Wednesday, July 27, 2011

BUMDes Penuhi Kebutuhan Warga Sepenuh Desa

Grafis: Ranking Kabupaten/Kota Otonomi Awards 2011 Kategori Pemberdayaan Ekonomi

Kabupaten Bantaeng berhasil meraih trofi Otonomi Awards 2011 dari The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) pada kategori pemberdayaan ekonomi lokal. Terobosan yang dilakukan kabupaten di kaki Gunung Lompobattang ini adalah membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di seluruh desanya. Bagaimana gambaran terobosan tersebut? Berikut kupasan atas program tersebut.

Ahmad Syam
Fajar, 27 Juli 2011

Luas wilayah Bantaeng 395,83 kilometer persegi atau kabupaten terkecil di Sulawesi Selatan (Sulsel). Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bantaeng hanya Rp16.406.093.325, PAD terkecil kedua di Sulsel. Namun, data yang dihimpun melalui buku Sulawesi Selatan Dalam Angka 2010 dari Biro Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulsel menunjukkan, pertumbuhan ekonomi daerah berjarak kurang lebih 120 kilometer arah selatan Makassar ini tidaklah tergolong kecil. Pertumbuhan ekonomi Bantaeng 2009 sebesar 7,32 persen atau terbesar ke-8 dari 24 kabupaten/kota se-Sulsel.

Laju pertumbuhan ekonomi Bantaeng memang terus menanjak dalam kurun lima tahun terakhir. Selain faktor investasi yang terus membaik, kabupaten dengan ikon baru berupa apel dan stroberi ini juga berangkat dari visi pembangunan yang jelas yakni pembangunan berbasis desa mandiri. Visi yang diharapkan memperkuat ekonomi desa karena dari desa yang kuat akan terbangun kecamatan yang kuat dan kecamatan yang kuat akan membentuk, tentu saja, kabupaten yang kuat.

Bagaimana visi tersebut diimplementasikan? Sejak tahun 2006 Pemerintah Daerah (Pemda) Bantaeng telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Salah satu poin dalam perda tersebut menyebutkan bahwa dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan desa, pemerintah desa dapat mendirikan BUMDes sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. 

 
    

Pembentukan BUMDes oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Bantaeng melalui tiga fase. Pertama, tahap fasilitasi pendirian BUMDes di 46 desa pada tahun 2008. Kedua, tahap penguatan kapasitas pengelolaan BUMDes pada 2009. Fase ini meliputi pendampingan terhadap pengelola dan pelatihan manajemen, persiapan piranti organisasi (Anggaran Dasar-AD/Anggaran Rumah Tangga-ART, akta organisasi), persiapan rencana penggunaan anggaran hingga penyusunan Standard Operasional Prosedur (SOP). Lalu, fase ketiga adalah penguatan modal usaha berupa penyaluran bantuan hibah untuk anggaran operasional BUMDes. Tahap ini dilakukan pada awal 2010 dan masing-masing BUMDes menerima Rp100 juta.

Pada setiap pembentukan BUMDes selalu diawali dengan musyawarah desa dan dimintakan persetujuan dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang kemudian dilegalisir oleh notaris. BUMDes yang telah berdiri tersebut kemudian membentuk pengurus yang terdiri dari unsur pemerintah desa sebagai penasehat/komisaris dan unsur masyarakat sebagai pelaksana/direksi.

Setelah lembaga dan pengelola terbentuk maka langkah selanjutnya adalah menjalankan BUMDes berdasarkan kaidah-kaidah lembaga ekonomi. Misalnya, penguatan modal BUMDes mengacu pada Rencana Kegiatan Usaha (RKU) dan SOP dari masing-masing BUMDes. Setiap BUMDes juga harus memiliki core business berdasarkan potensi desa di mana BUMDes tersebut berada. Misalnya, satu desa yang potensi ekonominya sektor pertukangan maka BUMDes diarahkan untuk bergerak di sektor pertukangan meskipun tetap memungkinkan menggarap potensi ekonomi desa lainnya. Dalam menjalankan core business-nya, BUMDes memiliki channeling dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait. Artinya, kegiatan sektor pertanian maka koordinasinya dengan Dinas Pertanian. 

   

Saat ini BUMDes di Bantaeng mengelola beragam jenis kegiatan usaha diantaranya: grosir barang campuran, perdagangan hasil bumi, toserba, pengadaan saprodi, bantuan modal usaha pedagang kecil, jasa rekening listrik, pengelolaan air minum, penggemukan sapi, usaha simpan pinjam, usaha layanan alat tulis kantor (ATK), jasa foto copy, pertukangan, dan lain sebagainya. Guna semakin menggiatkan usaha BUMDes, enam BUMDes yang bergerak di sektor perdagangan hasil pertanian dan terletak di wilayah-wilayah ketinggian mendapatkan bantuan mobil operasional.

Setahun setelah mendapatkan dana stimulan sebagian besar BUMDes telah beroperasi normal. Melayani kebutuhan masyarakat di desa sehingga masyarakat tidak perlu membuang biaya transportasi ke kota untuk berbelanja karena sebagian besar kebutuhnya bisa dipenuhi di BUMDes. Alhasil, transaksi harian di BUMDes tercatat pada kisaran Rp200 ribu-Rp1 juta.


Bantaeng Unggul

Program pemberdayaan ekonomi lokal yang dilakukan Bantaeng melalui BUMDes merupakan program paling menonjol dari segi terobosan dibandingkan semua program pemberdayaan lainnya yang diajukan kabupaten/kota. Bahkan, jika disandingkan dengan program BUMDes milik daerah yang lain tetap BUMDes di Bantaeng masih jauh lebih unggul. 

Penyerahan dana hibah (Foto: Istimewa)

Pelatihan Pendampingan (Foto: Istimewa)

 
Pertama, program BUMDes di Bantaeng telah didukung perda khusus tentang tata cara pembentukan dan pengelolaan BUMDes yang diharapkan dapat menjamin keberlanjutan program. Di daerah lainnya aturan mengenai BUMDes masih mengikut dalam perda yang mengatur pemerintahan desa secara umum misalnya terdapat di Kabupaten Luwu.        

Kedua, program BUMDes di Bantaeng telah menyebar merata di seluruh desa-desa di Bantaeng. Terdapat 46 desa di Bantaeng dan seluruhnya telah memiliki BUMDes. Di daerah lainnya program BUMDes baru mencakup paling banyak 10 desa.

Ketiga, komitmen Pemda Bantaeng terkait pemberdayaan ekonomi lokal melalui BUMDes sangat kuat yang tercermin besarnya perhatian pemda terhadap penguatan BUMDes dari fasilitasi pelatihan manajemen hingga penguatan modal awal berupa dana hibah Rp100 juta per BUMDes. Di daerah lain dana stimulan semacam ini hanya berkisar antara Rp20 juta-Rp40 juta.

Program BUMDes di Bantaeng juga unggul berdasarkan tiga komponen penilaian milik FIPO: inovasi, survei publik, dan eksisting data. Nilai inovasi adalah nilai yang diperoleh dari peneliti yang mengukur tingkat inovasi dan kadar terobosan daerah atas program yang dibuatnya. Wawancara mendalam atau in-depth interview dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) menjadi pintu informasi bagi peneliti untuk menelusuri inovasi dan terobosan pemda. Nilai survei publik bersumber dari hasil konfirmasi program kepada masyarakat yang mencakup 100 responden per kabupaten/kota. Responden berasal dari berbagai latar belakang profesi, pendidikan, dan ekonomi. Sedangkan nilai eksisting data diambil dari hasil analisis dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan pemda seperti APBD, Renstra/RPJMD, Perda, dan lain sebagainya.

