Wednesday, April 22, 2009

LIPUTAN: Hasanuddin University gets students through English contest



Ahmad Syam , Contributor , Makassar, South Sulawesi 

The Jakarta Post Sun, 04/19/2009 
Dozens of students and teachers were crammed into the main room of the Mattulada function hall, to attend the final round of the annual Perisai English Contest (Pilot), that was organized by the English Department students body (Perisai) of Hasanuddin University, in Makassar, South Sulawesi, on Feb. 22.

During this annual event school delegations took part in various competitions such as the speech, writing, storytelling, reading, and debate contests. The last contest was so popular that some schools entered more than one team.

Twenty-two high schools in South Sulawesi, West Sulawesi and Southeast Sulawesi took part in Pilot 2009, which was held under the theme "Becoming an International Student".

"This is the 7th time we have held this competition . But the number of participants was fewer this year than that in 2008. Last year, 29 schools took part," organizing committee secretary Mutmainnah Magfirah said, adding that the committee had invited 130 schools to join the competition, 48 of which are in Makassar.

On the last day of the event, teams from two favourite schools, SMU 17 Makassar and SMU 1 Maros, met in the final round of the debates. After 1 hour and 15 minutes, the judges named the SMU 17 team winners.

As well as their prize, winners were also offered places in the university's English language program, bypassing the regular enrolment exams.

"The competition is also our way to promote the faculty, especially the English Department," says Muh. Amir P, vice dean of Hasanuddin University's Cultural Studies Faculty. Most graduates from the English department go on to take high-profile jobs, Amir said. English, the faculty also offers courses in French, Indonesian, Japanese, Makassar, Buginese or Arabic languages. In 2011, the faculty is also planning to open new departments for Korean and Chinese languages.

"We have sent two members of staff to China to learn the language and culture. We will also invite Chinese lecturers to share knowledge," Amir said. The Pilot competition is aimed at increasing students' abilities in English, lecturer Simon Sitoto says. "Mastering English is getting more important by the day . The competition will encourage students to improve their English, written and verbal," he said.



Wednesday, April 1, 2009

CERPEN: Cinta yang Dibungkus Kafan

Cerpen Ahmad Syam
(Lampung Post, 29 Maret 2009)
(Sriti.com, 29 Maret 2009)

Rosdiah memang pantas membuat setiap lelaki Desa Sattu tergila-gila. Rosdiah, tidak sebagaimana pada umumnya gadis-gadis lain di desa tersebut, kulitnya putih bersih. Wajahnya bundar persis bulan purnama yang sempurna. Jika sedang malu, terlihat tanda kemerah-merahan di pipinya.

Matanya akan berbinar-binar seperti bintang-gemintang bila diajak bicara. Itu menciptakan kesan bahwa di dasar matanya tersebut terdapat telaga keriangan.

Meski kerudung panjang dan baju kurung selalu rapi membungkus tubuh semampainya, tidak berarti tertutup keindahan pada tubuh itu. Toh cara berjalan remaja yang tahun ini baru saja menyelesaikan sekolah ibtidaiah melenggak-lenggok bak seorang peragawati.

Tidak ada yang tahu di mana Rosdiah mempelajari cara berjalan demikian. Apakah melalui tontonan di televisi? Apakah di kota saat dia berkunjung ke sana? Tidak ada warga desa yang mengetahui persis.

Bagi para lelaki, yang muda maupun yang telah beristri, itu bukan hal penting untuk diketahui. Bagi mereka jauh lebih penting memikirkan cara menarik hati Rosdiah. Menuntaskan hasrat yang selama ini terpendam dalam-dalam.

