Monday, August 18, 2014

Upacara Sore Hari dan 69 Penari Saman

Pasukan pengibar bendera di Federation Square (Ahmad Syam)

Dua belas orang pasukan pengibar bendera berjalan tegap dalam barisan rapi. Mereka merupakan gabungan dari lima pemuda dan tujuh pemudi Indonesia. Berseragam putih-putih dan berpeci hitam dengan logo garuda.

Ratusan pandangan mata, baik dari masyarakat Indonesia maupun warga Australia yang berada di Forecourt, Federation Square, tertuju pada mereka. Suasana berlangsung khidmat meski sesekali suara aba-aba dari komandan pasukan yang lantang dan keras seolah menenggelamkan deru mesin mobil dan gelinding-gelundang roda besi tram.

Sebelum menuju tiang bendera, pasukan pengibar bendera tersebut berjalan kurang lebih dua puluh meter. Mereka melewati tiang bendera lalu membentuk formasi berbalik, berjalan sekitar tujuh meter, berhenti persis di depan tiang bendera. Tiga dari mereka yang bertugas sebagai pengerek bendera melangkah maju, mendekat ke tiang bendera. Tidak lama kemudian terbentanglah merah-putih, perlahan digerek ke atas yang diiringi lagu Indonesia Raya dari peserta upacara dan masyarakat Indonesia yang hadir.

Sang merah putih siap dikibarkan (Ahmad Syam)


Ada rasa haru bercampur bangga menyaksikan upacara bendera memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-69 Kemerdekaan Republik Indonesia di jantung Kota Melbourne ini. Meski upacara bendera sangat berbeda dibandingkan pada umumnya upacara bendera untuk peringatan serupa di Indonesia. Jika upacara pengibaran bendera HUT Kemerdekaan Indonesia di tanah air berlangsung pada pagi hari maka sebaliknya yang berlangsung di Federation Square ini yakni sore hari, pukul 3 p.m.

Saat sang merah putih digerek ke atas ada sedikit kekhwatiran prosesi pengibaran tidak berlangsung sempurna. Terdapat bagian bendera yang terlilit di tali. Hingga mendekati puncak tiang lilitan tersebut belum lepas. Syukurlah begitu sampai di puncak lilitan terlepas oleh tiupan angin. Merah putih berkibar yang disambut tepuk tangan peserta upacara.

Merah putih yang baru saja dikibarkan tersebut melengkapi tujuh merah putih lainnya yang terlebih dahulu sudah berkibar. Di Federation Square terdapat delapan tiang bendera berjejer yang kerap digunakan sebagai tempat mengibarkan bendera oleh negara-negara yang menyelenggaraan event di lokasi bersejarah tersebut. Hari ini, tepat 17 Agustus, tiang-tiang bendera yang sehari-hari mengibarkan bendera berwarna dasar biru dengan ciri khas Union Jack, Commonwealth Star di pojok kanan bawah serta rasi bintang crux milik Australia berganti merah putih.

Delapan merah putih berkibar di jantung Melbourne (Ahmad Syam)


Usai prosesi upacara bendera yang terkesan formal, dibalut dengan kesederhanaan namun sangat khidmat dan bersahaja, kemeriahan peringatan HUT ke-69 Kemerdekaan Republik Indonesia berlanjut penampilan 69 penari yang membawakan Tari Saman. Berdasarkan informasi pihak panitia, 69 penari menunjukkan 69 tahun kemerdekaan Indonesia. Selain itu ke-69 penari tersebut juga merepresentasikan semangat yang diusung kali ini yakni ‘Unity in Diversity’ (Kesatuan dalam Keberagaman). Seperti apa semangat dari motto tersebut dalam 69 penari? Ternyata para penari bukan hanya orang Indonesia tetapi juga terdapat orang Australia, Perancis, dan Ethiopia.

Tari Saman yang telah terdaftar di badan UNESCO milik PBB sebagai warisan kebudayaan langsung memikat orang-orang yang hadir di Federation Square. Tari dengan ciri khas tepuk tangan dan tepukan di dada, serta sejumlah gerakan unik seperti gerak guncang, surang-saring, kirep, dan lingang memukau hadirin. Gerakan selaras dengan tempo cepat menggiring, menghentak, dan menggelorakan kekuatan semangat serta kebersamaan.

69 penari Saman membuat HUT ke-69 RI semarak (Australia Plus Indonesia)
Ratusan orang datang menyaksikan peringatan HUT RI (Australia Plus Indonesia)


Memang terasa pas menikmati tarian Saman hari ini. Langit yang sesekali tidak terlihat birunya karena tertutup awan tebal memang sedikit membawa gundah di hati. Apalagi angin yang bertiup sepoi membawa udara dingin. Maka dengan hentakan para penari tersebut setidaknya memberikan kehangatan.

Selamat ulang tahun indonesiaku....

Brunswick, 17 Agustus 2014
http://luar-negeri.kompasiana.com/2014/08/17/upacara-bendera-sore-hari-dan-69-penari-saman-669013.html

Friday, August 1, 2014

Mendekap Cahaya di Musim Dingin

(Ahmad Syam)

Api unggun dari beberapa bongkahan kayu terus menyala. Lidah apinya sesekali terlihat tajam. Meliuk-liuk mengikuti irama angin. Baranya berkilauan seperti tidak ingin kalah dari gemerlap lampu-lampu kota.

