Gadis kecilku datang memberitahu bahwa
ayah terbang. Sambil berlari ke arahku yang sementara menyetrika pakaian, Lila
yang bulan depan akan menginjak usia tiga tahun setengah berteriak
menyampaikan, “Ibu, ayah terbang!” Lalu aku jawab dengan tenang, “Oh ya? Wah
ayah hebat dong!” Tanpa menunggu apa yang Lila ingin sampaikan selanjutnya,
buru-buru aku memintanya kembali ke kamar, bermain bersama ayah. Lila menurut.
Dia kembali berlari ke kamar.
Hari ini adalah akhir pekan yang
menyenangkan. Tahu kenapa? Karena keluarga kecilku dapat berkumpul. Biasanya
aku hanya berduaan dengan Lila menghabiskan akhir pekan. Hari ini suamiku juga
ada di rumah. Seharusnya, berdasarkan jadwal terbang suamiku, dia tidak di
rumah untuk akhir pekan ini tetapi akhir pekan depan. Tetapi gangguan kesehatan
yang dialaminya sehingga dia meminta izin tidak masuk kantor untuk beberapa
hari. Cuti dari tugas sehari-hari sebagai seorang pilot.
Aku benar-benar sangat riang hari ini.
Riang karena kesempatan berkumpul seperti ini jarang terjadi. Apalagi setelah
suamiku mendapatkan kepercayaan menerbangkan pesawat untuk beberapa rute luar
negeri. Ke sejumlah negara di kawasan Asia, bahkan, rute ke Eropa. Mengeluhkah
aku karena sering ditinggal pergi? Karena kesepian? Ah, tentu saja tidak. Jauh
sebelum aku memutuskan untuk mengarungi bahtera rumah tangga bersamanya, aku
sudah tahu konsekuensi bersuamikan seorang pilot. Perasaan cintaku padanya
mengalahkan seluruh kekhawatiranku.
Kami berdua sudah saling mengenal sejak di
sekolah menengah. Berada dalam satu sekolah membuat pertemuan intens terjadi.
Meski tidak berada di kelas yang sama namun kami mengikuti kegiatan
ekstra-kurikuler yang sama yakni kelompok ilmiah remaja. Ya, menyenangi bidang
minat yang sama ternyata membuat kami lebih cepat menjadi akrab. Karena sering
bertemu, berdiskusi, dan berkegiatan secara bersama-sama sehingga kami perlahan
saling mengetahui pribadi masing-masing. Pada dirinya yang aku anggap sama
dengan kepribadianku adalah pantang menyerah. Namun aku juga temukan pada
dirinya yang bertolak belakang dengan karakterku. Aku cenderung kurang sabar
dan kadang terkesan terburu-buru sedangkan dia sangat tenang dan begitu
hati-hati. Aku lebih agresif sedangkan dia agak defensif, termasuk ketika di
awal-awal masa perkenalan kami. Akulah yang sangat khawatir dia jatuh ke gadis
yang lain karenanya akulah yang lebih dahulu ‘nembak’ dia atas bantuan teman
dekatnya.
Selepas di sekolah menengah aku tetap
tinggal di kota kami dan kuliah psikologi di universitas negeri. Sedangkan dia
memilih masuk di sekolah penerbangan di kota lain. Kami jadi jarang bertemu.
Tetapi pesan singkat dan berbincang lewat telepon membuat jarak kami tetap
dekat. Hingga pada akhir-akhir pendidikannya dan aku pun sudah menyandang gelar
sarjana psikologi, dia menelepon dan menyampaikan niat melamarku. Aku sangat
senang dan bahagia. Dia memang tidak seromantis para aktor di film-film ketika
melamar kekasihnya. Dia tidak menyematkan cincin di jemariku dan juga tidak
sambil berlutut. Tetapi dari getaran suaranya saat menyampaikan niat
melamarku aku tahu kekuatan dan kehebatan cinta yang dimilikinya.
Kekuatan dan kehebatan cintanya itu pula
yang membuat aku tidak merasa kesepian meski sering ditinggal untuk beberapa
hari. Lagi-lagi perbincangan melalui telepon yang membunuh seluruh rasa sepi
itu. Suaranya akan bergemuruh dari jauh dan aku tahu suaranya bergemuruh cinta.
