Thursday, December 8, 2011

Publik Persepsikan Baik Kepala Daerah


Setelah kepala daerah (bupati/wali kota) dipilih langsung oleh rakyat, apakah serta-merta melahirkan pemimpin di daerah? Jawabannya bisa iya bila pemimpin yang dimaksud adalah pemegang kekuasaan, meski tidak semua pemegang kekuasaan adalah pemimpin.

Ahmad Syam
Peneliti FIPO
Harian Fajar, 7 Desember 2011

Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 memutuskan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Bila dicermati, sebenarnya UU yang mengatur pemerintahan daerah ini tidak menyebutkan latar belakang sehingga menetapkan pilkada langsung, namun demikian substansi aturan tersebut mengarah pada terjaminnya demokratisasi dan menguatnya kepemimpinan di daerah.

Terdapat dua argumen sehingga pilkada langsung menjadi elemen fundamental terkait kepemimpinan di daerah. Pertama, prosesnya yang lebih demokratis ketimbang pemilihan melalui perwakilan rakyat di DPRD. Kedua, pilihan mayoritas rakyat mencerminkan kepercayaan dan dukungan publik terhadap kepala daerah terpilih.

Diakui, pilkada langsung belum membawa perubahan signifikan terhadap kualitas kepemimpinan di daerah. Maraknya kasus korupsi yang menerpa banyak kepala daerah atau pejabat lainnya di daerah mencerminkan harapan atas kepemimpinan daerah dengan komitmen baik masih jauh. Rilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, jumlah pengaduan kasus korupsi di daerah dari 2004 hingga 2010 mencapai kurang lebih 35 ribu kasus.

Meski demikian, berdasarkan survei publik atas faktor-faktor yang menentukan tercapainya tujuan otonomi daerah pada empat parameter yakni kehidupan ekonomi, pelayanan publik, kinerja politik lokal, dan lingkungan hidup, faktor kepemimpinan (komitmen kepala daerah) adalah faktor kedua terbesar setelah faktor dukungan pusat/provinsi yang dipilih oleh masyarakat.

Kedua faktor ini berada di atas faktor lainnya seperti: kepastian hukum, kapasitas teknis dan moral aparat, sinergi antar SKPD, insentif yang cukup bagi aparat, transparansi pelayanan, partisipasi masyarakat dalam pelayanan, komitmen DPRD, komitmen anggaran (APBD), sosialisasi kebijakan/program, komitmen bersama masyarakat, keterlibatan masyarakat, serta ketepatan desain program.

Apa dan bagaimana masyarakat memberi credit point atas faktor komitmen kepala daerah? Berikut catatan hasil monitoring dan survei publik dapat menunjukkan faktor kepemimpinan di daerah dipercaya membawa perubahan kemajuan ekonomi, layanan publik, kinerja politik lokal, dan manajemen lingkungan hidup.

Parameter kehidupan ekonomi: responden menempatkan komitmen kepala daerah (skor 3,41) di urutan kedua setelah dukungan pusat/provinsi (skor 3,42). Visi yang jelas dari seorang kepala daerah terkait pengembangan perekonomian dipersepsi masyarakat sebagai faktor penting mewujudkan tujuan otonomi daerah. Selain visi, kemampuan kepala daerah membangun jaringan dengan investor juga dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi di daerah bersangkutan.

Parameter layanan publik: sebagian besar responden menilai faktor komitmen kepala daerah (skor 3,40) menjadi faktor utama dalam perbaikan layanan publik. Kebijakan-kebijakan kesehatan gratis, pendidikan gratis, program jemput bola untuk KTP, maupun kemudahan dalam perizinan usaha yang dicanangkan kepala daerah mendapat apresiasi masyarakat. Betul, secara teknis urusan layanan publik dikelola oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Namun, cetak biru menyangkut mutu layanan publik sangat tergantung dari visi kepemimpinan yang baik.

Parameter politik lokal: diantara parameter lainnya, performa politik lokal merupakan parameter yang secara langsung bersentuhan dengan karakter kepemimpinan di daerah. Pada performa politik lokal, khususnya varian akuntabilitas publik, dapat mencerminkan kemauan politik seorang kepala daerah dalam mengupayakan transparansi, akses informasi publik seluas-luasnya, responsibilitas-responsivitas aparatur, sanitari birokrasi, serta fasilitasi media-media pengaduan publik. Berdasarkan persepsi masyarakat, faktor komitmen kepala daerah (skor 3,32) dalam perbaikan kinerja politik di daerah lebih dominan dibandingkan faktor-faktor lainnya seperti komitmen DPRD maupun kepastian hukum.

Parameter lingkungan hidup: sama dengan parameter lainnya, di lingkungan hidup masyarakat masih mempercayai dan mengapresiasi komitmen kepala daerah (skor 3,35) dalam mengelola lingkungan hidup. Program yang digagas kepala daerah terkait manajemen dan pemanfaatan sumber daya alam yang mendapat apresiasi masyarakat. Program-program tersebut antara lain; pemeliharaan hutan mangrove, pembangunan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber air deras (mikro hidro), penghijauan melalui penanaman pohon, dan kegiatan mendaur ulang sampah.

Terlepas dari besarnya kepercayaan publik pada kepemimpinan di daerah sebagai faktor yang memicu kemajuan, terdapat catatan penting yang perlu dikemukakan menyangkut keberlanjutan kepemimpinan yang baik tersebut. Dalam banyak pengalaman, pergantian kepala daerah seringkali kalau tidak membawa kemajuan maka kemunduran. Inilah pentingnya kaderisasi kepemimpinan di daerah.

Dukungan Pusat Tertinggi, Moral Aparat Terendah

Dua faktor yang menarik perhatian terkait pertanyaan yang diajukan kepada masyarakat tentang faktor-faktor penentu tercapainya tujuan otonomi daerah (otoda) yakni: faktor dukungan pusat/provinsi dan faktor kapasitas teknis dan moral aparat (lihat grafik untuk skor masing-masing faktor yang diukur/dinilai).

Faktor dukungan pusat/provinsi menjadi menarik karena pada tiga dari empat parameter faktor ini oleh masyarakat masih dianggap paling menentukan tercapainya tujuan otoda. Pada parameter ekonomi, politik lokal, dan lingkungan hidup, faktor dukungan pusat/provinsi masih paling lebih dominan menurut persepsi masyarakat. Hanya pada parameter layanan publik faktor dukungan pusat/provinsi bukan dengan skor tertinggi.

Bila dicermati dominasi faktor dukungan pusat/provinsi sebagai faktor paling penentu tujuan otoda, maka penyebabnya kemungkinan ada dua. Pertama, masih tingginya ketergantungan daerah (kabupaten/kota) dalam hal anggaran kegiatan. Keterbatasan keuangan kabupaten/kota terkadang menjadi kendala pelaksanaan program. Pada kondisi seperti ini pemerintah kabupaten/kota akan mencari tambahan anggaran program baik dari pusat maupun dari provinsi. Kedua, sebagian besar program kerja yang dijalankan kabupaten/kota masih turunan program dari pusat/provinsi. Kabupaten/kota masih miskin kreativitas dalam inovasi program.

Bagaimana dengan faktor kapasitas teknis dan moral aparat? Kenapa menjadi menarik? Jawabannya, karena pada keempat parameter faktor ini selalu menempati skor terendah. Berdasarkan hasil survei publik yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa masyarakat menilai faktor kapasitas teknis dan moral aparat belum memadai sebagai penentu tujuan otoda.

Rendahnya kepercayaan publik terhadap kapasitas teknis dan moral aparat kemungkinan disebabkan; pertama, masih rendahnya kualitas dan penguasaan teknis para aparatur dalam bidang kerja masing-masing; kedua, banyak kasus pungutan liar atau pun kasus korupsi yang melibatkan aparat daerah sehingga secara moral cacat. (ahmadsyam_1@yahoo.com)

Wednesday, November 9, 2011

Kelas Ibu Hamil hingga Arisan Jamban --program kesehatan berbasis partisipasi masyarakat--


Pernah mendengar jamban awet? Sebutan awet untuk jamban yang dimaksud karena fisik bangunannya tetap baik meski telah berbilang tahun. Namun, kondisi yang masih baik tersebut bukan karena perawatan tetapi karena jamban tersebut kurang atau sama sekali tidak difungsikan masyarakat.

Ahmad Syam
Peneliti FIPO

Harian Fajar, 9 November 2011

Pengalaman yang hampir sama dengan kisah jamban awet di atas juga dapat ditemukan di Desa Marannu, Kecamatan Baebunta, Luwu Utara. Bantuan fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) umum dari pemerintah daerah (pemda) sama sekali tidak digunakan. Padahal, anggaran pembangunannya menelan puluhan juta dari sumber APBD. Apa yang salah? Ternyata, sumber permasalahannya karena masyarakat tidak berpartisipasi dalam perencanaan pengadaan MCK tersebut.

Sesungguhnya, pemerintah telah lama menyadari bahwa partisipasi masyarakat adalah elemen dan modal sosial yang penting dalam pembangunan. Dalam UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) menyebutkan, partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasikan kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.

Kesadaran pentingnya partisipasi masyarakat itulah yang kemudian mengilhami pemda, khususnya yang bergerak di sektor kesehatan, untuk menggalang kekuatan masyarakat menyukseskan setiap program kesehatan.

Berdasarkan monitoring dan evaluasi (monev) FIPO terhadap 23 kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan pada 2011 ini, terdapat tiga kasus menarik terkait partisipasi masyarakat pada sektor kesehatan.

Pertama, pengalaman bantuan MCK umum yang gagal di Luwu Utara memotivasi Dinas Kesehatan, khususnya kader kesehatan di Desa Marannu, untuk mengubah perilaku masyarakat dari kebiasaan tidak menggunakan jamban menjadi pengguna jamban. Kader kesehatan mencari cara sehingga program jamban tidak top down tetapi bottom up. Artinya, kesadaran untuk memiliki dan menggunakan jamban bukan semata atas imbauan pemda tetapi juga atas kebutuhan masyarakat untuk hidup lebih sehat. Maka pemda (puskesmas kecamatan dan kader kesehatan desa) bersama-sama masyarakat menggagas implementasi arisan jamban.

