Aku duduk di ujung kursi panjang,
tepat di belakang jok sopir. Di samping aku ada bapak yang memangku si bungsu.
Setelah bapak ada adikku yang seorang lagi. Di kursi panjang lainnya, kursi
yang sebelah-menyebelah yang aku duduki, ada kedua kakak perempuanku
bersama tante. Kakak yang laki-laki duduk di jok depan bersama supir untuk
mengarahkan jalan.
Di tengah-tengah, diantara kursi panjang
tempat kami duduk, ibu terbujur di atas tandu ambulans. Nafasnya semakin
melemah. Namun, dari temaram lampu ambulans aku masih bisa melihat bibirnya
bergetar pelan mengikuti suara tante yang terus menuntunnya mengucap zikir.
Melihat ibu dengan nafas tersengal-sengal
membuat perasaanku tidak menentu. Aku berusaha menata perasaan ini tetapi tidak
bisa. Malahan perasaanku semakin tidak karuan mendengar raungan sirine.
Perasaanku semakin kacau saat mengintip dari jendela dan kulihat cahaya merah
lampu ambulans yang berpendar-pendar.
Aku mematung dengan pandangan jatuh ke
bawah. Tertuju pada kedua tanganku yang tidak lepas mengenggam doa. Aku memasung
perasaan sepanjang perjalanan 65 kilometer. Memasung pikiranku pada ibu saja;
perempuan yang telah mewujud sebagai bumi dan langit sepanjang hidupnya.
***
Ibu laksana bumi. Hamparan tanah tempat anak-anaknya menjalarkan akar-akar
untuk bertumbuh. Ladang luas yang menghasilkan banyak buah untuk nutrisi
anak-anaknya. Tempat di bawah sehingga terinjak kaki namun senantiasa
mengajarkan sikap tak rendah diri.
Di kota kami sekeluarga berpindah-pindah
dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya. Bahkan karena bapak tidak
cukup uang mengontrak rumah, selama dua tahun kami mengontrak kolong
rumah. Sebuah kolong rumah yang luasnya dua petak dan berlantai tanah. Jika
hujan turun dan selokan meluap, maka selama seharian kolong rumah tersebut
terendam air setinggi betis. Deritanya masih berlanjut setelah air surut karena
lantai tanah baru bisa benar-benar kering setelah satu minggu.
Di tengah kesulitan ekonomi yang mendera
itu, ibu tampil sebagai penyeimbang. Misalnya, karena tunjangan beras bapak
tidak mencukupi untuk delapan anggota keluarga, ibu sekali sebulan pulang ke
kampung. Kadang berhari-hari. Paling cepat seminggu. Mengolah bulir-bulir padi
yang masih menempel di tangkainya hingga menjadi beras, selain memakan waktu
lama juga menguras banyak tenaga.
Padi-padi itu terlebih dahulu dijemur di
bawah terik matahari agar bulir padi mudah terlepas dari tangkainya. Kemudian
ibu menumbuknya hingga bulir-bulir tersebut benar-benar lepas dari tangkainya.
Bulir-bulir padi tersebut lalu di bawa ke pabrik untuk memisahkan biji beras
dari kulitnya. Lalu ibu akan menapisnya guna memisahkan ampas beras. Terakhir,
ibu dengan membawa dua karung beras 20 kilogram kembali ke kota.
Terkadang ibu juga ke kampung bukan untuk
urusan beras. Meski hanya tamatan sekolah rakyat (SR), sekarang sekolah dasar
(SD), ibu sangat ingin anak-anaknya bersekolah setinggi mungkin. Kendalanya
kadang di biaya sekolah. Karenanya, ibu harus ke kampung untuk mencari
pinjaman. Bukan satu-dua kali tetapi berkali-kali ibu mondar-mandir
kota-kampung, kampung-kota. Jika tidak mendapatkan uang pinjaman, ibu akan
menggadaikan sedikit perhiasan yang dimilikinya, atau pun menggadaikan petak
sawah milik bapak-ibu untuk jangka waktu tertentu.
***
Ibu laksana langit. Atap luas yang
melindungi anak-anaknya. Angkasa yang membebaskan anak-anaknya mengembangkan
diri. Padanya ada awan yang meneduhkan dari panas matahari. Darinya air hujan dan
karunia berasal. Tempat tertinggi dan teratas namun senantiasa mengajarkan
sikap rendah hati.
Keinginan ibu yang begitu kuat turut
menggairahkan ekonomi keluarga sehingga dia memutuskan berjualan kue. Ya, ibu
ingin seperti langit yang menurunkan hujan untuk bumi. Meski aku tahu
penghasilan dari berjualan kue dalam skala kecil tidaklah besar. Apalagi ibu
harus berbagi keuntungan dengan pemilik warung tempat kue-kue ibu dititip.
