Langit di atas Benteng Ujungpandang, atau yang lebih terkenal dengan nama Fort Rotterdam, sangat biru. Saya berdiri di atas tembok dinding, tepatnya dinding yang membentuk bagian kepala penyu. Ya, kerangka bangunan benteng memang menyerupai penyu yang sedang merangkak turun ke laut Makassar. Karena menyerupai penyu itulah sehingga masyarakat lokal juga menyebut benteng ini dengan Benteng Panyyua (panyyu adalah penyu dalam Bahasa Makassar).
Dari atas tembok yang tingginya kurang lebih tujuh meter dan berdiameter satu-dua meter tersebut, saya dapat leluasa memandang biru laut di Barat mata angin. Sesekali angin laut membasuh muka saya dengan lembut. Saya kemudian memutar badan 180 derajat ke Timur mata angin. Kali ini saya bisa melihat seluruh area bagian dalam benteng. Bangunan-bangunan berarsitektur Belanda membawa pikiran seolah-olah sedang berada di Eropa. Taman yang tertata apik. Rumput hijaunya yang menyegarkan dan warna-warni kembang laksana karpet surga yang dihamparkan.
Di beberapa bagian, tumbuh dengan riangnya pohon-pohon Lontar, pohon yang menjadi salah satu identitas budaya di Sulawesi Selatan. Manajemen benteng baru saja merombak taman dan menambahkan beberapa pohon Lontar. Meski tinggi pohon Lontar saat ini baru sekitar tiga-empat meter, tetapi saya sudah dapat membayangkan betapa angkuhnya kelak pohon tersebut berdampingan dengan bangunan-bangunan berarsitektur Eropa.
Sejumlah pengunjung nampak begitu menikmati suasana benteng. Berjalan-jalan mengitari taman. Berfoto bersama. Sebagian pengunjung terlihat memesan tiket masuk di Museum La Galigo, museum yang mengoleksi kurang lebih 4.913 artefak-artefak saksi sejarah Sulawesi Selatan. Sebagian lainnya melihat-lihat ruangan bekas penjara Pangeran Diponegoro.
Trik Promosi dan Lestarikan Rotterdam
Tahun lalu saya kembali mengunjungi Rotterdam. Jika sebelumnya saya lebih sering ke Rotterdam sendirian, kali ini saya mengajak beberapa orang keluarga. Nah, dari sinilah saya tahu bahwa datang sendirian dan berombongan mendapatkan perlakuan berbeda. Sebelumnya, jika saya datang sendiri penjaga gerbang cuek saja dan saya bebas melenggang masuk benteng. Sekarang saya datang bersama rombongan keluarga oleh petugas langsung diarahkan ke pos penjagaan yang berada di sebelah kiri gerbang masuk.
Sebagai wakil rombongan saya mengisi buku kunjungan dan menuliskan jumlah rombongan. Staf di pos jaga lalu meminta biaya tiket masuk yang katanya untuk biaya perawatan benteng. Terus terang awalnya saya agak terkejut karena bertahun-tahun tinggal di Makassar dan berulangkali keluar masuk benteng baru kali ini saya dimintai tiket masuk. Saya lalu bertanya berapa tarifnya per orang. Staf tersebut tidak menyebut tarif pasti malah dia mengatakan ‘seikhlasnya’ saja. Tarif sukarela untuk biaya pemeliharaan, tambahnya. Saya lalu meyodorkan lembaran Rp20.000. Apakah uang tersebut nantinya benar-benar masuk di kas pemeliharaan benteng? Saya tidak tahu karena tidak ada resi sebagai bukti pembayaran.
Saya menilai ada beberapa persoalan serius terkait tarif tiket masuk benteng yang ‘seikhlasnya’ dengan upaya memelihara dan melestarikan aset pariwisata yang bersejarah ini. Persoalan-persoalan tersebut, serta bagaimana solusinya, saya jelaskan dalam beberapa poin di bawah ini.
Pertama. Saya sangat setuju bila dikenakan tarif untuk masuk ke area benteng. Menggratiskan masuk ke lokasi bersejarah kadang bukan cara yang baik membantu dan mendidik masyarakat mengenal sejarah. Dengan membayar tiket setidaknya secara psikologis masyarakat tidak menggampangkan benteng. Selain itu, benteng yang berusia kurang lebih 468 tahun ini butuh anggaran besar untuk pemeliharaan. Staf loket Museum La Galigo, Sofyan, mengatakan, untuk pengecatan bangunan setiap tahun saja biayanya besar. Pengecatan harus dilakukan setiap tahun untuk menjaga kualitas dinding dan kerusakan dinding akibat jamur dan lumut. Berapa pendapatan benteng dalam setahun dari kunjungan wisatawan? Sofyan mengira-ngira sekitar Rp50 juta. Saya kira pemasukan sekecil itu tidak akan cukup membiayai pemeliharaan benteng.