Bukankah merelakan diri bekerja keras dan jauh dari keluarga adalah perlambang
dari rasa cinta yang besar pada keluarga?
Hanya bila aku melihat Lila mulai bosan
karena hanya bertemu saya setiap hari lalu aku menelepon mama. Aku memintanya
datang. Mama selalu memenuhi permintaanku. Kadang dia menginap dua-tiga malam.
Pada lain kesempatan aku membawa Lila ke rumah neneknya.
Tetapi hari ini suamiku ada di rumah. Aku
gembira. Lila apalagi. Jika kegembiraanku menggebu karena keluarga kecilku
menjadi utuh, maka naluri sebagai perempuan; sebagai istri dan ibu pun
bergelora. Mau tahu bagaimana aku menyalurkan rasa gembira yang menggebu dan
menggelora? Memasak dan menghidangkan makanan favorit keluarga itulah bentuk
penyalurannya. Apalagi hari ini adalah hari terakhir dari izin istirahat
suamiku. Besok senin dia akan kembali berdinas. Kembali terbang.
Subuh tadi, begitu bangun, aku sudah
bergegas ke pasar. Sebuah pasar tradisional skala kecil yang tidak jauh dari
tempat tinggal kami. Jaraknya hanya kurang lebih 500 meter. Semalam aku membuat
daftar belanjaan. Termasuk dalam catatan adalah terong. Suamiku adalah
penggemar terong yang dipanggang di atas bara api. Terong tersebut setelah
matang lalu dikeruk dagingnya. Kemudian daging terong itu disiram dengan
perasan asam Jawa. Karena suamiku menyukai yang pedas, dia biasanya menambahkan
dua-tiga cabe ke terong yang telah berlumuran asam Jawa tersebut.
Aku juga berencana membuat pepes ikan
teri. Bahan-bahannya juga sudah aku beli tadi pagi di pasar. Ikan teri basah,
daun pisang, daun salam, daun kemangi, tomat, dan belimbing sayur. Aku paling
senang melihatnya melahap pepes ikan teri buatanku. Kulit daun pisang bungkus
pepes nyaris bersih, bahkan sisa bumbu di jemarinya pun dia jilat. Sambil
bergurau dia sering mengatakan kepadaku, seluruh chef di hotel-hotel bintang
lima tempatnya menginap ketika dinas masih kalah sama aku. Jika sudah dipuji
sedemikian aku mencubit pinggangnya sambil kudaratkan sekali kecupan di
pipinya.
***
Aku masih menyetrika saat Lila kembali
datang berlari-lari. Kedua pipinya yang montok bergoyang-goyang. Sengaja
rambutnya aku model poni. Aku dan suamiku menyukai potongan rambut yang
demikian. Potongan rambut yang mengingatkan pada satu tokoh kartun anak-anak
yang terkenal, Dora The Explorer. “Kenapa lagi sayang?” Tanyaku mendahului.
“Ibu, lihat ke kamar, ayah terbang!” Pinta Lila. “Tunggu ya Sayang, ibu masih
menyetrika baju ayah. Ibu juga masih harus memasak. Nanti kalau ibu sudah
selesai masak baru ibu susul ke kamar ya. Ayo, main sama ayah lagi sana…!” Lila
pun berlari kembali ke kamar.
Lila anak semata wayang kami itu memang
sangat senang bila ayahnya ada di rumah. Mereka berdua kadang menghabiskan
seharian untuk bermain. Kadang mereka main petak umpet. Atau, permainan
seolah-olah mereka di atas pesawat. Lila jadi penumpang dan ayahnya jadi pilot.
Suamiku akan memakai topi khasnya. Seringkali juga suamiku memerankan tokoh
imajinasi yang bisa terbang. Selembar sarung dia lilitkan di leher sehingga
menyerupai sayap. Beberapa bantal ditumpuk lalu suamiku tengkurap di atasnya
sehingga seolah-olah terbang. Lila paling suka jika ayahnya memerankan tokoh
yang bisa terbang. Lila akan berteriak-teriak kegeringan, “Ayah terbang…ayah
terbang….!”
Aku yang mendengarkan keriangan mereka
berdua kadang ikut senyum-senyum. Aku bisa merasakan kebahagiaan Lila bila
ayahnya ada di rumah. Dia akan menumpahkan seluruh kemanjaannya. Apa-apa
mintanya sama ayah. Minta ditemani mandi. Minta disuapin makan. Minta
dininabobokan di tempat tidur. Lila telah membebastugaskan aku saat suamiku di
rumah.
