Wednesday, February 29, 2012
Growing and Enthusiastic Villages
Village Market of Sukaraya Village, Bone-Bone Sub-District, Luwu Utara District
Before, the development paradigm only emphasized economic growth. All development actvities focused on areas considered to have potential to support growth. The result is regional disparity in term of progress.
Oleh Ahmad Syam
BaKTI News, Volume V November-Desember 2011 Edisi 72
The mistakes of the old paradigm led to the birth of a new paradigm: a paradigm of development that balances the aspects of growth, sustainability, and equity. What are the fundamental advantages of the paradigm change? First, spasial polarization, for example, between urban and rural areas can be reduced. Second, resource-allocation of resources can also be more evenly distributed. Third, construction in the villages has an impact on the growth of rural economies, immediately creates jobs and slows the pace of urbanization.
Development that considers aspects of equity in South Sulawesi, among others, can be seen from experiences, breaktroughs, and good practices in Luwu Timur (Villages Surrounding the City), Bantaeng (Village-Owned Enterprises-BUMDES), and Luwu Utara (Participatory Village Market Development).
The program in Luwu Timur positions the village as the starting point of development, with the reasoning that the city by itself will only develop if all the villages surrounding it develop.
Implementation of the program began in early 2006. The Regional Government of Luwu Timur, through the Public Works Department, began to improve rural infrastructure with the opening of new roads, building bridges, and developing irrigation. In addition, the status of farm roads, village roads, sub-district road were improved.
Within 4 to 5 years, between 2006-2010, additional roads connecting the villages to the city increased by 30 percent. With funds of around Rp647 billion, the following was achieved: 300 kilometers of new roads, 600 kilometers of hardened roads, 250 kilometers of asphalted roads, 97 bridges with a span of 5 to 25 kilometers, 65 kilometers of drainage, and 50 kilometers of concrete roads.
Activating Village-Owned Enterprises
In Bantaeng, the Village Owned-Enterprises (BUMDes) program is inseparable from the vision of this district –self-contained village based-development. This vision is expected to strengthen the rural economy because strong villages will help create reliable sub-district and even stronger district.
The area, also known for its strawberry and apple farm, is the only district in South Sulawesi where all the villages have BUMDes. There are 46 villages where the main business of the respective BUMDes is tailored to the potential and needs of the village.
For example, one village had economic potential in the woodworking sector, so the BUMDes was established for carpentry while still allowing work on the economic potential of other villages. In conducting core business, the BUMDes have strong links with related Regional Work Units (SKPD); if the main business activities are agriculture related, such as the means of production, then business stationery services, photocopy services, carpentry, and so forth.
The BUMDes program implemented by the Agency for Community Empowerment and Village Governance (BPMPD) Bantaeng went through three phases. First, the facilitation of the establishment of BUMDes in 46 villages in 2008. Second, strengthening the management capacity of all BUMDes in 2009. This phase included assistance to managers and management training, preparation of organizational tools (budgets, charters, etc), preparation of budget plans, and preparation of Standard Operating Procedures (SOP). The third phase focused on strenthening venture capital in the form oo grant aid for the operational budgets of each BUMDes. This stage was conducted in early 2010 and BUMDes each received Rp100 million.
A year after getting the stimulant funds the BUMDes have been operating normally. BUMDes serve the needs of people in the village so that they do not have to waste money on transport to town to shop. As a result, daily transaction in BUMDes were recorded in the range of Rp200,000 to Rp1 million.
Profits from transaction going into the BUMDes are managed and used not only as additional capital and ensure that all operational costs are covered, but also by the village government for village needs. In the long-term, improvement of public facilities in the village such as village roads, village offices, and other general facilities can take advantege of the BUMDes cash.
Parcipatory Village Markets, Why Not?
The Development of Participatory Village Markets program in Luwu Utara is based on the premise that if the villagers rely on agricultural activities then they need a place to market their produce. Unfortunately, a number of villages in Luwu Utara do not have a market and people have to go to the far-away sub-district market. To go to this market the community needs not only to allocate time, but also more money for transportation costs.
Based on initiative of the people, who also had the support of local government dan villages, from 2007 to 2010, 27 village markets were developed. Village governments prepared the location and the community members worked together to provide construction materials like cement, sand, and wood.
Community involment is not only in planning and market construction but also in management and market development. Each market has managers from the community. Management is responsible for managing all activities, from the distribution of market stall to levies. The profits of the market come from a levy of Rp1.000 per day per stall. Funds also are used as the capita to build and further develop the market infrastructure.