Atas desakan hasrat itu pula, Karaeng Beta mengikhlaskan dirinya dalam perjuangan yang teramat besar baginya di malam ini.
***
Sebenarnya Karaeng Beta tidak perlu merepotkan diri dengan melakukan semua itu. Kalau benar-benar mau dia akan mudah menjinakkan Rosdiah dengan harta yang dimiliki dan kebangsawanan yang dia sandang. Tentu Rosdiah, kedua orang tua, serta keluarga besarnya pun tidak akan sanggup menahan keinginan bersuamikan dan bermenantukan seorang karaeng. Harapan yang juga dipendam para gadis dan orang tua lainnya.

Tetapi Karaeng Beta punya pertimbangan lain. Dia tahu kalau bukan hanya dirinya yang kepincut kecantikan Rosdiah. Hampir semua lelaki di Desa Sattu menaruh hati padanya. Tidak terkecuali putra sulung wakil bupati dan anak remaja kepala kecamatan yang saban sore nongkrong di rumah Rosdiah. Bagi Karaeng Beta, kedua pemuda ini menjadi pesaingnya mendapatkan Rosdiah karena orang tua mereka adalah pejabat kabupaten.

Karena Karaeng Beta tahu bahwa setiap lelaki yang menaruh hati pada Rosdiah akan meminta bantuan Daeng Bonto, maka dia juga melakukan hal yang sama. Dia malah bersedia memberi upah lebih besar dari bayaran yang biasa diminta Daeng Bonto, dukun yang telah malang-melintang dan jarang gagal menangani urusan jodoh. Dengan bayaran lebih besar, ditambah janji bonus yang akan diserahkan kepada Daeng Bonto, Karaeng Beta mengusung keyakinan tinggi akan menjadi pemenang dalam persaingan memperebutkan Rosdiah.

Sebab itu, dia juga telah menyusun rencana mengajak Rosdiah silariang. Dia akan membawa sang pujaan hati ke tempat yang jauh. Kalau perlu, dia akan membawa Rosdiah ke Sumatera atau Papua sehingga keluarganya, termasuk anak dan istri, tidak bisa melacak keberadaan mereka.

Tentu seluruh warga desa akan dibuat gempar jika dia dan Rosdiah silariang. Warga akan membicarakan perihal dirinya yang lebih pantas menjadi bapak dari Rosdiah. Apalah dia yang seorang karaeng hanya mengawini gadis biasa dengan kekayaan yang tidak seberapa.
Istri, anak-anak, dan keluarga besar Karaeng Beta akan menyerang keluarga Rosdiah dengan kata-kata yang melecehkan. Bila dengan cara itu belum cukup menawar sakit hati, segalanya mungkin akan berakhir dengannya pecahnya kaca-kaca jendela rumah Rosdiah karena lemparan batu.

Keluarga Rosdiah niscaya tidak akan membalas perbuatan keluarga Karaeng Beta. Secara kultur mereka telanjur dianggap bersalah karena mengingkari nilai-nilai kepantasan.
Kegundahan hati akibat pelecahan tersebut diredam dengan kesabaran. Mereka hanya membuka mulut kepada para tetangga tanpa memiliki keberanian untuk berhadap-hadapan langsung dengan keluarga Karaeng Beta.

Tetapi kegundahan keluarga Rosdiah itu hanya ibarat busa di lautan yang dengan mudah dihempaskan gelombang kegembiraan tiada tara. Dalam hati, keluarga besar Rosdiah akan bersorak kegirangan karena berhasil berkerabat dengan turunan karaeng.

Lalu, warga desa akan saling berbisik; gadis tidak tahu malu, percuma dia berkerudung panjang kalau dengan gampangnya diajak silariang.

Ibu-ibu yang memiliki anak gadis yang paling terpukul, sekaligus dilematis. Satu sisi, mereka merasa anak-anak gadisnya telah kalah oleh Rosdiah. Tapi di lain sisi, mereka senang karena akan terbebas dari tugas sampingan menjagai secara diam-diam suami mereka dari pesona Rosdiah.
***
Dan pada waktu yang telah ditetapkan, malam Jumat di bulan tua, Karaeng Beta, telah mempersiapkan segalanya. Bunga mawar merah, sepotong kain baju bodo' merah tua, linggis kecil, dan sebotol air yang telah diberi berkah Daeng Bonto.

