Tuesday, July 14, 2015

Satu Dekade, Seribu Jalan Terbuka

Bu dokter seperti berpikir keras. Pilihannya ada dua dan masing-masing memiliki potensi resiko bagi si bayi dan si ibu. Kedua pilihan itu adalah: operasi caesar yakni pembedahan untuk mengeluarkan bayi dan ventouse yaitu penggunaan instrument vakum untuk menarik atau menyedut kepala bayi keluar. Dua pilihan yang mesti dijalani karena si bayi terlilit tali pusar. Dua pilihan untuk segera mengakhiri sakit yang dirasakan si ibu sehari semalam.
Pada akhirnya bu dokter memutuskan menggunakan vakum. Alhamdulillah si bayi berhasil dikeluarkan namun tidak terdengar suara tangis. Suster kemudian berseru pelan sambil menyentuhkan tangannya ke tubuh mungil tersebut: menangis! Bayi perempuan itu pun menangis.
Amira 6 bulan
Sesaat kemudian bayi seberat 2,9 kilogram dengan panjang 49 sentimeter berpindah dalam dekapan saya. Sambil melantunkan adzan dan iqamat saya terus memperhatikan benjolan di kepalanya akibat sedutan vakum tadi. Bidan menangkap kecemasan saya. Dia lalu menenangkan saya  bahwa benjolan tersebut akan diurutnya hingga mengempis.
Saya sungguh bersuka cita di Kamis (14/7/2005) malam itu. Saya tunaikan dua rakaat penanda rasa syukur. Penantian telah berjawab. Kecemasan telah berujung. Menunggui kelahiran anak pertama memang berjuta rasanya. Si pertama yang kami sematkan nama Amira. Ada harapan dari kami atas nama tersebut sebagaimana arti Amira yakni: leader! Memimpin dan membuka jalan adik-adiknya kelak. Pun, semoga suatu waktu dia menjadi pembuka jalan kemajuan dan kebaikan kehidupan banyak orang.
Batita Amira di Sydney Opera House
Amira tumbuh dengan sempurna. Air Susu Ibu (ASI) dilahapnya hingga usia 2 tahun. Selama kurung waktu tersebut tidak sekali pun dia menyentuh susu formula. Dia begitu anti susu formula. Sekali waktu pernah disodori sebotol susu formula dan ditolaknya. Maka tercatat dalam sejarah hidupnya: Amira tidak pernah menggunakan dot!
Konsisten dengan ASI berbuah manjur untuk daya tahan tubuhnya kini. Alhamdulillah, Amira termasuk jarang sakit. Misalnya, pada cuaca dingin ketika seisi rumah sudah terserang flu dia survive sendirian. Ya…Amira telah menyemai hasil dari investasi ASI ke tubuhnya saat masih bayi-batita.
Amira kecil, dan hingga kini, adalah anak perempuan yang pemalu dan pendiam jika berada di luar rumah. Tetapi tidak demikian jika dia berada dalam lingkaran keluarga. Di rumah Amira tergolong anak yang banyak bicara. Setiap hal baru yang ditemuinya di luar: di sekolah, di tempat kawan bermainnya, dan di tempat mengaji selalu menjadi bahan obrolan menjelang tidur.
14 Juli 2005 ke 14 Juli 2015 telah berjarak 10 tahun. Amira telah mewarnai kehidupan kami selama satu dekade. Dia telah membukakan ribuan jalan bagi kehidupan kami, kehidupan orangtua-nya. Dia telah memimpin kami menapaki sekian rupa kehidupan. Bahagia. Sedih. Tawa. Tangis. Wajahnya yang tenang mendamaikan kami. Matanya yang teduh adalah telaga kehidupan kami. Berbahagialah selalu, Nak! #Amira Fatiha Ahmad
Brunswick, 14 Juli 2015
Catatan:
Amira is an indirect Quranic name for girls that means “leader”, “commander”, “chief”. It is derived from the A-M-R root (to command) which is used in many places in the Quran. (http://quranicnames.com)
 

Monday, July 6, 2015

Catatan Setiap 6 Juli...

Satu Dekade adalah Modal untuk Satu Milenium
(catatan kecil untuk kado pernikahan 6 Juli 2003-6 Juli 2013)

Begitu banyak peristiwa penting di dunia pada tanggal 6 Juli. Bukalah mesin pencari informasi, Google, dan ketik ‘Historical Events on 6th July’ pada kotak penelusuran maka bermunculanlah seratusan peristiwa penting itu. Dari pendudukan Belanda atas kepulauan Banda dibawah pimpinan John Pieterszoon Coen pada 1621 yang menyebabkan 15 ribu orang meninggal dunia, keberhasilan Louis Pasteur mengujicobakan untuk kali pertama vaksin anti rabies pada 1885, Jose Rizal mendirikan League Filipina pada 1892 sebagai organisasi sipil pertama yang menginspirasi perjuangan untuk bebas dari penjajahan Spanyol, hingga satu peristiwa kemanusiaan yang masih segar di ingatan yang terjadi 2012 lalu di Turbat, Pakistan ketika sejumlah pria bersenjata melakukan aksi penembakan dan menewaskan 18 orang [duh, Gusti!].

Meski tidak tercatat dalam peristiwa penting di dunia berdasarkan pengamatan dan penilaian Google di atas, bagi saya 6 Juli 2003 adalah peristiwa paling penting karena menjadi awal kehidupan baru kita. Diiringi sesekali tembang Jawa dan sedikit lagu-lagu milik kelompok musik asal Malaysia yang saat itu lagi naik daun, Raihan, pagi di Kota Salatiga seperti milik kita berdua. Tetapi, tentu saja, yang tidak kalah menyenangkannya karena  menyaksikan wajah-wajah sumringah para tetamu, termasuk puluhan anak yatim sebagai tamu istimewa kita, yang hadir memberi doa restu.