Penarikan tiket masuk ke benteng, dan di tempat-tempat wisata bersejarah lainnya di Indonesia, pastinya harus diatur dalam peraturan daerah (perda). Manajemen atau petugas tidak boleh menarik tarif tiket seenaknya dengan tarif ‘sukarela’ atau ‘seikhlasnya’. Setiap penarikan tarif harus memiliki kepastian besaran yang ditetapkan berdasarkan perda dan para petugas menyiapkan dan memberikan tanda bukti dari setiap transaksi pembayaran kepada pengunjung.
Tentu saja, tarif yang diberlakukan sesuai dengan rata-rata kemampuan masyarakat. Bagaimana pun area benteng harus tetap bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Area benteng tidak boleh menjadi area eksklusif bagi kalangan tertentu saja hanya karena tarif masuk terlalu mahal. Penetapan tarif masuk yang resmi hanya untuk menambah biaya pemeliharaan.
Kedua. Pasti akan banyak reaksi dan protes dari masyarakat terkait pengenaan tiket masuk ke Rotterdam. Masyarakat pada umumnya senang yang gratis dan selama bertahun-tahun sudah terbiasa keluar-masuk benteng tanpa membayar. Nah, menurut saya sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian benteng yang perlu terus digenjot. Brosur dan buku panduan yang menginformasikan kepada masyarakat tentang sejarah benteng, benda-benda berharga dalam benteng, serta pentingnya partisipasi masyarakat melestarikan benteng dengan membayar tiket masuk masih kurang.
Terus terang, biaya tiket untuk masuk ke Museum La Galigo yang besarnya Rp3000 untuk dewasa dan Rp2000 untuk anak-anak terlalu kecil untuk membantu biaya perawatan benda-benda sejarah dalam museum. Menurut saya, harus ada rasionalisasi tarif tiket. Kekhawatiran jumlah pengunjung akan berkurang jika tarif tiket dinaikkan memang satu alasan. Tetapi seharusnya alasan ini tidak boleh terus-menerus dijadikan argumentasi tanpa melakukan upaya-upaya promosi yang lebih “provokatif” dan kreatif.
Ketiga. Bagaimana promosi benteng yang lebih “provokatif” dan kreatif? Saya pernah jalan-jalan ke satu kota tua di negara bagian Victoria, Australia, yakni Kota Ballarat, tepatnya di Sovereign Hill. Dahulu ini Sovereign Hill adalah kota tambang terbesar di Australia yang mulai dibuka pada 1851. Hingga saat ini Sovereign Hill masih seperti bentuk aslinya. Arsitektur bangunan dipertahankan. Saksi sejarah pertambangan terbesar masih bisa disaksikan. Nah, yang menarik karena untuk mengundang minat para wisatawan berkunjung, suasana kehidupan sehari-hari di Sovereign Hill dikreasi sebagaimana layaknya kehidupan di tahun 1800-an. Staf perempuan berpakaian baju kurung dan yang pria berpakaian ala koboi. Di jalan-jalan Sovereign Hill sesekali melintas kereta kuda, persis kereta kuda Michael ‘Charles’ Landon dalam serial film ‘Little House on The Prairie.
Kreativitas di Soverign Hill di atas bisa direplikasi di Rotterdam. Suasana dalam benteng bisa dibawa ke suasana ketika Belanda menduduki Rotterdam. Para petugas laki-laki berpakaian seragam khas tentara Belanda lengkap dengan senjatanya. Petugas perempuan pun bisa meniru dandanan para perempuan Eropa tempo dulu (seperti berbaju kurung). Sesekali ada petugas yang berjalan di dalam area benteng sambil menunggang kuda, atau sambil mendorong alat pelontar bom. Pagi dan sore hari ada apel siaga khas upacara tentara Belanda masa itu. Akankah Belanda kembali “menduduki” Rotterdam? Kita tunggu inisiatif promosi seperti ini untuk menghidupkan suasana benteng.
Untuk membuat variasi program, di lain hari suasana benteng dikembalikan pada suasana masa-masa Kerajaan Gowa. para petugas laki-laki berpakaian adat Makassar, memakai songkok patonro’ dan badik terselip di pinggang. Petugas perempuan berbaju bodo’ (baju tradisional di Makassar) dengan lipa’ sa’be (sarung bercorak garis-garis cantik dari bahan sutera). Saya kira upaya-upaya promosi ini dapat menarik minat wisatawan berkunjung ke Rotterdam. Inilah satu cara melestarikan aset bersejarah ini sekaligus menghidupkan suasana dalam benteng, dan pastinya mendapatkan pemasukan untuk biaya pemeliharaan.
Keempat. Menurut saya, Rotterdam memerlukan penambahan nilai ekonomi dengan menyulap beberapa bagian benteng menjadi tempat yang menghasilkan pendapatan. Tentu penambahan fungsi ekonomi tersebut dengan tidak mengubah dan membongkar bangunan tua. Barangkali tidak harus seperti cara pemerintah Perancis mengubah bangunan tua dan bersejarah Abattoirs de la Mouche alias rumah pemotongan hewan (RPH) Mouche menjadi gedung konser. Atau, tidak harus meniru kebijakan Turki yang menyulap bangunan penjara tua yang bersejarah menjadi hotel cantik dengan mempertahankan bangunan yang bergaya neoklasik itu.