Dia harus menunggu istri dan anak-anaknya tertidur untuk melaksanakan hajatnya. Karaeng Beta telah mencampurkan air penerbit rasa kantuk ke minuman mereka menjelang petang. Memasukkan sepuluh biji beras merah pemberian Daeng Bonto ke dalam sarung bantal mereka. Tujuannya agar mereka tidur lebih cepat dan nyenyak. Daeng Bonto berulang kali mengingatkannya agar tidak seorang pun mengetahui dan melihatnya malam ini.

Prosesi appataba harus mengikuti setiap ketentuan sebagaimana anjuran dukun. Apalagi, dukun sekaliber Daeng Bonto yang sudah tersohor dan disegani ilmunya itu. Menyalahi syarat appataba bisa berakibat fatal bagi yang melakukan.

Salma, perawan tua Haji Natsir, merasakan akibat dari kesalahan appataba. Menurut cerita yang berkembang, dia lupa menyiramkan air berkah pada mawar merah yang telah dia tanam. Kini, pada setiap tengah malam, dia berteriak-teriak tak kuasa menahan panas di seluruh tubuh.

Soal kepercayaan warga desa terhadap perdukunan memang sudah turun-temurun. Bahkan sebelum dokter-dokter datang ke desa dan puskesmas-puskesmas didirikan, dukun-dukun dirujuk bila ada warga desa yang sakit. Kadang mereka sembuh. Namun, tidak sedikit yang justru semakin memburuk dan akhirnya meninggal.

Dahulu terdapat sejumlah dukun yang menetap di Desa Sattu dan desa-desa sekitarnya. Seiring waktu jumlahnya berkurang. Banyak di antara para dukun tersebut meninggal dunia. Anak-anak mereka lebih senang bekerja di kota ketimbang mewarisi ilmu perdukunan.

Ada juga cerita lain soal berkurangnya jumlah dukun. Katanya, sebagian dari mereka alih profesi setelah para ustaz intens menyampaikan kepada warga desa bahwa appataba termasuk perbuatan dosa. Imam desa, pada setiap ceramah tarawih di bulan Ramadan, tidak pernah lupa menyisipkan tema larangan appataba karena bisa menyebabkan celaka bagi siapa pun yang terlibat di dalamnya.

Sekarang tersisa Daeng Bonto dan Daeng Tarang, dukun dari Desa Camba. Ada kesepakatan umum yang mengganggap ilmu keduanya setingkat. Kemampuan keduanya sama.

Tetapi Daeng Bonto lebih dikenal sebagai dukun yang menguasai soal cinta dan perjodohan. Dia dikenal dengan ajian bunga mawar merah dan sepotong kain baju bodo'. Sedangkan Daeng Tarang dengan tiga jarum yang dibungkus potongan kain kafan siap membalaskan sakit hati dan amarah. Jadilah Daeng Bonto menjadi simbol kehidupan, sementara Daeng Tarang perlambang kematian.

Dan ketika malam merangkak semakin larut, Karaeng Beta telah begitu dekat ke rumah Rosdiah, sang gadis pujaan. Dia berharap Rosdiah ada di rumah malam ini. Demikianlah syarat yang diminta Daeng Bonto. Lagi pula, kalau Rosdiah tidak di rumah malam-malam begini, ke mana seorang gadis desa akan pergi, dan berkerudung pula, sepulang berjemaah isya di surau?

Sebenarnya jika melewati jalan desa, jalan yang baru saja dilakukan pengaspalan dan didirikan tiang-tiang lampu jalanan, jarak ke rumah Rosdiah hanya butuh sepuluh menit berjalan kaki.