Karena kesibukan dengan urusan rumah,
kadang aku baru bisa bergabung dengan mereka setelah urusan rumah selesai.
Seperti hari ini aku harus menyiapkan pakaian suamiku yang akan mulai bertugas
besok. Rute ke Eropa tentu memerlukan beberapa lembar pakaian ganti.
Pakaian-pakaian tersebut aku setrika lalu dimasukkan ke kopor. Jika urusan
pakaian telah selesai maka urusan masak-memasak adalah kegiatan selanjutnya.
“Lha, kamu ya cari pembantu, Tin! Biar tidak terlalu repot mengurus rumah!”
Begitu nasehat mama bila berkunjung ke rumahku. “Nanti saja, Mam. Sementara ini
saya ingin merasakan bagaimana menjadi ibu rumah tangga!” Jawabku singkat.
Seringkali aku ingin mengatakan pada mama bahwa aku ingin belajar tentang hidup
darinya. Belajar mengelola rumah tangga. Bagiku, mama seorang ibu terbaik. Aku
bersama kedua adiku dibesarkannya sendirian semenjak ayahku berpulang. Mama
berjuang sendiri dari mencari nafkah dengan berdagang kue hingga mengasuh kami.
Aku merasakan betapa hebat dan kuatnya mama tanpa suami, tanpa pembantu
membesarkan anak-anaknya. Itulah pelajaran hidup yang aku ingin ambil dari mama
dalam rumah tanggaku sekarang.
Sebenarnya aku belum tenang jika suamiku
kembali berkantor besok, apalagi langsung menerbangkan pesawat untuk rute
Eropa. Aku tidak yakin kondisinya sudah benar-benar sehat saat ini. Nyeri yang
datang tiba-tiba di dada masih sering dikeluhkannya kepadaku. Karena itu,
kemarin ketika mengobrol di halaman belakang sambil menghirup kopi sore aku
menyarankan ke dia agar meminta ke kantor untuk izin istirahat tambahan. Tetapi
dia menolak. Katanya, mendapatkan izin empat hari tidak masuk sudah cukup
baginya. Lagi pula, tambahnya, dia merasa tidak enak dengan teman-teman sejawat
jika terlalu banyak meminta izin istirahat. “Mama khan tahu kalau bulan
Desember begini adalah musim liburan. Tingkat okupansi pesawat pasti naik. Jadwal
penerbangan akan padat, terutama ke kota-kota tujuan wisata. Kantor telah
mengingatkan jika tidak benar-benar penting sebaiknya tunda dahulu untuk
mengambil cuti atau pun meminta izin!”
***
Aku telah merapikan papan setrika. Melipat
dan menaruhnya di kamar belakang. Setrika pun sementara telah aku taruh di
tempat tinggi, di atas bupet yang tidak terjangkau Lila. Khawatir setrika yang
platnya masih panas itu dimainin Lila. Ketika pakaian-pakaian akan aku atur
dalam kopor suamiku, tiba-tiba aku mendengar suara Lila memanggil-manggil
namaku, “Ibu…ibu…ayah terbang…! Ibu…ibu…ayah terbang…!” Awalnya aku tidak
memedulikan karena yang terbetik di pikiranku; paling dia mengajakku ke kamar,
mengajakku bermain bersama mereka. Padahal aku belum memasak.
Lila kembali memanggil, “Ibuuu…ayah
terbang….ayah terbang….!” Suara Lila kali ini agak berbeda. Ada tangisan lirih
terselip diantara suaranya. Perasaanku tiba-tiba menjadi tidak enak. Aku segera
mengancing kopor. Sambil mengatur perasaanku yang semakin tidak karuan, aku
bergegas ke kamar. Lila menyambutku di pintu kamar, “Ibu, ayah terbang!” Aku
memeluk Lila. Menggendongnya ke atas sofa bed di mana suamiku tengkurap tanpa
gerakan sedikit pun. Aku menyentuh tubuh suamiku. Dingin…sangat dingin.
Brunswick, 30 Desember 2013
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/12/30/suamiku-terbang-622610.html*)Ilustrasi: freematot.wordpress.com
No comments:
Post a Comment