sumber: www.tempo.co |
Amira, si sulung yang
kini duduk di kelas IV, bercerita satu kegiatan di kelasnya sepekan yang lalu.
Katanya, guru pendamping mengajak siswa-siswi menonton siaran langsung
sepakbola di dalam kelas. Menonton ajang sepakbola putaran final Women World
Cup 2015 yang saat ini dihelat di Kanada. Satu alasan utama nonton bareng
(nobar) tersebut adalah memberikan dukungan kepada Matildas, sebutan tim
sepakbola wanita Australia, yang saat itu tengah bermain di fase grup.
Di dalam kelas yang
telah dilengkapi tv berukuran besar, sekira 32 inchi, siswa-siswi larut dalam kegembiraan layaknya
menonton sepakbola di rumah masing-masing. Ada sorak yang bergema sebagaimana
menonton langsung di stadion. Tidak semua siswa-siswi bergabung dalam keriuhan
bola, sebagian memilih aktivitas lainnya seperti membaca buku.
Cerita Amira tentang
aktivitas di kelasnya di atas adalah cerita baru buat saya. Seumur-umur saya
belum pernah merasakan nobar bola di kelas. Guru pula yang mengajak! Saya hanya
mengingat tahun-tahun medio 1980-an ketika Mike Tyson sedang galak-galaknya. Si
Leher Beton yang dinanti para penggemar tinju setiap naik ring memunculkan
banyak kisah menarik. Satu diantaranya adalah pengalaman saya dan teman-teman
sekelas.
Kebetulan jam tayang
langsung laga Mike Tyson sekitar pukul 9 atau 10 pagi di hari sekolah. Alhasil,
pada jam-jam tersebut hampir setengah dari isi kelas menghilang. Mereka
menyelinap di rumah-rumah terdekat dari sekolah menunggui si Badak menyeruduk
lawannya dalam hitungan 1-2 ronde. Begitu terus yang berulang setiap Tyson naik
ring pada jam sekolah. Kenapa masyarakat, dari dewasa hingga anak-anak, begitu
menggilai tinju dan, tentu saja, Tyson? Kemungkinan karena pada saat yang sama
petinju andalan Indonesia, Ellyas Pical, juga sedang galak-galaknya.
Kembali ke kelas Amira dan masih soal sepakbola. Pada perhelatan sepakbola terakbar sejagad, World Cup 2014, di Brazil, Amira dan kawan-kawannya berpartisipasi dalam lingkup kelas. Guru mereka membagi para siswa-siswi berdasarkan negara peserta. Ada yang mendapat Perancis, Argentina, Brazil, Inggris, Italia, Australia, dan Jepang. Pokoknya mereka semua menjadi pendukung jarak jauh negara-negara tersebut. Amira sendiri mendapatkan Jerman.
sumber: smpn175jakarta.sch.id |
Kembali ke kelas Amira dan masih soal sepakbola. Pada perhelatan sepakbola terakbar sejagad, World Cup 2014, di Brazil, Amira dan kawan-kawannya berpartisipasi dalam lingkup kelas. Guru mereka membagi para siswa-siswi berdasarkan negara peserta. Ada yang mendapat Perancis, Argentina, Brazil, Inggris, Italia, Australia, dan Jepang. Pokoknya mereka semua menjadi pendukung jarak jauh negara-negara tersebut. Amira sendiri mendapatkan Jerman.
Awalnya saya menduga dijadikannya
ajang World Cup 2014 sebagai satu bagian dalam aktivitas belajar mengajar di
kelas karena negara Australia ikut bertanding. Tetapi, ternyata, ada tujuan
lain yang tersamarkan. Apa itu? Siswa-siswi, terutama siswi, mulai mengenali
olahraga yang mulanya lebih popular untuk kalangan laki-laki. Yaa….pengenalan
hal-hal remeh misalnya jumlah pemain setiap tim yang bermain, keberadaan wasit,
dan nilai skor.
Di luar dari manfaat
pengenalan sepakbola, siswa-siswi secara tidak langsung belajar geografi.
Sesampai di rumah Amira mulai bertanya, negara Brazil, sang tuan rumah, itu di
mana? Mulailah dia mencari informasi di internet tentang negara Brazil dari
letak benua hingga ibukota dari negara penghasil pemain-pemain bola dunia
itu.
Oleh guru mereka,
siswa-siswi diberikan tugas untuk mencari bendera masing-masing negara yang
didukungnya. Mereka yang mendapatkan
negara Meksiko menggambar bendera Meksiko, yang Belgia menggambar bendera
Jepang, dan seterusnya. Meski hanya ditugasi oleh guru mencari informasi dan
menggambar bendera negara yang mereka dukung, para siswa-siswi juga secara
tidak langsung mencari informasi lainnya dari negara-negara tersebut.
Amira, misalnya, tidak
hanya berkutat pada hitam-merah-kuning (warna bendera Jerman) tetapi juga
mencari informasi lainnya tentang Jerman. Ibukota Jerman, jumlah penduduknya, bahasa
yang digunakannya, hingga data demografi lainnya seperti agama-agama yang
dianut oleh masyarakat Jerman.
Tidak puas dengan
hanya menggali negara Jerman, Amira juga sangat antusias mencari tahu ke-31
negara lainnya peserta putaran final World Cup 2014 tersebut (saya duga
kawan-kawannya sekelasnya pun demikian tidak berhenti hanya menggali informasi
tentang negara dukungan mereka). Dia juga mendapatkan informasi tambahan
beberapa negara yang penamaannya agak berbeda jika menggunakan Bahasa Indonesia.
Misalnya beberapa negara yang dalam versi Bahasa Inggris berbeda jauh ketika
menyebutnya dalam Bahasa Indonesia. Misalnya Pantai Gading yang ternyata Ivory
Coast, Belanda adalah Netherlands, Yunani ternyata Greece, dan Amerika Serikat
itu USA.
Bagi saya, yang terpikir kemudian adalah begitu menyenangkannya belajar banyak hal dengan cara yang menyenangkan pula. Dari nobar sepakbola di kelas yang dikemas sebagai bagian belajar-mengajar beragam informasi bisa dihantarkan kepada siswa-siswi.
Semoga kelak dalam kelas
di sekolah-sekolah kita di Indonesia juga dapat mengagendakan nobar bulutangkis
misalnya. Siswa-siswi diajak menyaksikan para pebulutangkis Indonesia berlaga
di Badminton World Cup, All England, Thomas dan Uber Cup, Piala Sudirman, atau
pun diajang-ajang regional seperti Sea Games dan Asian Games.
Brunswick, 24 Juni 2015
1 comment:
Aamiin ...
Post a Comment