terang. Beruntunglah ada tiupan angin yang sesekali menggerakkan
awan menjauh dari hadapan matahari.
Apakah ini semacam siasat dari ketiganya supaya hari ini cuaca Makassar menjadi
lebih adem dan sejuk?
Pada sejuk ada harapan ketenangan. Keinginan yang
menyala-nyala dapat diredupkan. Kekhawatiran meluap-luap tetap tertampung. Kesunyian yang
menyergap dapat diretas. Bagaimana dengan kerinduan? Biarkanlah sejuk membebaskan
rasa rindu sekehendaknya menemuimu dalam diam, Nak….
Makassar, 29 April 2019