Menikmati api unggun tersebut seperti berada di pedalaman Australia. Tanah merah kecoklatan yang menjadi alas api unggun adalah warna tanah khas yang akan ditemukan di pedalaman-pedalaman negeri Kanguru. Sementara batu-batu kali yang mengitari api unggun membawa pikiran pada sungai-sungai berair jernih jauh di pelosok.



Beberapa orang duduk maupun berdiri di sekitar api unggun. Mereka adalah para pengunjung yang mungkin tertarik merasakan eksotisme api unggun di jantung Kota Melbourne. Atau, boleh jadi, para pengunjung datang hanya untuk berdiam diri sejenak, menghangatkan tubuh dari cuaca dingin sembari mendengarkan alunan suara, nyanyian atau pun musik Aborigin yang sesekali samar terdengar.

Lebih jauh dari sekadar kedua faktor di atas keberadaan api unggun yang menyala non-stop selama 22 hari tersebut menyertakan cerita tentang kehidupan penduduk asli Australia, Suku Aborigin. Api unggun yang dalam istilah Aborigin dikenal dengan leempeeyt weeyn memang untuk kali pertama tampil dalam event The Light in Winter. Dalam karya Vicki Couzens ini api unggun dikitari beberapa simbol-simbol. Ada simbol planet dalam sistem tata surya, ada juga simbol orang yang sedang berdansa.



Jules, salah seorang panitia The Light in Winter 2014 yang bertugas di sekitar leempeeyt weeyn, bercerita kepada saya bahwa simbol planet adalah konsep kehidupan Aborigin tentang alam semesta. Bahwa orang-orang Aborigin telah mengetahui dan menerapkan sistem pengetahuan tentang alam semesta, termasuk pergerakan matahari dan bulan serta pengaruhnya terhadap pergantian musim dalam kehidupan sehari-hari mereka ratusan tahun yang lalu. Sedangkan simbol orang yang sedang berdansa dan menari mengelilingi api adalah sisi lain dari pemaknaan orang-orang Aborigin tentang api sebagai salah satu unsur kehidupan yang penting.

Setiap musim dingin tiba dalam delapan tahun terakhir, kegiatan The Light in Winter selalu hadir menghangatkan warga Melbourne. Musim dingin yang berlangsung selama kurang lebih tiga bulan, Juni-Agustus, disambut dengan event yang menyajikan kolaborasi seni dan cahaya. Karya-karya seninya untuk dinikmati sebagai makanan jiwa dan cahaya dari lampu-lampu adalah penghangat raga. Tahun 2014 ini The Light in Winter berlangsung 1-22 Juni di Federation Square dengan beragam karya yang tidak saja memanjakan mata tetapi juga mengisi ruang batin dan memperkaya pengetahuan.

Bagi saya, selain karya api unggun khas Aborigin terdapat dua karya lainnya yang menarik perhatian. Pertama, Radiant Lines karya Asif Khan yang mewujudkan eksplorasi garis, irama, kecepatan, dan volume. Garis-garis yang membentuk 40 cincin (melingkar) berbahan dasar aluminium dengan ruang kosong di tengahnya. Pada garis-garis yang membentuk lingkaran tersebut terpasang ratusan lampu LED (light-emitting diode) yang di malam hari menyala sangat terang. Radiant Lines dibuat dengan tinggi 8 meter dan pada bagian bawahnya memungkinkan pengunjung masuk ke bagian tengahnya. Nah, pada saat pengunjung berada di tengah-tengah ruang kosong itulah sesekali terdengar getaran dari energi lampu-lampu dalam jumlah dan berkekuatan besar.



Kedua, karya yang saya amat nikmati adalah Teater Boneka ‘Papermoon’. Saya tertarik bukan hanya karena kreatornya adalah orang Indonesia, Maria Tri Sulistyani, tetapi juga karena pesan dari karya ini. Maria menggunakan boneka-boneka unik dan bertingkah aneh serta menggunakan atraksi multimedia untuk menciptakan kembali catatan-catatan personal dan kisah menyedihkan dari periode masa suram dalam sejarah Indonesia. Saya terpesona dengan penampilan boneka-boneka tersebut yang mampu merepresentasikan masa lalu dan menyajikannya di masa kini. Belum lenyap rasa kagum tersebut, tiba-tiba saya dikejutkan oleh boneka yang tiba-tiba muncul dari dalam kotak lalu menghilang dengan sangat cepat. Boneka-boneka yang bergerak memiliki daya pikat yang tak berbatas yang darinya memberikan banyak stimulan bagi imajinasi.



Pergerakan imajinasi adalah penting meski badan kaku sejenak karena dingin. Menurut saya, demikian satu dari beberapa tujuan dihadirkannya kegiatan tahunan The Light in Winter. Program-program yang berlangsung sepanjang hari hingga malam tidak saja meluapkan banyak cahaya dalam pengertian fisik tetapi juga cahaya dari kebijakan spiritual. Para pengunjung yang datang sendirian maupun bersama keluarga tidak ubahnya dalam rangka saling mendekap untuk berbagi keceriaan dan kehangatan.

