Foto: Ahmad Syam |
Saya bergegas turun dari bus rute Canberra City Centre-National Museum of Australia begitu bus berhenti. Halte bus berada persis di depan museum. Apakah ini sungguh museum? Menurutku, eksteriornya lebih menyerupai sebuah mal atau pun wahana permainan. Tapi ini ini sungguh museum karena di semenanjung Danau Burley Griffin, Canberra, ini hanya terdapat satu bangunan yakni museum.
Perpaduan merah, kuning, dan hitam begitu cemerlang di bawah terang sinar matahari. Warna-warna yang telah lama bersenyawa karena merupakan warna bendera suku Aborigin tersebut membawa khayalan saya pada tren warna mal dan pusat perbelanjaan. Sedangkan sebuah rangkaian jalur menjulang tinggi yang menyerupai roller-coaster mengingatkan saya pada sebuah wahana permainan.
Museum karya arsitek Howard Raggat dan mulai dibuka pada 2001 ini menggunakan banyak elemen dan bentuk yang terlihat saling tumpang-tindih. Bentuk dan tekstur bagian-bagian bangunan unik dan tidak bisa ditafsirkan dengan baik. Menurut beberapa sumber, arsitektur museum bertema puzzle ini adalah gambaran sejarah yang membentuk Australia, sejarah dengan banyak cerita dan kisah.
Saya tidak langsung masuk ke dalam museum tetapi tertarik melihat sebuah lubang besar, ya… seolah-olah sebuah lubang besar jika dilihat dari jauh. Sebenarnya itu bukan lubang melainkan Garden of Australia Dream. Jika dilihat dari atas, Garden of Australia Dream adalah sebuah hamparan yang dipola menyerupai pulau dan tempat-tempat di Australia. Pulau dan tempat-tempat tersebut sebagian terpisah oleh air.
Foto: Ahmad Syam |
Dreamtime...(Foto: Ahmad Syam) |
Masih tentang eksterior museum, selain pada view Garden of Australia Dream saya juga tertarik pada huruf-huruf braile yang tertulis di beberapa bagian dinding museum. Saya bertanya pada staf museum tentang huruf-huruf braille tersebut apakah sebatas dekoratif dinding atau ada makna lain. Staf menjelaskan bahwa huruf-huruf braille tersebut adalah kata-kata terkait sejarah Australia; tentang hubungan antara para pendatang dari Eropa dengan penduduk asli, suku Aborigin.
Di beberapa bagian dinding, urai staf tersebut, ada tulisan braille yang berarti “God knows”. Juga ada tulisan yang artinya “mate”. Pada sisi dinding lainnya terdapat tulisan yang dianggap paling kontroversi karena artinya “forgive us our genocide” dan juga kata “sorry”. Dua pesan dalam huruf braille terakhir terebut paling mendapatkan perhatian sehingga atas kebijakan manajemen museum sebagian ditutupi dengan plat mirip disc agar tidak begitu terlihat.
Pesan-pesan yang hadir melalui huruf braille, khususnya yang menekankan pada pesan “sorry”, adalah pesan yang ditujukan kepada pemerintah. Sejak lama sebagian masyarakat Australia meminta pihak pemerintah meminta maaf secara resmi atas perlakuan pemerintah di masa lalu. Perlakuan buruk terhadap suku Aborigin terutama pada saat penguasa mengambil dan memisahkan anak-anak suku Aborigin dari orang tuanya. Kejadian yang dikenal sebagai ‘stolen generations’ ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama, dari 1800-an hingga pertengahan 1960-an.
Kalimat dalam huruf braille ditutupi disc (Foto: Ahmad Syam) |
Sorry in Braille (Foto: Ahmad Syam) |
Anak-anak itu, berdasarkan kesaksian dari para ‘stolen generations‘ ini, menderita karena seperti berada dalam kamp-kamp konsentrasi meski labelnya adalah sekolah khusus bagi anak-anak Aborigin. Mereka menderita bukan hanya karena dipisahkan secara paksa dari orangtua mereka tetapi juga menderita akibat mengalami disorientasi setelah terpisah dari komunitas mereka, terpisah dari budaya mereka.
