Monday, January 27, 2014

Dibalik Kemeriahan 'Australia Day'

Foto: Ahmad Syam

Minggu 26 Januari, langit Melbourne cerah. Matahari bersinar terang. Pagi yang sangat indah dengan cuaca yang bersahabat. Melbourne Forecast memang telah meramalkan bahwa dari pagi hingga malam nanti cuaca akan tetap ramah dengan suhu berkisar antara 16 hingga 29 derajat celsius.

Sepagi ini, sekitar pukul 10.30, ribuan orang sudah memadati Swanston Street. Mereka berdiri di luar pagar pembatas di sepanjang jalan yang menjadi titik nol kilometer Melbourne tersebut. Mereka terdiri dari bermacam warna kulit dan latar belakang budaya. Sebagian besar berpakaian dengan asesoris yang menunjukkan simbol-simbol Australia seperti baju dan topi dengan corak bendera Australia. Sebagian yang lain merias wajahnya dengan warna kuning atau biru; dua warna yang sangat identik dengan Australia. Semua orang terlihat sangat bahagia sambil menanti parade yang tidak lama lagi melintasi jalan tersebut.

Seorang seniman jalanan turut serta dalam kegembiraan. Di antara orang-orang yang lalu-lalang, di satu pojok gedung sang seniman jalanan yang populer di Australia sebagai street artist tersebut nampak khusyuk menekuni satu gambar yang sedang dia buat.Ya, dia sedang menggambar bendera Australia.

Sementara sebagian orang-orang sudah mengambil posisi berdiri yang tepat sehingga dapat menyaksikan parade dengan jelas, sebagian yang lainnya baru tiba. Puluhan orang yang baru tiba tersebut terlihat keluar dari pintu Flinders Station, stasiun kereta api terbesar di Melbourne. Mungkin mereka yang baru tiba tersebut warga yang bermukim agak jauh di pinggiran  Kota Melbourne seperti Footscray atau North Coburg.

Tidak lama, sekitar pukul 11, seusai para peserta parade mengikuti semacam upacara bendera di Melbourne Town Hall barisan parade pun satu per satu melintas di Swanston Street. Mereka bergerak dari Town Hall ke St Kilda Road. Di St Kilda Road peserta parade akan membubarkan diri lalu berbaur dengan warga di Queen Victoria Gardens menikmati sajian hiburan dan makanan.


Foto: Ahmad Syam
Foto: Ahmad Syam


Berdasarkan data penyelenggara Australia Day 2014 di Melbourne, tahun ini sekitar 70 grup dan komunitas berpartisipasi dalam parade. Grup dan komunitas tersebut antara lain: Tibetan Community, Falun Dafa, Lupus-Walk for Cure, Islam Australia, Danish People, Freemasons Victoria, dan banyak lagi. Beragam kostum dengan warna-warna yang menarik sangat kilau di bawah sinar matahari yang sempurna. Begitu pula beraneka alat dan irama musik menyatu dalam tepuk tangan meriah dari warga kota yang terpesona pinggir jalan. Ya, Australia Day atau Hari Australia di Melbourne memang lebih menekankan pada penguatan nilai-nilai multikultural.

Australia Day merupakan hari kebangsaan yang resmi di Negeri Kanguru ini. Penetapan tanggal 26 Januari dihubungkan 11 Armada Pertama dari kapal Inggris yang dipimpin Kapten Arthur Philip pada tahun 1788. Kesebelas armada tersebut tiba di Botani Bay, New South Wales, sebuah tempat yang diklaim telah ditemukan sebelumnya oleh Letnan James Cook pada tahun 1770.

Australia Day yang sejak tahun 1946 peringatannya diseragamkan di seluruh wilayah Australia tidak sepenuhnya diterima oleh sebagian orang-orang Aborigin. Bagi mereka penetapan tanggal 26 Januari 1788 adalah melukai perasaan mereka karena bagi orang Aborigin tanggal tersebut adalah awal dari perampasan tanah mereka. Tanggal 26 Januari dianggap sebagai Invasion Day.

Gelombang protes atas penetapan tanggal 26 Januari hingga kini masih berlangsung. Setiap menjelang Australia Day, selalu terjadi aksi-aksi untuk menunjukkan ketidaksukaan pada penetapan tanggal tersebut. Termasuk yang terjadi dalam seminggu ini di Melbourne di mana Cooks’ Cottage dicoret-coret oleh sekelompok orang. Cooks’ Cottage adalah rumah yang dahulunya milik orangtua James Cook yang dipindahkan dari Inggris ke Australia. Pada tahun 1934 rumah yang dibangun pada tahun 1755 itu resmi berada di Melbourne.


ABC News


Beberapa upaya mencari solusi atas sengketa tanggal penetapan Hari Australia 26 Januari. Sejumlah pihak telah mengajukan tanggal-tanggal alternatif untuk mengurangi polemik yang tidak berkesudahan. Namun, ternyata sulit untuk menentukan tanggal yang pas sebagai Hari Australia.

Terakhir, ketika Kevin Rudd menjabat orang nomor satu dalam pemerintahan Australia, Professor Mick Dodson, seorang pemimpin utama Aborigin dan pernah dinobatkan sebagai ‘Australian of the Year’ mengusulkan agar membuka kembali kemungkinan membicarakan perubahan tanggal tersebut. Namun, pemerintah di bawah kendali Kevin Rudd tidak mengindahkan dan menyatakan dengan tegas bahwa hal tersebut tidak akan dilakukannya.

Untuk urusan penetapan tanggal 26 Januari sebagai Hari Australia sepertinya dua partai besar, Liberal dan Buruh, menunjukkan kekompakan mereka. Jika sikap Rudd di atas mewakili sikap Buruh maka sikap Liberal juga terlihat pada masa pemerintahan John Howard yang pernah menolak perubahan tanggal tersebut.