Aduhai, masih terus mengingat-ingati banyak pesan yang tumpah-ruah di hadapan kita ketika itu; menikah itu bukanlah perjalanan bersama-sama yang hanya untuk satu-dua hari, maka upayakan terus untuk menjaga stamina kebersamaan; menikah itu adalah ruang mempertemukan seluruh persamaan dan memahami seluruh perbedaan; menikah itu seperti masuk di ‘fitting room’ untuk mengepaskan pakaian kita masing-masing; dan banyak lagi petuah-petuah. Bersyukurlah karena seluruh petuah itu adalah sumber energi dan semangat.

Oh, tetapi betapa pun kita telah bersungguh-sungguh untuk selalu terjaga dengan petuah-petuah itu, toh dalam perjalanan ini, ternyata, melewati banyak batu-batu kecil. Batu-batu yang saking kecilnya sehingga membuat kita tidak begitu awas. Saya lalu teringat petuah lainnya dari seorang penyiar Radio Gamasi [satu dari beberapa radio favorit saya, red]: “kadang bukan batu besar yang membuat orang tersandung berkali-kali, tetapi orang lebih sering tertusuk batu-batu kecil”.

Semoga batu-batu kecil itulah yang membuat kita tetap terjaga. Bukankah perjalanan ini masih panjang? Hari ini (baru) 6 Juli 2013. Jika titik startnya adalah 6 Juli 2003 silam, berarti kita baru menjalani sepuluh tahun atau satu dekade. Jika Khairil Anwar dalam puisi “Aku” berhasrat besar untuk hidup seribu tahun lagi, maka kita pun boleh menyembahkan harapan untuk bersama hingga mencapai satu titik milenium, seribu tahun ke depan.

Modalnya? Ah, tentu terlalu klise untuk mengatakan bahwa modal menuju satu milenium itu adalah cinta. Modal yang lebih realistis adalah perjalanan sepanjang satu dekade yang kita lalui; sedekade yang telah mengajarkan banyak hal; sedekade bermuram lalu kembali riang; sedekade yang telah memberikan kita tiga bocah yang baik hati sebagai amanah.

Bagian akhir dari catatan ini, saya ingin mengingat lagi puisi (satu-satunya puisi yang pernah saya buat) yang kita cantumkan di undangan sepuluh tahun lalu:

Kerinduan akan peradaban baru // seperti mencintai bunga-bunga // butuh ketekunan untuk merawatnya // dan kesabaran untuk menunggui mekarnya
Karena sejatinya kaidah perubahan // selain merupakan rangkaian proses // yang jalin-menjalin dalam ruang dan waktu // juga, hampir selalu butuh disemai dengan air mata
Air mata yang akan menjadi ratusan permata // yang jatuh di atas sayap kupu-kupu // yang beterbangan penuh keriangan // diantara wewangi serta warna-warni kembang
Kupu-kupu itu telah melihat dalam sunyi pagi // isyarat datang fajar gemilang // lalu, terbang kembali // tuk menabur benih berikut // hingga menyongsong matahari terbit...

Makassar, 6 Juli 2013
-kurang lebih pukul 24...waktu makassar-




Wednesday, June 24, 2015

Jika Nobar Bola di Kelas...

sumber: www.tempo.co

Amira, si sulung yang kini duduk di kelas IV, bercerita satu kegiatan di kelasnya sepekan yang lalu. Katanya, guru pendamping mengajak siswa-siswi menonton siaran langsung sepakbola di dalam kelas. Menonton ajang sepakbola putaran final Women World Cup 2015 yang saat ini dihelat di Kanada. Satu alasan utama nonton bareng (nobar) tersebut adalah memberikan dukungan kepada Matildas, sebutan tim sepakbola wanita Australia, yang saat itu tengah bermain di fase grup.
Di dalam kelas yang telah dilengkapi tv berukuran besar, sekira 32 inchi,  siswa-siswi larut dalam kegembiraan layaknya menonton sepakbola di rumah masing-masing. Ada sorak yang bergema sebagaimana menonton langsung di stadion. Tidak semua siswa-siswi bergabung dalam keriuhan bola, sebagian memilih aktivitas lainnya seperti membaca buku.

Cerita Amira tentang aktivitas di kelasnya di atas adalah cerita baru buat saya. Seumur-umur saya belum pernah merasakan nobar bola di kelas. Guru pula yang mengajak! Saya hanya mengingat tahun-tahun medio 1980-an ketika Mike Tyson sedang galak-galaknya. Si Leher Beton yang dinanti para penggemar tinju setiap naik ring memunculkan banyak kisah menarik. Satu diantaranya adalah pengalaman saya dan teman-teman sekelas.
Kebetulan jam tayang langsung laga Mike Tyson sekitar pukul 9 atau 10 pagi di hari sekolah. Alhasil, pada jam-jam tersebut hampir setengah dari isi kelas menghilang. Mereka menyelinap di rumah-rumah terdekat dari sekolah menunggui si Badak menyeruduk lawannya dalam hitungan 1-2 ronde. Begitu terus yang berulang setiap Tyson naik ring pada jam sekolah. Kenapa masyarakat, dari dewasa hingga anak-anak, begitu menggilai tinju dan, tentu saja, Tyson? Kemungkinan karena pada saat yang sama petinju andalan Indonesia, Ellyas Pical, juga sedang galak-galaknya.

sumber: smpn175jakarta.sch.id
 

Kembali ke kelas Amira dan masih soal sepakbola. Pada perhelatan sepakbola terakbar sejagad, World Cup 2014, di Brazil, Amira dan kawan-kawannya berpartisipasi dalam lingkup kelas. Guru mereka membagi para siswa-siswi berdasarkan negara peserta. Ada yang mendapat Perancis, Argentina, Brazil, Inggris, Italia, Australia, dan Jepang. Pokoknya mereka semua menjadi pendukung jarak jauh negara-negara tersebut. Amira sendiri mendapatkan Jerman.
 
