Sunday, May 10, 2009

OPINI: Perang Melawan Sampah Plastik


Oleh Ahmad Syam
Green Reporter
www.wargahijau.org, Monday, 27 April 2009 23:06

Dikutip dari Kompas, salah seorang dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), I Made Arcana, meneliti bahaya zat pewarna hitam pada kantong plastik. Hasil penelitian Arcana menyebutkan bahwa jika terkena panas zat ini akan mengeluarkan senyawa yang memicu kanker. Bisa dibayangkan jika senyawa tersebut terdapat pada gorengan yang kita makan.

Kebiasaan menggunakan kantong plastik secara berlebihan memang perlu dihentikan. Diperkirakan setiap orang dari penduduk dunia menggunakan kurang lebih 170 kantong plastik setiap tahunnya. Asumsinya, setiap orang menggunakan minimal satu kantong plastik per hari.

Dengan demikian, jika berpatokan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Selatan tahun 2006, dari sekitar 1,7 juta jiwa penduduk Kota Makassar berarti setiap tahunnya jumlah kantong plastik yang digunakan di Makassar kurang lebih 289 juta buah. Sementara untuk Sulsel dari jumlah penduduk di tahun yang sama 7,6 juta jiwa berarti sampah kantong plastik yang dihasilkan adalah 1,3 miliar buah setiap tahun.

Padahal kerusakan yang bisa ditimbulkan sampah plastik terhadap lingkungan luar biasa. Diperlukan sekitar 500-1000 tahun untuk sampah plastik terdekomposisi (terurai) dengan sempurna. Saat terurai pun, partikel-partikel plastik akan mencemari air tanah. Meracuni makanan binatang-binatang di tanah sehingga pada akhirnya mengancam mata rantai ekosistem.

Membakar sampah plastik juga bukan solusi yang baik karena akan berdampak buruk pada kesehatan. Plastik yang tidak terurai dengan baik saat dibakar akan menjadi dioksin di udara. Dioksin jika terhirup manusia akan menyebabkan berbagai sumber penyakit seperti hepatitis, pembengkakan hati, kanker, gangguan sistem syaraf, dan memicu depresi.

Say No to Plastic Bag

Sejumlah negara telah menerapkan peraturan yang memperketat swalayan menggunakan tas belanja plastik. Kebijakan negara-negara tersebut menyerupai gerakan anti kantong plastik secara global. Filipina, Swedia, Skotlandia, Jerman, Perancis, Hongkong, Taiwan, Irlandia, Finlandia, Denmark, Swiss, Tanzania, Bangladesh, dan Afrika Selatan, dan Singapura adalah beberapa dari negara itu. Bahkan Kenya dan Uganda telah melarang penggunaan kantong plastik di swalayan.

Juni 2008 pemerintah Cina pun mulai menerapkan larangan kepada swalayan untuk memberikan kantong plastik kepada konsumer. Bagi swalayan yang melanggar aturan tersebut pemerintah tidak segan-segan memberi denda sebesar 5.000 hingga 50.000 yuan (667 hingga 6.667 dollar Amerika atau sekitar Rp 7,3 juta hingga Rp 73,3 juta).

Langkah pemerintah Cina tersebut mengantisipasi meningkatnya penggunaan kantong plastik, khususnya di wilayah-wilayah yang mengalami booming di sektor ekonomi seperti Shenzhen City, Provinsi Guangdong. Di kota tersebut, swalayan mengkonsumsi kurang lebih 1,75 miliar kantong plastik setiap tahunnya.

Seperti tidak mau ketinggalan, pemerintah Australia juga ikut dalam kampanye anti kantong plastik. Hasilnya, setelah meluncurkan gerakan “say no to plastic bag” pada sekitar tahun 2003, setahun kemudian pemakaian kantong plastik berkurang 200 juta kantong plastik dari total kantong yang dipakai yakni 7 miliar buah per tahun.

Gerakan itu kini bahkan menjadi tren di Australia. Di swalayan-swalayan para kasir akan menanyakan kepada konsumer apakah membawa tas belanja atau ingin menggunakan kantong plastik. Jika kasir menanyakan demikian secara tidak langsung meminta konsumer untuk membawa tas belanja sendiri. Bahkan terdapat banyak toko yang tidak menyediakan kantong plastik sama sekali.

Swalayan-swalayan di Australia juga menyediakan tas belanja dari kain katun yang ramah lingkungan seharga 99 sen atau sekitar Rp 8.000. Hal yang sama dapat dijumpai pada salah satu swalayan di Cina, seperti swalayan Walmart. Di supermarket tersebut produksinya.