Tetapi demi menjaga kerahasiaan, Karaeng Beta mengambil jalur lain. Dia berjalan di bawah cahaya bulan tua yang suram dengan penerangan lampu senter kecilnya. Menyusuri anak sungai yang berbatu-batu dan licin, menyisir ladang jagung luas, dan membelah kebun bambu.

Dia harus merelakan kakinya lecet terentuk batu kali, atau menahan rasa gatal tergores daun-daun jagung, juga membuang perasaan gentar atas jeritan batang-batang bambu yang bergesetan kala diterpa angin. Belum lagi rasa khawatir kalau-kalau berpapasan kawanan anjing liar dan lapar yang bisa menjadi sangat berbahaya karena sewaktu-waktu menyerang.

Dari balik kebun pisang, di belakang rumah Rosdiah, Karaeng Beta mengintai hingga benar-benar yakin tidak ada orang yang mengetahui keberadaan dirinya. Dengan cermat dia memperhatikan rumah Rosdiah dan rumah-rumah sekitarnya, menanti hingga lampu-lampu di rumah tersebut dipadamkan, ditinggal tidur penghuninya.

Saatnya tiba. Karaeng Beta keluar dari persembunyiannya. Berjalan perlahan dan sangat pelan menuju kolong rumah Rosdiah--rumah khas Makassar adalah rumah panggung dan memiliki tangga. Jantungnya berdegub keras. Dengan susah payah dia mengatur napas yang seperti memburu.

Karaeng Beta kini tepat di bawah tangga rumah Rosdiah. Dia membungkukkan tubuhnya saat berjalan ke anak tangga paling bawah. Sebagaimana lazimnya rumah-rumah di Desa Sattu, batu penyanggah tangga adalah batu besar setinggi kurang lebih empat puluh sentimeter yang diambil dari pegunungan. Ini memberi ruang yang cukup baginya membuang lubang di bawah anak tangga pertama dengan posisi badan yang nyaman.

Dia harus membuat lubang tepat di bawah anak tangga rumah Rosdiah. Membungkus bunga mawar dengan potongan kain baju bodo' dan menguburnya. Menutup lubang sedemikian rapi dan rata hingga tidak tampak bekas galian. Kemudian menyiramnya dengan air berkah Daeng Bonto.

Ketika menghujamkan linggis kecil ke tanah, tangannya bergetar hebat. Mata linggis seperti membentur tanah liat kering meski kenyataannya hanyalah tanah biasa yang masih basah karena hujan seharian kemarin.

Keringat dingin mulai bercucuran di kedua pelipis yang sesekali dia sapu dengan lengan bajunya. Karaeng Beta terus menggali sambil berusaha agar bunyi linggis yang membentur tanah tidak lebih besar dari suara jangkrik. Dia tidak ingin orang-orang di rumah Rosdiah terbangun.

Pada kedalaman lubang seperti yang dia inginkan, tiba-tiba dia terkejut dengan penemuan yang tidak dia harapkan; sebungkus potongan kain kafan yang berisi tiga jarum. Amarah dan rasa penasaran berbaur menjadi satu. Dia tahu pappataba itu milik Daeng Tarang. Tetapi, siapakah yang telah mengirimkan pappataba tersebut kepada Rosdiah? Siapakah yang justru ingin mencelakai, bahkan membunuh, Rosdiah?

Karaeng Beta mencoba membuat lubang di samping lubang yang pertama. Namun hasil yang dia dapat tetap sama, tiga jarum yang dibungkus potongan kain kafan. Demikian seterusnya hingga sepuluh lubang yang dia buat. Lubang-lubang yang lebih menguras emosi ketimbang tenaganya.

Amarahnya memuncak. Otot wajahnya mengeras. Giginya gemertak. Namun dia tetap menggali lubang. Terlintas dipikirannya menghubungi Daeng Tarang dan Daeng Bonto keesokan hari untuk meminta penawar pappataba. Tetapi dia buang pikiran itu saat menemukan mawar merah di dalam bungkusan kain kafan pada lubang ke sebelas.