Karena itu, agar pendapatan yang diperoleh lebih besar maka ibu membuat dua-tiga
jenis kue serta dititip hingga di tiga warung berbeda.
Harapan berpendapatan lebih besar tentu
berdampak langsung pada bertambahnya beban kerja. Masih sangat lekat dalam
ingatanku, walau masa-masa itu telah berlalu hampir tiga puluh tahun silam, ibu
mengurangi jatah tidur dan istirahatnya. Di malam hari sebelum berangkat tidur
bahan-bahan kue tersebut sudah diolah. Sekitar pukul 03.00 dinihari ibu sudah
bangun dan mulai mengukus kue. Biasanya, kue-kue tersebut sudah kelar dan
siap diantar ke warung-warung usai shalat shubuh.
Apakah kesibukan ibu menyangkut kue-kue
sudah selesai setelah mengantarnya ke beberapa warung? Tentu saja tidak.
Pekerjaan membuat kue adalah pekerjaan yang tidak pernah berkesudahan. Pagi
hari ibu sudah berangkat ke pasar membeli bahan-bahan kue. Tidak lupa merendam
beras untuk diolah jadi tepung beras. Demikian rutinitas keseharian ibu selama
bertahun-tahun. Tidak ada hari libur. Tidak ada tanggal merah.
Untuk meringankan pekerjaan ibu, aku
biasanya membantu menumbuk beras hingga jadi tepung beras. Aku melihat ada
kegembiraan terpancar dari matanya kala aku menawarkan diri membantunya. Terus
terang aku senang melakukan pekerjaan menumbuk beras tersebut. Tidak hanya
karena dapat meringankan pekerjaan ibu, tetapi juga menjadi satu cara buat aku
berolahraga. Meski telapak tanganku kadang lecet, tetapi aku perhatikan setelah
rutin menumpuk beras otot-otot bisep di kedua lenganku sedikit terbentuk.
Kawan-kawan sepermainan seringkali bertanya-tanya bagaimana aku memiliki otot
bisep lengan yang terbentuk. Maklum, dahulu bagi anak-anak seumuran SMP,
memiliki otot bisep lengan jadi kebanggaan. Bahkan seringkali adu pamer bisep
lengan, hehehe….Tetapi, aku tidak pernah memberitahukan mereka kalau otot
bisepku terbentuk karena menumbuk beras. Aku malu. Malu yang tidak pada
tempatnya.
Perasaan malu yang ternyata juga keliru
adalah ketika ibu memintaku mengantar kue ke warung-warung. Permintaan yang
terkadang aku sanggupi, terkadang aku tolak. Kenapa aku tidak mau? Lagi-lagi
karena aku merasa malu. Padahal, berulangkali ibu memberi nasehat, “kamu baru
perlu malu kalau mencuri!”
Jika perasaan malu sering melanda saat
disuruh mengantar kue ke warung, maka tidak demikian kala ibu meminta mengambil
kembali tempat kue di warung. Setiap petang tempat kue tersebut diambil dan aku
paling bersemangat karena berharap masih ada kue yang tidak terjual. Harapan
yang tentu saja berlawanan dengan harapan ibu. Ah, pikiran anak-anak memang
pikiran yang lebih banyak kelirunya.
Marahkah ibu melihat kegembiraan
anak-anaknya bila ada kue tersisa dari warung? Tidak. Bahkan, kue-kue tersebut
dikukusnya kembali. Kemudian dihidangkannya hangat-hangat.
***
Ibu laksana bumi, laksana langit. Bumi
menumbuhkan segala rupa tetumbuhan dan langit menyiramkan hujannya. Bumi
mengatur air sungai tetap mengalir dan langit dengan mataharinya membagikan
siang dan malam secara teratur. Bumi menyajikan pesona alam di hari cerah dan
langit menerbitkan bintang dalam gelap. Bumi-langit, tinggi-rendah,
siang-malam, lembut-kuat, bukanlah suatu kontradiksi tetapi keseimbangan
makrokosmos.
Keseimbangan yang juga dimiliki ibuku
sebagai sosok yang menumbuhkan anak-anaknya dalam kelembutan kasih sayang.
Sosok yang menafkahi anak-anaknya dengan bekerja keras. Mengajarkan sikap
merendah seperti bumi. Mendidik sikap untuk menjaga harga diri setinggi langit.
Sosok pekerja keras dan ulet sehingga siang dan malam tidak penting lagi
untuknya. Gelap dan terang dia dekap bersama-sama. Pada diri ibu ada keseimbangan
mikrokosmos.
Namun, di saat ibu tengah berjuang menjadi
bumi dan langit buat kami anak-anaknya, untuk keluarganya, ibu terpaksa
berhenti untuk takdirnya yang lain. Ibu sakit. Perutnya sedikit demi sedikit
membesar. Dokter yang mendiagnosa ibu menderita sakit maag yang telah akut.