Awalnya saya menduga dijadikannya ajang World Cup 2014 sebagai satu bagian dalam aktivitas belajar mengajar di kelas karena negara Australia ikut bertanding. Tetapi, ternyata, ada tujuan lain yang tersamarkan. Apa itu? Siswa-siswi, terutama siswi, mulai mengenali olahraga yang mulanya lebih popular untuk kalangan laki-laki. Yaa….pengenalan hal-hal remeh misalnya jumlah pemain setiap tim yang bermain, keberadaan wasit, dan nilai skor.

Di luar dari manfaat pengenalan sepakbola, siswa-siswi secara tidak langsung belajar geografi. Sesampai di rumah Amira mulai bertanya, negara Brazil, sang tuan rumah, itu di mana? Mulailah dia mencari informasi di internet tentang negara Brazil dari letak benua hingga ibukota dari negara penghasil pemain-pemain bola dunia itu.
Oleh guru mereka, siswa-siswi diberikan tugas untuk mencari bendera masing-masing negara yang didukungnya.  Mereka yang mendapatkan negara Meksiko menggambar bendera Meksiko, yang Belgia menggambar bendera Jepang, dan seterusnya. Meski hanya ditugasi oleh guru mencari informasi dan menggambar bendera negara yang mereka dukung, para siswa-siswi juga secara tidak langsung mencari informasi lainnya dari negara-negara tersebut.
 
Amira, misalnya, tidak hanya berkutat pada hitam-merah-kuning (warna bendera Jerman) tetapi juga mencari informasi lainnya tentang Jerman. Ibukota Jerman, jumlah penduduknya, bahasa yang digunakannya, hingga data demografi lainnya seperti agama-agama yang dianut oleh masyarakat Jerman.
 
Tidak puas dengan hanya menggali negara Jerman, Amira juga sangat antusias mencari tahu ke-31 negara lainnya peserta putaran final World Cup 2014 tersebut (saya duga kawan-kawannya sekelasnya pun demikian tidak berhenti hanya menggali informasi tentang negara dukungan mereka). Dia juga mendapatkan informasi tambahan beberapa negara yang penamaannya agak berbeda jika menggunakan Bahasa Indonesia. Misalnya beberapa negara yang dalam versi Bahasa Inggris berbeda jauh ketika menyebutnya dalam Bahasa Indonesia. Misalnya Pantai Gading yang ternyata Ivory Coast, Belanda adalah Netherlands, Yunani ternyata Greece, dan Amerika Serikat itu USA.

Bagi saya, yang terpikir kemudian adalah begitu menyenangkannya belajar banyak hal dengan cara yang menyenangkan pula. Dari nobar sepakbola di kelas yang dikemas sebagai bagian belajar-mengajar beragam informasi bisa dihantarkan kepada siswa-siswi.
Semoga kelak dalam kelas di sekolah-sekolah kita di Indonesia juga dapat mengagendakan nobar bulutangkis misalnya. Siswa-siswi diajak menyaksikan para pebulutangkis Indonesia berlaga di Badminton World Cup, All England, Thomas dan Uber Cup, Piala Sudirman, atau pun diajang-ajang regional seperti Sea Games dan Asian Games.
 
Brunswick, 24 Juni 2015

Monday, June 15, 2015

Enam Tahun Cahaya Bulan di Rumah Kami

Senin, 15 Juni 2015 --Ayla sebelum berangkat sekolah
Ada cahaya bulan yang terus menerangi rumah kami sejak enam tahun lalu. Cahaya bulan yang semakin hari, minggu, bulan, dan tahun semakin membesar. Seiring waktu cahayanya pun semakin terang. Di bawah sinar bulan itu kami serumah bermain bersama, bercandaan, dan saling berdekapan.
Cahaya bulan yang jatuh di rumah kami dari bulan yang bundar sempurna. Dari bulan yang dilingkari halo yang sangat indah. Saking indahnya sehingga kami serumah tidak pernah bosan memandanginya. Dari bulan yang tidak pernah terhalang oleh mendung sehingga sinarnya tidak terputus.