Gelombang tuntutan terutama dari komunitas orang-orang Aborigin supaya pemerintah Australia mengakui kesalahan masa lalu dan meminta maaf kepada suku Aborigin semakin tahun semakin menguat. Puncaknya pada 28 Mei 1998 ketika lebih dari 250 ribu orang ikut berpartisipai dalam long-march di Sydney mendukung suku Aborigin terkait ‘stolen generations’. Parade di 1998 tersebut yang menjadi cikal bakal ‘Sorry Day’ yang sekarang menjadi event tahunan.
Orang-orang yang mendukung suku Aborigin atas kasus ‘stolen generations’ dan yang turut berparade 1998 silam harus menunggu 10 tahun untuk suatu kabar gembira. Pada 13 Februari 2008, di hadapan parlemen Australia, Kevin Rudd, Perdana Menteri Australia saat itu, menyampaikan ‘sorry speech’ sebagai permintaan maaf resmi dari pemerintah. Ribuan orang Australia menyimak pidato tersebut yang disiarkan langsung sejumlah televisi dan radio. Mereka mendengarkan dan menonton di tempat-tempat terbuka dan tempat kerja masing-masing. Satu baris kutipan pidato Rudd: …for the pain, suffering and hurt of these stolen generations, their descendants and for their families left behind, we say sorry. Dan, rasa haru membuncah di dada. Air mata tidak tertahan lagi. Ribuan orang yang berkumpul di lapangan terbuka menyaksikan pidato penting itu terisak.
Sebagai catatan tambahan, negara lain yang meminta maaf atas hubungan suram di masa lalu dengan penduduk asli adalah New Zealand dan Kanada. Pemerintah New Zealand telah meminta maaf pada suku Maori, demikian pula pemerintah Kanada meminta maaf pada suku Indian.
Puas melihat-lihat bagian luar museum, saya melangkahkan kaki menuju pintu masuk utama. Customer service, seorang gadis muda, berseragam hitam cerah menyambut saya dengan sangat ramah. Menyapa dan menyilahkan saya menaruh tas di tempat penitipan barang. Seorang staf lainnya mendatangi saya dan memberikan peta museum. “Bolehkah saya mengambil foto di dalam museum?” tanyaku. “Oh ya, tentu saja boleh kecuali di bagian Focus Gallery!” jelasnya.
Ruang pameran, restauran, dan kafe adalah pendukung utama museum yang terletak di lantai satu. Saya berkeliling melihat elemen-elemen sejarah yang membentuk Australia. Dari kehidupan suku Aborigin sebelum kedatangan bangsa Eropa, gelombang migrasi Asia (China, India, Iran, Libanon) ke Australia, serta masa di mana terjadi hubungan dagang antara nelayan Makassar dengan suku Aborigin pada awal abad ke-16.
Perahu nelayan Makassar (Foto: Ahmad Syam) |
Dari bagian samping ruang koleksi terdapat pintu keluar menuju Garden of Australia Dream. Taman ini menyajikan landscape yang sangat kaya akan kehidupan Australia. Peta yang terhampar di atas kolam air terdiri atas dua bagian, satu melambangkan tanah yang secara tradisional milik suku Aborigin, peta lainnya menjelaskan peta standar yang digunakan Australia. Air kolam yang jernih sangat menggoda untuk turun bermain air, tetapi ada peringatan tertulis agar tidak turun ke kolam.
Setelah berkeliling di seluruh bagian museum, saya pun bersiap pulang. Tetapi sekali lagi saya memandangi dengan seksama tekstur bangunan museum yang seperti tanpa pola namun indah. Sekali lagi menoleh pada huruf-huruf braille yang menyimpan banyak pesan dari masa lalu. Pesan tentang ‘sorry’ yang akan tetap abadi….
-2013-
No comments:
Post a Comment