Makassar, Januari, 2009


OPINI: Para Caleg Belum Ramah Lingkungan

Oleh Ahmad Syam
TRIBUN TIMUR,Rabu, 25 Maret 2009
Semenjak Indonesia dan PBB menjadi tuan rumah bersama kampanye melawan global warming dan menghadapi climate change tahun 2007 di Bali, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi/kabupaten/kota telah menanam jutaan pohon. Namun begitu musim kampanye pemilu 2009 tiba kegiatan menanam pohon perlahan dilupakan
Kampanye pemilihan umum (pemilu) 2009 untuk anggota legislatif memang secara resmi baru dimulai pada 16 Maret lalu, tetapi isu yang diusung para calon anggota legislatif (caleg) sudah mulai terlihat beberapa minggu sebelumnya lewat poster dan papan iklan mereka.
Dari poster yang dipajang para caleg, hampir sebagian besar caleg menempatkan isu-isu kesehatan dan pendidikan gratis, demokratisasi, korupsi, dan kesejahteraan rakyat sebagai pendekatan politik kepada pemilih (voters). Sementara sama sekali tidak ada caleg yang mengangkat isu lingkungan sebagai jualan kampanye pada poster mereka.
Kurangnya perhatian para caleg terhadap isu lingkungan juga bisa diamati dari pemberitaan kegiatan kampanye caleg dan partai politik (parpol) di dua surat kabar lokal dengan oplah terbesar di Sulawesi Selatan. Minggu pertama masa kampanye resmi yang berlangsung 16-22 Maret, dari kurang lebih 420 berita kampanye pemilu 2009 hanya terdapat empat atau kurang dari satu persen berita kampanye yang di dalamnya terdapat isu lingkungan.
Dari sekitar 420 berita kampanye di surat kabar lokal tersebut, sekitar 60 persen mengusung isu pendidikan dan kesehatan gratis, 30 persen terkait dengan perbaikan infrastruktur seperti pembangunan sekolah dan perbaikan jalan, sisanya terbagi pada isu-isu pemberantasan korupsi, budaya, pengangguran dan lingkungan dengan porsi paling sedikit.
Kenyataan ini tentu suatu ironi karena para caleg bila terpilih duduk di dewan tersebut akan turut memberikan andil atas kebijakan pembangunan. Bisa dibayangkan bagaimana konsep pembangunan kelak direncanakan dengan tingkat kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan yang rendah. Boleh jadi prinsip pembangunan yang pro-investasi betul-betul akan steril dari pertimbangan-pertimbangan lingkungan.
Lihat saja pembangunan infrastruktur di Makassar, misalnya. Pembangunan pusat pertokoan seakan berlomba dengan investasi mal-mal. Wilayah yang dahulunya merupakan daerah resapan air berubah menjadi pertokoan dan mal. Sementara pada sisi lain tidak terdapat penambahan area untuk taman dan hutan kota. Alhasil, begitu musim hujan tiba-tiba sejumlah wilayah di Makassar tergenang air.
Bukan Prinsipil
Ada beberapa faktor sehingga isu lingkungan tidak menjadi isu utama dalam setiap kampanye. Pertama, isu lingkungan dalam penilaian caleg dianggap kurang marketable untuk masyarakat dibanding isu pendidikan dan kesehatan gratis atau perbaikan infrastruktur seperti perbaikan jalan.
Kedua, kemungkinan para caleg tidak memiliki pemahaman yang baik terhadap aspek ekologis. Ini terkait dengan latar belakang para caleg seperti ruang beraktivitas mereka sebelum menjadi caleg.Jika sebagian besar caleg beraktivitas di perdagangan dan usaha tentu kesadaran ekologis bukan hal prinsipil bagi mereka.
Yang ketiga, boleh jadi para caleg takut mengangkat isu lingkungan karena khawatir mereka seperti melempar boomerang (permainan tradisional di Australia di mana alat yang dilempar kembali lagi kepada si pelempar). Misalnya, jika caleg mengkampayekan illegal logging khawatirnya kampanye tersebut justru membunuh usaha teman satu partai sendiri yang selama ini banyak membiayai kegiatan partai.