Arisan jamban di Luwu Utara adalah bergabungnya beberapa keluarga untuk membentuk kelompok arisan. Setiap kelompok beranggotakan 10 keluarga. Hasilnya, biaya jamban sederhana yang nilainya sekira Rp400.000 bukan lagi masalah bagi masyarakat. Setoran Rp40.000 per keluarga memungkinkan ke-10 keluarga tersebut dapat menikmati jamban sekaligus hidup lebih sehat. Seandainya tidak ada arisan tersebut, warga Desa Marannu tidak akan memiliki jamban karena biaya Rp400.000 tergolong besar bagi mereka yang tergolong miskin.

Kedua, upaya merangsang partisipasi masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat juga bisa ditemukan di Kabupaten Pangkep. Arisan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) di Desa Mangilu, Kecamatan Bungoro, sangat membantu memperbaiki gizi anak-anak warga desa yang dikenal masih berada dalam kondisi prasejahtera.

Dikoordinir kader posyandu setempat, setiap orang tua yang memiliki anak-anak di bawah usia lima tahun (balita) menyetor Rp1.000 per bulan untuk keperluan bahan pembuatan PMT. Namun, iuran sebesar tersebut tidak mengikat. Artinya, bagi orang tua yang masih berat dengan iuran Rp1.000 tersebut, dimungkinkan menyumbang bahan pembuatan PMT dari hasil kebun yang mereka miliki.

Dampaknya, warga Desa Mangilu yang selama ini mengalami masalah ketercukupan gizi bagi anak-anak mereka secara perlahan teratasi berkat arisan PMT. Keberadaan arisan PMT juga mendorong perbaikan tingkat partisipasi masyarakat untuk membawa balitanya ke posyandu. Pada dua posyandu di desa tersebut terlihat ada peningkatan jumlah kunjungan dari sekitar 40 persen menjadi 70 persen. Demikian pula dengan peningkatan berat badan balita yang sebelumnya hanya berkisar 18-36 persen menjadi 40-60 persen.

Ketiga, program kelas ibu hamil di Bulukumba yang pertama kali dilaksanakan di Desa Benteng Malewang dan Desa Bonto Masila, Kecamatan Gantarang, adalah pengalaman lainnya terkait sinergi pemda dan masyarakat. Program ini dijalankan guna mengatasi kematian ibu yang melahirkan dan kematian anak.

Kelas ibu hamil diselenggarakan dalam bentuk pertemuan-pertemuan sesama ibu hamil atas pendampingan kader kesehatan setempat. Pertemuan secara bergiliran tersebut membahas mulai dari kesehatan ibu hamil hingga penanganan risiko ibu hamil. Anggaran pertemuan sebagian besar bersumber dari swadaya masyarakat.

Manajemen kelas ibu hamil menjadi lebih tertib karena peran Kelompok Peminat Kesehatan Ibu dan Anak (KPKIA) yang pengurusnya berasal dari masyarakat. Kelompok ini pula yang membentuk kelas, menetapkan ketua kelas, dan anggota kelas. Dampak kehadiran kelas ibu hamil yang paling selain mengurangi kematian ibu hamil, juga dari membaiknya kesadaran ibu hamil mengunjungi puskesmas/rumah sakit untuk memeriksakan kandungan.

Masyarakat Kurang Dilibatkan Bahas Anggaran Kesehatan
Monitoring dan evaluasi (monev) terkait program dan kinerja pemerintah kabupaten/kota juga menyertakan survei pubik. Tujuannya sebagai alat untuk mengonfirmasi persepsi publik terhadap program pemda.

Untuk sektor kesehatan, khususnya menyangkut partisipasi masyarakat, terdapat lima pertanyaan yang dikonfirmasi ke masyarakat. Pertanyaan menyangkut keterlibatan masyarakat dalam perbaikan pelayanan di fasilitas-fasilitas kesehatan; jawaban sangat tidak baik (7,6 persen), tidak baik (37,3 persen), baik (47,3 persen), dan sangat baik (7,8 persen). Sedangkan pertanyaan: apakah masyarakat semakin terampil dan berani untuk berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan (mulai perumusan hingga pelaksanaan kebijakan), jawaban sangat tidak baik (7,9 persen), tidak baik (37,8 persen), baik (45,6 persen), dan sangat baik (8,7 persen).

Selain kedua hal di atas, terdapat tiga hal lainnya yang ditanyakan ke publik terkait partisipasi masyarakat di layanan kesehatan. Ketiga hal tersebut yakni: penggunaan cara-cara partisipatif dalam pengambilan kebijakan pemda/sekolah-sekolah negeri dalam pelayanan kesehatan; meningkatnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan anggaran kesehatan di APBD; dan tentang apakah masyarakat semakin berani lakukan pengaduan (komplain) atas pelayanan yang tidak sesuai (lihat di grafik untuk hasil surveinya).

Hasil survei yang mengonfirmasi 2.300 responden pada 23 kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan mencerminkan masih perlunya meningkatkan partisipasi masyarakat di sektor layanan kesehatan. Persentase antara jawaban baik dan tidak baik yang tidak berselisih jauh adalah indikator bahwa publik masih belum sepenuhnya puas terhadap pelibatan masyarakat dalam program kesehatan. Misalnya, pada pertanyaan tentang penggunaan cara-cara partisipatif dalam pengambulan kebijakan, secara akumulatif jawaban baik (55,2 persen) dan jawaban tidak baik (44,8 persen). Bahkan pada aspek pelibatan masyarakat dalam penyusunan anggaran kesehatan secara akumulatif jawaban baik hanya 48,9 persen, sedangkan yang menjawab tidak baik 51,1 persen (ahmadsyam_1@yahoo.com).

Wednesday, October 12, 2011

Pemda Setengah Hati Layani Informasi Publik


Apakah akses mendapatkan informasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) membaik? Hampir setengah dari total 2.300 responden menjawab belum baik. Sebanyak 48,6 persen responden mengatakan akses APBD belum baik dan hanya 51,4 persen responden lainnya menilai sudah baik.

Ahmad Syam
Peneliti FIPO
Harian Fajar, 12 Oktober 2011

Pertanyaan tentang kemudahan mengakses APBD adalah satu dari delapan pertanyaan yang dikonfirmasi ke publik terkait dampak implementasi otonomi daerah terhadap kemudahan akses informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sama halnya pada aksesibilitas informasi APBD, tujuh pertanyaan lainnya yang dikonfirmasi melalui survei publik tersebut menunjukkan bahwa selisih antara persentase jawaban belum baik dan sudah baik tidak begitu jauh –selengkapnya lihat tabel dan grafis.

Artinya, kemudahan mendapatkan informasi seluruh kebijakan daerah seperti peraturan daerah (perda), peraturan kepala daerah, dan keputusan kepala daerah; informasi rancangan dan pembahasan kebijakan daerah; informasi rencana pembangunan daerah, baik jangka menengah maupun panjang; informasi pelayanan publik menyangkut biaya, prosedur, dan tarif; serta transparansi proses tender oleh pemerintah daerah masih menunjukkan pemda setengah hati melayani informasi publik.

Masih buruknya penilaian publik terkait akses informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah juga telah diakui pemerintah pusat. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, beberapa waktu lalu mengatakan, Informasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (IPPD) seharusnya dilaporkan kepada masyarakat, ditempel di tempat umum. Sayangnya, ungkap Djohermansyah Djohan, belum semua daerah melakukan dan karena itu perlu terus didorong (Media Indonesia, 20 April 2011).

Untuk mengukur sejauhmana pemerintah daerah menjamin kemudahan akses informasi bagi publik, FIPO memiliki dua komponen penilaian. Pertama, survei publik sebagai alat untuk mengukur pandangan dan penerimaan masyarakat atas program dan kinerja pemerintah daerah (pemda). Kegiatan survei berlangsung Januari-April dengan jumlah responden 2.300 orang, mencakup 100 responden per kabupaten/kota. Responden minimal berusia 17 tahun yang dipilih secara purposif. Mereka mewakili kalangan well-educated dan well-informed dari berbagai latar belakang profesi seperti asosiasi profesi pendidikan, asosiasi profesi kesehatan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan, mahasiswa dan pelajar, serta investor.

Kedua, studi program inovasi daerah yang relevan dengan transparansi dan kemudahan akses informasi. Penelitian FIPO mencari program terobosan menyangkut akses informasi yang dijalankan pemda melalui wawancara mendalam dan observasi program. Dalam skema FIPO, akses informasi tidak hanya akses pasif tetapi juga akses aktif.

Akses pasif yang dimaksud adalah keterbukaan dan ketersediaan informasi, data, dan dokumen publik yang disediakan pemda ketika masyarakat mencarinya. Artinya, seluruh data dan dokumen tentang penyelenggaraan pemerintahan yang sewaktu-waktu dibutuhkan masyarakat telah tersedia dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah. Sedangkan akses aktif diartikan sebagai upaya aktif pemda atas inisiatif dan kesadaran sendiri (good will) untuk menyebarluaskan informasi publik.

Monev 23 Kabupaten/Kota
Berdasarkan pemonitoran dan evaluasi (monev) FIPO, baik akses pasif maupun akses aktif tidak dijalankan maksimal oleh pemda. Dokumen-dokumen publik seperti Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) APBD atau pun peraturan daerah (perda), serta data-data publik lainnya, misalnya profil pendidikan dan profil kesehatan tidak tersedia dan tersaji dengan baik. Kalau pun seluruh dokumen dan data tersebut telah disusun dan didokumentasikan secara rapi oleh pemda, terkadang masyarakat menemui kesulitan untuk mengakses.

Sebenarnya, pemda bisa menggunakan website masing-masing untuk memublikasikan dokumen dan data publik tersebut. Hanya saja, dari temuan FIPO, cuma sedikit pemda yang menginput dokumen dan data publik tersebut ke dalam website. Terdapat hanya 30 persen kabupaten/kota yang melakukan sharing informasi seperti LPPD, Ringkasan APBD, maupun RPJMD melalui website. Persentase yang kecil itu juga masih bermasalah karena kabupaten/kota tidak melakukan updating dokumen karena yang ditampilkan, terkadang, bukan dokumen terbaru.

Hal yang menarik, sebagian besar website milik kabupaten/kota cenderung memilih memajang foto kepala/wakil kepala daerah lengkap dengan biodata ketimbang menyajikan dokumen-dokumen publik tersebut. Juga ada kecenderungan website kabupaten/kota menjadi portal berita yang tidak mengaver dua kepentingan secara berimbang. Artinya, berita-berita di website dimonopoli informasi kepala/wakil kepala daerah atau pun pejabat daerah lainnya yang sedang in action. Di satu sisi, pemberitaan kegiatan pejabat daerah tidak salah sama sekali karena juga menjadi bentuk pelaporan kepada masyarakat. Namun, di lain sisi, juga penting untuk memberitakan/menginformasikan tentang, misalnya prosedur mengurus layanan pendidikan dan kesehatan gratis.

Angin segar pernah berhembus dari sedikit pemda yang secara aktif mengupayakan penyebarluasan dokumen publik atau akses aktif. Program kalender APBD yang dilaksanakan oleh sedikit pemda menjadi program yang dapat mendekatkan informasi terkait rencana pembangunan dan penganggarannya kepada masyarakat. Pada dua tahun monev sebelumnya, FIPO menemukan 13 persen kabupaten/kota yang membuat Kalender APBD. Sayangnya, perkembangan program tersebut tidak sebagaimana harapan FIPO karena tahun ini tinggal 4,3 persen dari 23 kabupaten/kota yang dimonev yang memiliki Kalender APBD.

Hasil-hasil survei publik dan analisis program kerja daerah yang disajikan di atas mencerminkan masih lemahnya political will pemerintah daerah dalam menyediakan informasi kepada publik. Ujung-ujungnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum kabupaten/kota di Sulsel “kompak” belum terlalu serius menguatkan akuntabilitas publik karena akses informasi yang mudah adalah bagian dari akuntabilitas publik.

Selain pertimbangan penguatan akuntabilitas publik yang menjadi cikal bakal terbangunnya good governance, kemudahan akses informasi menjadi sesuatu yang wajib hukumnya karena telah diatur dalam Undang Undang (UU) Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Harapannya, implementasi UU tersebut dapat berjalan efektif sehingga tidak ada lagi kabupaten/kota yang beranggapan bahwa APBD adalah dokumen rahasia. (ahmadsyam_1@yahoo.com)

Wednesday, September 21, 2011

Tender Transparan, Pejabat pun Aman


Program e-Procurement untuk kali kedua secara beruntun mengantar Kabupaten Luwu Utara (Lutra) memenangkan silver trophy (trofi perak) Otonomi Awards untuk Kategori Akuntabilitas Publik. Bahkan pada kedua kesempatan tersebut Lutra juga berhasil memenangkan gold trophy (trofi emas), penghargaan kategori utama untuk Daerah dengan Terobosan Paling Menonjol Bidang Performa Politik. Apa kiat sukses kabupaten yang tahun 2011 ini menginjak usia 12 tahun? Ulasannya berikut ini.

Ahmad Syam
Peneliti FIPO


Harian Fajar, 21 September 2011

Pemerintah Daerah (Pemda) Luwu Utara (Lutra) secara serius mengelola program e-procurement sehingga The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) yang memonitor dan mengevaluasi program daerah memberi apresiasi tinggi untuk program tersebut. Keseriusan kabupaten berpenduduk 321.979 jiwa (2009) ini tercermin dari proliferasi (pengembangbiakan) program. Apakah proliferasi yang dimaksud?

Dalam skema penilaian FIPO, proliferasi adalah pengembangbiakan program dari tidak ada menjadi ada dan dari ada menjadi semakin berkembang. Berdasarkan pemonitoran FIPO, pada 2009 sistem pengelolaan e-procurement masih semi-electronic yang kemudian pada 2010 bermigrasi ke sistem full-electronic. Terdapat beberapa kelebihan full-electronic dibandingkan semi-electronic.

Pertama, proses registrasi pada semi-electronic seorang direktur perusahaan wajib datang beserta dokumen asli perusahaan untuk melakukan verifikasi, sedangkan dengan sistem full-electronic direktur tidak diwajibkan lagi untuk datang karena dapat dikuasakan kepada orang yang tercantum namanya dalam akta pendirian. Dampaknya, sistem full-electronic memberi kemudahan dan kesempatan yang sama bagi semua perusahaan, baik perusahaan kecil maupun besar, yang berasal dari dalam maupun luar daerah, untuk melakukan registrasi dan verifikasi perusahaan.

Kedua, semi-electronic masih menggunakan Infrastruktur Kunci Publik (IKP) sebagai pengaman dokumen dalam bentuk fisik (CD/files) yang diserahkan ke direktur perusahaan saat registrasi dan verifikasi. Pada full-electronic sudah menggunakan Aplikasi Pengaman Dokumen (Appendo) yang diaktifkan menggunakan identitas digital dan kunci publik berupa sederet kode tertentu yang sudah tersedia dalam menu masing-masing user dan dapat diakses kapan saja. Kelemahan semi-electronic pada penggunaan CD/files sebagai pengaman dokumen karena CD/files mudah rusak, hilang atau terserang virus sehingga perusahaan harus datang lagi ke sekretariat layanan menggunakan penggantian dengan melengkapi berkas.

Ketiga, print-out Surat Pernyataan Minat (SPM), formulir isian kualifikasi, Surat Penawaran Harga (SPH) beserta lampirannya harus dijilid sebelum dikirim ke panitia lelang pada sistem semi-electronic, sedangkan pada full-electronic tidak lagi melakukan print-out karena semua data dikirim secara langsung melalui sistem dengan fasilitas yaang telah terintegrasi. Dampaknya, sistem full-electronic tentu saja menguntungkan karena memberikan kemudahan dan tidak ada lagi biaya cetak/print-out dan penggandaan bagi rekanan.

Keempat, pada sistem semi-electronic, proses sanggahan masih dilakukan secara manual yaitu dengan mengirimkan hardcopy surat sanggahan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Pada sistem full-electronic proses ini sudah tidak dikenal lagi karena seluruh sanggahan dilakukan secara online di mana dan kapan saja.

Demikian beberapa keuntungan migrasi dari semi-electronic ke full-electronic yang ikut mengangkat nilai program e-procurement. Secara akumulatif, dari dua komponen penilaian, inovasi dan survei publik, skor 769 yang diraih Lutra merupakan poin tertinggi dibandingkan empat kebupaten/kota yang menguntit di belakangnya yakni Parepare, Gowa, Makassar, dan Bantaeng.

Gebrakan Lutra

Komitmen untuk mengimplementasikan e-procurement dilatarbelakangi kesungguhan pemda memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) khususnya yang berkaitan dengan proses lelang/tender. Sistem konvensional yang dijalankan sebelumnya telah menempatkan para pejabat dan panitia lelang dalam posisi tidak aman.

Langkah pertama yang dilakukan pemda pada 2008 adalah melakukan studi lapang ke Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang terlebih dahulu menerapkan e-procurement. Memorandum of Understanding (MoU) antara Lutra dan Surabaya yang\ antara lain mengatur proses adopsi e-procurement melalui training of trainers (TOT) bagi calon panitia barang jasa dan calon pengelola sekretariat layanan e-procurement semakin memantapkan Lutra menjadi kabupaten pertama di Sulawesi Selatan dan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang menjalankan e-procurement.

Mengawali peluncuran secara resmi pada 2009 dilakukan beberapa persiapan teknis seperti pembentukan Unit Layanan Pengadaan (ULP), sekretariat layanan e-procurement, penyusunan regulasi, serta sosialisasi dan bimbingan teknis untuk para pelaku penyedia barang dan jasa. Selain itu ada upaya-upaya sosialisasi yang intensif terhadap para pengguna anggaran, pejabat pengadaan barang/jasa, panitia pengadaan dari masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang tujuannya agar jajaran birokrasi, terutama yang terlibat dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah, memahami dengan baik e-procurement.

Fasilitas penunjang yang disiapkan antara lain personal computer (PC) sebanyak 20 unit (10 unit untuk bidding room/training room dan 10 unit lainnya untuk sekretariat e-procurement), 4 laptop, dan 2 unit PC untuk server. Tersedia juga fasilitas internet melalui VSAT dengan kapasitas 3 MBps, jaringan telepon dan jaringan komputer local area network (LAN) antar unit di lingkup instansi pemerintah untuk menunjang kinerja panitia pengadaan dan WAN atau hotspot di sejumlah titik dalam kota Masamba.

Dua tahun implementasi e-procurement sebagai layanan publik berdampak bukan hanya memperluas akses pasar dan membantu menciptakan persaingan sehat diantara pengusaha besar dan kecil, tetapi juga memberikan rasa aman dan nyaman karena proses pengadaan mengikuti ketentuan yang diatur secara elektronik dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas.

Bahkan, e-procurement juga berdampak pada perubahan budaya kerja aparatur negara yang terlibat. Pengaturan jadwal dan waktu yang ketat membuat tidak ada lagi toleransi terhadap keterlambatan serta membantu mamastikan bahwa semua persyaratan, ketentuan, dan proses dipenuhi serta ditaati.

Paling menggembirakan, tentu saja, penerapan e-procurement sangat membantu pemda mengefisiensikan anggaran pada setiap kegiatan pelelangan yang nilainya di atas Rp100 juta. Pada tahun 2009 sebagai tahun pertama pelaksanaan lelang berbasis internet ini efisiensi anggaran yang dicapai pemda sebesar 10,70 persen, dari 235 paket pekerjaan yang dilelang dengan total anggaran Rp133,9 miliar. Pada 2010 atau tahun di mana secara resmi menggunakan aplikasi Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) terjadi efisiensi anggaran sebesar 6,71 persen, dari 97 paket pekerjaan yang dilelang dengan total anggaran Rp83,88 miliar (ahmadsyam_1@yahoo.com).

Wednesday, August 10, 2011

Menjemput Pasien, Mendekatkan Layanan

Grafis Ranking Kabupaten/Kota se-Sulsel Otonomi Awards 2011

Gold trophy (trofi emas) untuk Kategori Utama Daerah dengan Terobosan Paling Menonjol Bidang Pelayanan Publik direbut Kabupaten Bantaeng. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari sukses dua layanan publiknya yakni  layanan pendidikan dan  layanan administrasi kependudukan masuk nominasi (5 besar) serta sukses layanan kesehatan melalui program Brigade Siaga Bencana (BSB) meraih silver trophy (trofi perak). Apa terobosan program BSB? Simak paparannya di bawah ini.

Oleh: Ahmad Syam
Fajar, 10 Agustus 2011

Hasil analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2010 Kabupaten Bantaeng, rasio belanja langsung sektor kesehatan terhadap total belanja APBD sebesar 0,056 atau hanya berada di peringkat ke-12 diantara 23 kabupaten/kota se-Sulsel yang dimonitor The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO). Adapun rasio belanja langsung kesehatan terhadap jumlah penduduk dalam APBD yang besarnya 129,853 sedikit lebih baik karena menempatkan Bantaeng di ranking ke-9.

Namun, dalam skema FIPO, besaran anggaran (baca: eksisting data) hanya satu dari tiga komponen penilaian. Dua komponen lainnya adalah inovasi dan survei publik. Berdasarkan skema itu pula BSB unggul dibandingkan program kesehatan lainnya diajukan kabupaten/kota. Secara akumulatif nilai Bantaeng untuk ketiga komponen tersebut adalah yang tertinggi mengalahkan empat kabupaten yang menjadi pesaing terdekat (lihat grafis di atas). 


Call Centre BSB 113 (Foto: Ahmad Syam)
                                              

Apakah BSB itu? BSB merupakan layanan gratis selama 24 jam yang berkomitmen memberikan pelayanan kesehatan tercepat dan terdepan atas setiap bencana/musibah yang menimpa masyarakat. Melalui laporan dan informasi dari masyarakat di call center 113 dan layanan telepon lainnya di 0413-22724, atau di frekwensi radio 145.490 MHz, tim BSB dengan segera merespons dan melakukan tanggap informasi.                  

Tim BSB segera meluncur ke lokasi pasien/korban di mana pun lokasi tersebut, baik di kota, pelosok desa, di laut maupun di daerah pegunungan. Di lokasi tim melakukan diagnosa pasien/korban untuk menentukan tindakan perawatan selanjutnya, apakah pasien/korban hanya perlu dirawat di lokasi/rumah, dibawa ke ruang perawatan BSB, ataukah harus dirujuk ke puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).

Terdapat 20 dokter umum yang berasal dari puskesmas-puskesmas di Bantaeng, 8 perawat, dan 4 pengemudi. Keseluruhan staf BSB ini menjalankan tugas harian secara bergantian. Setiap hari jadwal tugas dibagi dalam tiga waktu yakni pagi (07.00 wita-14.30 wita); siang (14.30 wita-21.30 wita); dan malam (21.30 wita-07.00 wita). Setiap jadwal tugas/shift jaga terdiri dari 1 (satu) dokter, 2 (dua) perawat, dan 2 (dua) pengemudi.

Bagaimana Bantaeng menyiapkan tim ini sehingga dapat bekerja maksimal melayani masyarakat? Terdapat dua persiapan penting yang membuat program BSB berjalan lancar dan mendapatkan respons positif dari masyarakat. 

                    

Pertama, pengadaan peralatan dan sarana-prasarana seperti peralatan kesehatan dan kendaraan operasional/ambulans. Saat ini BSB memiliki 5 (lima) unit ambulans yang berasal dari Dinas Kesehatan Bantaeng (1 unit); bantuan dari Asuransi Kesehatan-Askes (1 unit); dan bantuan Pemerintah Jepang (3 unit). Satu dari lima unit ambulans tersebut difasilitasi alat monitor pemeriksaan jantung modern, peralatan yang jarang dimiliki ambulans lainnya. Selain itu terdapat 2 (dua) unit speedboat milik tim SAR yang sewaktu-waktu dapat digunakan tim BSB bila ada korban/pasien di laut.

Kedua, peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang meliputi pelatihan-pelatihan ketanggapdaruratan. Pelatihan bagi dokter adalah pelatihan general emergency life support (GELS) dan bagi perawat adalah pelatihan basic trauma cardiac life support (BTCLS). Kedua jenis pelatihan tersebut dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan/pengenalan bagi dokter/perawat dalam hal penanganan tindak darurat sehingga paham apa yang harus dilakukan di lokasi kejadian.

Kesigapan staf, kelengkapan sarana, dan keterampilan dalam menangani pasien yang dipertunjukkan tim BSB mendapat respons positif dari masyarakat. Besarnya respons dan sambutan masyarakat tercermin dari jumlah pasien/korban yang menggunakan layanan BSB. Pada 6 (enam) bulan pertama pengoperasian BSB saja jumlah pasien yang ditangani mencapai 517 orang.

Sekarang ini jumlah pasien yang telah ditangani terus bertambah seiring intensitas sosialisasi yang dilakukan pemda sebagai upaya mendesiminasikan informasi layanan BSB ke masyarakat. Melalui Dinas Kesehatan Kabupaten Bantaeng sebagai leading sector program informasi layanan BSB disebar baik di puskesmas-puskesmas, di kantor kelurahan dan desa, maupun di rumah-rumah ibadah.

Namun, tentu saja, jumlah warga Bantaeng yang menggunakan layanan BSB terus meningkat karena besarnya manfaat yang dirasakan masyarakat. Maka tidak mengherankan terhitung sejak dibentuk awal Desember 2009 lalu hingga posisi Juni 2011 jumlah pasien mencapai 2.557 orang atau jika dirata-ratakan sebanyak 134 pasien setiap bulan.

Inovasi Kelembagaan

Terobosan di BSB yang juga terlihat berbeda dari layanan serupa di kabupaten/kota lainnya di Sulsel adalah pada organisasi BSB. Secara kelembagaan BSB adalah bagian dari Tim Emergency Service (TES) Kabupaten Bantaeng. Selain BSB yang dalam struktur organisasi TES dikenal Satuan Tugas (Satgas) Pelayanan Kesehatan terdapat satgas lainnya yang dibawahi dan satu atap dalam TES yaitu Satgas Pemadam Kebakaran, Satgas Bantuan Sosial, Perlengkapan dan Logistik, serta Satgas Operasi, Rehabilitasi dan Pemulihan. TES dikoordinasi tiga dinas/instansi terkait yakni Dinas Kesehatan, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda), dan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans).

Konsep TES dengan menghimpun beberapa jenis layanan publik seperti kesehatan, pemadam kebakaran, serta bencana dan layanan sosial dalam satu atap merupakan inisiatif Pemda Bantaeng yang belum dilakukan kabupaten/kota lainnya di Sulsel, atau boleh jadi pertama di Indonesia. 

Kantor BSB (Foto: Ahmad Syam)
        

Pada pelaksanaannya sinergi antara layanan kesehatan BSB dengan layanan pemadam kebakaran berjalan baik. Dalam setiap laporan kejadian kebakaran tim BSB akan menyertakan 2 (dua) ambulans sebagai tim medis mengantisipasi korban luka bakar. Iring-iringan mobil pemadam kebakaran bersama dua unit ambulans adalah terobosan pertama di Sulsel. Bahkan, layanan medis BSB pada kejadian kebakaran bukan hanya untuk kasus di Bantaeng karena seringkali terlibat dalam beberapa kasus kebakaran di Bulukumba dan Jeneponto, dua kabupaten terdekat dengan Bantaeng. (ahmadsyam_1@yahoo.com)

http://ahmad-syam.blogspot.com.au/2011/07/bumdes-penuhi-kebutuhan-warga-sepenuh.html
 

Wednesday, July 27, 2011

BUMDes Penuhi Kebutuhan Warga Sepenuh Desa

Grafis: Ranking Kabupaten/Kota Otonomi Awards 2011 Kategori Pemberdayaan Ekonomi

Kabupaten Bantaeng berhasil meraih trofi Otonomi Awards 2011 dari The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) pada kategori pemberdayaan ekonomi lokal. Terobosan yang dilakukan kabupaten di kaki Gunung Lompobattang ini adalah membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di seluruh desanya. Bagaimana gambaran terobosan tersebut? Berikut kupasan atas program tersebut.

Ahmad Syam
Fajar, 27 Juli 2011

Luas wilayah Bantaeng 395,83 kilometer persegi atau kabupaten terkecil di Sulawesi Selatan (Sulsel). Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bantaeng hanya Rp16.406.093.325, PAD terkecil kedua di Sulsel. Namun, data yang dihimpun melalui buku Sulawesi Selatan Dalam Angka 2010 dari Biro Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulsel menunjukkan, pertumbuhan ekonomi daerah berjarak kurang lebih 120 kilometer arah selatan Makassar ini tidaklah tergolong kecil. Pertumbuhan ekonomi Bantaeng 2009 sebesar 7,32 persen atau terbesar ke-8 dari 24 kabupaten/kota se-Sulsel.

Laju pertumbuhan ekonomi Bantaeng memang terus menanjak dalam kurun lima tahun terakhir. Selain faktor investasi yang terus membaik, kabupaten dengan ikon baru berupa apel dan stroberi ini juga berangkat dari visi pembangunan yang jelas yakni pembangunan berbasis desa mandiri. Visi yang diharapkan memperkuat ekonomi desa karena dari desa yang kuat akan terbangun kecamatan yang kuat dan kecamatan yang kuat akan membentuk, tentu saja, kabupaten yang kuat.

Bagaimana visi tersebut diimplementasikan? Sejak tahun 2006 Pemerintah Daerah (Pemda) Bantaeng telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Salah satu poin dalam perda tersebut menyebutkan bahwa dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan desa, pemerintah desa dapat mendirikan BUMDes sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. 

 
    

Pembentukan BUMDes oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Bantaeng melalui tiga fase. Pertama, tahap fasilitasi pendirian BUMDes di 46 desa pada tahun 2008. Kedua, tahap penguatan kapasitas pengelolaan BUMDes pada 2009. Fase ini meliputi pendampingan terhadap pengelola dan pelatihan manajemen, persiapan piranti organisasi (Anggaran Dasar-AD/Anggaran Rumah Tangga-ART, akta organisasi), persiapan rencana penggunaan anggaran hingga penyusunan Standard Operasional Prosedur (SOP). Lalu, fase ketiga adalah penguatan modal usaha berupa penyaluran bantuan hibah untuk anggaran operasional BUMDes. Tahap ini dilakukan pada awal 2010 dan masing-masing BUMDes menerima Rp100 juta.

Pada setiap pembentukan BUMDes selalu diawali dengan musyawarah desa dan dimintakan persetujuan dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang kemudian dilegalisir oleh notaris. BUMDes yang telah berdiri tersebut kemudian membentuk pengurus yang terdiri dari unsur pemerintah desa sebagai penasehat/komisaris dan unsur masyarakat sebagai pelaksana/direksi.

Setelah lembaga dan pengelola terbentuk maka langkah selanjutnya adalah menjalankan BUMDes berdasarkan kaidah-kaidah lembaga ekonomi. Misalnya, penguatan modal BUMDes mengacu pada Rencana Kegiatan Usaha (RKU) dan SOP dari masing-masing BUMDes. Setiap BUMDes juga harus memiliki core business berdasarkan potensi desa di mana BUMDes tersebut berada. Misalnya, satu desa yang potensi ekonominya sektor pertukangan maka BUMDes diarahkan untuk bergerak di sektor pertukangan meskipun tetap memungkinkan menggarap potensi ekonomi desa lainnya. Dalam menjalankan core business-nya, BUMDes memiliki channeling dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait. Artinya, kegiatan sektor pertanian maka koordinasinya dengan Dinas Pertanian. 

   

Saat ini BUMDes di Bantaeng mengelola beragam jenis kegiatan usaha diantaranya: grosir barang campuran, perdagangan hasil bumi, toserba, pengadaan saprodi, bantuan modal usaha pedagang kecil, jasa rekening listrik, pengelolaan air minum, penggemukan sapi, usaha simpan pinjam, usaha layanan alat tulis kantor (ATK), jasa foto copy, pertukangan, dan lain sebagainya. Guna semakin menggiatkan usaha BUMDes, enam BUMDes yang bergerak di sektor perdagangan hasil pertanian dan terletak di wilayah-wilayah ketinggian mendapatkan bantuan mobil operasional.

Setahun setelah mendapatkan dana stimulan sebagian besar BUMDes telah beroperasi normal. Melayani kebutuhan masyarakat di desa sehingga masyarakat tidak perlu membuang biaya transportasi ke kota untuk berbelanja karena sebagian besar kebutuhnya bisa dipenuhi di BUMDes. Alhasil, transaksi harian di BUMDes tercatat pada kisaran Rp200 ribu-Rp1 juta.


Bantaeng Unggul

Program pemberdayaan ekonomi lokal yang dilakukan Bantaeng melalui BUMDes merupakan program paling menonjol dari segi terobosan dibandingkan semua program pemberdayaan lainnya yang diajukan kabupaten/kota. Bahkan, jika disandingkan dengan program BUMDes milik daerah yang lain tetap BUMDes di Bantaeng masih jauh lebih unggul. 

Penyerahan dana hibah (Foto: Istimewa)

Pelatihan Pendampingan (Foto: Istimewa)

 
Pertama, program BUMDes di Bantaeng telah didukung perda khusus tentang tata cara pembentukan dan pengelolaan BUMDes yang diharapkan dapat menjamin keberlanjutan program. Di daerah lainnya aturan mengenai BUMDes masih mengikut dalam perda yang mengatur pemerintahan desa secara umum misalnya terdapat di Kabupaten Luwu.        

Kedua, program BUMDes di Bantaeng telah menyebar merata di seluruh desa-desa di Bantaeng. Terdapat 46 desa di Bantaeng dan seluruhnya telah memiliki BUMDes. Di daerah lainnya program BUMDes baru mencakup paling banyak 10 desa.

Ketiga, komitmen Pemda Bantaeng terkait pemberdayaan ekonomi lokal melalui BUMDes sangat kuat yang tercermin besarnya perhatian pemda terhadap penguatan BUMDes dari fasilitasi pelatihan manajemen hingga penguatan modal awal berupa dana hibah Rp100 juta per BUMDes. Di daerah lain dana stimulan semacam ini hanya berkisar antara Rp20 juta-Rp40 juta.

Program BUMDes di Bantaeng juga unggul berdasarkan tiga komponen penilaian milik FIPO: inovasi, survei publik, dan eksisting data. Nilai inovasi adalah nilai yang diperoleh dari peneliti yang mengukur tingkat inovasi dan kadar terobosan daerah atas program yang dibuatnya. Wawancara mendalam atau in-depth interview dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) menjadi pintu informasi bagi peneliti untuk menelusuri inovasi dan terobosan pemda. Nilai survei publik bersumber dari hasil konfirmasi program kepada masyarakat yang mencakup 100 responden per kabupaten/kota. Responden berasal dari berbagai latar belakang profesi, pendidikan, dan ekonomi. Sedangkan nilai eksisting data diambil dari hasil analisis dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan pemda seperti APBD, Renstra/RPJMD, Perda, dan lain sebagainya.

Hasilnya, skor Bantaeng dari akumulasi untuk ketiga komponen penilaian tersebut adalah yang tertinggi yakni 226 poin (lihat grafis), tepat di atas empat kabupaten/kota yang menjadi pesaing terdekat yakni Luwu Timur, Sinjai, Sidrap, dan Makassar. (ahmadsyam_1@yahoo.com)

http://ahmad-syam.blogspot.com.au/2011/08/menjemput-pasien-mendekatkan-layanan.html
 

Saturday, July 16, 2011

Pemenang Otonomi Awards 2011 Jawa Timur dari The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP)



Grand Category/Gold Trophy:

Region in a leading breakthrough on economic development (Daerah dengan terobosan paling menonjol bidang pembangunan ekonomi)
Kabupaten Malang

Region in a leading breaktrough on public services (Daerah dengan terobosan paling menonjol bidang pelayanan publik)
Kabupaten Ponorogo

Region in a leading profile on political performance (Daerah dengan profil paling menonjol bidang kinerja politik)
Kabupaten Probolinggo

Special Category/Silver Trophy:

Region in an innovative breaktrough on economic development (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pertumbuhan ekonomi)
Kabupaten Sampang

Region in an innovative breaktrough on economic distribution (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pemerataan ekonomi)
Kabupaten Malang

Region in an innovative breaktrough on local economic empowerment (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pemberdayaan ekonomi)
Kabupaten Bondowoso

Region in an innovative breaktrough on health service (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pelayanan kesehatan)
Kabupaten Lumajang

Region in an innovative breaktrough on education service (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pelayanan pendidikan)
Kabupaten Pacitan

Region in an innovative breaktrough on administrative service (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pelayanan administrasi)
Kabupaten Ponorogo

Region in an innovative breaktrough on public accountability (Daerah dengan terobosan inovatif bidang akuntabilitas publik)
Kota Surabaya

Region in an innovative breaktrough on public participation (Daerah dengan terobosan inovatif bidang partisipasi publik)
Kabupaten Probolinggo

Region in an innovative breaktrough on environment management (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pengelolaan lingkungan hidup)
Kota Probolinggo

Region in an innovative breaktrough on community-led total sanitation (Daerah dengan terobosan inovatif dalam mendorong sanitasi total berbasis masyarakat
Kabupaten Bojonegoro

Distinguished Category/Silver Trophy:


Region with a strong initiative in enforcing revenue sharing regulation (Daerah dengan inisiatif yang kuat dalam menengakkan regulasi bagi hasil)
Kabupaten Sumenep

Region with a leading initiative in marketing family planning for male (Daerah dengan inisiatif menonjol dalam memasyarakatkan keluarga berencana untuk pria)
Kabupaten Situbondo

Pemenang Otonomi Awards 2011 Sulawesi Selatan dari The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO)


Grand Category/Gold Trophy:

Region in a leading breakthrough on economic development (Daerah dengan terobosan paling menonjol bidang pembangunan ekonomi)
Kabupaten Wajo

Region in a leading breaktrough on public services (Daerah dengan terobosan paling menonjol bidang pelayanan publik)
Kabupaten Bantaeng

Region in a leading profile on political performance (Daerah dengan profil paling menonjol bidang kinerja politik)
Kabupaten Luwu Utara

Special Category/Silver Trophy:

Region in an innovative breaktrough on economic development (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pertumbuhan ekonomi)
Kabupaten Luwu Timur = Program Desa Mengepung Kota

Region in an innovative breaktrough on economic distribution (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pemerataan ekonomi)
Kabupaten Wajo = Program Sejuta Kantong Air

Region in an innovative breaktrough on local economic empowerment (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pemberdayaan ekonomi)
Kabupaten Bantaeng = Program Memandirikan Seluruh Desa melalui BUMDes

Region in an innovative breaktrough on health service (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pelayanan kesehatan)
Kabupaten Bantaeng = Program Brigade Siaga Bencana

Region in an innovative breaktrough on education service (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pelayanan pendidikan)
Kabupaten Bone = Program Paditungka

Region in an innovative breaktrough on administrative service (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pelayanan administrasi)
Kota Parepare = Program Kantor Pelayanan Satu Atap (Sintap)

Region in an innovative breaktrough on public accountability (Daerah dengan terobosan inovatif bidang akuntabilitas publik)
Kabupaten Luwu Utara = Program e-Procurement

Region in an innovative breaktrough on public participation (Daerah dengan terobosan inovatif bidang partisipasi publik)
Kabupaten Jeneponto = Program Kelompok Pemakai Air (Pokmair)

Region in an innovative breaktrough on environment management (Daerah dengan terobosan inovatif bidang pengelolaan lingkungan hidup)
Kabupaten Kepulauan Selayar = Program Kawasan Konservasi Perairan Berbasis Desa


Distinguished Category/Silver Trophy:
Kota Makassar = Program Irigasi Air Tetes

Resume Program:

Desa Mengepung Kota-Kabupaten Luwu Timur-Kategori Pertumbuhan Ekonomi

Pemerintah Daerah (Pemda) Luwu Timur memfokuskan pembangunan ke pedesaan, mulai dengan membangun kantor desa, jalan desa, dan irigasi. Pemda juga membebaskan daerah terisolasi dengan membuka jalan baru dan membangun jembatan. Jalan-jalan yang tadinya berlubang, kini sudah diperbaiki. Secara bertahap dilakukan perbaikan dari jalan tanah ke kerikil, kemudian kerikil ke jalan hotmix dan beton. Jalan menuju desa-desa tertinggal mulai dibangun, termasuk pembenahan jalan tani/jalan desa agar penghasilan para petani bisa meningkat signifikan, dan biaya yang mereka keluarkan tidak terlalu tinggi. Intinya agar sarana pertanian atau produksi bisa lebih mudah masuk. Hasil produksi pertanian juga bisa lebih mudah diangkut. Jembatan darurat diganti dengan jembatan permanen.

Beberapa upaya: hingga tahun 2010 (5 tahun pembangunan) total anggaran Rp646,594miliar; hingga 2008 volume perintisan atau pembukaan jalan mencapai 200,362 km, pengkrikilan jalan sepanjang 541,747 km dan pengaspalan jalan 218,521 km, jembatan semi-permanen dan permanen atau jembatan beton dari bentangan 5 meter hingga 25 meter sebanyak 97 buah, 24 km jalan beton di jalur lingkar Puncak Indah Malili dan Kecamatan Angkona, serta drainase sepanjang 49,818 km; dan setelah pemekaran, tidak hanya wajah Malili yang dibenahi, tetapi juga ibu kota tujuh kecamatan lainnya.

Dampaknya; petani tak lagi kesulitan mengangkut hasil pertanian karena jalan beraspal sudah menjangkau hingga ke pelosok; irigasi persawahan membaik; berkurangnya ongkos angkut hasil pertanian karena hasil produksi pertanian bisa lebih mudah diangkut; dan masuknya angkutan umum hingga ke pelosok desa. (Milawaty-FIPO).

Sejuta Kantong Air-Kabupaten Wajo-Kategori Pemerataan Ekonomi

Pemanfaatan lahan seluas 86.000 ha, perkebunan, dan kehutanan sangat ditentukan oleh ketersediaan air hujan. Musim hujan kadangkala menimbulkan banjir yang menggagalkan panen persawahan, sedangkan musim kemarau menyebabkan hamparan lahan yang luas menjadi terlantar tanpa ditanami karena tidak tersedia air. Kurang lebih 80 persen (74 ribu ha) areal persawahan masih mengandalkan sawah tadah hujan sehingga produksi masih sangat terbatas (sekali setahun) bahkan ada yang hingga 4 tahun belum berproduksi karena curah hujan yang sangat rendah.

Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah kabupaten Wajo menggalakkan pembangunan kantor air, dengan istilah pembangunan Sejuta Kantong Air. Pembangunan sejuta kantong air dimaksudkan sebagai upaya untuk menampug air, baik air hujan maupun aliran permukaan dan air sungai atau air dalam melalui bantuan pompa. Volume daya tampung kantong air bervariasi dari ukuran kecil (lubang resapan biopori), ukuran sedang (embung, teppo, situ), dan ukuran besar (dam penahan, dam pengendali, cekdam, dan danau). Sumber air tampungan dapat berasal dari air hujan seperti Umpen, Teppo, Dam, Danau, lubang resapan biopori. Sedangkan yang berasal dari air sungai dengan bantuan pompa (kalobeng, embung atau situ). Begitu juga yang berasal dari dalam tanah melalui bantuan pompa.
Output: Kurang lebih 3.500 ha sawah telah teraliri air dan saluran irigasi sepanjang tahun 2009-2010. Dapat menghasilkan 7-8 ton/ha sehingga total produksi dari 3.500 ha sawah sebanyak 24.500 – 28.000 ton atau setara dengan 24,5 juta – 28 juta kg beras. Jika 1 kg beras seharga Rp. 3ribu, berarti total penghasilan masy petani Rp 73,5 - 84 miliar/ sekali panen. Dengan demikian dalam setahun (3 kali panen) menghasilkan Rp220,5-Rp252 miliar. Pompanisasi dapat ditemui di kantong-kantong air, bantuan handtractor 500 unit, sapi 1000 ekor (2010). 2011 == sapi 100 ekor. Peningkatan produksi beras dari 285 ribu pada 2009 ton menjadi 338 ribu ton pada 2010. (Milawaty-FIPO)

Memandirikan Seluruh Desa melalui BUMDes-Kabupaten Bantaeng-Kategori Pemberdayaan Ekonomi

Berangkat dari visi Kabupaten Bantaeng yakni kabupaten terkemuka berbasis desa mandiri yang salah satu indikator mewujudkannya adalah memperkuat lembaga ekonomi lokal yang ada di desa sebagai penggerak ekonomi masyarakat di tingkat desa dan yang akan membantu dan memfasilitasi masyarakat dalam berbagai sektor usaha, dari proses produksi hingga pemasarannya. BUMDes adalah suatu badan usaha yang dikelola oleh pemerintah desa dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat di desa.

Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat desa tidak perlu lagi berbelanja kebutuhan pokok di kota kecamatan/kabupaten karena kebutuhannya telah terpenuhi di BUMDes masing-masing. Hal tersebut tentu saja memberikan keuntungan tambahan bagi masyarakat misalnya dalam hal menghemat biaya transportasi

Tahapan Pembentukan:
-Fase I adalah fase pembentukan pada tahun 2008; fasilitasi pembentukan di 46 desa
-Fase II adalah fase penguatan kapasitas pada tahun 2009; pendampingan terhadap pengelola dan pelatihan manajemen, persiapan piranti organisasi (AD/ART, akte organisasi), persiapan rencana penggunaan anggaran hingga standar operasional prosedur (SOP) -Fase III adalah fase penguatan modal usaha pada tahun 2010; penyaluran bantuan hibah masing-masing Rp100 juta per BUMDes sebagai dana stimulan. Juga terdapat bantuan sarana berupa bantuan mobil operasional (jenis mobil Toyota Hilux) untuk 6 BUMDes .

Pengelolaan dana penguatan modal BUMDes merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengelolaan keuangan BUMDes. Seluruh kegiatan didanai oleh dana penguatan modal BUMDes direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara terbuka dengan melibatkan unsur masyarakat melalui musyawarah desa dialokasikan minimal 80% dari seluruh dana penguatan modal BUMDes. Dana operasional BUMDes dialokasikan maksimal 20 persen dari seluruh dana penguatan modal BUMDes (10 persen dari alokasi ini diperuntukkan pada insentif pengurus BUMDes, 10 persen lainnya dipergunakan untuk keperluan kegiatan: musyawarah desa, alat tulis kantor, penguatan kapasitas pengurus dan unit usaha).

Penguatan modal BUMDes dilaksanakan dengan mengacu pada rencana keguatan usaha (RKU) dan standar operasional prosedur (SOP) masing-masing BUMDes. Setiap BUMDes memiliki core bussiness berdasarkan potensi desa di mana BUMDes tersebut berada. Core bussiness tersebut BUMDes memiliki channeling dengan SKPD terkait.(Ahmad Syam-FIPO)

Paditungka-Kabupaten Bone-Kategori Layanan Pendidikan

Usia 0-6 tahun adalah masa keemasan anak untuk tumbuh berkembang, dalam masa ini pula anak-anak tidak hanya membutuhkan sistem pengajaran yang efektif akan tetapi juga memerlukan asupan gizi, stimulasi adiktif dan penanaman nilai-nilai spiritual. Menyadari pentingnya pendidikan bagi usia dini serta berangkat dari banyaknya kekurangan dalam pelaksanaan PAUD yang telah ada, pemerintah Kabupaten Bone bekerja sama dengan UNICEF menelorkan sebuah konsep PAUD. Konsep PAUD yang jauh berbeda dari lembaga-lembaga PAUD yang telah ada. PAUD yang awalnya menjadi program nasional di Indonesia dimodifikasi secara holistik yag melibatkan integrasi kesehatan, gizi dan stimulasi psikologis, pemberian kesempatan untuk menggali dan belajar secara aktif, pengasuhan sosial dan emosional dalam rangka mengembangkan potensi anak.


Konsep Paditungka


-Berasal dari kata padi dan tungka yang berarti sama-sama dipelihara. Maksudnya manajemen taman paditungka selayaknya dipelihara bersama-sama sebagai program bersama demi kepentingan bersama.
- Penekanan umur anak yang ditawarkan dalam paditungka adalah umur 2-6 tahun dikarenakan dalam umur yang sedang dalam masa keemasan atau sensitive period. Sebagai upaya pendidikan dini sebagai bentuk pengenalan psikososial harus dilakukan sejak dini
-Dikatakan taman karena selayaknya taman sebagai tempat bermekaran dan bersemi bunga-bunga, seperti itu pula pengharapan yang ditorehkan dalam TP ini, sebagai tempat bersemainya benih-benih bangsa
-Ada 3 komponen utama dalam program Paditungka:
1. Manajemen PAUD : pengelolaan oleh masyarakat dengan prinsip Transparansi dan Akuntabilitas
2. Partisipasi Masyarakat : Keterlibatan masyarakat dalam semua proses perencanaan, pengelolaan, pengawasan dan memutuskan kebijakan serta menyediakan sumber daya. Partisipasi masyarakat terlihat dalam pembangunan gedung Padi Tungka. Semua eleme bersama-sama memberikan sumbangsih dalam pembangunannya, baik itu lokasi, material dsb.
3. Pembinaan holistik : pembinaan anak secara menyeluruh dengan melibatkan sektor terkait melalui
– Pembelajaran
Dalam item pembelajaran ini anak-anak diajak untuk meningkatkan keterampilan yang ditujukan untuk perkembangan anak. Kegiatan pembelajaran disusun berdasarkan tema-tema khusus misalnya panca indera, minuman, aku, rumah, lingkungan, warna dan lainnya. Dalam konsep Taman Paditungka dijelaskan pula bagaimana kader mengoptimalkan keterampilan hidup anak. Hal itu disusupkan dengan pembiasaan-pembiasaan yang melatih kemandirian, seperti melatih anak untuk gosok gigi sendiri, menggambar sendiri, menyusun balok permainan sendiri, tampil di depan untuk bernyanyi dan makan tanpa disuapi orang dewasa Menanamkan sifat disiplin dengan penentuan waktu-waktu tertentu dalam masa belajar. Mengajaknya untuk senantiasa bersosialisasi dan berkomunikasi. Hal ini biasa tampak saat anak bermain dengan teman sebaya, mereka melakukan kerjasama dan rekonsiliasi. Kegiatan pembelajaran juga menyisipkan nilai-nilai kearifan yang dibungkus dalam permainan-permainan tradisional misalya gurecceng, cincing banca, majjekka-jekka dll. Dalm bentuk petuah-petuah lokal dan nyanyian-nyanian daerah. Salah satu nyanyian yang menjadi lagu wajib yaitu lagu “Ala Masease” yang inti lagunya sangat cocok dengan visi padi tungka ini karena menekankan perlunya pendidikan dalam kehidupan. Selain nilai kearifan lokal, anak-anak juga ditekankan untuk mengenal nilai-nilai spiritual sejak dini agar menciptakan generasi yang berilmu dan beramal saleh. Pengenalan nilai spiritual ditanamkan melalui pembelajaran doa-doa, pengenalan huruf hijaiyah, dsb.
– Posyandu
Posyandu yang tidak termasuk dalam kategori PAUD diselaraskan dalam paditungka ini agar penyajian kegiatan keilmuan anak-anak dapat diimbangi dengan klasifikasi kesahatan anak yang tentunya sangat membutuhkan pelayanan kesehatan.
– Bina Keluarga Balita
Selain posyandu salah satu kegiatan yang terintegrasi dalam padi tungka ini adalah bina keluarga balita baik itu anak maupun untuk orang tua. Dalam kegiatan ini orang tua diberikan pengarahan mengenai kesehatan keluarga, konsep keluarga berencana dan konsep kesehatan lainnya.(Saiful Rijal Yunus-FIPO)

Brigade Siaga Bencana (BSB)-Bantaeng Bantaeng-Kategori Layanan Kesehatan

Latar belakang program ini adalah meningkatkan dan mendekatkan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat, terutama masyarakat yang terkendala kendaraan dan membutuhkan layanan cepat sehingga masyarakat cukup menelpon melalui call centre maka BSB segera datang.

Tim Emergency Service mencakup 4 satgas: Satgas Pemadam Kebakaran, Satgas Bantuan Sosial, Satgas Operasi, Rehabilitasi dan Pemulihan, dan Satgas Pelayanan Kesehatan atau lebih dikenal dengan Brigade Siaga Bencana (BSB). Pelayanan BSB adalah layanan 24 jam yang melibatkan 20 dokter umum, 8 perawat dan 4 supir. Ada pelatihan general emergency life support (GELS) bagi dokter untuk memberikan pengetahuan/pengenalan bagi dokter dalam hal penanganan tindak darurat sehingga paham apa yang harus dilakukan di lapangan. Untuk perawat ada pelatihan berupa basic trauma cardiac life support ( BTCLS). Setiap hari dibagi dalam 3 shift jaga dengan jumlah petugas 1 dokter, 2 perawat, dan 2 sopir. Masyarakat yang membutuhkan bantuan BSB dapat meminta pertolongan melalui call center 113 (melalui telepon rumah –gratis) dan 0413-22724 (melalui telepon selular). Dokter yang tiba di lokasi akan melalui diagnosa terhadap pasien untuk kemudian memutuskan apakah pasien hanya dirawat di rumah atau harus dirujuk ke puskesma dan atau ke rumah sakit. Bagi yang dirawat di rumah tetap mendapat pantauan tim dengan berkoordinasi puskesmas terdekat. Layanan ini yang bersifat gratis namun bagi yang dirujuk ke RSU maka biaya penanganan atas kebijakan dari RSU. Anggaran kegiatan masing-masing kegiatan satgas ditanggung dinas terkait yang bersumber dari DAU. Ada insentif untuk dokter, perawat dan sopir. Jumlah unit ambulance di BSB adalah 5 unit. Salah satu mobil ambulans tersebut memiliki alat monitor pemeriksaan jantung modern yang merupakan fasilitas ambulans terlengkap yang jarang dimiliki mobil ambulan lainnya. Sebagai tim, BSB juga terjun bila ada kejadian kebakaran untuk mengantisipasi jika terdapat korban luka.

Seluruh staf tersebut di atas secara bergantian melaksanakan tugas harian yang terbagi dalam dalam tiga shift jaga yaitu pagi (07.00 wita-14.30 wita); siang (14.30 wita-21.30 wita); dan malam (21.30 wita-07.00 wita). Masing-masing shift jaga terdiri dari 1 (satu) dokter, 2 (dua) perawat, dan 2 (dua) pengemudi.(Ahmad Syam-FIPO)


Kantor Sistem Pelayanan Satu Atap (Sintap)-Kota Parepare-Kategori Layanan Perizinan dan Administrasi Kependudukan

Sintap Parepare yang telah mendapatkan Otonomi Awards secara beruntun 2009, 2010, dan 2011. Apa saja terobosan yang dilakukannya? Penambahan jumlah perijinan yang dilayani dari 36 jenis menjadi 53 jenis perijinan per 1 Des 2010 yang terdiri dari perizinan 40 jenis dan non perizian 13 jenis; pemanfaatan SMS Centre untuk memenuhi kebutuhan informasi akan Sintap, yaitu cukup dengan mengirim pesan ke nomor 0811 4210 344, maka anda akan mendapatkan jawaban dalam waktu 10 detik dari answer machine yang telah diprogram. Khusus bagi SMS yang sifatnya pengaduan akan di forward ke nomor selular kepala kantor guna mendapatkan jawaban dari pejabat yang berkompoten, di mana pun posisi kepala kantor.

Selain itu diadakan percepatan waktu proses secara riil dibandingkan dengan waktu proses yang telah ditetapkan dalam keputusan wali kota tentang waktu proses perizinan dan non perizinan. Misalnya, waktu proses permohonan SITU ditetapkan 7 hari kerja, akan tetapi dapat diselesaikan dalam waktu 3 atau 4 hari tanpa ada biaya tambahan. Demikian pula dengan proses KTP dan KK yang dalam Keputusan Walikota Tentang Waktu Proses Perizinan dan Non Perizianan disebutkan memerlukan 2 hari kerja akan tetapi dalam prakteknya mampu diselesaikan dalam hitungan jam, pagi hari diterima, siang hari sudah bisa diambil.

Terobosan lainnya yakni mobil pelayanan keliling (mobile system service) yang telah disetujui dewan; up grade sertifikat sistem manajemen mutu dari ISO 9001:2000 menjadi ISO 9001:2008 per 10 Desember 2010; pelimpahan kewenangan penandatangan perizinan dari wali kota ke kepala kantor pelayanan perizinan sejak 2 Februari 2010.(A.Mattingaragau T.)

Kelompok Pemakai Air-Kabupaten Jeneponto-Kategori Partisipasi Publik

Jeneponto terkenal sebagai daerah yang kering dan panas. Dengan kondisi daerah seperti ini menyebabkan sumber daya air terbatas. Kondisi ini menyebabkan masyarakat mencari cara sendiri untuk memenuhi kebutuhannya akan air bersih.

Kelompok pemakai air di Jeneponto dimulai di Desa Bungin pada tahun 1994. Keresahan masyarakat akan kebutuhan sumber daya air padahal PDAM belum mampu memenuhi aspirasi masyarakat sehingga membangkitkan inisiatif masyarakat untuk membentuk sebuah kelompok pemakai air dengan memanfaatkan sumber mata air yang ada di desa. Setelah disetujui bersama dalam Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) akhirnya terbentuk kelompok pemakai air dengan struktur organisasi sendiri yang disebut Badan pengelola Air Minum (BPAM). Tujuan pembentukan struktur organisasi sendiri agar ada yang mengelola dan memelihara sumber air agar terjamin kelangsungannya dan mengatur kondisi keuangan kelompok.


Mekanisme


Awalnya BPAM meminta sumbangan dari warga yang berminat untuk menjadi pelanggan dengan tujuan pembelian meteran dan pipa. Setiap bulannya petugas pencacat meteran mendata jumah pemakaian setiap pelanggan dengan harga Rp1.500/M3 yang tercatat di rekening air pelanggan. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat yang tinggi dalam pokmair ini, pelanggan tidak perlu didatangi untuk masalah pembayaran karena mereka datang sendiri di sekretariat BPAM untuk melunasi penggunaan airnya. Dana yang terkumpul dari iuran pelanggan digunakan untuk pembelian mesin baru agar pasokan air semakin lancar, pemeliharaan sumber air dan mesin-mesin, insentif untuk BPAM dan pembayaran rekening listrik. Untuk masyarakat yang mempunyai keluhan atau aduan terhadap proses penyediaan sarana air bersih, mereka melaporkan langsung kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), nantinya BPD yang menyampaikan langsung kepada BPAM.

Sampai saat ini Kelompok pemakai Air telah tersebar di 11 kecamatan dengan jumlah kelompok 145 yang mengcover 9.481 jiwa. Dari 145 kelompok yang terdata, ada 6 POKMAIR dengan eksistensi dan manajemen yang berlangsung baik dan berkesinambungan, diantaranya:
1. Pokmair desa Bungeng
2. Pokmair Kel. Togo-Togo
3. Pokmair Desa karelayu
4. Pokmair desa balangbaru
5. Pokmair desa Kalimporo
6. Pokmair Desa Turatea

Dari Pokmair yang ada di atas proses perawatan dan pemeliharaan, kelembagaan dan manajemen keuangan berjalan sangat baik. Mereka mampu mengatur keuangan sehingga memiliki omzet yang besar. Bahkan ada pokmair yang memiliki saldo sampai Rp. 100.000.000, yang mereka pakai untuk perbaikan saluran perpipaan, penampungan dan pembelian mesin baru. Pemerintah kabupaten tidak tinggal diam melihat usaha masyarakat untuk memperoleh sumber air ini, lewat Dinas PU masyarakat dibantu untuk pengeboran sumber air, dari Dinas Kesehatan membantu pembinaan dan pengawasan kualitas air.

e-Procurement-Kabupaten Luwu Utara-Kategori Akuntabilitas Publik

Sebagai wujud komitmen Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu Utara untuk memberantas KKN melalui proses pengadaan barang/jasa, serta banyaknya persoalan yang muncul berkaitan dengan proses lelang/tender yang dilakukan secara konvensional selama telah membuat posisi para pejabat dan panitia lelang merasa terancam dan tidak aman. Atas dasar itu maka Pemkab Luwu Utara berinisiatif untuk menerapkan sistem pengadaan barang/jasa melalui e-procurement.

=Untuk mempersiapkan pelaksanaan e-procurement Pemkab Lutra membentuk Sekretariat Layanan e-Procurement (sekarang: Sekretariat LPSE) yang dimotori langsung Kepala Dinas Kominfobudfar dengan mengeluarkan Surat Perintah Tugas 555/13/Kominfobudfar tanggal 12 Februari 2009. Pengelola sekretariat ini direkrut dari pengawai pemerintah namun untuk efektivitas kerja di sekretariat juga dilakukan out source tenaga pendukung yang direkrut dari luar PNS

=Menyiapkan infrastruktur dan teknologi. Pemkab Lutra telah menyediakan gedung khusus untuk pusat layanan e-procurement yang kemudian dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjangnya seperti PC 20 unit, dengan distribusi untuk bidding room/training room 10 unit, serta sekretariat e-procurement sejumlah 10 unit dan 4 laptop, serta 2 server. Telah tersedia juga fasilitas internet melalui VSAT dengan kapasitas 3 MBps, jaringan telepon dan jaringan komputer LAN, dan hotspot di 7 titik di wilayah Lutra.

=Untuk mendukung efektivitas pengelolaan e-procurement diperlukan SDM yang memiliki kapasitas di bidang IT dan memahami dengan baik aturan pengadaan barang/jasa. Jumlah tenaga pendukung non PNS yang diangkat berjumlah 9 orang, 3 orang tenaga kontrak sebagai staf khusus tenaga TI dan 6 orang tenaga administrasi dan trainer yang ditempatkan di sekretariat dengan biaya dibebankan kepada APBD. Juga 2 orang tenaga di bidding room untuk diperbantukan dalam memberikan training pada calon vendor

=Tahap implementasi e-procurement. Pembukaan secara resmi melalui soft launching pada 18 februari 2009 yang ditandai dengan lelang perdana 7 paket pengadaan barang/jasa dengan nilai Rp6,7 miliar oleh Bupati Luwu Utara kemudian dilanjutkan dengan pelelangan seluruh paket yang nilainya di atas Rp100 juta.

=Migrasi dari sistem Semi Elektronik ke sistem Full Elektronik pada 18 Februrai 2010. Dalam proses migrasi tersebut pemda kembali melakukan training, sosialisasi, dan simulasi terhadap sistem baru yang dikembangkan LKPP namun sistem baru tersebut dapat lebih mudah dipahami karena prinsipnya tidak jauh berbeda dengan sistem sebelumnya serta struktur organisasi Sekretariat Layanan e-Procurement berubah menjadi Sekretariat Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).

Dampak migrasi tersebut antara lain
:

=Pada sistem semi, proses-prosesnya masih ada tahapan menggunakan manual (tahap penawaran). Pemasukan penawaran masih harus memasukkan dokumen yang hard copy yang memungkinkan kebocoran atau permainan. Full yang dikembangkan LKPP semua sudah menggunakan elektronik sehingga tidak ada kotak-kotak penawaran

=Sistem sanggahan masih menggunakan manual setelah migrasi sistem sanggahan sudah online antara penyanggah dan yang menerima sanggahan

=Keamanan; full elektronik tidak ada lagi celah, data-data yang diupload rekanan pada awal tidak ada lagi kemungkinan diubah oleh panitia, menghindarkan permainan antara panitia dan rekanan

=Proses anuising dalam sistem full elektronik memungkinkan tidak ada lagi tatap muka antara panitia dan vendor.Jadi kalau ada yang bertanya modelnya seperti chatting. Semua proses komunikasi terekam historinya karena sebelum chatting harus log in terlebih dahulu.

=Full Elektronik mengharuskan bekerja tepat waktu. Pada saat masih semi elektronik yang memungkinkan adanya tahapan menggunakan sistem manual. Semua patuh pada waktu dari sistem yang telah ditetapkan.(Ahmad Syam-FIPO)

Kawasan Konservasi Perairan Berbasis Desa-Kabupaten Kepulauan Selayar-Kategori Lingkungan Hidup

Kabupaten kepulauan Selayar memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi dan merupakan bagian dari kawasan segitiga terumbu karang. Memiliki 51.596 ha kawasan terumbu karang termasuk kawasan taman nasional Taka Bonerate seluas 40.875 ha. Memiliki 576 jenis ikan, 236 species karang keras, 31 genera karang lunak, 21 genera sponge selain itu memiliki 9 jenis lamun dan 38 jenis biota asosiasi dengan padang lamun. Di perairan Selayar juga dijumpai ikan pari manta, hiu, penyu, lumba-lumba dan paus.

Kekayaan hayati laut Selayar membawa banyak manfaat bagi masyarakat terutama sektor kelautan dan perikanan, pariwisata dan perlindungan pantai. Terumbu karang yang cantik menjadi tujuan favorit bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Terumbu karang, hutan bakau dan padang lamun juga merupakan rumah, tempat berkembang biak, mencari makan dan berlindung bagi ikan-ikan dan biota laut lainnya. Di sisi lain terumbu karang, hutan bakau dan padang lamun adalah pelindung pantai alami dari gempuran ombak sehingga pantai tidak terabrasi.

Namun sayangnya kekayaan hayati laut Selayar yang membawa banyak manfaat bagi masyarakat juga pendapatan bagi masyarakat Selayar mulai terancam. Berbagai ancaman yang dapat merusak kekayaan hayati laut tersebut antara lain 1) Penangkapan ikan dengan cara merusak seperti penggunaan bom,potassium dan sianida, 2) Pembuangan Limbah kelaut, 3) Penebangan Hutan Bakau, 4) Pengambilan terumbu karang, 5) Pemanasan Global.

Salah satu upaya yang efektif untuk mengatasi ancaman terhadap sumberdaya hayati laut yaitu dengan pembentukan Kawasan Konservasi Perairan/Laut (KKP/L).
Adapun tujuan pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Kabupaten Kepulauan Selayar yaitu :
1. Melestarikan sumberdaya hayati pesisir dan laut Kab. Kep. Selayar agar dapat terus-menerus memberikan manfaatnya (ecosystem services) bagi masyarakat lokal, Kabupaten Kepulauan Selayar dan Provinsi Sulawesi Selatan.
2. Keberlanjutan Pariwisata bahari dengan melestarikan asset utama pariwisata bahari seperti terumbu karang, ikan Pari Manta, Lumba-lumba, ikan mola-mola, Paus, Penyu dan biota laut lainnya. Keberlanjutan pariwisata bahari tidak saja berdampak kepada mata pencaharian masyarakat Selayar, tetapi juga income bagi Propinsi Sulawdesi selatan.
3. Keberlanjutan Perikanan dengan ekosistem tempat ikan berkembang biak, berlindung dan mencari makan. Keberlanjutan perikanan ini akan berdampak langsung kepada mata pencaharian masyarakat lokal, khususnya nelayan.
4. Mempertahankan pelindung alami pantai dari gempuran ombak dan gelombang. Terlebih lagi dengan adanya dampak pemanasan global dimana permukaan air laut meningkat dipandang penting untuk pulau-pulau kecil untuk mempertahankan pelindung alami pantai.

Mekanisme Program :
- Dilakukan sosialisasi Kawasan Konservasi Laut daerah (KKLD) di tingkatan desa
- Koordinasi dalam rangka persiapan penetapan calon lokasi KKLD di 52 desa pesisir
- Penetapan calon lokasi KKLD di tingkatan desa
- Penetapan calon lokasi KKLD di tingkatan kabupaten
Cikal bakal dari Pembentukan KKLD adalah 52 Daerah Perlindungan Laut (DPL) dari 52 Desa Pesisir di Selayar. DPL sendiri bertujuan untuk memberikan perlindungan khusus terhadap suatu kawasan yang secara ekologis bernilai tinggi, yang terbentuk baik melalui peraturan formal yaitu Peraturan Desa (Perdes).

Pembentukan DPL agar efektif dan efisien ditunjang dengan sebuah aturan hukum yang kuat di tingkat desa. Di Selayar DPL ditunjang dengan perdes. Perdes menjadi landasan pemberian sanksi bagi siapapun yang melanggar peraturan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang dan ekosistem terkait. Mekanisme pembuatannya adalah sebagai berikut :
1. Desa Pesisir memiliki Perencanaan Pengelolaan Terumbu karang yang berisi :
• Visi, misi, tujuan sasaran
• Program Pengelolaan terumbu karang desa
• Pelaksanaan pengelolaan terumbu karang desa
2. Perencanaan tersebut melalui :
• Musyawarah desa antara Pemerintah, BPD, masyarakat dan penyuluh desa
• Perumusan jenis-jenis sumberdaya yang perlu diatur pemanfaatannya
• Perumusan Kegiatan yang diperbolehkan
• Perumusan larangan-larangan
• Perumusan sanksi-sanksi pelanggaran
3. Hasil Musyawarah desa dan masyarakat menjadi draft perdes DPL
4. Mensosialisasikan draft perdes ke masyarakat
5. Draft Perdes DPL kemudian diusulkan dalam rapat antara Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang setelah disetujui BPD dapat menjadi perdes tentang DPL.
6. Pelaksanaan Perdes DPL oleh masyarakat.
Dalam perdes ini telah ditetapkan tentang alokasi wilayah desa yang menjadi lokasi daerah perlindungan laut sekurangnya 10% dari wilayah laut yang terbagi dalam zona inti dan zona penyangga. Dalam zona inti tidak diperkenankan sama sekali masyarakat untuk melakukan penangkapan ikan, melabuhkan perahu, bahkan melintasi wilayahnya. Kegiatan pencarian ikan dan sumber daya biota lainnya hanya dapat dilakukan di wilayah penyangga dan luar wilayah konservasi.(Saiful Rijal Yunus-FIPO)