Gelimang cahaya di rumah kami tidak pernah berkurang dan terputus karena dari bulan yang tidak mengenal fase-fase: bulan mati-bulan sabit-bulan separuh-bulan cembung. Rumah kami selamanya seperti dipenuhi cahaya dari bulan penuh.
Pantai Akkarena, Makassar, 2012
15 Juni 2009 ada satu kuncup cahaya dalam genggaman kami. Seperti kuncup bunga, kuncup cahaya itu pun kami rawat dan jaga dengan sepenuh hati. Sekuntum cahaya itu kami beri nama AYLA yang artinya moonlight atau cahaya bulan. Ayla adalah anak kami yang kedua. Lahir pada Senin malam saat langit dipenuhi cahaya bulan. Bayi perempuan cantik berkulit putih tersebut terlahir dengan panjang 48 sentimeter dan berat 2,9 kilogram.
Ayla tumbuh normal. Di usia 0-1 tahun kadang menggigit dan mengunyah kertas dari majalah, koran, atau buku-buku yang didapatnya. Menginjak usia 11 bulan Ayla mulai belajar berjalan. Pada satu kesempatan liburan lebaran di rumah mbah Kun di Salatiga, Ayla akhirnya berhasil berjalan sendiri. Dua pekan di rumah mbah, satu pekan terakhir dimanfaatkannya untuk belajar berjalan dan berhasil.
Usia 1-2 tahun Ayla mulai mengelilingi rumah sendiri. Namun dari banyak tempat favoritnya, ada dua tempat yang paling sering dikunjunginya. Pertama, pintu samping rumah yang temboknya agak keropos sehingga dia leluasa menyalurkan hobinya mengeruk-ngeruk dan membuat lubang. Kedua, pot bunga di teras adalah destinasi Ayla satunya lagi untuk hobi lainnya yakni mengeruk-ngeruk tanah dalam pot. Maka, jika tidak melihat Ayla berada di sekeliling kami berarti dia sedang berada di salah satu dari dua tempatnya favoritnya tersebut.
Rambut Ayla termasuk kelompok rambut tipis hingga usia 2-3 tahun. Sekali waktu, begitu tipis rambut itu sehingga terlihat ada kutu rambut terlihat sangat jelas tengah berjalan-jalan di kepalanya. Pada usia ini pula Ayla menampakan pribadi yang terbuka, kepercayaan diri yang tinggi, dan senang bergaul atau bertemu banyak orang. Selalu, pada setiap pagi, dia memilih berdiri di depan pintu pagar untuk melihat dan menyapa anak-anak TK yang berangkat sekolah.
Pada pertumbuhan selanjutnya banyak kemampuan Ayla yang berkembang pesat. Terutama, dan ini spesial, adalah kemampuan bicara dan kosa kata. Kemampuan berbicara ini untuk mengganti istilah lain yakni cerewet. Sejak usia 3 tahun Ayla sangat rajin bicara, apa saja yang dilihatnya dikomentari atau ditanyakan. Saya menggelarinya sebagai radio yang tidak pernah berhenti siaran. Dia juga kadang membuat lagu sendiri yang bagi kami kosa katanya sudah sangat bagus.
Suara dan kata-kata yang keluar dari mulut Ayla sepanjang hari adalah irama dalam rumah kami. Ayla sanggup menyulap rumah kami seperti panggung orchestra di mana dia bermain dalam banyak peran: sebagai dirigen atau konduktor, yang menggesek biola, yang menekan-nekan akordian, atau pun yang memetik harpa. Suara dan kata-kata dari mulut Ayla adalah keriangan yang tidak ternilai di rumah kami.
Ayla sedang selfi
Ayla si cahaya bulan adalah penghantar cahaya di rumah kami. Ayla si cerewet adalah penghantar suara di rumah kami. Ayla membawa gelombang cahaya dan bunyi di rumah kami. Dua gelombang yang sama-sama menghantar energi.
Meski di usiamu yang kini 6 tahun Ayla baru sebatas cahaya bulan di rumah kita, semoga kelak seiring pertambahan usiamu nak,  Ayla menjadi cahaya kehidupan sekelilingmu, masyarakatmu, dan sesamamu. Pun semoga kelak Ayla akan menjadi penghantar energi kegembiraan dan perbaikan kehidupan banyak orang. Inilah kado untukmu Ayla, kado sederhana yang saya akhiri dengan mata berkaca-kaca….
Brunswick, 15 Juni 2015
Note:
Ayla, which can also be written as Aylah, Aila, Ailah, pronounced (A)rdent + pra(Y) + (LU)sh, is an Arabic word that refers to a city in southern Jordan. The city was founded by the Rashid Khalifa Uthman ibn Affan, may Allah be pleased with him. It doesn't come from a Quranic root and it doesn't seem to have any meaning other than this city, since the meaning is not bad, you can use this as a name for a girl.
Ayla is also a Turkish/Farsi name that means halo around the moon, and more generally it means moonlight. This name doesn't come from Islamic sources, but since the meaning is good Muslims can use it. (www.quranicnames.com)


Wednesday, June 10, 2015

Bocor...Bocor...di Australia pun Bocor

sumber: universalrover.wordpress.com
 
Tiga pria dan satu wanita naik ke tram di satu halte. Dari seragam mereka, kemeja putih bergaris hitam dipadu celana/rok hitam, bisa dikenali jika mereka adalah para petugas yarra trams yakni petugas yang mengurusi operasional tram. Seragam lengkapnya selain kemeja putih bergaris-garis hitam adalah rompi dengan tulisan yarra trams di punggungnya. Memang tidak selamanya dengan rompi yang memberi kesan sebagai petugas lapangan, kadang mereka juga menggunakan jas hitam dan bertopi. Namun dari banyak identitas fisik, kartu identitas diri yang tergantung di leher mereka adalah bukti paling otentik bahwa mereka adalah petugas berwenang.
Keempat petugas berseragam yarra trams tersebut bergegas menaiki tram. Tram memang tidak akan berhenti lama bila tidak banyak penumpang yang turun maupun naik. Pintu tram akan segera menutup begitu aktivitas menurunkan dan menaikkan penumpang selesai.
Belum juga para petugas itu mendapatkan posisi berdiri yang mantap, mereka masih berdiri persis di depan pintu, tiba-tiba seorang penumpang yang duduk di belakang saya terburu-buru hendak turun. Seorang wanita muda yang memegang coklat stik menekan tombol stop. Sepintas, dia terkesan terlambat menyadari kalau harus turun. Tetapi tidak demikian kesan yang ditangkap keempat petugas yarra trams. Para petugas tersebut, kemungkinan karena sudah biasa membaca perilaku penumpang yang coba-coba menghindar dari pemeriksaan, tidak tinggal diam. Mereka ikut turun mengikuti wanita muda itu. Dan….
Berjarak lima halte dari halte sebelumnya seorang pria paruh baya yang baru saja menaiki tram mengambil posisi berdiri di dekat tempat duduk saya. Ramah dia menyapa saya, apa kabar hari ini? Dia berkaos kerah dengan jeans biru tua. Tidak beda dengan pakaian para penumpang lainnya. Saya tidak menyangka dia petugas yarra trams sebelum dia mengeluarkan kartu identitas diri dari saku bajunya dan memina kartu myki saya (kartu myki adalah kartu isi ulang yang digunakan ketika berkendara transportasi publik di Melbourne, isi saldo myki minimal 7 dollar yang bisa digunakan seharian). Lelaki paruh baya itu berdua dengan seorang petugas lainnya, seorang wanita. Setelah memeriksa myki saya, keduanya lalu menyisir penumpang-penumpang lainnya dalam tram bergerbong tiga tersebut.
sumber: heraldsun.com.au
 