Trend isu kampanye memang seolah-olah berbanding terbalik dengan isu nasional dan lokal dalam dua tahun terakhir. Semenjak Indonesia dan PBB menjadi tuan rumah bersama kampanye melawan global warming dan menghadapi climate change tahun 2007 di Bali, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi/kabupaten/kota telah menanam jutaan pohon. Namun begitu musim kampanye pemilu 2009 tiba kegiatan menanam pohon perlahan dilupakan.
Padahal kampanye bisa menjadi media strategis mendidik masyarakat untuk peduli lingkungan. Perilaku dan seruan kampanye peduli lingkungan yang dicontohkan para caleg akan mudah diikuti masyarakat.
Sayangnya, jangankan untuk menyerukan menjaga lingkungan, para caleg terkadang membiarkan masyarakat membuang sampah botol minuman dan kardus nasi di lapangan seusai kampanye.
Green Party
Pada 21 Oktober 1998 lalu sejumlah pihak mendeklarasikan Green Party (partai hijau) dan telah terbentuk dalam suatu institusi. Setelah tidak menyepakati tidak ikut pemilu 1999, gema partai hijau justru berangsur menghilang. Keberadaan partai hijau semakin sulit terlacak pada dua pemilu setelahnya, 2004 dan kini 2009.
Meski salah satu partai besar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memproklamirkan sebagai Green Party menjelang pemilu 2009, namun Green Party ala PKB masih meragukan. Apakah Green Party ala PKB adalah partai hijau yang sesungguhnya, ataukah partai dengan warna hijau? Ini yang tidak jelas.
Keraguan atas klaim PKB tersebut beralasan mengingat secara umum parpol-parpol di Indonesia memiliki desain besar yang mencakup seluruh aspek kehidupan bernegara. Parpol serius menggarap dan mendesain isu-isu yang berhubungan langsung dengan upaya mendongkrak popularitas partai dan menarik simpatik masyarakat.
Kehadiran partai hijau di Indonesia sangat perlu karena sebagai negara dengan sumber daya alam yang besar, Indonesia harus memiliki pondasi politik lingkungan yang kuat. Sejauh ini dampak politik lingkungan yang lemah terlihat dari output kebijakan investasi.
Pemerintah terlalu longgar memberi kesempatan kaum kapitalis masuk dan mengeksploitasi alam Indonesia tanpa kendali. Akibatnya kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Lemahnya output politik lingkungan adalah konsekuensi dari input politik lingkungan yang lemah. Sirkulasi aspirasi yang pro-ekologi tidak begitu lancar mengalir ke ruang-ruang pengambilan kebijakan. Meski terdapat sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Wahana Lingkungan Hidup (walhi) yang aktif menyuarakan isu lingkungan, tetapi aspirasi LSM-LSM tersebut seringkali tersumbat karena tidak didukung infrastruktur politik.
Daya perlu infrastruktur politik yang pro-ekologi dalam wujud partai hijau yang nantinya memperjuangkan isu lingkungan tidak terlepas kurangnya minat parpol-parpol menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi isu-isu lingkungan. Parpol yang ada masih menganggap isu lingkungan kurang "seksi" untuk dijual kepada voters.
Kalau di Indonesia partai hijau belum berkembang, di negara-negara lain bahkan sudah memiliki kursi di parlemen. Sejumlah negara yang memiliki partai hijau antara lain Australia, Brasil, Afrika Selatan, Jerman, Portugal, dan Filipina.
Partai hijau di negara-negara tersebut tidak saja memperjuangkan isu-isu lingkungan sebagai misi utama mereka. Secara umum, partai hijau juga mengusung gagasan-gagasan politik, budaya, sosial, dan ekonomi.***