Hasilnya, skor Bantaeng dari akumulasi untuk ketiga komponen penilaian tersebut adalah yang tertinggi yakni 226 poin (lihat grafis), tepat di atas empat kabupaten/kota yang menjadi pesaing terdekat yakni Luwu Timur, Sinjai, Sidrap, dan Makassar. (ahmadsyam_1@yahoo.com)

http://ahmad-syam.blogspot.com.au/2011/08/menjemput-pasien-mendekatkan-layanan.html
 

Saturday, July 16, 2011

Pemenang Otonomi Awards 2011 Jawa Timur dari The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP)



Grand Category/Gold Trophy:

Region in a leading breakthrough on economic development (Daerah dengan terobosan paling menonjol bidang pembangunan ekonomi)
Kabupaten Malang

Region in a leading breaktrough on public services (Daerah dengan terobosan paling menonjol bidang pelayanan publik)
Kabupaten Ponorogo

Region in a leading profile on political performance (Daerah dengan profil paling menonjol bidang kinerja politik)
Kabupaten Probolinggo

Special Category/Silver Trophy:

Region in an innovative breaktrough on economic development (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pertumbuhan ekonomi)
Kabupaten Sampang

Region in an innovative breaktrough on economic distribution (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pemerataan ekonomi)
Kabupaten Malang

Region in an innovative breaktrough on local economic empowerment (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pemberdayaan ekonomi)
Kabupaten Bondowoso

Region in an innovative breaktrough on health service (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pelayanan kesehatan)
Kabupaten Lumajang

Region in an innovative breaktrough on education service (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pelayanan pendidikan)
Kabupaten Pacitan

Region in an innovative breaktrough on administrative service (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pelayanan administrasi)
Kabupaten Ponorogo

Region in an innovative breaktrough on public accountability (Daerah dengan terobosan inovatif bidang akuntabilitas publik)
Kota Surabaya

Region in an innovative breaktrough on public participation (Daerah dengan terobosan inovatif bidang partisipasi publik)
Kabupaten Probolinggo

Region in an innovative breaktrough on environment management (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pengelolaan lingkungan hidup)
Kota Probolinggo

Region in an innovative breaktrough on community-led total sanitation (Daerah dengan terobosan inovatif dalam mendorong sanitasi total berbasis masyarakat
Kabupaten Bojonegoro

Distinguished Category/Silver Trophy:


Region with a strong initiative in enforcing revenue sharing regulation (Daerah dengan inisiatif yang kuat dalam menengakkan regulasi bagi hasil)
Kabupaten Sumenep

Region with a leading initiative in marketing family planning for male (Daerah dengan inisiatif menonjol dalam memasyarakatkan keluarga berencana untuk pria)
Kabupaten Situbondo

Pemenang Otonomi Awards 2011 Sulawesi Selatan dari The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO)


Grand Category/Gold Trophy:

Region in a leading breakthrough on economic development (Daerah dengan terobosan paling menonjol bidang pembangunan ekonomi)
Kabupaten Wajo

Region in a leading breaktrough on public services (Daerah dengan terobosan paling menonjol bidang pelayanan publik)
Kabupaten Bantaeng

Region in a leading profile on political performance (Daerah dengan profil paling menonjol bidang kinerja politik)
Kabupaten Luwu Utara

Special Category/Silver Trophy:

Region in an innovative breaktrough on economic development (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pertumbuhan ekonomi)
Kabupaten Luwu Timur = Program Desa Mengepung Kota

Region in an innovative breaktrough on economic distribution (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pemerataan ekonomi)
Kabupaten Wajo = Program Sejuta Kantong Air

Region in an innovative breaktrough on local economic empowerment (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pemberdayaan ekonomi)
Kabupaten Bantaeng = Program Memandirikan Seluruh Desa melalui BUMDes

Region in an innovative breaktrough on health service (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pelayanan kesehatan)
Kabupaten Bantaeng = Program Brigade Siaga Bencana

Region in an innovative breaktrough on education service (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pelayanan pendidikan)
Kabupaten Bone = Program Paditungka

Region in an innovative breaktrough on administrative service (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pelayanan administrasi)
Kota Parepare = Program Kantor Pelayanan Satu Atap (Sintap)

Region in an innovative breaktrough on public accountability (Daerah dengan terobosan inovatif bidang akuntabilitas publik)
Kabupaten Luwu Utara = Program e-Procurement

Region in an innovative breaktrough on public participation (Daerah dengan terobosan inovatif bidang partisipasi publik)
Kabupaten Jeneponto = Program Kelompok Pemakai Air (Pokmair)

Region in an innovative breaktrough on environment management (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pengelolaan lingkungan hidup)
Kabupaten Kepulauan Selayar = Program Kawasan Konservasi Perairan Berbasis Desa


Distinguished Category/Silver Trophy:
Kota Makassar = Program Irigasi Air Tetes

Resume Program:

Desa Mengepung Kota-Kabupaten Luwu Timur-Kategori Pertumbuhan Ekonomi

Pemerintah Daerah (Pemda) Luwu Timur memfokuskan pembangunan ke pedesaan, mulai dengan membangun kantor desa, jalan desa, dan irigasi. Pemda juga membebaskan daerah terisolasi dengan membuka jalan baru dan membangun jembatan. Jalan-jalan yang tadinya berlubang, kini sudah diperbaiki. Secara bertahap dilakukan perbaikan dari jalan tanah ke kerikil, kemudian kerikil ke jalan hotmix dan beton. Jalan menuju desa-desa tertinggal mulai dibangun, termasuk pembenahan jalan tani/jalan desa agar penghasilan para petani bisa meningkat signifikan, dan biaya yang mereka keluarkan tidak terlalu tinggi. Intinya agar sarana pertanian atau produksi bisa lebih mudah masuk. Hasil produksi pertanian juga bisa lebih mudah diangkut. Jembatan darurat diganti dengan jembatan permanen.

Beberapa upaya: hingga tahun 2010 (5 tahun pembangunan) total anggaran Rp646,594miliar; hingga 2008 volume perintisan atau pembukaan jalan mencapai 200,362 km, pengkrikilan jalan sepanjang 541,747 km dan pengaspalan jalan 218,521 km, jembatan semi-permanen dan permanen atau jembatan beton dari bentangan 5 meter hingga 25 meter sebanyak 97 buah, 24 km jalan beton di jalur lingkar Puncak Indah Malili dan Kecamatan Angkona, serta drainase sepanjang 49,818 km; dan setelah pemekaran, tidak hanya wajah Malili yang dibenahi, tetapi juga ibu kota tujuh kecamatan lainnya.

Dampaknya; petani tak lagi kesulitan mengangkut hasil pertanian karena jalan beraspal sudah menjangkau hingga ke pelosok; irigasi persawahan membaik; berkurangnya ongkos angkut hasil pertanian karena hasil produksi pertanian bisa lebih mudah diangkut; dan masuknya angkutan umum hingga ke pelosok desa. (Milawaty-FIPO).

Sejuta Kantong Air-Kabupaten Wajo-Kategori Pemerataan Ekonomi

Pemanfaatan lahan seluas 86.000 ha, perkebunan, dan kehutanan sangat ditentukan oleh ketersediaan air hujan. Musim hujan kadangkala menimbulkan banjir yang menggagalkan panen persawahan, sedangkan musim kemarau menyebabkan hamparan lahan yang luas menjadi terlantar tanpa ditanami karena tidak tersedia air. Kurang lebih 80 persen (74 ribu ha) areal persawahan masih mengandalkan sawah tadah hujan sehingga produksi masih sangat terbatas (sekali setahun) bahkan ada yang hingga 4 tahun belum berproduksi karena curah hujan yang sangat rendah.

Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah kabupaten Wajo menggalakkan pembangunan kantor air, dengan istilah pembangunan Sejuta Kantong Air. Pembangunan sejuta kantong air dimaksudkan sebagai upaya untuk menampug air, baik air hujan maupun aliran permukaan dan air sungai atau air dalam melalui bantuan pompa. Volume daya tampung kantong air bervariasi dari ukuran kecil (lubang resapan biopori), ukuran sedang (embung, teppo, situ), dan ukuran besar (dam penahan, dam pengendali, cekdam, dan danau). Sumber air tampungan dapat berasal dari air hujan seperti Umpen, Teppo, Dam, Danau, lubang resapan biopori. Sedangkan yang berasal dari air sungai dengan bantuan pompa (kalobeng, embung atau situ). Begitu juga yang berasal dari dalam tanah melalui bantuan pompa.
Output: Kurang lebih 3.500 ha sawah telah teraliri air dan saluran irigasi sepanjang tahun 2009-2010. Dapat menghasilkan 7-8 ton/ha sehingga total produksi dari 3.500 ha sawah sebanyak 24.500 – 28.000 ton atau setara dengan 24,5 juta – 28 juta kg beras. Jika 1 kg beras seharga Rp. 3ribu, berarti total penghasilan masy petani Rp 73,5 - 84 miliar/ sekali panen. Dengan demikian dalam setahun (3 kali panen) menghasilkan Rp220,5-Rp252 miliar. Pompanisasi dapat ditemui di kantong-kantong air, bantuan handtractor 500 unit, sapi 1000 ekor (2010). 2011 == sapi 100 ekor. Peningkatan produksi beras dari 285 ribu pada 2009 ton menjadi 338 ribu ton pada 2010. (Milawaty-FIPO)

Memandirikan Seluruh Desa melalui BUMDes-Kabupaten Bantaeng-Kategori Pemberdayaan Ekonomi

Berangkat dari visi Kabupaten Bantaeng yakni kabupaten terkemuka berbasis desa mandiri yang salah satu indikator mewujudkannya adalah memperkuat lembaga ekonomi lokal yang ada di desa sebagai penggerak ekonomi masyarakat di tingkat desa dan yang akan membantu dan memfasilitasi masyarakat dalam berbagai sektor usaha, dari proses produksi hingga pemasarannya. BUMDes adalah suatu badan usaha yang dikelola oleh pemerintah desa dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat di desa.

Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat desa tidak perlu lagi berbelanja kebutuhan pokok di kota kecamatan/kabupaten karena kebutuhannya telah terpenuhi di BUMDes masing-masing. Hal tersebut tentu saja memberikan keuntungan tambahan bagi masyarakat misalnya dalam hal menghemat biaya transportasi

Tahapan Pembentukan:
-Fase I adalah fase pembentukan pada tahun 2008; fasilitasi pembentukan di 46 desa
-Fase II adalah fase penguatan kapasitas pada tahun 2009; pendampingan terhadap pengelola dan pelatihan manajemen, persiapan piranti organisasi (AD/ART, akte organisasi), persiapan rencana penggunaan anggaran hingga standar operasional prosedur (SOP) -Fase III adalah fase penguatan modal usaha pada tahun 2010; penyaluran bantuan hibah masing-masing Rp100 juta per BUMDes sebagai dana stimulan. Juga terdapat bantuan sarana berupa bantuan mobil operasional (jenis mobil Toyota Hilux) untuk 6 BUMDes .

Pengelolaan dana penguatan modal BUMDes merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengelolaan keuangan BUMDes. Seluruh kegiatan didanai oleh dana penguatan modal BUMDes direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara terbuka dengan melibatkan unsur masyarakat melalui musyawarah desa dialokasikan minimal 80% dari seluruh dana penguatan modal BUMDes. Dana operasional BUMDes dialokasikan maksimal 20 persen dari seluruh dana penguatan modal BUMDes (10 persen dari alokasi ini diperuntukkan pada insentif pengurus BUMDes, 10 persen lainnya dipergunakan untuk keperluan kegiatan: musyawarah desa, alat tulis kantor, penguatan kapasitas pengurus dan unit usaha).

Penguatan modal BUMDes dilaksanakan dengan mengacu pada rencana keguatan usaha (RKU) dan standar operasional prosedur (SOP) masing-masing BUMDes. Setiap BUMDes memiliki core bussiness berdasarkan potensi desa di mana BUMDes tersebut berada. Core bussiness tersebut BUMDes memiliki channeling dengan SKPD terkait.(Ahmad Syam-FIPO)

Paditungka-Kabupaten Bone-Kategori Layanan Pendidikan

Usia 0-6 tahun adalah masa keemasan anak untuk tumbuh berkembang, dalam masa ini pula anak-anak tidak hanya membutuhkan sistem pengajaran yang efektif akan tetapi juga memerlukan asupan gizi, stimulasi adiktif dan penanaman nilai-nilai spiritual. Menyadari pentingnya pendidikan bagi usia dini serta berangkat dari banyaknya kekurangan dalam pelaksanaan PAUD yang telah ada, pemerintah Kabupaten Bone bekerja sama dengan UNICEF menelorkan sebuah konsep PAUD. Konsep PAUD yang jauh berbeda dari lembaga-lembaga PAUD yang telah ada. PAUD yang awalnya menjadi program nasional di Indonesia dimodifikasi secara holistik yag melibatkan integrasi kesehatan, gizi dan stimulasi psikologis, pemberian kesempatan untuk menggali dan belajar secara aktif, pengasuhan sosial dan emosional dalam rangka mengembangkan potensi anak.


Konsep Paditungka


-Berasal dari kata padi dan tungka yang berarti sama-sama dipelihara. Maksudnya manajemen taman paditungka selayaknya dipelihara bersama-sama sebagai program bersama demi kepentingan bersama.
- Penekanan umur anak yang ditawarkan dalam paditungka adalah umur 2-6 tahun dikarenakan dalam umur yang sedang dalam masa keemasan atau sensitive period. Sebagai upaya pendidikan dini sebagai bentuk pengenalan psikososial harus dilakukan sejak dini
-Dikatakan taman karena selayaknya taman sebagai tempat bermekaran dan bersemi bunga-bunga, seperti itu pula pengharapan yang ditorehkan dalam TP ini, sebagai tempat bersemainya benih-benih bangsa
-Ada 3 komponen utama dalam program Paditungka:
1. Manajemen PAUD : pengelolaan oleh masyarakat dengan prinsip Transparansi dan Akuntabilitas
2. Partisipasi Masyarakat : Keterlibatan masyarakat dalam semua proses perencanaan, pengelolaan, pengawasan dan memutuskan kebijakan serta menyediakan sumber daya. Partisipasi masyarakat terlihat dalam pembangunan gedung Padi Tungka. Semua eleme bersama-sama memberikan sumbangsih dalam pembangunannya, baik itu lokasi, material dsb.
3. Pembinaan holistik : pembinaan anak secara menyeluruh dengan melibatkan sektor terkait melalui
– Pembelajaran
Dalam item pembelajaran ini anak-anak diajak untuk meningkatkan keterampilan yang ditujukan untuk perkembangan anak. Kegiatan pembelajaran disusun berdasarkan tema-tema khusus misalnya panca indera, minuman, aku, rumah, lingkungan, warna dan lainnya. Dalam konsep Taman Paditungka dijelaskan pula bagaimana kader mengoptimalkan keterampilan hidup anak. Hal itu disusupkan dengan pembiasaan-pembiasaan yang melatih kemandirian, seperti melatih anak untuk gosok gigi sendiri, menggambar sendiri, menyusun balok permainan sendiri, tampil di depan untuk bernyanyi dan makan tanpa disuapi orang dewasa Menanamkan sifat disiplin dengan penentuan waktu-waktu tertentu dalam masa belajar. Mengajaknya untuk senantiasa bersosialisasi dan berkomunikasi. Hal ini biasa tampak saat anak bermain dengan teman sebaya, mereka melakukan kerjasama dan rekonsiliasi. Kegiatan pembelajaran juga menyisipkan nilai-nilai kearifan yang dibungkus dalam permainan-permainan tradisional misalya gurecceng, cincing banca, majjekka-jekka dll. Dalm bentuk petuah-petuah lokal dan nyanyian-nyanian daerah. Salah satu nyanyian yang menjadi lagu wajib yaitu lagu “Ala Masease” yang inti lagunya sangat cocok dengan visi padi tungka ini karena menekankan perlunya pendidikan dalam kehidupan. Selain nilai kearifan lokal, anak-anak juga ditekankan untuk mengenal nilai-nilai spiritual sejak dini agar menciptakan generasi yang berilmu dan beramal saleh. Pengenalan nilai spiritual ditanamkan melalui pembelajaran doa-doa, pengenalan huruf hijaiyah, dsb.
– Posyandu
Posyandu yang tidak termasuk dalam kategori PAUD diselaraskan dalam paditungka ini agar penyajian kegiatan keilmuan anak-anak dapat diimbangi dengan klasifikasi kesahatan anak yang tentunya sangat membutuhkan pelayanan kesehatan.
– Bina Keluarga Balita
Selain posyandu salah satu kegiatan yang terintegrasi dalam padi tungka ini adalah bina keluarga balita baik itu anak maupun untuk orang tua. Dalam kegiatan ini orang tua diberikan pengarahan mengenai kesehatan keluarga, konsep keluarga berencana dan konsep kesehatan lainnya.(Saiful Rijal Yunus-FIPO)

Brigade Siaga Bencana (BSB)-Bantaeng Bantaeng-Kategori Layanan Kesehatan

Latar belakang program ini adalah meningkatkan dan mendekatkan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat, terutama masyarakat yang terkendala kendaraan dan membutuhkan layanan cepat sehingga masyarakat cukup menelpon melalui call centre maka BSB segera datang.

Tim Emergency Service mencakup 4 satgas: Satgas Pemadam Kebakaran, Satgas Bantuan Sosial, Satgas Operasi, Rehabilitasi dan Pemulihan, dan Satgas Pelayanan Kesehatan atau lebih dikenal dengan Brigade Siaga Bencana (BSB). Pelayanan BSB adalah layanan 24 jam yang melibatkan 20 dokter umum, 8 perawat dan 4 supir. Ada pelatihan general emergency life support (GELS) bagi dokter untuk memberikan pengetahuan/pengenalan bagi dokter dalam hal penanganan tindak darurat sehingga paham apa yang harus dilakukan di lapangan. Untuk perawat ada pelatihan berupa basic trauma cardiac life support ( BTCLS). Setiap hari dibagi dalam 3 shift jaga dengan jumlah petugas 1 dokter, 2 perawat, dan 2 sopir. Masyarakat yang membutuhkan bantuan BSB dapat meminta pertolongan melalui call center 113 (melalui telepon rumah –gratis) dan 0413-22724 (melalui telepon selular). Dokter yang tiba di lokasi akan melalui diagnosa terhadap pasien untuk kemudian memutuskan apakah pasien hanya dirawat di rumah atau harus dirujuk ke puskesma dan atau ke rumah sakit. Bagi yang dirawat di rumah tetap mendapat pantauan tim dengan berkoordinasi puskesmas terdekat. Layanan ini yang bersifat gratis namun bagi yang dirujuk ke RSU maka biaya penanganan atas kebijakan dari RSU. Anggaran kegiatan masing-masing kegiatan satgas ditanggung dinas terkait yang bersumber dari DAU. Ada insentif untuk dokter, perawat dan sopir. Jumlah unit ambulance di BSB adalah 5 unit. Salah satu mobil ambulans tersebut memiliki alat monitor pemeriksaan jantung modern yang merupakan fasilitas ambulans terlengkap yang jarang dimiliki mobil ambulan lainnya. Sebagai tim, BSB juga terjun bila ada kejadian kebakaran untuk mengantisipasi jika terdapat korban luka.