Rotterdam tidak harus diubah menjadi hotel atau losmen, sebagaimana yang pernah diwacanakan pemerintah daerah (pemda) setempat. Rotterdam hanya perlu ditambahkan fasilitas kafe yang representatif bagi semua kalangan pengunjung, baik domestik maupun mancanegara. Kafe yang bisa menjadi tempat beristirahat dan bersantai para pengunjung setelah berkeliling benteng.
Saya berpandangan penambahan beberapa fungsi ekonomi akan menjadikan Rotterdam tidak sekadar bangunan tua yang “beku”. Fungsi ekonomi ini selain menjadi daya tarik pengunjung juga menjadi salah satu pintu masuk pendapatan yang nantinya digunakan lagi untuk biaya pemeliharaan bangunan.
Hal lainnya, keberadaan kafe juga dapat mengurangi limbah-limbah sampah di dalam area benteng. Bagaimana caranya? Bukankah kehadiran kafe justru akan mengundang sampah? Selama ini pengunjung bebas membawa minuman kemasan dan makanan ke dalam area benteng. Meski tersedia tempat sampah di sejumlah titik benteng, tetap saja ada pengunjung yang membuang sampahnya sembarangan. Nah, pihak pengelola sebenarnya bisa saja melarang pengunjung membawa minuman kemasan dan makanan ke dalam area benteng dengan tujuan mengurangi dampak kerusakan bangunan akibat limbah sampah. Pada saat yang sama pengelola dapat menawarkan layanan kafe bagi pengunjung yang ingin menikmati minuman atau makanan sembari menikmati suasana benteng. Adapun sampah-sampah kafe dikelola dengan baik sehingga tidak mencemari area benteng.
Sekilas Sejarah Rotterdam
Benteng Ujungpandang dibangun oleh Raja ke-9 Kerajaan Gowa, Daeng Matanre Karaeng Tumaparisi Kallonna. Benteng diperluas oleh raja ke-10 I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng pada 1545. Takluknya Gowa pada Belanda di bawah pimpinan Cornelis Speelman pada 18 November 1667 merubah banyak sejarah benteng ini. Bangunan asli dari kayu berasitektur rumah tradisional Makassar diubah oleh Belanda. Namanya pun akhirnya diubah menjadi Fort Rotterdam.
Rotterdam memiliki luas 21.253 meter persegi. Bangunan ini dari atas terlihat unik karena meyerupai penyu yang merangkak turun ke laut. Penyu adalah salah satu simbol kehidupan suku Makassar, bahwa orang-orang Makassar seperti halnya penyu dapat hidup baik di darat maupun di laut.
Masing-masing bagian dari penyu tersebut memiliki nama. Bastion Bone di bagian Barat adalah kepala penyu, Bastion Bacan di sudut Barat Daya adalah kaki kiri depan (Bastion Bacan ini juga adalah tempat Pangerang Diponegoro dipenjara), Bastion Buton di sudut Barat Laut adalah kaki kanan depan, Bastion Mandarsyah di Timur Laut adalah kaki kanan belakang, sedangkan Bastion Ambiona di Tenggara adalah kaki kiri belakang. Dari kelima bastion ini, semuanya masih utuh kecuali Bastion Bone (kepala penyu) yang sudah rusak parah karena dibom di hari yang sama ketika bom nuklir dijatuhkan di Hiroshima, Jepang.
Sebagai bangunan tua peninggalan abad ke-16, Rotterdam tentu tidak luput dari proses pelapukan dan penghancuran fisik. Kementerian Kebudayaan dan Pariswisata bersama Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan telah melakukan beberapa renovasi dan revitalisasi. Renovasi tahun 2011 dilakukan untuk mengganti beberapa bagian benteng seperti jendela yang telah lapuk dan yang lainnya dengan biaya Rp10 miliar. Pada tahun yang sama dilakukan revitalisasi dengan anggaran Rp30 miliar yang bertujuan mengembalikan beberapa bentuk asli benteng salah satunya pembangunan kanal selebar 1,5 meter yang dapat dilayari kano.
Besarnya biaya pemeliharaan, renovasi dan revitalisasi Rotterdam yang membuat saya mengusulkan empat poin sumber pendapatan di atas. Partisipasi masyarakat dibutuhkan untuk menjaga kelestarian Rotterdam karena masyarakat sendiri yang akan menikmati kenyamanan benteng, masyarakat dari generasi ke generasi.
Catatan: Artikel ini dinyatakan sebagai pemenang ke-2 dalam Kompasiana-Kemenparekraf Blog Competition “Lestarikan Aset Wisata”
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/11/27/duh-tiket-masuk-rotterdam-seikhlasnya-613629.html
No comments:
Post a Comment