Green Shopper di Indonesia

Dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa atau peringkat keempat di dunia, boleh jadi Indonesia merupakan salah satu penyumbang sampah plastik terbesar di dunia. Apalagi pembatasan penggunaan kantong plastik belum digarap secara baik oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Padahal data KLH menunjukkan dari total volume timbunan sampah di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia yang mencapai 666 juta liter per tahun, sekitar 14 persen merupakan sampah plastik.

Budaya berbelanja pro-lingkungan atau yang lebih dikenal dengan jargon green shopper tidak tumbuh begitu saja. Konsumer biasanya hanya mengikuti tren yang ada. Perilaku konsumer dan masyarakat tergantung dari layanan swalayan. Jika swalayan membiasakan konsumer dengan kantong plastik maka kebiasaan menggunakan kantong plastik itulah yang berkembang.

Jadi regulasi yang harus dibuat adalah regulasi yang mengatur swalayan agar tidak leluasa memberikan kantong plastik kepada konsumer. Bahkan Indonesia bisa saja mengikuti langkah Cina yang memberi penalti kepada swalayan yang memberi kantong plastik kepada konsumer secara cuma-cuma.

Dengan menghentikan pemberian kantong plastik kepada konsumer, atau kalau tidak konsumer harus membayar untuk mendapatkannya, secara otomatis akan mengubah perilaku berbelanja. Konsumer perlahan akan membawa sendiri tas belanja dari rumah daripada harus membeli kantong plastik.

“Bring your own bag” merupakan program yang diberlakukan di Singapura dan Kanada. Singapura mulai mengkampayekan “bawa langsung tas belanja sendiri” sejak April 2007. Adapun Kanada, tepatnya di Manitoba, mengeluarkan peraturan pada tahun yang sama dengan melarang para pedagang toko memberi dan menjual kantong plastik kepada konsumen.

Di Australia juga mengalami apa yang disebut ”bring your own bag” di atas dalam empat tahun terakhir. Sebagian besar konsumer biasanya menolak untuk mendapatkan kantong plastik. Ketika kasir akan memasukkan barang belanjaan mereka ke kantong plastik, para konsumer itu akan mengatakan bahwa mereka membawa tas sendiri. Toko buku-toko buku di negara Kanguru itu bahkan tidak memberikan kantong plastik.

Pemandangan ini tentu akan berbeda jika berbelanja di Indonesia. Toko apapun dengan barang dagangan apa saja (selama masih bisa muat di dalam kantong plastik) konsumer pasti akan mendapatkan kantong plastik.

Prakarsa Carrefour

Belakangan ini di outlet-outlet Carrefour di Makassar mulai mengsosialisasikan tas belanja yang ramah lingkungan (eco-friendly bag). Kepada konsumer, kasir yang bertugas biasanya memperkenalkan dan menawarkan tas belanja yang terbuat dari kain katun tersebut.

Sebagai langkah awal memang tidak mudah merayu konsumer untuk beralih dari kantong plastik yang gratis ke tas belanja biodegradable (dapat terurai) yang harus dibeli. Karena itu, seharusnya harga tas belanja biodegradable yang dipatok Rp 10.000 masih perlu diturunkan. Bagi konsumer, uang senilai itu lebih baik digunakan untuk membeli susu anak ketimbang membeli tas belanja.

Tetapi apa yang dilakukan Carrefour patut diacungi jempol. Olehnya, pemerintah harus terlibat di dalam upaya mempercepat sosialisasi tas belanja biodegradable.

Bentuk keterlibatan pemerintah bisa dalam bentuk pemberian insentif kepada Carrefour sehingga harga tas belanja bisa lebih murah. Sebagai konsekuensi dari insentif tersebut, pihak Carrefour juga harus secara perlahan mengurangi memberikan kantong plastik kepada konsumer, kalau perlu menghentikan sama sekali.

Pada akhirnya, perang melawan sampah plastik harus melibatkan semua pihak. Masyarakat perlu mendapatkan informasi yang tepat tentang bahaya sampah plastik, baik bagi lingkungan maupun kesehatan. Pemerintah diharapkan aktif menyampaikan hal itu sehingga menyadari untuk mulai mengurangi menggunakan kantong plastik. Selain itu, semua swalayan dan pedagang toko mesti juga mengambil peran.

Dari semua disampaikan di atas, yang terpenting adalah regulasi dari pemerintah untuk membatasi penggunaan kantong plastik. Regulasi yang mengatur pabrik kantong plastik, regulasi yang memonitor penggunaan kantong plastik di swalayan dan di toko-toko, serta regulasi yang memperketat sirkulasi kantong plastik di masyarakat.