As a result, besides the village market as a medium of trade to benefit rural communities, it also opens new jobs, increases the income of the village, and stimulates the village credit institutions (LPD). Before the village market stands, most of the people used the service of middlemen, which only further impoverish rural communities, instead of the LPD services.
[Desa-Desa yang Bertumbuh dan Bergairah:
Dahulu, paradigma pembangunan hanya menekankan pertumbuhan ekonomi. Seluruh kegiatan pembangunan hanya dipusatkan di wilayah-wilayah yang dianggap potensial mendukung pertumbuhan. Akibatnya terjadi disparitas regional dalam hal kemajuan.
Kekeliruan paradigma lama itu pula yang menyebabkan lahirnya paradigma baru; yakni paradigma pembangunan yang menyeimbangkan aspek-aspek pertumbuhan (eficiency), keberlanjutan (sustainability), dan pemerataan (equity).
Apa keuntungan mendasar dari perubahan paradigma tersebut? Pertama, polarisasi spasial, misalnya antara kota dan desa, dapat dikurangi. Kedua, alokasi sumber daya-sumber daya juga bisa lebih merata. Ketiga, pembangunan yang mulai menyasar desa berdampak tumbuhnya perekonomian desa yang serta-merta menciptakan lapangan kerja dan menekan laju urbanisasi.
Pembangunan yang menimbang aspek pemerataan di Sulawesi Selatan antara lain dapat dilihat dari pengalaman, terobosan, dan good practices di Luwu Timur (Desa Mengepung Kota), Bantaeng (Badan Usaha Milik Desa-BUMDes), dan Luwu Utara (Pembangunan Pasar Desa Partisipatif).
Program “Desa Mengepung Kota” di Luwu Timur menempatkan desa sebagai starting point pembangunan. Alasannya, kota dengan sendirinya akan berkembang jika seluruh desa yang mengelilinginya maju.
Implementasi program di mulai awal 2006. Pemerintah Daerah (Pemda) Luwu Timur, melalui Dinas Pekerjaan Umum, mulai menata infrastruktur desa dengan pembukaan jalan baru, pembangunan jembatan, dan irigasi. Selain itu, status jalan tani, jalan desa, dan jalan kecamatan ditingkatkan.
Dalam kurun waktu 4-5 tahun, yakni antara 2006-2010, penambahan jalan yang menghubungkan desa ke kota meningkat 30 persen. Menghabiskan anggaran kurang lebih Rp647 miliar, jalan-jalan yang berhasil dibangun antara lain; jalan baru/perintisan 300 kilometer, jalan dengan status pengerasan 600 kilometer, pengaspalan jalan 250 kilometer, pembangunan jembatan dengan bentangan 5-25 kilometer sebanyak 97 buah, pembangunan drainase dan jalan beton masing-masing sepanjang 65 kilometer dan 50 kilometer.
Bagaimana masyarakat diuntungkan dari program ini? Manfaat langsung yang dirasakan masyarakat adalah kemudahan menyalurkan hasil-hasil pertaniannya. Selain itu, jalan-jalan menuju pelosok desa yang sudah mulus dan beraspal membuat angkutan umum mulai membuka rute hingga ke desa. Di Kecamatan Towuti, contohnya, terdapat satu desa berjarak 30 kilometer dari ibu kota kecamatan. Sebelum angkutan umum beroperasi, masyarakat membayar ojek Rp350 ribu untuk sekali jalan ke kota kecamatan. Sekarang, ongkos ojek hanya Rp75 ribu dan ongkos mobil angkutan umum Rp15 ribu.
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
Di Bantaeng, program “Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)” tidak terlepas dari visi pembangunan kabupaten ini yaitu pembangunan yang berbasis desa mandiri. Visi yang diharapkan memperkuat ekonomi desa karena dari desa yang kuat akan terbangun kecamatan yang andal dan kecamatan yang andal akan membentuk kabupaten yang tangguh.
Daerah yang juga dikenal dengan perkebunan stroberi dan apel ini merupakan satu-satunya kabupaten di Sulawesi Selatan yang seluruh desanya memiliki BUMDes. Terdapat 46 desa di mana core business BUMDes disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan desa.