Seluruh staf tersebut di atas secara bergantian melaksanakan tugas harian yang terbagi dalam dalam tiga shift jaga yaitu pagi (07.00 wita-14.30 wita); siang (14.30 wita-21.30 wita); dan malam (21.30 wita-07.00 wita). Masing-masing shift jaga terdiri dari 1 (satu) dokter, 2 (dua) perawat, dan 2 (dua) pengemudi.(Ahmad Syam-FIPO)


Kantor Sistem Pelayanan Satu Atap (Sintap)-Kota Parepare-Kategori Layanan Perizinan dan Administrasi Kependudukan

Sintap Parepare yang telah mendapatkan Otonomi Awards secara beruntun 2009, 2010, dan 2011. Apa saja terobosan yang dilakukannya? Penambahan jumlah perijinan yang dilayani dari 36 jenis menjadi 53 jenis perijinan per 1 Des 2010 yang terdiri dari perizinan 40 jenis dan non perizian 13 jenis; pemanfaatan SMS Centre untuk memenuhi kebutuhan informasi akan Sintap, yaitu cukup dengan mengirim pesan ke nomor 0811 4210 344, maka anda akan mendapatkan jawaban dalam waktu 10 detik dari answer machine yang telah diprogram. Khusus bagi SMS yang sifatnya pengaduan akan di forward ke nomor selular kepala kantor guna mendapatkan jawaban dari pejabat yang berkompoten, di mana pun posisi kepala kantor.

Selain itu diadakan percepatan waktu proses secara riil dibandingkan dengan waktu proses yang telah ditetapkan dalam keputusan wali kota tentang waktu proses perizinan dan non perizinan. Misalnya, waktu proses permohonan SITU ditetapkan 7 hari kerja, akan tetapi dapat diselesaikan dalam waktu 3 atau 4 hari tanpa ada biaya tambahan. Demikian pula dengan proses KTP dan KK yang dalam Keputusan Walikota Tentang Waktu Proses Perizinan dan Non Perizianan disebutkan memerlukan 2 hari kerja akan tetapi dalam prakteknya mampu diselesaikan dalam hitungan jam, pagi hari diterima, siang hari sudah bisa diambil.

Terobosan lainnya yakni mobil pelayanan keliling (mobile system service) yang telah disetujui dewan; up grade sertifikat sistem manajemen mutu dari ISO 9001:2000 menjadi ISO 9001:2008 per 10 Desember 2010; pelimpahan kewenangan penandatangan perizinan dari wali kota ke kepala kantor pelayanan perizinan sejak 2 Februari 2010.(A.Mattingaragau T.)

Kelompok Pemakai Air-Kabupaten Jeneponto-Kategori Partisipasi Publik

Jeneponto terkenal sebagai daerah yang kering dan panas. Dengan kondisi daerah seperti ini menyebabkan sumber daya air terbatas. Kondisi ini menyebabkan masyarakat mencari cara sendiri untuk memenuhi kebutuhannya akan air bersih.

Kelompok pemakai air di Jeneponto dimulai di Desa Bungin pada tahun 1994. Keresahan masyarakat akan kebutuhan sumber daya air padahal PDAM belum mampu memenuhi aspirasi masyarakat sehingga membangkitkan inisiatif masyarakat untuk membentuk sebuah kelompok pemakai air dengan memanfaatkan sumber mata air yang ada di desa. Setelah disetujui bersama dalam Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) akhirnya terbentuk kelompok pemakai air dengan struktur organisasi sendiri yang disebut Badan pengelola Air Minum (BPAM). Tujuan pembentukan struktur organisasi sendiri agar ada yang mengelola dan memelihara sumber air agar terjamin kelangsungannya dan mengatur kondisi keuangan kelompok.


Mekanisme


Awalnya BPAM meminta sumbangan dari warga yang berminat untuk menjadi pelanggan dengan tujuan pembelian meteran dan pipa. Setiap bulannya petugas pencacat meteran mendata jumah pemakaian setiap pelanggan dengan harga Rp1.500/M3 yang tercatat di rekening air pelanggan. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat yang tinggi dalam pokmair ini, pelanggan tidak perlu didatangi untuk masalah pembayaran karena mereka datang sendiri di sekretariat BPAM untuk melunasi penggunaan airnya. Dana yang terkumpul dari iuran pelanggan digunakan untuk pembelian mesin baru agar pasokan air semakin lancar, pemeliharaan sumber air dan mesin-mesin, insentif untuk BPAM dan pembayaran rekening listrik. Untuk masyarakat yang mempunyai keluhan atau aduan terhadap proses penyediaan sarana air bersih, mereka melaporkan langsung kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), nantinya BPD yang menyampaikan langsung kepada BPAM.

Sampai saat ini Kelompok pemakai Air telah tersebar di 11 kecamatan dengan jumlah kelompok 145 yang mengcover 9.481 jiwa. Dari 145 kelompok yang terdata, ada 6 POKMAIR dengan eksistensi dan manajemen yang berlangsung baik dan berkesinambungan, diantaranya:
1. Pokmair desa Bungeng
2. Pokmair Kel. Togo-Togo
3. Pokmair Desa karelayu
4. Pokmair desa balangbaru
5. Pokmair desa Kalimporo
6. Pokmair Desa Turatea

Dari Pokmair yang ada di atas proses perawatan dan pemeliharaan, kelembagaan dan manajemen keuangan berjalan sangat baik. Mereka mampu mengatur keuangan sehingga memiliki omzet yang besar. Bahkan ada pokmair yang memiliki saldo sampai Rp. 100.000.000, yang mereka pakai untuk perbaikan saluran perpipaan, penampungan dan pembelian mesin baru. Pemerintah kabupaten tidak tinggal diam melihat usaha masyarakat untuk memperoleh sumber air ini, lewat Dinas PU masyarakat dibantu untuk pengeboran sumber air, dari Dinas Kesehatan membantu pembinaan dan pengawasan kualitas air.

e-Procurement-Kabupaten Luwu Utara-Kategori Akuntabilitas Publik

Sebagai wujud komitmen Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu Utara untuk memberantas KKN melalui proses pengadaan barang/jasa, serta banyaknya persoalan yang muncul berkaitan dengan proses lelang/tender yang dilakukan secara konvensional selama telah membuat posisi para pejabat dan panitia lelang merasa terancam dan tidak aman. Atas dasar itu maka Pemkab Luwu Utara berinisiatif untuk menerapkan sistem pengadaan barang/jasa melalui e-procurement.

=Untuk mempersiapkan pelaksanaan e-procurement Pemkab Lutra membentuk Sekretariat Layanan e-Procurement (sekarang: Sekretariat LPSE) yang dimotori langsung Kepala Dinas Kominfobudfar dengan mengeluarkan Surat Perintah Tugas 555/13/Kominfobudfar tanggal 12 Februari 2009. Pengelola sekretariat ini direkrut dari pengawai pemerintah namun untuk efektivitas kerja di sekretariat juga dilakukan out source tenaga pendukung yang direkrut dari luar PNS

=Menyiapkan infrastruktur dan teknologi. Pemkab Lutra telah menyediakan gedung khusus untuk pusat layanan e-procurement yang kemudian dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjangnya seperti PC 20 unit, dengan distribusi untuk bidding room/training room 10 unit, serta sekretariat e-procurement sejumlah 10 unit dan 4 laptop, serta 2 server. Telah tersedia juga fasilitas internet melalui VSAT dengan kapasitas 3 MBps, jaringan telepon dan jaringan komputer LAN, dan hotspot di 7 titik di wilayah Lutra.

=Untuk mendukung efektivitas pengelolaan e-procurement diperlukan SDM yang memiliki kapasitas di bidang IT dan memahami dengan baik aturan pengadaan barang/jasa. Jumlah tenaga pendukung non PNS yang diangkat berjumlah 9 orang, 3 orang tenaga kontrak sebagai staf khusus tenaga TI dan 6 orang tenaga administrasi dan trainer yang ditempatkan di sekretariat dengan biaya dibebankan kepada APBD. Juga 2 orang tenaga di bidding room untuk diperbantukan dalam memberikan training pada calon vendor

=Tahap implementasi e-procurement. Pembukaan secara resmi melalui soft launching pada 18 februari 2009 yang ditandai dengan lelang perdana 7 paket pengadaan barang/jasa dengan nilai Rp6,7 miliar oleh Bupati Luwu Utara kemudian dilanjutkan dengan pelelangan seluruh paket yang nilainya di atas Rp100 juta.

=Migrasi dari sistem Semi Elektronik ke sistem Full Elektronik pada 18 Februrai 2010. Dalam proses migrasi tersebut pemda kembali melakukan training, sosialisasi, dan simulasi terhadap sistem baru yang dikembangkan LKPP namun sistem baru tersebut dapat lebih mudah dipahami karena prinsipnya tidak jauh berbeda dengan sistem sebelumnya serta struktur organisasi Sekretariat Layanan e-Procurement berubah menjadi Sekretariat Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).

Dampak migrasi tersebut antara lain
:

=Pada sistem semi, proses-prosesnya masih ada tahapan menggunakan manual (tahap penawaran). Pemasukan penawaran masih harus memasukkan dokumen yang hard copy yang memungkinkan kebocoran atau permainan. Full yang dikembangkan LKPP semua sudah menggunakan elektronik sehingga tidak ada kotak-kotak penawaran

=Sistem sanggahan masih menggunakan manual setelah migrasi sistem sanggahan sudah online antara penyanggah dan yang menerima sanggahan

=Keamanan; full elektronik tidak ada lagi celah, data-data yang diupload rekanan pada awal tidak ada lagi kemungkinan diubah oleh panitia, menghindarkan permainan antara panitia dan rekanan

=Proses anuising dalam sistem full elektronik memungkinkan tidak ada lagi tatap muka antara panitia dan vendor.Jadi kalau ada yang bertanya modelnya seperti chatting. Semua proses komunikasi terekam historinya karena sebelum chatting harus log in terlebih dahulu.

=Full Elektronik mengharuskan bekerja tepat waktu. Pada saat masih semi elektronik yang memungkinkan adanya tahapan menggunakan sistem manual. Semua patuh pada waktu dari sistem yang telah ditetapkan.(Ahmad Syam-FIPO)

Kawasan Konservasi Perairan Berbasis Desa-Kabupaten Kepulauan Selayar-Kategori Lingkungan Hidup

Kabupaten kepulauan Selayar memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi dan merupakan bagian dari kawasan segitiga terumbu karang. Memiliki 51.596 ha kawasan terumbu karang termasuk kawasan taman nasional Taka Bonerate seluas 40.875 ha. Memiliki 576 jenis ikan, 236 species karang keras, 31 genera karang lunak, 21 genera sponge selain itu memiliki 9 jenis lamun dan 38 jenis biota asosiasi dengan padang lamun. Di perairan Selayar juga dijumpai ikan pari manta, hiu, penyu, lumba-lumba dan paus.

Kekayaan hayati laut Selayar membawa banyak manfaat bagi masyarakat terutama sektor kelautan dan perikanan, pariwisata dan perlindungan pantai. Terumbu karang yang cantik menjadi tujuan favorit bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Terumbu karang, hutan bakau dan padang lamun juga merupakan rumah, tempat berkembang biak, mencari makan dan berlindung bagi ikan-ikan dan biota laut lainnya. Di sisi lain terumbu karang, hutan bakau dan padang lamun adalah pelindung pantai alami dari gempuran ombak sehingga pantai tidak terabrasi.

Namun sayangnya kekayaan hayati laut Selayar yang membawa banyak manfaat bagi masyarakat juga pendapatan bagi masyarakat Selayar mulai terancam. Berbagai ancaman yang dapat merusak kekayaan hayati laut tersebut antara lain 1) Penangkapan ikan dengan cara merusak seperti penggunaan bom,potassium dan sianida, 2) Pembuangan Limbah kelaut, 3) Penebangan Hutan Bakau, 4) Pengambilan terumbu karang, 5) Pemanasan Global.

Salah satu upaya yang efektif untuk mengatasi ancaman terhadap sumberdaya hayati laut yaitu dengan pembentukan Kawasan Konservasi Perairan/Laut (KKP/L).
Adapun tujuan pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Kabupaten Kepulauan Selayar yaitu :
1. Melestarikan sumberdaya hayati pesisir dan laut Kab. Kep. Selayar agar dapat terus-menerus memberikan manfaatnya (ecosystem services) bagi masyarakat lokal, Kabupaten Kepulauan Selayar dan Provinsi Sulawesi Selatan.
2. Keberlanjutan Pariwisata bahari dengan melestarikan asset utama pariwisata bahari seperti terumbu karang, ikan Pari Manta, Lumba-lumba, ikan mola-mola, Paus, Penyu dan biota laut lainnya. Keberlanjutan pariwisata bahari tidak saja berdampak kepada mata pencaharian masyarakat Selayar, tetapi juga income bagi Propinsi Sulawdesi selatan.
3. Keberlanjutan Perikanan dengan ekosistem tempat ikan berkembang biak, berlindung dan mencari makan. Keberlanjutan perikanan ini akan berdampak langsung kepada mata pencaharian masyarakat lokal, khususnya nelayan.
4. Mempertahankan pelindung alami pantai dari gempuran ombak dan gelombang. Terlebih lagi dengan adanya dampak pemanasan global dimana permukaan air laut meningkat dipandang penting untuk pulau-pulau kecil untuk mempertahankan pelindung alami pantai.

Mekanisme Program :
- Dilakukan sosialisasi Kawasan Konservasi Laut daerah (KKLD) di tingkatan desa
- Koordinasi dalam rangka persiapan penetapan calon lokasi KKLD di 52 desa pesisir
- Penetapan calon lokasi KKLD di tingkatan desa
- Penetapan calon lokasi KKLD di tingkatan kabupaten
Cikal bakal dari Pembentukan KKLD adalah 52 Daerah Perlindungan Laut (DPL) dari 52 Desa Pesisir di Selayar. DPL sendiri bertujuan untuk memberikan perlindungan khusus terhadap suatu kawasan yang secara ekologis bernilai tinggi, yang terbentuk baik melalui peraturan formal yaitu Peraturan Desa (Perdes).

Pembentukan DPL agar efektif dan efisien ditunjang dengan sebuah aturan hukum yang kuat di tingkat desa. Di Selayar DPL ditunjang dengan perdes. Perdes menjadi landasan pemberian sanksi bagi siapapun yang melanggar peraturan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang dan ekosistem terkait. Mekanisme pembuatannya adalah sebagai berikut :
1. Desa Pesisir memiliki Perencanaan Pengelolaan Terumbu karang yang berisi :
• Visi, misi, tujuan sasaran
• Program Pengelolaan terumbu karang desa
• Pelaksanaan pengelolaan terumbu karang desa
2. Perencanaan tersebut melalui :
• Musyawarah desa antara Pemerintah, BPD, masyarakat dan penyuluh desa
• Perumusan jenis-jenis sumberdaya yang perlu diatur pemanfaatannya
• Perumusan Kegiatan yang diperbolehkan
• Perumusan larangan-larangan
• Perumusan sanksi-sanksi pelanggaran
3. Hasil Musyawarah desa dan masyarakat menjadi draft perdes DPL
4. Mensosialisasikan draft perdes ke masyarakat
5. Draft Perdes DPL kemudian diusulkan dalam rapat antara Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang setelah disetujui BPD dapat menjadi perdes tentang DPL.
6. Pelaksanaan Perdes DPL oleh masyarakat.
Dalam perdes ini telah ditetapkan tentang alokasi wilayah desa yang menjadi lokasi daerah perlindungan laut sekurangnya 10% dari wilayah laut yang terbagi dalam zona inti dan zona penyangga. Dalam zona inti tidak diperkenankan sama sekali masyarakat untuk melakukan penangkapan ikan, melabuhkan perahu, bahkan melintasi wilayahnya. Kegiatan pencarian ikan dan sumber daya biota lainnya hanya dapat dilakukan di wilayah penyangga dan luar wilayah konservasi.(Saiful Rijal Yunus-FIPO)

Saturday, July 2, 2011

Kinerja Pelayanan Kesehatan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan 2010



Penulis Laporan: Ahmad Syam
Data Survei : Imdev Research Institute
Penerbit : The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO)

Abstract

Local autonomy, up to now, has been implemented in Indonesia for more than one decade. Many things have to be improved. However, this also brings much benefit in improving governance at local level. Some local authorities initiate innovative programs to overcome local problems. The initiative of South Sulawesi Provincial government to introduce free health care system indicates the more freedom given to local government in managing their resources. On the other hand, some local governments do not respond this opportunity well. Some governments do not seem to consider that innovative program will develop their region. Survey conducted by the Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) shows only 50,13 percents respondents think that some local authority heads have strong commitment in achieving the objective of local autonomy. FIPO’s monitoring during 2010 found that some districts/municipalities have strong initiative in improving health services. This can be seen from the programs in helping people to reach health service facilities and in health services cost reduction. Nevertheless, in general, creating innovative programs does not seem to be the agenda of some local authority heads. Most programs presented to FIPO are central government programs. Local governments lack of initiative in designing better programs suggests that they do not seem to feel free in creating their own programs. Regarding surveys on the public, local governments in South Sulawesi have not involved people in preparing health care budget. This kind of condition is also work for the transparency in the process budget examination.

Pendahuluan

Komitmen pemerintah meningkatkan layanan kesehatan secara baik terlihat nyata dari program kesehatan gratis. Masyarakat pun menyambut dengan suka cita dengan berbondong-bondong mendatangi lokasi-lokasi pelayanan kesehatan (RSD, puskesmas, pustu, bidan desa). Antusiasme masyarakat mengunjungi lokasi-lokasi pelayanan kesehatan tersebut boleh jadi mencerminkan dampak dari konsep murah yang diusung program kesehatan gratis, atau juga bisa menggambarkan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk peduli pada kesehatan dirinya.

Data menunjukkan, jumlah kepesertaan program kesehatan gratis yang diluncurkan sejak 1 Juli 2008 meningkat dari tahun ke tahun (2008: 4.298.110 jiwa; 2009: 4.472.546 jiwa; dan 2010: 4.576.525 jiwa). Dari jumlah tersebut sebagian besar mendapatkan pelayanan di puskesmas dan selebihnya memanfaatkan rumah sakit rujukan kelas tiga.

Namun, di tengah masyarakat yang antusias tersebut masih banyak harapan masyarakat yang belum terpenuhi oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab mendistribusikan layanan kesehatan. Dalam beberapa kasus masyarakat masih mengeluhkan keramahan petugas, molornya waktu pelayanan, prosedur yang berbelit-belit, diskriminasi pelayanan, hingga fasilitas toilet.

Artinya, pada satu sisi pemerintah berhasil mendekatkan layanan kesehatan kepada masyarakat dari segi keterjangkauan biaya tetapi, pada sisi lainnya, pemerintah belum sepenuhnya berhasil mendekatkan layanan kesehatan maksimal (maximal health service) dari aspek kualitas layanan. Fakta ini kemudian membangun persepsi masyarakat bahwa hal yang gratis biasanya bermutu rendah.

Laporan ini menyajikan fakta pelayanan kesehatan di 23 dari 24 kabupaten/kota se-Sulsel (Kabupaten Toraja Utara belum dinilai untuk Otonomi Awards 2010/2011). Fakta-fakta tersebut adalah praktik atau program inovatif pelayanan kesehatan yang dilakukan pemerintah daerah sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik.

Pada laporan ini juga tersaji persepsi masyarakat terhadap kinerja pelayanan kesehatan pemerintah daerah. Di era otonomi daerah pemerintah daerah dituntut membuat prakarsa dan inisiatif cerdas guna meningkatkan pelayanan kesehatan. Persepsi masyarakat atas program tersebut digali dari survei publik sebagai informasi penyeimbang bagi pemerintah daerah, khususnya pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Indikator Kesehatan dalam Skema FIPO

Layanan kesehatan, pendidikan, dan administrasi dasar kependudukan dan perizinan dalam skema the Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) merupakan bagian dari parameter layanan publik. Parameter yang secara khusus didesain untuk mengetahui indikator sufisiensi atas kebutuhan dasar sosial.

Sesungguhnya, hakikat otoda adalah mendekatkan layanan pemerintah daerah (pemda) terhadap masyarakatnya. Otoda juga berkonsekuensi pada menguatnya kewenangan pemda. Sedikitnya dua dampak yang sudah pasti timbul. Pertama, pemda dapat merencanakan dan menjalankan urusan pemerintahan sendiri. Kedua, pemda praktis akan lebih kreatif dan inovatif.

Berpedoman pada kedua dampak tersebut maka dalam era otoda ini pemda sedapat mungkin memunculkan serangkaian prakarsa dan terobosan inovatif terkait layanan kesehatan. Dalam skema FIPO terdapat lima isu strategis yang terkait dengan objek penilaian indikator layanan kesehatan.

Pertama, aksesibilitas layanan kesehatan yang mencakup layanan yang mudah, murah, terjangkau, dan merata. Problem terkait isu strategis ini adalah masih terbatasnya akses masyarakat terhadap layanan kesehatan. Meski layanan kesehatan gratis telah diberlakukan di tingkat puskesmas yang memungkinkan layanan diakses masyarakat tanpa biaya, namun di beberapa daerah masyarakatnya hanya mendapat kunjungan layanan kesehatan sekali dalam setahun. Artinya, persoalan aksesibilitas masih menyisakan persoalan-persoalan pada pemerataan. Dalam hal ini, diperlukan upaya dan kebijakan dalam hal pemerataan penempatan tenaga medis dan paramedis.

Kedua, ketercukupan sumber daya manusia dan sarana-prasarana. Persoalan menyangkut isu strategis ini misalnya pada terbatasnya petugas layanan kesehatan baik di tingkat puskesmas maupun polindes. Padahal, ketercukupan tenaga medis dan paramedis berperan penting dalam mendukung optimalisasi layanan kesehatan. Dalam skema FIPO, ketercukupan tenaga kesehatan tercermin dari rasio perbandingan keberadaan tenaga kesehatan dengan jumlah penduduk.

Ketiga, sistem perlindungan kesehatan sebagai isu strategis yang berhubungan upaya-upaya menjamin kesehatan masyarakat. Pemerintah daerah sedapat mungkin menyelenggarakan program kesehatan yang mengarah pada tindakan promotif tentang perilaku hidup sehat dan juga program-program preventif.

Keempat, isu strategis tentang komitmen anggaran kesehatan tercermin dari bantuan pemerintah kepada masyarakat dalam bidang kesehatan. Namun demikian, alokasi anggaran yang ideal yang diharapkan adalah alokasi yang bersifat distributif berkeadilan.

Sedangkan kelima, partisipasi penyelenggaraan layanan kesehatan adalah isu strategis yang memungkinkan sinergi pemerintah dan masyarakat dalam penanganan kesehatan. Artinya, persoalan kesehatan tidak seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah semata melainkan tanggung jawab masyarakat.

Metodologi dan Ruang Lingkup

Laporan ini adalah bagian dari hasil monitoring the Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) yang secara keseluruhan menggunakan paket metodologi sistem monitoring evaluasi kompetitif dan partisipatif (simonev komparatif). Sistem ini merupakan seperangkat metode dan instrument penelitian yang secara spesifik mendalami dan mengevaluasi implementasi otonomi daerah berupa preferensi lokal berdasar pandangan mereka terkait apa yang dilakukan pemda; tentang manfaat otonomi daerah untuk kemajuan daerah. Simonev komparatif melibatkan kompetisi antarkabupaten/kota dalam satu provinsi.

Simonev komparatif mengandalkan tiga jenis pengukuran utama yaitu inovasi, survei publik, dan data dan fakta tentang pencapaian keluaran dan dampak dari kebijakan dan program pemda. Untuk menjalankan simonev komparatif FIPO mengaplikasikan empat teknik pengumpulan data yaitu wawancara semi-terstruktur, observasi, review dokumen resmi, dan survey publik.

Ruang lingkup laporan ini meliputi analisis program dan kebijakan peningkatan akuntabilitas publik kabupaten dan kota se-Sulawesi Selatan. Dalam survei publik terdapat 2.300 responden di 23 kabupaten/kota yang dikonfirmasi terkait program-program yang dijalankan kabupaten/kota.

Program Daerah Menonjol Berdasarkan Indikator Kesehatan FIPO

-Indikator Aksesibilitas (mudah, murah, terjangkau dan merata)

Inisiatif paling menonjol dari program kesehatan yang diselenggarakan kabupaten/kota terkait aksesibilitas terlihat dari program “Brigade Siaga Bencana (BSB)” di Kabupaten Bantaeng. Pelayanan BSB adalah layanan 24 jam yang melibatkan 20 dokter umum, 8 perawat, dan 4 sopir. Setiap hari dibagi 3 shift jaga pagi, siang dan malam dengan masing-masing shift terdiri dari 1 dokter umum, 2 perawat, dan 2 sopir. Masyarakat yang membutuhkan bantuan BSB dapat meminta pertolongan melalui call centre 113 (gratis). Layanan BSB yang menerima panggilan tersebut segera meluncur menuju pasien dan langsung melakukan diagnosa apakah pasien hanya dirawat di rumah atau harus dirujuk di puskesmas/rumah sakit.

Pada catatan sekretariat BSB, rata-rata jumlah panggilan setiap bulan sebanyak 150-200 kali panggilan. Kasus yang ditangani bukan hanya pasien di rumah-rumah tetapi juga pasien akibat kecelakaan lalu lintas serta pasien luka bakar pada kejadian kebakaran. Tim ambulans BSB dalam mengantisipasi kasus luka bakar akan mengikutkan 2 ambulans dibelakang mobil pemadam kebakaran.

Inisiatif menonjol lainnya dilakukan Kabupaten Sidrap melalui program “Akses Layanan Kesehatan untuk Daerah Terpencil”. Berpedoman pada Perda No.2 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis pemerintah daerah mendorong puskemas melayani rawat inap. Total 14 puskesmas di Kabupaten Sidrap 12 puskesmas telah melayani 24 jam perawatan, sedangkan 2 puskesmas lainnya tidak melakukan layanan yang sama karena berdekatan dengan rumah sakit.

-Indikator Ketercukupan Sumber Daya Manusia dan Sarana-Prasarana

Sepanjang 2010 tidak terdapat kebijakan/program yang menonjol terkait pemenuhan sumber daya manusia (tenaga medis/paramedis) di kabupaten/kota di Sulsel. Hal tersebut, tentu saja, berbanding terbalik dengan kebutuhan tenaga kesehatan (dokter/perawat) di daerah masih tinggi terutama pada daerah-daerah terpencil.

Namun demikian, pada bidang penyediaan sarana-prasarana kesehatan FIPO menemukan beberapa program yang menarik di daerah. Program Pembangunan Tempat Pelayanan Kesehatan Minimalis di Kabupaten Wajo, misalnya, adalah salah satu program tersebut. Selain diadakan peningkatan fasilitas dan kegiatan setiap puskesmas, pustu, polindes, dan poskesdes juga dibangun dengan konsep/gaya minimalis. Arsitektur dan cat bangunan yang mengadopsi konsep minimalis tersebut dimaksudkan untuk memberikan nuansa baru dan tidak monoton sehingga menarik minat masyarakat untuk lebih sering berkunjung ke tempat-tempat pelayanan kesehatan.

Perbaikan kualitas sarana-prasarana tempat pelayanan kesehatan juga dapat ditemukan di Kabupaten Pinrang melalui program e-Puskesmas. Program ini ditujukan untuk membangun sistem informasi yang lebih praktis dan efisien dalam proses pelayanan kepada masyarakat. Harapannya, program ini memberi efek yang mengarah pada perencanaan pelayanan yang lebih maksimal.

Output lainnya yakni kemudahan bagi Dinas Kesehatan setempat dalam memantau kegiatan sehari-hari di puskesmas. Data-data seperti jumlah pasien, jenis penyakit, dan obat dapat dipantau setiap hari tanpa harus menunggu laporan mingguan atau bulanan. Bahkan, program ini menjamin akuntabilitas atas pelayanan puskesmas yang diberikan kepada masyarakat karena data-data yang diinput setiap hari dapat dicocokan dengan kondisi ril di lapangan.

-Indikator Sistem Perlindungan Kesehatan

Sistem perlindungan kesehatan adalah langkah-langkah preventif untuk mencegah atau sekurangnya meminimalisasi terganggunya kesehatan masyarakat. Pembentukan kelompok kerja penanggulangan HIV pada setiap kecamatan di Kota Makassar adalah upaya menjaga kelangsungan penanggulangan HIV.

Di kabupaten Takalar pendidikan perilaku hidup sehat ditanamkan sejak dini bagi murid-murid sekolah dasar (SD). Pembelajaran perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui kebiasaan cuci tangan pakai sabun (CTPS), buang air besar di jamban, dan buang sampah di tempat sampah telah diterapkan pada 10 SD. Alhasil, tingkat ketidakhadiran karena sakit berangsur turun yang mulanya mencapai 50 persen menjadi sisa 20 persen.

-Indikator Komitmen Anggaran Kesehatan

Berbagai upaya memperkuat program kesehatan gratis sebagai wujud adanya komitmen anggaran kesehatan dari pemerintah daerah. Di Luwu Timur, misalnya, selain menggratiskan layanan pengobatan juga memberikan secara cuma-cuma 3 (tiga) kantong darah bagi yang membutuhkan.

Di lain pihak, komitmen anggaran kesehatan juga ditunjukkan melalui perbaikan kualitas mutu layanan di tingkat puskesmas. Caranya? Mendorong puskesmas-puskesmas menerapkan standar ISO sebagaimana yang dilakukan di Enrekang dan di beberapa kabupaten/kota lainnya. Pemerintah Kabupaten Enrekang melalui Dinas Kesehatan dan manajemen puskesmas memulai kampanye menjadikan seluruh puskesmas di Enrekang bersertifikat ISO dengan melakukan pelatihan terhadap pengelola puskesmas. Hasilnya, anggaran yang dibelanjakan untuk memperbaiki mutu puskesmas dengan pelatihan manajemen puskemas membuahkan hasil dengan terdaftarnya 3 puskesmas di Enrekang dengan standar yang baik.

Hal yang hampir sama dilakukan Kabupaten Pangkep melalui program “Quality Assurance”. Untuk memperbaiki mutu layanan maka Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep mengeluarkan anggaran pelatihan manajemen dan peningkatan mutu layanan kepada para pengelola puskesmas.

-Indikator Partisipasi Penyelenggaraan Layanan Kesehatan

Tidak banyak inisiatif menonjol terkait partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan layanan kesehatan sepanjang 2010. Meski demikian, FIPO menemukan adanya keseriusan pemerintah daerah dalam menjalankam beberapa program turunan dari program Desa Siaga.

Perilaku hidup sehat seperti membiasakan buang air besar di jamban menjadi pintu masuk bagi pemerintah daerah/dinas kesehatan melibatkan partisipasi dalam pengadaan jamban. Kegiatan arisan jamban keluarga (jaga) yang dilakukan Parepare dan Luwu Utara bukan hanya membentuk perilaku hidup sehat tetapi juga mendorong masyarakat dalam merencanakan dan mambangun sarana kesehatan milik mereka secara partisipatif.

Hasil Survei Publik: Konfirmasi Publik atas Layanan Kesehatan Pemerintah Daerah

Penilaian FIPO mencakup program inovasi, eksisting data, dan survei publik. Sebagian bagian integral dari penilaian FIPO, survei publik sebagai alat mengonfirmasi beberapa temuan kualitatif hasil in-depth interview (wawancara mendalam) dengan pemerintah daerah. Hasil survei ini diharapkan tidak hanya menguatkan program-program pemda tetapi juga dapat memunculkan persepsi negatif program-program pemda.

Metode Survei
Survei ini dilakukan dengan mewawancarai responden secara langsung selama Januari-April 2011. Jumlah responden adalah 2.300 orang yang berdomosili di 23 kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan. Masing-masing kabupaten/kota terdiri dari 100 responden dengan usia minimal 17 tahun yang dipilih secara purposif. Sebanyak sepuluh kelompok responden yang merupakan kalangan well-educated dan well-informed yang mewakili latar belakang profesi, yakni asosiasi profesi kesehatan, asosiasi profesi pendidikan, LSM, organisasi massa, mahasiswa, pelajar, PNS, dan investor

-Apakah lokasi Fasilitas Kesehatan (Puskesmas, RSD, Pustu, Bidan Desa) Semakin Mudah Dijangkau dan Merata

Hasilnya menunjukkan 61,6% responden yang mempersepsikan baik atas pertanyaan apakah lokasi fasilitas kesehatan (puskesmas, RSUD, pustu, bidan desa) semakin mudah terjangkau. Sisanya sebanyak 18,7% mengatakan sangat baik, sedangkan yang mengatakan sangat tidak baik sebanyak 2,7% dan yang menjawab tidak baik yakni 17,1%.

Secara akumulatif, responden yang menjawab baik (80,2%) yang sangat jauh lebih besar daripada yang menjawab tidak baik (19,8%). Artinya, sebagian besar masyarakat menilai bahwa akses lokasi fasilitas kesehatan sudah semakin mudah.

-Apakah daya Tampung Fasilitas Kesehatan (Puskesmas, RSD, Pustu, Bidan Desa) Semakin Memadai

Pada pertanyaan apakah daya tampung fasilitas kesehatan (puskesmas, RSUD, pustu, dan bidan desa) semakin memadai, responden yang menjawab baik (60,0%), yang menjawab sangat baik (12,8%), sedangkan yang menjawab sangat tidak baik (3,7%) dan yang menjawab tidak baik (23,5%).Meski responden yang menjawab baik mencapai 60,0% namun bila diakumulasikan antara yang menjawab baik dan tidak baik maka yang menjawab tidak baik masih tinggi yakni (27,2%) dan yang menjawab baik (72,8%). Masih besarnya persentase jawaban tidak tidak baik (27,2%) menunjukkan masih besarnya persoalan pada daya tampung fasilitas kesehatan.

-Apakah biaya Pelayanan Kesehatan di Fasilitas-fasilitas Tersebut Semakin Terjangkau

Seiring dengan program kesehatan gratis yang gencar diprogramkan kabupaten/kota se-Sulsel, pertanyaan apakah biaya pelayanan kesehatan di fasilitas-fasilitas tersebut semakin terjangkau direspon positif dengan jawaban baik dari 58,4% responden dan jawaban sangat baik sebanyak 13,0%. Adapun responden yang menjawab sangat tidak baik dan tidak baik masing-masing 5,3% dan 23,3%. Secara akumulatif, responden yang menjawab tidak baik (28,6%) dan yang menjawab sudah baik (71,4%).

-Apakah kualitas Pelayanan Kesehatan Semakin Meningkat

Hasil survei FIPO mendapatkan jawaban tidak baik (30,40%) yang cukup signifikan untuk pertanyaan menyangkut kualitas pelayanan kesehatan yang semakin meningkat, sementara 6,80% responden lainnya menjawab sangat tidak baik.

Meski persentase responden yang puas lebih besar dengan menjawab kualitas layanan sudah baik (52,20%) dan yang menjawab sangat baik (10,60%), tetapi secara akumulatif hasil survei tidak dapat mengingkari masih tingginya penilaian bahwa kualitas layanan kesehatan belum mencerminkan harapan yang sebenarnya. Setelah diakumulasikan maka jawaban baik (62,8%) dan yang menjawab tidak baik (37,2%).

-Apakah Prosedur Pelayanan Semakin Mudah

Terkait pertanyaan apakah prosedur pelayanan yang semakin mudah, respon responden bervariasi. Total 2.300 responden memberikan jawaban baik sebanyak 64,4% dan yang menjawab tidak baik atau sama dengan prosedur pelayanan belum benar-benar mudah adalah 35,6%.

Jika memperhatikan dua pertanyaan terakhir (d & e) yang menanyakan kualitas dan prosedur pelayanan maka terlihat kesamaan persepsi publik. Jawaban responden yang mengatakan kualitas dan prosedur pelayanan belum baik untuk kedua indikator penilaian tersebut di atas 35%.

-Apakah ada Kecukupan Jumlah Dokter (dan Spesialis), Paramedis, dan Bidan

Responden juga dimintai pendapatnya tentang dampak pelaksanaan otonomi daerah terhadap peningkatan kesesuaian (responsivitas) antara kebijakan dan program pemerintah daerah dalam pelayanan kesehatan dan kebutuhan masyarakat. Salah satu indikator penilaian adalah kecukupan jumlah dokter (dan spesialis), paramedis, dan bidan. Jawaban publik atas pertanyaan apakah kecukupan jumlah dokter, paramedis, dan bidan adalah: 43,2% yang menjawab tidak baik dan 56,8% menjawab baik.

Persoalan utama terkait kecukupan dokter, paramedis, dan bidan selain menyangkut jumlah juga pemerataannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat ditingkat desa, terutama di wilayah-wilayah terpencil dan sangat terpencil, mengeluhkan kekurangan petugas kesehatan di desa mereka. Seringkali bidan desa yang ditempatkan di wilayah tersebut hanya bertahan 1-2 bulan lalu minta pindah tempat tugas.

-Apakah Penurunan Pungutan Tidak Resmi

Kebijakan dan program kesehatan gratis ternyata belum sepenuhnya berdampak pada penurunan pungutan tidak resmi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Hal tersebut tercermin untuk pertanyaan di atas yang mana secara akumulatif responden yang menjawab tidak baik masih tinggi yakni sebanyak 39,5 persen dan yang menjawab sudah baik sebanyak 60,5%.

-Apakah Masyarakat dari Semua Kalangan Meski Berbeda Status Ekonomi, Sosial, dan Budaya Bisa Mendapatkan Pelayanan di Fasilitas Kesehatan di Daerah

Hasil ini menjelaskan korelasi antara pelaksanaan otonomi daerah dan upaya-upaya peningkatan kesetaraan kesempatan mendapatkan pelayanan kesehatan. Sejauh mana otonomi daerah berdampak terhadap kesetaraan kesempatan semua kalangan meski berbeda status ekonomi, sosial, dan budaya untuk mendapatkan pelayanan pada tempat-tempat fasilitas kesehatan daerah.

Secara akumulatif diperoleh 27,7% responden menjawab bahwa keseteraan kesempatan belum baik, sedangkan sebanyak 72,3% yang memberi jawaban sudah baik. Persentase secara akumulatif tersebut mencerminkan kesetaraan pelayanan kesehatan di Sulsel oleh mayoritas responden dianggap baik.

-Apakah Fasilitas Kesehatan Daerah (RSD, Puskesmas, Pustu, Bidan Desa) Memberikan Keringanan Biaya Bagi Warga Tidak Mampu

Hasil ini menggambarkan bagaimana persepsi masyarakat menyangkut upaya pemerintah daerah dalam memberikan keringanan biaya bagi warga tidak mampu pada fasilitas kesehatan daerah. Apakah reaksi responden? Jawaban yang mengatakan tidak baik (26,9%) dan jawaban baik (73,1%).

-Apakah Meningkatnya Pelibatan Masyarakat dalam Penyusunan Anggaran Kesehatan

FIPO, melalui mitra tim survei yang bekerja secara independen, menyurvei dampak pelaksanaan otonomi daerah terhadap peningkatan partisipasi masyarakat dan transparansi pemerintah daerah dan/atau fasilitas kesehatan daerah dalam pelayanan kesehatan.

Jawaban atas pertanyaan apakah ada peningkatan pelibatan masyarakat dalam penyusunan anggaran kesehatan (APBD); sangat tidak baik (8,5%), tidak baik (40,5%), baik (41,7%), dan sangat baik (9,3%). Secara akumulatif, persepsi responden tentang partisipasi masyarakat dalam pelayanan kesehatan adalah jawaban baik (48,8%) lebih rendah dibandingkan jawaban tidak baik (51,2%).

-Apakah Semakin Transparan Proses Pembahasan Alokasi Anggaran Kesehatan

Hasil survei ini masih kelanjutan dari indikator penilaian di atas. Survei ini menyangkut seberapa besar transparansi pemerintah daerah dalam proses pembahasan alokasi anggaran kesehatan (APBD). Setelah diakumulasikan atas jawaban baik dan tidak dari responden maka diperoleh hasil bahwa jawaban baik hanya (50,9%) dan jawaban tidak baik (49,1%). Artinya, responden yang menilai pemerintah daerah sudah dan belum transparan dalam pembahasan alokasi anggaran kesehatan hampir berimbang.

VI. Penutup

Dari lima isu strategis yang menjadi parameter penilaian layanan kesehatan terdapat dua isu yang menunjukkan inisiatif pemerintah daerah yang masih lemah. Kedua isu tersebut adalah ketercukupan sumber daya manusia (SDM)/sarana-prasarana dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan layanan kesehatan.

Hasil pemonitoran terhadap program-program kesehatan di 23 kabupaten/kota se-Sulsel, untuk isu ketercukupan sumber daya manusia (SDM) hanya 13,04% program.

Masih kurangnya program terkait pemenuhan ketercukupan tenaga medis dan paramedis dipersepsi sama oleh publik sebagaimana terpapar dari hasil survei publik yang dilakukan FIPO (pertanyaan f). Sebanyak 43,2% responden yang menjawab bahwa tenaga medis dan paramedis belum tercukupi baik dan 56,8% responden lainnya mengatakan sudah baik.

Sementara menyangkut peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan layanan kesehatan hanya 13,04% program dari total program yang dimonitor. Jika merujuk pada survei publik maka reaksi responden sama dengan kinerja daerah dalam melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi di layanan kesehatan. Pada pertanyaan apakah ada keterlibatan pasien dan masyarakat lainnya dalam perbaikan pelayanan di fasilitas-fasilitas kesehatan, 44,8% responden mengatakan belum baik dan 55,2% responden lainnya menjawab sudah baik.

Satu catatan penting yang patut diapresiasi dan terus didorong adalah membaiknya tingkat kepuasan masyarakat atas semakin mudah dan meratanya lokasi fasilitas kesehatan. Secara akumulatif (pertanyaan a), responden yang menjawab baik (80,2%) sangat jauh lebih besar daripada yang menjawab tidak baik (19,8%). Kepuasan masyarakat tersebut berkorelasi dengan upaya daerah dalam kebijakan dan program. Dari keseluruhan program/kebijakan yang dimonitor, sebanyak 21,7% program menyangkut upaya-upaya daerah memudahkan akses publik pada layanan kesehatan.