Brunswick, 1 Agustus 2014
http://luar-negeri.kompasiana.com/2014/08/01/mendekap-cahaya-di-musim-dingin-666722.html

Monday, July 21, 2014

Multicultural Festival Promotes Harmony in Australia

Riders: An Arabic themed performance with camels attracts visitors. (Ahmad Syam)

Thousands of people flocked to Federation Square located at the heart of Melbourne on a recent Sunday. They scattered throughout every part of that historic public space.

Some sat comfortably under umbrellas while enjoying music from various cultures and genres. Others walked around stages watching traditional and modern dances.

Those who liked shopping went straight away to the ‘market of the world’ to find a variety of stalls selling high-quality and unique art and craft products made locally and overseas.

At another part of Federation Square, Yarra River Terrace, over 20 food stalls sold sweet and savory delights from many countries. The terrace was transformed into ‘food stalls from around the globe’.

On that day, Yarra River Terrace was teeming with Melbournians. Paths along the side of the river, which is about one meter wide, became congested. Although having to line up, people seemed to be patient in waiting for the food they wanted to order.

That particular Sunday, the Viva Victoria Multicultural Festival 2014 was held as the culmination of Harmony Day and Cultural Diversity Week.

The booklet distributed by the festival commitee, The Victorian Multicultural Commission, describes Australia as a country inhabited by people from 200 different countries, with more than 130 religions or beliefs, and with 260 languages and dialects.

Joe Crawshaw, a staff member of a local community group, said that the festival was important for the Australian community. “It is not only a chance to celebrate the many different backgrounds that people come from, but also a chance to celebrate our similarities. This country was built on people arriving from overseas, and sometimes it is too easy to overlook the contributions that different cultures have made for Australia as a whole”.

The young man, whose parents are Australian-American, added that the multicultural event strengthened the Australian community as it allowed an open conversation between cultures.

Showtime: The festival presented fascinating customs and performances from around the world. (Ahmad Syam)

Once a cultural practice that may have once seemed foreign to you is celebrated, allowing you to understand the history and culture of that group of people, it becomes a chance for people to come together and proudly share their culture with the rest of the community, he says.

The same opinion came from Ronald Rushton, 78, who has been living in Australia for a long time. “It is good to see the Multicultural Festival because we can see many people from different nationalities,” said the pensioner who works as crossing supervisor.

Ron moved from England to Australia in 1956. He thinks that it is good to live in multicultural country. “If I did not live in multicultural country like Australia I would never know about Chinese or Vietnamese food.” He added that although there were many cultural backgrounds in Australia, people can live in harmony.

Walking around the the stalls offering various crafts and foods from many countries was not only enjoyable, but also let people experience the diversity of the globe. We could find a range of crafts, from Polish cups and mugs to Laotian lau silk, and from Mexican paleta artisan ice popsicles to Indonesian cuisine.

Four main stages in different locations offering traditional and modern dance enticed visitors. It was no wonder that visitors delightedly sat under the sun with their favorite food and drinks for hours.

At the Commonwealth Bank Main Stage, the Maracatu estrele do Mar-Afro Brazilian percussion group, playing rhythms from the north-east of Brazil, opened the event. Then, nine groups from different countries presented dance and musical attractions, before the event was closed by the spirit of old Bollywood and classical Indian traditions.

Byron and the Gypsy Cats, who presented a mix of traditional music from the Greek islands and Asia Minor, was one six groups at the Riverside Terrace Stage. While at the Deakin Edge Dance Stage, Asanti Dance from Ghana performed a dance is about power, precision, and energy.

Meanwhile, at Ubuntu Yourth Stage, there were 11 performing groups. One of them was Taeme, Wubshet and Soliana, an Ethiopian circus trio that made visitors’ heads spin.

The Viva Multicultural Festival also offers visitors a chance to see Bodhi Tree-Field of Enlightenment. This was made possible by the Buddha’s Light International Association of Victoria.

The association displayed the Bodhi leaf as a symbol of peace and reminder to share thoughts of peace. The festival was also a great family day out, as parents could bring their children for special activities such as making jewelry or making flags from recycled materials, face-painti, and listening to indigeneous story telling.

The Multicultural Festival in Australia was held as the culmination of Harmony Day, aimed at showing that the Australian community can unite into a cohesive and inclusive social system.

Wednesday, May 21, 2014

Korea Jualan K-Pop di Melbourne

Anak Korea dalam busana tradisional Hanbok (Ahmad Syam)

Federation Square di jantung Melbourne, Sabtu (17/5) malam, menjadi hingar-bingar oleh musik dan lagu K-Pop. Teriakan penonton yang memadati panggung hiburan terbesar tersebut tiada henti. Sesekali malah terdengar sedikit histeris saat ke delapan grup K-Pop Contest menyuguhkan dansa yang menghentak.

Sungguh atmosfir yang tercipta terasa tidak sedang di Australia tetap di Korea. Gerimis yang jatuh satu-satu sejak petang tadi pun terhenti, seolah ikut menikmati dansa yang enerjik dan lagu-lagu yang ceria. Menikmati musik yang terolah dengan tempo cepat.

K-Pop Contest bukanlah acara tunggal yang secara khusus digelar sebagai ajang berkompetisi para pemusik Korea yang berdomisili di Australia. Kontes ini adalah rangkaian dari Korea Festival 2014. Meski demikian, K-Pop Contest menjadi acara hiburan utama karena ditampilkan di akhir kegiatan seolah menjadi pemuncak dari semua hiburan dari pagi hingga malam. Apalagi paket acaranya dibuat dalam kemasan sebuah kontes. Sekadar menerka, kemungkinan penyelenggara sengaja ingin menjual genre musik hip-hop tersebut kepada publik Australia.

Sejumlah grup K-Pop sedang beraksi (Picture: Tommy)


Tentu panitia Korea Festival 2014 punya alasan mengapa K-Pop harus diperdengarkan lebih intens bagi masyarakat Australia. Satu dari beberapa alasan tersebut karena publik Australia belum begitu tertarik dengan K-Pop. Memang ada satu channel tv dan radio di Australia yang menayangkan program musik di mana K-Pop adalah termasuk sajiannya. Namun, kejadian pembatalan konser satu grup musik K-Pop tahun lalu di Sydney karena sepi peminat boleh jadi hal tersebut yang mendasarinya.

Namun demikian, terlepas dari soal K-Pop yang digandengkan dalam acara ini, Korea Festival 2014 yang merupakan gelaran perdana berlangsung sangat memesona. Inilah festival tentang Korea pertama yang digelar di Australia dan Melbourne mencatat sejarah untuk penyelenggaraan festival tersebut. Korean Consulate General dan Korean Community pun sebagai penyelenggara berhasil menampilkan wajah-wajah Korea kepada publik Australia secara lebih utuh.

Sejak dibuka pagi, tepat pukul 11.00, langsung tersuguh hiburan segar dan menawan lewat Korean Folk Dance. Misalnya, Mask-Dance Drama yang menampilkan aksi-aksi teaterikal seperti melompat, jumpalitan, dan berjingkrak dengan tujuan penonton tertawa. Mask-Dance aslinya adalah drama tentang moralitas para biarawan Buddha dan untuk mengusir setan dari Korea. Belakangan makna-makna religius dari Mask-Dance mulai hilang.

Mask-Dance Drama di sesi pembukaan festival (Ahmad Syam)


Setelah rehat, berturut-turut Korean Classical Orchestra, Hanbok Fashion Show, dan Traditional Wedding Ceremony. Hanbok merupakan kostum tradisional Korea. Pakaian ini tidak memiliki saku dengan warna-warna yang sangat cerah disertai bergaris-garis.

Menjelang petang beberapa sajian menarik antara lain Korean Youth Orchestra yang menampilkan para pemusik berusia belia, kemudian kelompok Choir (Korea Art Song), dan Hapkido Demonstration. Hapkido adalah satu olahraga bela diri asal Korea selain Taekwondo. Prinsip utama dari jenis bela diri adalah mengalahkan lawan dengan memanfaatkan kekuatannya. Mengunci, membanting, menendang, dan sejumlah jurus menjadi teknik andalan Hapkido.

Korean food (Ahmad Syam)


Di luar sajian hiburan tari, lagu, dansa, dan peragaan budaya lainnya, di setapak Yarra River aneka kuliner Korea menggoda selera. Deretan stall makanan sejak kegiatan festival dibuka resmi sudah mulai diserbu para penikmat kuliner ala negeri ginseng tersebut.

Sementara tidak jauh dari panggung utama, tepatnya di samping Australian Center for the Moving Image (ACMI), juga berjejer beberapa stall yang berisi produk-produk kesenian lainnya seperti kaos dan gantungan kunci. Juga terdapat stall dari lembaga sosial yang menghimpun donasi dari para pengunjung dengan cara menjual produk seni. Pada deretan stall ini terdapat satu stall yang paling ramai pengunjung mengantri yakni Free Tasting Stall.

Face-painting for kids (Ahmad Syam)


Dan, lazimnya suatu kegiatan hiburan maka para anak-anak selalu mendapat perhatian istimewa, baik dari penyelenggara maupun, tentu saja, dari orangtua mereka. Sebuah meja panjang disiapkan bagi anak-anak untuk berkreasi membuat gambar. Meski sambil berdiri mereka terlihat senang. Ada juga kegiatan face-painting dan pembagian balon untuk anak-anak itu.

Brunswick, 17 Mei 2014

Monday, May 12, 2014

Cara Anak TK-SD Aussie Peringati Mother's Day


Bagi Amira dan Ayla setiap hari adalah Mother’s Day. Bunda, begitu mereka memanggil perempuan berhati emas itu, adalah teman begitu mereka terbangun di pagi hari hingga menjelang tidur di malam hari. Bunda menemani mereka sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah, bunda mengajak mereka mengulang pelajaran dari sekolah usai shalat maghrib, dan bunda yang mewadahi cerita-cerita tentang petualangan mereka di sekolah menjelang tidur.

Maka, ketika di sekolah mereka ada event sebagai persembahan menyambut Mother’s Day yang jatuh pada Minggu (11/5), keduanya sungguh sangat senang. Melalui fasilitasi sekolah, keduanya menyiapkan bingkisan untuk bunda.

Ayla yang baru duduk di TK membuat lukisan pada mug berwarna putih. Lukisan wajah dengan senyum yang indah. Ibu guru TK-lah yang menyediakan mug tersebut dan anak-anak itu dibiarkan berkreasi. Ada yang melukis bunga, wajah, dan sosok seorang ibu. Setelah dihias dan dilukis, ibu guru memasukkan mug-mug tersebut ke dalam oven selama beberapa menit. Tujuannya agar cat hasil lukisan tersebut bisa melekat dan menyatu dengan mug dan tidak terkelupas.

Mug dari Ayla untuk Bunda


Bukan hanya itu, melalui Newsletter milik TK yang diterbitkan secara berkala sudah menginformasikan tentang kegiatan Mother’s Day tersebut. Isi penyampaiannya bahwa pada hari Rabu (7/5) dan Kamis (8/5) para ibu yang akan menjemput anak-anak mereka diharapkan datang lebih awal. Ya, lima belas menit menjelang bubar sekolah ada sesi di mana anak-anak itu akan mempersembahkan hadiah mereka kepada ibu masing-masing. Lebih spesial lagi karena mengawali penyerahan bingkisan untuk ibu, anak-anak tersebut menyanyikan lagu khusus untuk ibu.

Lain lagi cerita dari Amira tentang peringatan Mother’s Day di sekolahnya. Amira saat ini duduk di kelas 3 di satu sekolah dasar (SD) di Moreland, sekitar 10 kilometer dari pusat Melbourne. Di sekolah Amira akan diselenggarakan semacam ‘bazar’ dan para siswa diminta membawa uang minimal 1 dollar dan maksimal 10 dollar. Bazar tersebut diselenggarakan pada Jumat (9/5), hari terakhir sekolah sebelum Mother’s Day.

Pihak sekolah sebagai penyelenggara bazar menyediakan berbagai jenis barang seperti alat tulis, mug, botol tempat minum, kartu ucapan, gelang yang terbuat dari rainbow loom, dan bantal gratis. Para siswa membeli barang-barang tersebut untuk dijadikan bingkisan buat ibu mereka. Amira membeli gantungan kunci berbentuk ‘love’, kartu ucapan, dan tas kertas. Hasil penjualan bazar tersebut dikelola pihak sekolah sebagai donasi untuk pengembangan sekolah.

Baik Ayla maupun Amira, memperingati Mother’s Day di sekolah adalah pengalaman pertama. Peringatan yang meski sangat sederhana tetapi setidaknya mereka dapat mengenal satu momentum untuk berbuat baik kepada bunda. Kegiatan yang mungkin saja menjadi pengingat bahwa di sela rutinitas ber-ibu setiap hari perlu ada satu momen khusus untuk Ayla, Amira, dan anak-anak lainnya mempersembahkan bingkisan khusus.

Upaya menanamkan kasih sayang seorang anak kepada ibunya memang penting dilakukan sejak dini. Bukan hanya secara informal melalui tradisi-tradisi yang berlangsung dalam keluarga tetapi juga secara formal melalui kegiatan-kegiatan di sekolah.

Kartu ucapan dari Amira untuk Bunda


Mother’s Day di Australia

Berbeda dengan Indonesia yang memperingati Hari Ibu setiap tanggal 22 Desember, di Australia kegiatan serupa dengan judul Mother’s Day diperingati setiap minggu kedua di bulan Mei. Tidak ada tanggal yang tetap untuk peringatan tersebut tetapi patokannya adalah minggu kedua bulan Mei. Nah, kebetulan tahun 2014 ini Mother’s Day berada di tanggal 11 Mei, sebelumnya pada tahun 2013 Mother’s Day jatuh pada 13 Mei.

Tradisi Mother’s Day di Australia sama seperti yang berlangsung di Inggris atau di Amerika Serikat. Di kedua negara tersebut Mother’s Day juga diselenggarakan setiap minggu kedua di bulan Mei. Meski berasal dari sumber tradisi yang sama namun tokoh yang menginisiasi Mother’s Day di masing-masing negara tersebut berbeda.

Di Amerika Serikat, misalnya, dua perempuan bernama Julia Ward Howe dan Anna Jarvis sebagai penginisiatif Mother’s Day pada tahun 1800-an. Anak-anak dari keduanya yang memulai memberikan perhatian khusus kepada Julia dan Anna setiap tahun yang kemudian diikuti oleh anak-anak lainnya kepada ibu mereka. Sedangkan di Australia peringatan Mother’s Day tidak lepas dari sosok Janet Hayden warga kota Sydney yang pada tahun 1924 memulai kampanye untuk memberikan bingkisan kepada para ibu-ibu senior yang sendirian atau sedang di panti jompo.

Mother’s Day di Australia diperingati dengan berbagai kegiatan. Seminggu menjelang Mother’s Day, sejumlah toko telah berhias dengan berbagai asesoris bertema ibu. Kartu-kartu ucapan selamat dengan gambar terkait Mother’s Day pun mulai dijajakan. Restoran-restoran sudah menawarkan menu-menu spesial bagi mereka yang ingin merayakan Mother’s Day mereka sambil bersantap. Hanya para penjual bunga yang baru akan mengeluarkan rangkaian bunga terbaik mereka untuk Mother’s Day 1-3 hari sebelum hari H.

Kartu Ucapan Mother's Day

Bersiap Lunch atau Dinner Party untuk Mum

Selain memberikan hadiah berupa kartu ucapan selamat, berlibur bersama di kebun binatang, di taman bunga, dan tempat menarik lainnya, dan menonton di bioskop, kegiatan lainnya bisa dalam bentuk bersantap sarapan pagi, makan siang atau pun makan malam di restoran dan di rumah bersama sang ibu. Ragam hadiah dari seorang anak kepada ibunya di hari spesial tersebut. Ada yang memberikan bunga, coklat, baju, kartu belanja dan hadiah lainnya. Tidak jarang mereka juga menghadiahi ibu mereka dengan puisi yang dicetak dalam kartu atau dipublikasikan melalui media. Sedangkan bagi sekelompok aktivis, peringatan Mother’s Day dirangkaikan dengan aksi amal dengan melakukan kampanye sambil mengumpulkan dana bagi penderita kanker payudara.

Happy Mother’s Day untuk istriku dan untuk para ibu di mana saja. Untuk ibuku, selaksa doa-doa terbaik dan lantunan Al-Fatihah selalu untukmu….

Brunswick, 11 Mei 2014
http://luar-negeri.kompasiana.com/2014/05/11/bila-anak-tk-sd-peringati-mothers-day-652374.html

Thursday, May 8, 2014

Sate Indonesia Hangatkan Melbourne


Minggu (4/5), Melbourne basah di mana-mana. Hujan mengguyur kota terbesar kedua di Australia tersebut seharian. Awan nimbostratus, awan tebal yang mengandung hujan, terus menggantung di langit ibukota negara bagian Victoria itu.

Cuaca dingin menyergap setiap sudut kota. Memang belum memasuki Winter namun hembusan angin Autmn yang dingin ditambah hujan memaksa warga kota berjaket ria. Suhu udara berkisar 7 hingga 13 derajat celsius.

Meski demikian tidak mengurangi minat warga kota, khususnya penggemar kuliner Indonesia, untuk berbondong-bondong ke Indonesian Street Festival. Mereka memadati Victoria Street, satu jalan yang terletak di dalam kawasan pasar terbesar di Melbourne, Queen Victoria Market.

Foto: Ahmad Syam


Kenapa warga kota rela menahan cuaca dingin untuk datang ke Indonesian Street Festival? Saya tidak perlu mencari alasan ilmiah untuk menjelaskan hal tersebut. Hanya saja, begitu kaki saya menapaki Victoria Street aroma sate telah membombardir penciuman saya. Harum aneka sup terbang di udara bersama asap dari pembakaran sate. Sementara di bagian lain, hentakan musik berirama riang mengantarkan semangat dan kehangatan. Wow, what a wonderful day!

Sebagian pengunjung masih antri di depan stand menunggu pesanan masing-masing. Pengunjung lainnya telah menikmati kuliner pilihannya di selasar pertokoan yang disulap menyerupai kafe dengan kursi dan meja-meja. Pengunjung yang tidak kebagian tempat duduk tidak kalah enjoy. Mereka mojok di sudut-sudut pertokoan atau di bawah pepohonan yang cukup rindang sehingga bisa terlindung dari gerimis.

Pengunjung cukup merogoh dollar dari kantong atau dompet sebesar 5 atau 10 dollar maka beberapa sate tusuk atau semangkuk sup segar sudah di tangan. Gaya makan diserahkan pada masing-masing pengunjung. Mau semangkuk berdua boleh. Sepiring beramai-ramai juga silahkan. Sambil makan sambil ngobrol asyik. Khusyuk dan tidak banyak bicara karena saking nikmatnya juga sah-sah saja.



Indonesian Street Festival 2014 adalah untuk kali ketiga diselenggarakan. Walaupun masakan dan kuliner Indonesia yang terkesan mendominasi acara tetapi sajian lain tidak kalah menariknya. Di Indonesian Street Festival 2014 selain menyajikan masakan Indonesia dari beberapa restoran Indonesia yang mangkal di Melbourne seperti Selero Kito, Pempek Katering, Uleg Restaurant, Blok M, Shalom, Bamboe Indonesia, Wantilan Bali, dan banyak lainnya, juga ada pertunjukan tari dan musik dari anak-anak muda Indonesia yang berbakat.

Berapa orang Indonesia di Australia? Sensus 2011 menemukan bahwa 50 ribu warga Australia mengakui mereka adalah keturunan Indonesia. Sementara sensus 2010 menyatakan hampir 73 ribu orang Indonesia menetap di Australia di mana dari jumlah tersebut sekitar 30 ribu tersebar di Victoria.

Foto: Ahmad Syam


Brunswick, 5 Mei 2014

Saturday, April 19, 2014

Promosi Multikultur ala Australia

Ribuan orang berdatangan ke Federation Square yang terletak di jantung Kota Melbourne. Mereka memenuhi beberapa bagian tempat di area ruang publik bersejarah tersebut. Ada yang duduk bersantai di bawah payung-payung besar sembari menikmati sajian beragam musik. Sebagian lainnya berkeliling di beberapa stage menyaksikan tarian dan dansa. Mereka yang hobi belanja langsung menuju ‘markets of the world’ di mana deretan stall yang menjajakan aneka seni dan kraft dari berbagai belahan dunia.

Foto: Ahmad Syam


Di bagian lain dari Federation Square, tepatnya di pinggiran Yarra River atau Yarra River Terrace, puluhan stall menjajakan aneka makanan khas sejumlah negara. Ya, tempat tersebut disulap menjadi ‘food stall from around the globe’. Yarra River Terrace yang biasanya lengang menjadi sangat ramai. Jalanan selebar kurang lebih 10 meter pun menjadi sesak. Antrian di beberapa stall tidak menyurutkan pengunjung untuk tetap bertahan. Mereka telah terbius aroma masakan yang menggugah selera.

Cuaca yang sedikit dingin ternyata tidak mengurangi warga Melbourne dan sekitarnya untuk datang di Federation Square. Mendung dan awan tebal yang menggantung di langit sepanjang hari juga bukan penghalang. Toh, mereka sudah mengantisipasi sangat baik dengan jaket atau sweeter serta syal yang terlilit di leher. Bila masih kurang hangat mungkin secangkir kopi yang masih mengepul hangat yang tersaji di beberapa mini-kafe dalam Federation Square akan mengatasinya.

Viva Victoria Multicultural Festival 2014 dihelat sebagai rangkaian dari Harmony Day dan Cultural Diversity Week. Festival tahunan ini untuk menandai keberagaman masyarakat Australia dalam banyak aspek mulai dari keragaman asal negara, keyakinan, dan kebudayaan.

Story-telling tentang kebudayaan Aborigin (Foto: Ahmad Syam)


Dalam brosur yang dibagikan panitia penyelenggara yakni The Victorian Multicultural Commission menyebutkan, penduduk Australia terdiri dari lebih 200 negara asal, berlatar belakang lebih dari 130 agama atau keyakinan, dan dengan 260 bahasa dan dialek asli mereka. Namun, dari begitu banyak perbedaan tersebut penduduk dan masyarakat Australia menguatkan tekad untuk membangun satu komunitas.

Keragaman tersebut yang kemudian dikemas dalam bermacam acara dan kegiatan. Terdapat puluhan stall yang menyajikan keragaman seni craft dan makanan. Berkeliling di stall-stall tersebut tidak saja merasa terhibur tetapi juga seperti mendapati dunia menjadi satu. Dari Cup and mug Polandia hingga lau silk dari Laos, atau, dari paleta artisan ice popsicles Mexico hingga simply Indonesian cuisine.

Foto: Ahmad Syam


Selain puluhan stall tersebut, para pengunjung sangat dimanjakan oleh hiburan lagu, dansa, dan tarian di empat panggung utama yang tersebar pada tempat berbeda. Sambil duduk manis di bawah payung besar dengan minuman serta camilan favorit para pengunjung tersebut betah duduk berjam-jam.

Di Commonwealth Bank Main Stage, Maracatu Estrela do Mar –Afro-Brazilian percussion group, playing rhythms from the north-east of Brazil- menjadi pembuka pertunjukan. Setelah itu tampil 9 kelompok lainnya dari berbagai negara sebelum akhirnya ditutup dengan penampilan Bombay Royale, musik dan dansa yang membawa spirit gaya khas Bollywood dan tradisi klasik di India.

Byron and the Gypsy Cats, perbauran musik tradisional dari Yunani dan Asiamerupakan satu dari enam penampil di Riverside Terrace Stage. Sementara di Deakin Edge dance Stage salah satu penampil adalah Asanti Dance Theatre from Ghana, tarian yang kaya akan kekuatan dan sangat enerjik. Di The Ubuntu Youth Stage tampil 11 penampil (performer) satu diantaranya yakni Teame, Wubshet and Soliana, sebuah sirkus dari Ethiopia yang menghipnotis para penonton.

Selain penampilan para pemain musik dan penari, juga hadir Bodhi Tree-Field of Enlightenment yang dipersembahkan oleh the Buddha’s Light International Association of Victoria. Bodhi Tree-Field menyajikan puluhan daun plastik di mana pengunjung bebas menuliskan pesan damai di atas daun tersebut.

Foto: Ahmad Syam


Para orangtua yang membawa anak-anak juga dapat menyenangkan anak-anak mereka dengan membawanya ke Kids’ Activities. Anak-anak bisa bermain sambil belajar membuat aneka perhiasan dan bendera dari bahan-bahan yang dapat didaurulang. Selain itu, anak-anak pun bisa mendengarkan story-telling tentang kebudayaan suku Aborigin.

Multicultural Festival di Australia diselenggarakan sebagai rangkaian Harmony Day. Apakah Harmony Day itu? Harmony Day di Australia pertama kali diadakan pada 1999 yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa masyarakat Australia yang memiliki banyak keragaman dapat bersatu padu dalam sistem sosial yang kohesif dan inklusif. Kegiatan Harmony Day diselenggarakan setiap tahun pada tanggal 21 Maret yang juga bertepatan dengan Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia.

Pada setiap penyelenggaraan Harmony Day, seluruh lapisan masyarakat di Australia dari berbagai latar belakang budaya, agama, dan bahasa berbaur dalam banyak kegiatan. Mereka menyatu untuk menguatkan semboyan Australia sebagai negara multikultur. Berbagai rangkaian kegiatan tersebut akan berlangsung selama kurang lebih satu minggu sehingga juga populer dengan istilah Cultural Diversity Week.

Foto: Ahmad Syam

http://luar-negeri.kompasiana.com/2014/04/18/promosi-multikultural-ala-australia-647836.html

Wednesday, March 26, 2014

Islamic Museum Aims to Deliver Positive Message

The Jakarta Post, Ahmad Syam, Contributor, Melbourne | Feature | Mon, March 24 2014

Jane Devlin observed each picture on display at the Australian Muslim History Gallery, located at the upper level of the newly opened Islamic Museum of Australia in Melbourne.

The young British woman, who was born and raised in Australia, would occasionally glance at the text describing a specific picture that caught her attention.

It was her first visit to the museum, which was opened to the public on March 3 this year.

She said the museum facilitated a positive understanding of Islam, which had been tainted with a negative image of late.

“Culturally, the museum strengthens Australia’s image as one of the most multicultural countries in the world,” Devlin says.

Another visitor, Rima Darwiche, said the museum would play an important role in challenging the prevalent stereotypes regarding Islam, which are often linked to terrorism, while in fact, Islam encourages peace.

The museum, she said, did not only teach visitors about Islam, but also provided information about Islamic art and culture as well as its contribution to the history of global civilization.

“The museum could alter the way Islam is viewed and change the negative stereotypes that have tainted it,” Darwiche says.

Tampak depan museum (Foto: Ahmad Syam)


The Islamic Museum of Australia was officially opened on Feb. 28 this year by Australian Treasurer Joe Hockey.

The building where the museum is housed is impressive and aesthetically pleasing. The white walls are adorned with grey Arabic calligraphy quoting a message from the Koran, which translates to: “So narrate to them the stories so that upon them they may reflect.”

At the front of the building, corten steel panels envelop large sections of the walls.

Ahmed Hassan, a staff member at the museum, said the building’s architecture represented the unity between Islam and Australia.

“The white walls represents Islam, while the corten steel, which is brown, embodies Australia’s geograpy. The majority of Australia is brown, which is a common characteristic related to its remote areas and communities,” he said.

This harmony between Australia and Islam is depicted through a key element of the building’s architecture, which features various holes along its walls representing the dots that embody Aboriginal art. The dots allow sunlight to shine through the building, casting beautiful shadows.

At sunset, the ambience becomes rather romantic as the yellow light from the lamp outside the building illuminates the interior of the museum through the dots, creating an exotic setting.

Ruangan resepsionis (Foto: Ahmad Syam)


“The need to establish an Islamic Museum has been recognized by many Australian Muslims. Most communities in Australia have their own museum, except the Islamic community,” Hassan said.

In fact, the museum, which took four years to design with a total construction cost of A$10 million (US$9 million), is considered an essential tool for disseminating information about Islam.

Although the museum has yet to attract many visitors, their numbers are gradually increasing. Since its grand opening, the museum has been welcoming around 100 visitors per day, comprising mostly students and those from various ethnic communities in Melbourne.

Hassan said there was a plan to extend the opening hours. Currently, the museum is open on weekdays but is closed on weekends and public holidays.

Hassan said up to now, the number of Muslims in the state of Victoria, where Melbourne is the capital, was roughly 90,000 with around 50 mosques and 10 Islamic schools.

In general, he said the Muslim population in Australia, based on the 2011 census, had reached 476,291 people, or about 2.2 percent of the total population.

Hassan said the museum’s founders — Moustafa and Maysaa Fahour, an Australian couple living in Dubai — established the museum to counter the many negative stereotypes attached to Australian Muslims.

As visitors enter the main entrance, they are greeted warmly by receptionists wearing hijab. The admission fees are A$12 for adults (A$10 dollars for those with concession cards), A$10 for students, while children under 5 can enter free of charge.

Galeri pertama "Islamic Faith" (Foto: Ahmad Syam)


At the reception area, visitors will come across a mini-billabong, which separates the reception area and the first gallery, the Islamic Faith Gallery. The gallery exhibits Islamic tenets, including the five principles of Islam. The museum has five permanent galleries in total.

The second gallery displays the major contributions of Muslims to the development of civilization. The third gallery features Islamic works of art with different themes, from social issues to politics, created by Australian Muslim artists. The fourth gallery explores Islamic architecture; and the last gallery shows the history of Australian Muslims from the 19th to the 20th century.

Each gallery has its own unique characteristics. For example, the second gallery, which is located at the ground floor, features interactive displays that allow visitors to gain an in-depth understanding of the history of Islamic civilization and how it has influenced certain aspects of civilization that have become common all over the world.

For example, the symbol of zero is derived from the Arabic word sifr, which cannot be found in Roman numerals, while Greek mathematicians did not even consider zero to be a number.

Another contribution is the Al Karauoine University located in Fes, Morocco, which is regarded as the oldest university in the world. History also suggests the modern way of consuming coffee as a beverage, was initiated in the Islamic world. Pasqua Rosee, a trader from Turkey, opened a coffee shop in London in 1650.

The fourth gallery reveals the interaction between Muslims and indigenous Australians, the Aborigines. In 1700s, Muslim fishermen from Makassar in South Sulawesi traded with Aborigines. The evidence of this cultural interaction can be seen through the language and art of Aborigines living in Northern Australia.

Galeri ketiga "Islamic Art" (Foto: Ahmad Syam)


In the 19th century immigrants from Pakistan, India and Afghanistan started to settle in Australia. These settlers were often referred to as “Afghan” cameleers, due to the fact they brought camels from abroad to carry supplies and as a means of travel through the Australian desert.

At the museum, visitors can just relax and enjoy the food and drinks provided by a cafe located near the car park. The owner of the cafe is Samira El Khafir, a last year Master Chef Australia finalist.

The museum does not exclusively provide information that is aimed at clearing up misunderstandings and negative stereotypes about Islam. The museum’s main mission is to increase social harmony across its multicultural landscape.