Seorang penumpang dua kursi di depan saya menunjukkan sikap agak jengkel ketika dimintai kartu myki-nya. Saya tidak tahu apa yang membuatnya jengkel namun para petugas tetap  memeriksa kartu myki-nya. Sebenarnya para petugas yarra trams tentu hanya menjalankan tugas mereka, hanya saja para penumpang boleh saja menyatakan protesnya atas proses pemeriksaan tersebut. Penumpang yang protes biasanya karena terganggu dengan kegiatan pemeriksaan. Boleh jadi si penumpang yang terganggu sehingga protes karena dalam sehari sudah mengalami berkali-kali pemeriksaan. Setiap ganti tram bertemu lagi dan lagi dan lagi dengan petugas….
 
Sembilan bulan terakhir yarra trams memang sibuk melakukan sidak penumpang. Program berlabel on the spot penalty fares untuk menyisir para penumpang “gelap”; penumpang yang coba-coba berkendara secara gratisan atau pun yang sengaja membayar di bawah tarif. Tahap pertama tentu saja merekrut kurang lebih 70 orang petugas baru. Petugas-petugas inilah yang naik-turun di tram-tram, khususnya di jalur gemuk, untuk mengecek kartu myki penumpang. Mereka bekerja dari pagi buta hingga malam hari. Mungkin tidak setiap waktu ada petugas membonceng di sebuah tram, tetapi kehadiran mereka bisa tidak terduga. Mungkin para penumpang tidak disidak di atas tram, tetapi kadang tidak terduga begitu penumpang turun dari tram para petugas itu telah siap mencegatnya.
Program on the spot penalty fares dibuat setelah pihak yarra trams mendapati terdapat kebocoran pemasukan sebesar 60 juta dollar Australia per tahun. Kerugian sebesar itu ditengarai karena terdapat 1 dari 10 penumpang tidak memiliki myki yang valid dan penumpang menggunakan myki bersubsidi yang tidak semestinya (myki bersubsidi hanya diperuntukkan bagi para senior, sebutan para lanjut usia, dan pelajar). Berdasarkan taksiran pihak yarra trams, kebocoran 60 juta dollars Australia setiap tahunnya jika dimaksimalkan setara dengan pembelian terbaru 10 tram atau 12 kereta api atau pun juga 150 bis.
Secara umum on the spot penalty fares bukan hanya bagi penumpang tram tetapi juga penumpang kereta dan bis. Public Transport Victoria (PTV), semacam dinas perhubungan, menyidak para penumpang di semua jenis moda transportasi publik tersebut. Mei tahun lalu pihak PTV menemukan data bahwa besaran penumpang “gelap” hampir sama baik di tram (8.8%), di bis (12.7%), maupun di kereta (6.3%).
sumber: theage.com.au
 
Bagaimana on the spot penalty fares dijalankan? Petugas dari PTV yang dibekali atribut dan kartu identitas resmi akan memberikan denda langsung kepada para penumpang “gelap”. Denda langsung di tempat sebesar 75 dollar Australia yang hanya boleh dilakukan melalui transaksi mesin kartu, tidak menerima uang dalam bentuk tunai. Jika tidak mampu membayar denda di tempat maka boleh membayar di kantor PTV yang besarnya 217 dollar Australia (wah, hampir tiga kali lipat). Sekali waktu saya mendapati ada penumpang yang sepertinya tidak mampu membayar denda di tempat dan penumpang yang duduk di sebelahnya merasa kasihan lalu membayarkan untuknya (pemandangan sosial yang aduhai…).
 
Apa yang dijalankan PTV di atas tentu belum diketahui keberhasilannya dalam menekan tingkat penumpang "gelap". On the spot penalty fares mungkin baru akan dievaluasi pada Agsustus 2015 mendatang atau tepat setahun masa uji coba denda di tempat tersebut. Mungkin juga sekaligus menyampaikan kepada publik bahwa kebocoran 60 juta dollar Australia per tahun telah berkurang atau hilang sama sekali sehingga uang sebesar itu dapat dimaksimalkan untuk terus meningkatkan layanan transportasi publik.
Ketika menuliskan ini, ribuan pertanyaan menumpuk di batin saya: apa kabar kebocoran di negeri tercinta Indonesia? Kebocoran pemasukan parkir, misalnya. Mungkinkah ada sidak untuk parkir dan jukir liar?

Brunswick, 10 Mei 2015

Friday, May 29, 2015

Datanglah Seusai Musim Gugur



Pepohonan di depan Queen Victoria Market, Melbourne, kala musim gugur (Ahmad Syam)
29 April ke 29 Mei menandai 30 hari kepergianmu, Nak. April ke Mei juga menandai puncak musim gugur di Melbourne. Pepohonan merontokkan seluruh daunnya dan menyisakan ranting yang meranggas. Daun-daun itu lalu jatuh di atas aspal, di beton-beton trotoar, dan di rerumputan. Jika datang angin, daun-daun tersebut tersapu, berlarian.
Kamu tentu tahu, Nak. Ini musim gugur terberat dalam hidupku. Saya tidak hanya berusaha beradaptasi dengan musim gugur sebagai fenomena alam tetapi juga musim gugur di hati ini.  Dua tahun empat bulan kuncup pengharapan saya jaga dan rawat. Warnanya yang hijau segar meluapkan keriangan. Namun kuncup itu tiba-tiba gugur yang membuat pengharapan saya meranggas. Persis daun-daun itu, saya berlarian di jalan-jalan, di trotoar, dan di rerumputan.
Musim gugur adalah musim dengan cuaca yang labil. Kadang langit yang semula cerah, tiba-tiba mendung, lalu hujan. Panas dingin silih berganti meski dinginnya lebih dominan karena angin memboncengi uap-uap es dari pegunungan. Dan, karakter musim gugur di hati ini pun sangat tidak konsisten. Di tengah keramaian, dalam kesibukan beraktivitas, pada sela gelak tawa selalu terselip air mata. Nak, dirimu seperti uap es yang terbawa angin lalu membuat hati ini sangat dingin.
Ya, demikianlah, siklus alam dan kehidupan memang selalu paralel. Pergiliran musim seperti halnya pergantian nasib kehidupan. Musim panas-musim dingin, siang-malam, terbit-terbenam, gugur-semi adalah sebagian dari siklus alam. Pada kehidupan terdapat senang-kecewa, tertawa-menangis, hingga lahir-mati.
Akhir Mei adalah ujung dari musim gugur, Nak. Dua-tiga bulan ke depan adalah musim dingin. Kamu tentu tahu, jaket dan selimut untukmu sebagai persiapan di musim dingin telah saya siapkan. Jaket dan selimut itu sudah tertata rapi dalam lemari. Meski kelak kamu tidak akan memakainya saya cukup bahagia memandangi dan menciuminya untuk menemukan dirimu dan bau tubuhmu. Mendekap jaket dan selimutmu sungguh memberikan kehangatan.
Jika kelak musim semi tiba? Saya harap kamu datang, Nak. Menikmati kuncup-kuncup di pepohonan. Bermain di bawah sinar matahari yang lebih banyak dan ramah. Berkejaran bersama angin yang tidak begitu menggelisahkan. Datanglah….

Brunswick, 29 Mei 2015

 


Sunday, May 10, 2015

Gerimis di Mata Ini tak Kunjung Reda, Nak!




Gerimis turun di Bandar Udara Changi, Singapura, saat saya berada di pesawat SQ yang akan menerbangkan saya ke Jakarta. Penerbangan kedua di pagi yang dingin. Jam menunjuk angka  06.40 waktu setempat. Saya mengintip butiran air yang mengalir di jendela, rintik yang berjatuhan menimpa sepanjang sayap pesawat, dan aspal landasan pacu yang hitam pekat karena basah.
Pun ada gerimis di mata saya sejak penerbangan pertama dari Bandara Tullamarine, Melbourne, pukul 24.00 semalam. Ketika antri check-in hingga tersandar di kursi ruang tunggu rintik seperti tak terbendung. Rintik yang menyatu dengan rintih. Berkali-kali saya menyembunyikan muka dengan kedua telapak tangan atau menunduk dalam-dalam sehingga orang-orang di sekitar tidak mengetahui betapa mata saya sangat basah. Jika pun ada yang menjedai gerimis yang terus berjatuhan itu tentulah tarikan nafas berat dan dalam sambil memejamkan mata.


Bayangan bocah kecil berusia hampir dua setengah tahun terus mengisi pikiran saya. Bocah yang sangat merindui saya dan saya juga merinduinya; yang begitu riang menyapa saya melalui telepon dua hari yang lalu; yang menyebut-nyebut nama saya di lelap tidurnya. Bocah yang telah terbaring kaku dan tubuh yang dingin; yang telah menyepi dalam tidur panjang; yang ruhnya telah kembali pada yang Maha Mengasihinya.


Pikiran saya sesungguhnya telah bersama bocah yang di hari ketujuh kelahirannya saya sematkan nama Aufa, namun ruang dan waktu tidak memungkinkan fisik kami bersentuhan. Perjalanan panjang kurang lebih 12 jam Melbourne-Singapore-Jakarta-Makassar adalah batasan ruang dan waktu yang saya harus lalui dengan sabar. Inilah ujian kesabaran kedua setelah ujian kesabaran sebelumnya saat kali pertama mendengar kabar duka tersebut. Apakah ujian kesabaran selanjutnya, seperti bila terkenang Aufa kelak, pun akan sanggup saya lewati?
Minggu (26/4) melalui pesan singkat bundanya mengabari saya bahwa Aufa demam. Senin (27/4) saya meneleponnya dan saya menangkap betapa senangnya dia mendengar suara saya. Seperti berusaha melepaskan diri dari demam, Aufa memanggil nama saya berulang-ulang:”Ayah...ayah...ayah!” Selasa (28/4) saya mendapatkan kabar demam Aufa sudah turun. Namun, masih sangat pagi di Rabu (29/4) sebuah pesan datang: Aufa masuk rumah sakit. Aufa dilarikan ke rumah sakit pukul 03 dinihari waktu Makassar setelah menangis sangat keras seperti menahan rasa sakit di bagian perut. Demamnya tinggi lagi dan setiap asupan makan dan minum dimuntahkannya.


Detik ke menit ke jam saya ikuti perkembangan Aufa dari ruang yang sangat jauh darinya. Menyelingi doa-doa tidak pernah putus untuk kesembuhan Aufa, saya merapikan kamar tidurnya. Memasang seprei dan selimut yang kini wangi semerbak habis dicuci. Dalam rencana, Minggu(3/5) saya akan menyusul ke Makassar untuk menjemput mereka (istri, Amira, Ayla, dan Aufa) lalu balik ke Melbourne Sabtu (9/5). Tikar baru pun siap dipasang di ruang keluarga tempat Aufa menghabiskan sebagian waktunya bermain. Saya merapikan mainannya agar sekembali ke Melbourne Aufa bisa langsung bersenang-senang.
Menjelang sore di Melbourne dan siang Makassar pesan singkat itu benar-benar membuat saya tersentak. Terdiam sangat lama karena begitu sulit memercayainya. Sejurus kemudian tangis saya pun pecah. Tubuh saya gemetaran lalu tersungkur di lantai. Saya bangkit  meraih HP untuk (lagi) membaca  pesan singkat tersebut sambil berharap ada mukjizat yang merubah pesan tersebut. Tetapi, tangis saya pecah lebih keras karena isi pesan tidak berubah: Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Aufa telah meninggalkan kita semua.


Adakah kabar yang lebih merisaukan hati selain kabar tentang sang belahan jiwa yang terkulai sakit? Adakah kabar yang lebih mencemaskan selain kabar bahwa sang kekasih hati tergolek tak berdaya dengan kondisi kritis? Adakah kabar yang lebih menggetarkan selain kabar si buah hati telah berpulang sementara kita tidak menyaksikannya? Air mata yang risau, yang cemas, dan yang gemetaran sungguh tidak akan cukup.
Gerimis di Changi seperti terhubung dengan gerimis yang mengiringi perjalanan dua jam Makassar-Jeneponto. Kenapa gerimis ini seolah-olah mengikuti saya? Apakah karena hulunya ada di mata saya? Gerimis yang berjatuhan dalam sunyi; yang membasahi duka; yang mengalirkan sendu.


Saya telah berdiri di samping mata air kehidupan saya. Mata air yang memenuhkan banyak gerimis di mata saya; gerimis suka cita kala menyambut kelahirannya dulu; gerimis kebahagiaan menyaksikan dia tumbuh;  gerimis duka saat melepaskan kematiannya kini.
Aufa adalah mata air kehidupan saya karena darinya saya mendapatkan banyak pelajaran kehidupan.  Aufa yang akan menyambut semua orang yang menghampirinya, yang menyapa setiap orang yang ditemuinya, yang sepenuh hati membalas pelukan siapa pun yang memeluknya; dan yang akan mengucapkan terlebih dahulu kata ‘tettyu’ (thank you) usai mendaratkan ciuman kepada siapa saja yang meminta dicium.

Saya mengusap kepalanya, membelai rambutnya, mencium pipinya sebelumnya menggendongnya ke tempat di mana jasadnya akan terbaring selamanya.

Entah sampai kapan gerimis di mata saya akan reda. Biarlah bersemayam selamanya.
Aufa, berangkatlah Nak! Allah yang Maha Rahiim sangat menyayangimu...

Makassar, Rabu, 6 Mei 2015


NB:
Terima kasih kepada kawan-kawan, bapak-ibu di Kelurahan Brunswick.  Terima kasih Ibu Tiwik sekeluarga, Ibu Dharma sekeluarga, Ibu Tia/Pak Agus, Pak Luhut sekeluarga, Ibu Yasmine sekeluarga, Pak Adcha/ibu Diyah, Mas Arief sekeluarga, Pak Ardhi/ibu Rini sekeluarga, Pak Dian/Ibu Zubeth sekeluarga,  Kang Erry  & keluarga, Mas Tulus Mugiyanto & keluarga, Mas Priyo, Kang Wawan, Mas Binanto, Mas Lukman, Mas Bambang, Mas Romi, Pak Lurah Brunswick-Joey, Mas Wawan, Mas Ganta, dan seluruh kawan-kawan, bapak ibu yang lainnya yang karena keterbatasan saya sehingga tidak dapat menuliskan nama-nama mereka. Terima kasih atas doa-doa dan bantuannya menguruskan keberangkatan saya Melb-Mks. Juga kepada pengurus PBrunswick yang berinisiatif menyelenggarakan shalat ghoib. Semoga Allah SWT membalaskan segala kebaikan-kebaikan tersebut dengan pahala, aamiin....

Wednesday, January 7, 2015

Dua Tahun: Aufa, Tetaplah Baik Hati....

 
 
Tanpa kata hanya dengan suara Aufa menunjuk-nunjuk gunting di atas meja dapur. Telunjuk kecilnya itu lalu berpindah ke arah lemari dapur dan seisi rumah tahulah apa yang disampaikan Aufa. Dia meminta gunting ditaruh di tempat semula di dalam lemari. Botol-botol kecap, sambal, dan saus tidak luput dari perhatiannya, bila tidak berada di tempatnya maka dia tidak akan berhenti meminta menaruhnya kembali ke letaknya yang biasa.
 
Tidak jarang tangan mungilnya dan dengan kaki sedikit berjingkrak dia meraih gelas-gelas di atas meja makan dan membawanya ke sink atau bak cuci piring. Tindakannya yang terakhir ini sering membuat saya was-was karena meski dia cukup kuat memegang dan mengangkat gelas namun saya harus mendampinginya. Bukan hanya mengantisipasi jika gelas tiba-tiba lepas dari genggamannya, tetapi juga karena dia belum bisa mencapai bak cuci di dapur tersebut.
 