Misalnya, satu desa yang potensi ekonominya sektor pertukangan maka BUMDes diarahkan untuk bergerak di sektor pertukangan meskipun tetap memungkinkan menggarap potensi ekonomi desa lainnya. Dalam menjalankan core business, BUMDes memiliki channeling dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait. Artinya, bila kegiatan bisnis utamanya sektor pertanian, misalnya saprodi, maka koordinasinya dengan Dinas Pertanian.
BUMDes mengelola beragam jenis kegiatan usaha diantaranya: grosir barang campuran, perdagangan hasil bumi, toko serba ada (toserba), pengadaan saprodi, bantuan modal usaha pedagang kecil, jasa rekening listrik, pengelolaan air minum, penggemukan sapi, usaha simpan pinjam, usaha layanan ATK, jasa fotokopi, pertukangan, dan lain sebagainya.
Pembentukan BUMDes oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Bantaeng melalui tiga fase. Pertama, tahap fasilitasi pendirian BUMDes di 46 desa pada tahun 2008. Kedua, tahap penguatan kapasitas pengelolaan BUMDes pada 2009. Fase ini meliputi pendampingan terhadap pengelola dan pelatihan manajemen, persiapan piranti organisasi (Anggaran Dasar-AD/Anggaran Rumah Tangga-ART, akta organisasi), persiapan rencana penggunaan anggaran hingga penyusunan Standard Operasional Prosedur (SOP). Lalu, fase ketiga adalah penguatan modal usaha berupa penyaluran bantuan hibah untuk anggaran operasional BUMDes. Tahap ini dilakukan pada awal 2010 dan masing-masing BUMDes menerima Rp100 juta.
Setahun setelah mendapatkan dana stimulan sebagian besar BUMDes telah beroperasi normal. Melayani kebutuhan masyarakat di desa sehingga masyarakat tidak perlu membuang biaya transportasi ke kota untuk berbelanja karena sebagian besar kebutuhnya bisa dipenuhi di BUMDes. Alhasil, transaksi harian di BUMDes tercatat pada kisaran Rp200 ribu-Rp1 juta.
Keuntungan dari transaksi yang masuk ke dalam kas BUMDes dikelola dan dipergunakan bukan hanya sebagai tambahan modal dan menjamin seluruh biaya operasional, tetapi juga dipergunakan oleh pemerintah desa untuk keperluan desa. Dalam perencanaan jangka panjang, anggaran perbaikan fasilitas umum di desa seperti jalan desa, kantor desa, dan fasilitas umumnya lainnya dapat memanfaatkan kas BUMDes.
Pasar Desa Berbasis Partisipasi, Kenapa Tidak?
“Pembangunan Pasar Desa Partisipatif” di Luwu Utara didasarkan pada pemikiran bahwa jika masyarakat desa bertumpu pada kegiatan pertanian maka tentunya mereka membutuhkan tempat memasarkan hasil pertaniannya. Sayangnya, sejumlah desa di Luwu Utara tidak memiliki pasar sehingga masyarakat mesti ke pasar kecamatan yang letaknya jauh. Ke pasar kecamatan bagi masyarakat desa bukan hanya perlu menyiapkan waktu tetapi juga mengeluarkan uang lebih untuk ongkos transportasi.
Atas inisiatif masyarakat yang mendapat dukungan pemerintah daerah dan desa, sejak 2007 hingga 2010 telah dibangun kurang lebih 27 pasar desa. Pemerintah desa yang menyiapkan lokasi dan masyarakat yang bahu-membahu menyiapkan bahan-bahan material seperti semen, pasir, dan kayu.
Keterlibatan masyarakat bukan hanya pada perencanaan dan pembangunan pasar melainkan juga pada pengelolaan serta pengembangan pasar. Setiap pasar membentuk struktur pengelola yang berasal dari masyarakat. Pengelola ini bertugas mengatur seluruh kegiatan pasar dari pembagian los hingga retribusi pasar. Keuntungan dari pasar yang bersumber dari retribusi sebesar Rp1000 per hari per los dihimpun sebagai kas pasar. Dana dari kas itu pula yang menjadi modal membangun dan mengembangkan infrastruktur pasar.
Alhasil, kehadiran pasar desa selain memberi manfaat sebagai media bertransaksi masyarakat desa, juga berdampak terhadap terbukanya lapangan pekerjaan, meningkatnya pendapatan asli desa, dan bergairahnya lembaga perkreditan desa (LPD). Tentang LPD ini, sebelum pasar desa berdiri sebagian besar masyarakat menggunakan jasa para tengkulak yang notabene hanya semakin memiskinkan masyarakat desa.]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment