Wednesday, February 10, 2016

Mendorong Replikasi Inovasi di Daerah



Best practices, sebagai suatu konsep, bermula dari gagasan-gagasan kreatif atau lazim disebut sebagai inovasi yang dijalankan sebagai solusi menjawab masalah-masalah baru dan, atau, sebagai cara untuk mengatasi masalah-masalah lama dengan cara yang baru. Inovasi merupakan dasar konsep best practices meski tidak semua inovasi pada akhirnya dapat dikategorikan sebagai best practices karena hanya inovasi yang sustainable (berkelanjutan) yang dianggap sebagai best practices.

***
 
Apa sesungguhnya definisi best practices? Berdasarkan “Report of the Preparatory Committee for the United Nations Conference on Human Settlements” yang dipresentasikan di hadapan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), indikator best practice antara lain: [1] adanya dampak nyata, jelas, dan telah terbukti terhadap peningkatan kualitas hidup manusia; [2] adanya kemitraan yang efektif antara pemerintah, swasta, dan masyarakat; dan [3] adanya dampak yang berkesinambungan baik secara sosial, ekonomi, maupun lingkungan (Nicholas You and Vincent Kitio, 2006). 
        
Beberapa kata kunci dari indikator best practices di atas seperti kualitas hidup yang meningkat, efektifitas, dan kesinambungan menunjukkan korelasi dengan pengertian inovasi bila inovasi diterjemahkan sebagai penemuan baru. Dari hidup yang tidak berkualitas menjadi berkualitas, atau, dari sistem tidak efisien menjadi efisien menandakan adanya unsur baru. Demikian, unsur “kebaruan” menjadi dasar dari inovasi.
 
Namun demikian, di sektor publik pengertian inovasi tidak harus menekankan adanya unsur kebaruan. Inovasi dalam sektor publik juga dapat berarti perbaikan. Menjadi lebih baik tidak mesti dari sesuatu yang sama sekali baru. Untuk memperbaiki layanan publik, misalnya, suatu pemerintah daerah tidak mesti menemukan sesuatu yang baru untuk dianggap inovatif. Pemerintah daerah bersangkutan juga bisa dianggap telah inovatif jika memperbaiki layanan publiknya meski dengan cara mereplikasi program/kebijakan yang sudah ada. Apalagi ongkos program dari proses replikasi lebih murah dibandingkan biaya pembuatan program baru.
 
Sejauh ini, replikasi sebagai proses meniru, menyontek, dan repitisi bukan sesuatu yang buruk. Berbeda halnya pada konteks produksi barang. Kegiatan menjiplak produk dari suatu perusahaan, apalagi tanpa seizin perusahaan pemilik produk, dikategorikan sebagai plagiat dan, bahkan, merupakan tindakan kurang terpuji. Pada konteks kebijakan publik upaya-upaya menduplikasi program/kebijakan yang dianggap lebih bagus, lebih maju, dan lebih baik malah harus didorong.
 
Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam mereplikasi suatu program/kebijakan. Aspek-aspek tersebut antara lain: [1] apakah program inovasi tersebut sungguh-sungguh merupakan inovasi yang sudah berhasil atau terbukti; [2] apakah program inovasi dapat diadopsi atau ditransfer oleh daerah lainnya; [3] apakah daerah yang melakukan replikasi memiliki kapasitas untuk mengimplementasikan program/kebijakan inovasi tersebut; dan [4] melakukan identifikasi pendekatan-pendekatan dan metodologi dalam mereplikasi praktik-praktik yang terbukti berhasil (Adriana Alberti and Guido Bertucci, 2006).
 
Melakukan kajian mendalam sebelum melakukan replikasi program sangat penting mengingat tidak semua program, apalagi bila program tersebut termasuk baru, yang diterapkan di suatu daerah akan cocok untuk daerah lainnya. Faktor-faktor seperti kultur, kemampuan sumber daya manusia, dan tingkat pendidikan masyarakat sangat berperan penting. 
                                                                                                         
Penolakan masyarakat ketika pemerintah daerah memperkenalkan suatu program baru boleh jadi disebabkan adanya ketidaksesuaian budaya antara daerah asal program inovasi dengan daerah tujuan. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat juga mempengaruhi tingkat penerimaan masyarakat terhadap suatu program baru.
 
Pada sisi lain, faktor kesiapan sumber daya manusia, dalam arti kualitas staf pemerintahan dan “anggaran” replikasi juga termasuk faktor penentu berhasil tidaknya proses replikasi. Untuk kedua faktor terakhir rencana replikasi memang harus memiliki perencanaan dana yang matang. Pelatihan staf yang nantinya sebagai penanggung jawab program membutuhkan anggaran yang tidak kecil. Pemerintah daerah yang akan melakukan replikasi biasanya menganggarkan biaya studi banding untuk ongkos staf yang diutus mempelajari program yang akan direplikasi. 
                         
Bagaimana pemerintah daerah mendapatkan informasi tentang program inovasi dan best practices? Sekarang ini informasi tentang program inovasi dan best practices tersebut “melimpah ruah” di jejaring informasi global. Praktik-praktik cerdas dari yang berskala nasional hingga internasional akan dengan mudah diperoleh melalui buku-buku dan internet. Bahkan sejumlah lembaga baik nasional maupun internasional membuat website resmi yang memuat program-program inovasi. 

Ayo, teruslah berinovasi!     

Monday, February 8, 2016

Sekolah Memicu Kecemasan Baru?

Beberapa ibu-ibu yang baru saja mengantar anak-anak mereka mendaftar di suatu sekolah terlihat amat jengkel. Sambil menaiki pete-pete, (angkot, red.) mereka “mengatai-ngatai” sekolah yang tidak menerima anak-anak mereka.
“Terlalu tinggi standardnya padahal sekolahnya biasa-biasa ji!” kata seorang ibu. “Iya, lebih baik pergi daftar di sekolah B (menyebut satu sekolah, red), bagus ji juga di sana!” sambung ibu lainnya. “Anakku kasihan, nilainya beda tipis ji dengan standard sekolah itu tapi tidak diterima juga!” seru seorang ibu. “Jengkelku,  kalau bukan persoalan dekat dengan rumah, hanya sekali naik angkot, tidak saya antar ki anakku daftar di sana!” tandas ibu yang duduk dipojok angkot.
Parade ibu-ibu yang sibuk mengantar anak-anaknya mendaftar sekolah adalah hal lumrah bila yang diantar adalah anak seumuran TK atau SD. Menjadi tidak lumrah karena anak-anak mereka itu hendak mendaftar di sekolah menengah tingkat atas (SMU/SMK). Ah, saya mungkin terlalu cepat membuat kategori “lumrah” dan “tidak lumrah”.

Argumentasi “tidak lumrah” di atas saya pedomani dari pengalaman dahulu saat mendaftar di SMP/SMU. Mulai dari memasukkan berkas, mendaftar ulang, hingga pergi ukur seragam saya lakukan sendiri. Pokoknya para orangtua di zaman saya mendaftar masuk SMU “tidak tahu-menahu” eh, tahu-tahu anaknya sudah berseragam putih abu-abu.

Lha kini, cobalah jalan-jalan di sekolah-sekolah (SMP/SMU) pada musim penerimaan siswa baru. Para ibu/bapaknya antri di depan loket formulir sementara anak-anak mereka duduk-duduk persis di bawah pohon mangga halaman sekolah. Ketika para ibu/bapak mereka diserbu keringat, anak-anak mereka menyerbu penjual es teler. Tatkala para ibu/bapak mulai sibuk mengisi formulir, anak-anak mereka juga sibuk meng-update status fesbuk masing-masing. Begitu tiba masa pengumuman kelulusan, para ibu/bapak cemas dan anak-anak mereka masih memelas.

Saya menganggap ada perbedaan tingkat kecemasan antara para orangtua  zaman dahulu dengan para orangtua zaman sekarang. Faktor perbedaan tersebut harusnya diteliti para ahli pendidikan dan sosiologi kita. Jangan-jangan sistem pendidikan yang sedang berlangsung telah memicu tingginya kecemasan para orangtua. Ataukah, elemen sosial lainnya yang berkontribusi pada kecemasan yang, menurut saya pribadi, agak berlebihan tersebut (katakanlah label sekolah unggulan secara sosial akan jauh lebih bernilai sosial tinggi dari non-unggulan sehingga orangtua cemas kalau-kalau anaknya hanya diterima di sekolah non-unggulan).

Meski demikian, di tengah parade kecemasan orangtua, saya melihat gairah menyekolahkan anak-anak pun sangat tinggi. Ukuran sederhana yang bisa saya sajikan tidak jauh-jauh dari lingkungan kita.
Seperti apa kegairahan itu: sepagi ini, ketika saya membuka pintu depan halaman rumah sejumlah ibu-ibu telah mengantarkan anak-anaknya bersekolah di TK dekat rumah; sepagi ini, ketika saya membuka halaman media sosial milik saya, sejumlah orangtua menceritakan anak-anak mereka yang hari ini akan memulai dunia pendidikan baru, pendidikan formal ala sekolah yang dimulai dengan MOS; sepagi ini pun, saya mengingat-ingat buku yang pernah ngetop di tahun 70-an hingga 90-an karya Ivan Illich, judulnya: Deschooling Society, atau dalam judul Indonesianya, Bebas dari Sekolah. Buku itu tentu tidak akan sejalan dengan ajakan Mandra dalam serial Si Doel Anak Sekolahan, ayo sekolah!
www.unwelcomeguests.net
Ah, mari menyambut hari baru dengan pendidikan yang senantiasa terbarui. Semoga sekolah tak membuat kita semakin cemas!
MAKASSAR, 15 JULI 2013