Tidak hanya benda-benda di sekitar dapur yang menjadi perhatian Aufa melainkan seluruh benda-benda di dalam rumah. Buku-buku dan sepatu yang berserakan mesti ditaruh lagi di raknya. Bantal di depan TV yang tidak digunakan harus dibawa lagi ke kamar. Hebatnya, bantal-bantal itu kadang dibawanya sendiri. Walau terlihat kewalahan dua bantal di tangan kiri dan kanannya diseretnya ke kamar. Bila sempat saya membantunya dengan mengambil satu bantal tersebut dan sepanjang perjalanan ke kamar saya tak henti memujinya. Sempatkanlah untuk senantiasa memuji anak agar dia dapat mengembangkan potensi rasa percaya diri sejak dini, demikian naehat para ahli pendidikan.
 
Berkali-kali, sehabis saya menggunakan obeng dan tang, Aufa meminta saya untuk menaruhnya kembali di laci. Dia sudah tahu laci bagian mana seharusnya perkakas itu mesti berada. Begitu telah berada di depan bupet tangannya langsung menarik gagang laci paling bawah, membuka laci tersebut lalu meminta saya memasukkan obeng dan tang tersebut.
***
 
 
Dua tahun silam, tepatnya di hari Senin 7 Januari 2013, kala Makassar diguyur hujan sehingga sebagian wilayah kota tergenang air, suara tangis bayi laki-laki dengan berat 3,6 gram dan panjang  48 sentimeter memecah ruangan bersalin. Bayi laki-laki yang memulai kehidupannya di dunia pukul 22.05 tersebut terus menangis ketika suster membersihkan badannya dari lendir, darah, dan air ketuban. Tangisnya baru terhenti usai suster menyelimuti tubuhnya.


Bayi laki-laki itu kemudian berpindah ke gendongan saya. Inilah momen yang selalu membuat saya tergetar. Momen ketika saya melantunkan suara adzan ke telinga kanannya dan menyematkan iqamat di telinga kirinya. Saya sungguh bersusah payah menyelesaikan kalimat adzan dan iqamat tersebut. Suara saya terhadang haru yang membuncah di dada.
 
 
 
Tujuh hari kemudian adalah momen penting lainnya bagi si bayi laki-laki itu. Setelah mencari dan menyaring nama-nama yang baik, saya dan ibunya sepakat menyematkan nama "AUFA" kepadanya. Dalam bahasa Arab kata 'Aufa' berarti 'paling tepat', atau bila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berarti 'fuller' atau 'lebih lengkap'.
 
Kehadiran Aufa dalam keluarga kami memang di saat yang sangat tepat. Saat yang pas buat kami orangtuanya untuk kembali menerima amanah memiliki bayi mungil. Selisih usia tiga dan enam tahun dengan kedua kakak perempuannya memungkinkan kami dapat mengatur waktu menjaga dan merawatnya dengan sepenuh waktu. Buat kami, Aufa juga adalah pelengkap keluarga, yakni anak lelaki yang melengkapi dua anak perempuan.
***

 
Hari ini, Rabu 7 Januari 2015, bayi mungil itu kini telah menjelma menjadi anak kecil yang lincah, cerdas, dan baik hati. Waktu dua tahun semakin menyempurnakan seluruh fungsi organ-organ di tubuhnya. Jaringan sel otaknya berkembang pesat yang ditandai dengan pengenalan yang baik atas obyek-obyek di sekitarnya. Sisi afektifnya juga meningkat dari kesediaan dia berbagi rasa dengan orang-orang sekitarnya, termasuk dengan seorang ibu muda berkewarganegaraan Irlandia bernama Emer yang mengasuhnya dua hari seminggu. Memenuhi setiap permintaan pelukan dan ciuman dari kami orangtuanya dan kedua kakaknya dengan segera adalah wujud lain sisi afektif tersebut. Bermain outdoors adalah satu kegemarannya. Dia akan bergegas mengambil sepatunya jika diajak bermain di luar rumah. Keterampilan berlari dan melompat adalah bukti bahwa aspek psikomotoriknya pun sangat baik. 
 
 
 
Di luar ketiga aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, ada satu hal yang membuat kami semakin bangga memiliki Aufa. Seperti cerita dalam pengantar tulisan ini di atas, Aufa kerap meminta mengembalikan segala sesuatu pada letaknya semula. Bagi saya apa yang dilakukan dan diminta oleh Aufa bukanlah hal yang kebetulan. Nama Aufa yang berarti 'paling tepat' memiliki korelasi satu sifat Aufa yang senang melihat sesuatu di tempat yang 'paling tepat'. Ya, nama-nama yang kita berikan buat anak-anak kita adalah doa-doa kebaikan dan pengharapan akan sifat yang baik.
 
Anakku Aufa, tepat di usiamu yang kedua tahun di hari ini tidak perlu ada perayaan khusus. Kami orangtuamu tidak memiliki tradisi merayakan ulang tahun. Mungkin tidak ada kue tar berhias angka 2 buat kamu, tetapi percayalah ada limpahan doa-doa kebaikan dari kami untukmu. Mungkin tidak ada lilin yang dinyalakan, namun yakinlah kobaran semangat kami untuk membesarkan dan mendidikmu dengan sepenuh hati berlipat-lipat lebih besar dari nyala lilin tersebut.
 
Aufa, selamanya baik hati dan berhati baik....
 
Melbourne, 7 Januari 2015
 
Note:
 Aufa is another spelling of the Arabic boy and girl name Awfa which means "more faithful", "true to his/her promise". They are the same name and have the same meaning and pronunciation. Both spellings are acceptable. For more details on this name and its pronunciation see: Awfa (www.quranicnames.com)