Dokter menyampaikan penjelasan awal tetapi sangat mendasar: ibu sering
mengabaikan perutnya lapar, kosong tidak diisi makanan dalam jangka waktu lama.
Oh, apakah karena ibu terlalu larut dalam bekerja sehingga lupa makan? Apakah
ini bentuk pengorbanannya yang lain, mengurangi jatah makannya demi
anak-anaknya? Apakah karena energi yang dikeluarkan ibu saat bekerja keras
tidak sebandingkan asupan makanan yang dikonsumsinya?
Bulan demi bulan perut semakin membesar.
Sangat kontras dengan badannya yang semakin kurus. Untuk berjalan ibu harus
dipapah. Seharian dihabiskan dengan berbaring karena tidak lagi berlama-lama
duduk. Sesekali terdengar erangan kecil dari mulutnya. Kata ibu, dia kadang
tidak kuat oleh rasa nyeri di ulu hati yang kadang menyerang tiba-tiba.
Ternyata, dari keterangan dokter, penyakit
maag akut tersebut semakin hari semakin berdampak pada datangnya penyakit
lainnya. Penyakit maag akut bisa memicu penyakit yang lebih berat seperti
kanker lambung hingga hepatitis A.
Bapak akhirnya memutuskan merawatinapkan
ibu di rumah sakit, tentu setelah mendapatkan uang pinjaman dari keluarga di
kampung. Selama dua bulan di rumah sakit, kesehatan ibu membaik. Operasi yang
dilakukan berhasil mengangkat dua biji daging, semacam tumor, dari perut ibu.
Karena biaya rawat inap termasuk belanja
obat-obatan yang semakin memberatkan, bapak memutuskan membawa ibu pulang ke
rumah. Meski masih mengonsumsi obat-obat dari dokter, upaya-upaya pengobatan
tradisional juga dilakukan. Saudara-saudara ibu berinisiatif membawa ibu
menetap di rumah kakek di kampung. Inisiatif yang baik. Setidaknya akan lebih
baik buat ibu karena di kampung ada saudara-saudara ibu yang menjaga dan
merawat, juga akan lebih baik karena di kampung lebih banyak ahli pengobatan
tradisional yang bisa meramu obat-obatan.
Tiga-empat bulan ibu dirawat di rumah
tanpa sentuhan medis bukannya penyakit ibu sembuh tetapi perlahan menunjukkan
kembali pada kondisi kronis. Bapak kembali memutuskan merawat ibu di rumah
sakit. Malam sebelum ibu dibawa ke rumah sakit, aku menemani bapak ke rumah
seorang kerabat lainnya untuk meminjam uang. Berjalan kaki di malam gelap
menyusuri pematang sawah dengan penerangan lampu senter. Bapak sengaja
menggilir kerabat untuk meminjam uang karena tidak ingin meminjam uang pada
kerabat yang sama sebelum pinjaman lama lunas.
Keuangan bapak yang tidak besar dan
tingginya tarif kamar rumah sakit sehingga ibu hanya ditempatkan di ruang
perawatan kelas II. Sebuah ruangan besar yang di dalamnya terdapat sekitar 10
pasien. Kedua kakak perempuan dan seorang tante yang bergantian menjaga ibu.
Aku sendiri hanya sempat menjenguk ibu setiap pulang sekolah. Dari siang hingga
petang.
Kurang lebih satu bulan ibu berada di
ruang perawatan tersebut, hingga pada suatu senja yang tua ibu meminta kakak
memapahnya ke kamar mandi. Kata ibu, dia ingin bersih-bersih. Meluruhkan daki
di badan. Gosok gigi. Bersuci dengan air wudhu karena sebentar lagi maghrib.
Apakah itu pertanda ibu ingin membersihkan diri sebelum berangkat? Entahlah,
karena sesampai di tempat tidur dari kamar mandi itu, ibu mengeluhkan sesak
nafas tidak tertahan.
***
Ambulans melaju dalam perjalanan 65
kilometer ke kampung. Suara sirine memecah sunyi malam.Cahaya lampu berwarna
merah yang berpendar-pendar, berkelebat diantara petak-petak sawah. Tante terus
menuntun ibu berzikir. Tetapi dari temaram lampu ambulans aku melihat bibir ibu
sudah tidak bergerak lagi. Aku mendengar nafas ibu yang semakin memburu dan
tersengal-sengal. Aku merasa tubuhku beku.
Tepat memasuki batas kampung suara sirine
ambulans dan suara tuntunan zikir tante tidak terdengar lagi. Lamat yang aku
dengar tangis lirih….
Selamat Hari Ibu!
Brunswick, 22 Desember
2013
*) Ilustrasi: www.digaleri.com
No comments:
Post a Comment