Foto: Ahmad Syam


Nah, dengan political bargaining kelompok Aborigin yang lemah tentu sangat sulit bagi mereka untuk melakukan perubahan. Dan, untuk selamanya tanggal 26 Januari yang bagi kalangan Aborigin dianggap sebagai ‘Invasion Day’ tetap diperingati sebagai ‘Australia Day.’

Demikianlah, pada setiap tahunnya. Pada setiap tanggal 26 Januari ada parade kegembiraan bagi sebagian besar orang-orang di Australia; ada parade kekecewaan bagi sebagian kecil orang-orang Aborigin. Demikianlah....

Melbourne, 26 Januari 2014
http://luar-negeri.kompasiana.com/2014/01/26/kemeriahan-parade-di-australia-day-629133.html





Thursday, January 23, 2014

Asia, Berterimakasilah pada Li Na!

Dua pertandingan semifinal sektor tunggal puteri baru selesai digelar. Nama dua petenis yang bakal memperebutkan jawara Australian Open 2014 sudah diketahui. Kedua nama itu adalah Li Na, petenis asal China, unggulan keempat yang menang atas Eugenie Bouchard 6-4 dan 6-4, dan Dominika Cibulkova, asal Slovakia, unggulan keduapuluh yang menalukkan Agnieszka Radwanska 6-1 dan 6-2. Laga keduanya akan dihelat di Rod Laver Arena, Sabtu (25/1), pukul  13.00 waktu Melbourne atau pukul 09.00 WIB.

www.foxsports.com.au


Meski dunia olahraga, termasuk tennis,  tidak pernah membuat kotak-kotak berdasarkan asal negara namun  aroma pertarungan Asia-Eropa tetap menjadi perhatian banyak orang.  Ya, duel Li Na-Cibulkova bukan hanya China-Slovakia tetapi Asia-Eropa. Dan, untuk kesekian kalinya bangsa-bangsa di Asia seharusnya berterima kasih pada Li Na. Kenapa? Karena dari kurang lebih 21 petenis asal negara Asia yang bertarung di Australian Open 2014, putera dan puteri,  Li Na menjadi satu-satunya pemain yang bisa mencapai partai puncak.

Bukan kali ini wanita kelahiran 31 tahun lalu tersebut mengharumkan kawasan Asia. Khusus di Australian Open, tahun 2014 ini adalah kali ketiga dia menembus final setelah 2011 dan 2013.  Namun, prestasi paling membanggakan yang dia torehkan adalah menjuarai France Open 2011 sekaligus menobatkan dirinya sebagai petenis asal Asia pertama yang juara di turnamen Grand Slam.

idiva.com


Perjalanan karir Li Na tidaklah mulus. Sewaktu kecil malah dia bermain bulutangkis karena ayahnya seorang pemain bulutangkis. Atas saran seorang pelatih tennis dia kemudian mulai bermain tennis pada usia 8 tahun. Bergabung di timnas tennis China tetapi karena beberapa masalah dia harus keluar-masuk timnas. Dia juga menjadi petenis kontroversial setelah diketahui memiliki tatto di dada. Aturan di China tidak membolehkan seorang wanita memiliki tatto.

Sebenarnya, sebelum kehadiran Li Na, negara-negara dari Asia sudah memiliki petenis, khususnya sektor tunggal puteri yang terlebih dahulu terkenal. Yayuk Basuki dari Indonesia, Tamarine Tanasugarn dari Thailand, dan Kimiko Date dari Jepang  adalah tiga nama yang sempat menarik perhatian dunia tennis.  Hanya saja, prestasi ketiganya tidak secemerlang Li Na.

Selain prestasi tertinggi sebagai juara di Roland Garros, Perancis 2011 lalu, Li Na pada 2013 juga membuat beberapa catatan prestasi yang luar biasa meski tidak menjuarai titel Grand Slam sepanjang tahun tersebut. Ya, 2013 Li Na menembus final Australian Open sebelum kalah di final dari Azarenka, lalu masuk di babak perempatfinal Wimbledon, dan terakhir semifinalis US Open. Catatan prestasi sepanjang 2013 tersebut membuat posisinya berada di peringkat ketiga dunia. Petenis Asia pertama yang mencapai peringkat tiga besar dunia.

www.wthejournal.com


Prestasi demi prestasi Li Na di 2013 tersebut membuat Majalah Time meliriknya untuk menjadi salah seorang dari 100 tokoh berpengaruh di dunia 2013 di mana Barack Obama, Presiden Amerika Serikat,  juga terpilih. Li Na masuk di jajaran “100 Most Influential People in the World”  sebagai satu dari hanya empat olahragawan yang masuk dalam list tersebut.  

Tentu menarik menanti final Li Na versus Cibulkova dua hari mendatang. Li Na pasti tidak ingin gagal di partai final ketiganya kali ini. Namun lawannya di final juga bukan pemain sembarangan. Catatan prestasi Cibulkova juga tidak buruk karena pernah mencapai semifinal French Open 2009 dan dua kali perempat final Grand Slam masing-masing di Wimbledon 2011 dan US Open 2010.

 Kalau menurut prediksi saya, Li Na yang akan menjuarai Australian Open 2014. Jika ini terwujud maka dia akan menjadi petenis Asia pertama yang juara di Australian Open. Tetapi jika pun Li Na gagal juara, sungguh ucapan terima kasih tetap pantas disampaikan sebagai sesama bangsa Asia. Ya, terima kasih Li Na....


Melbourne,  23 Januari 2014
http://olahraga.kompasiana.com/raket/2014/01/23/asia-berterimakasilah-pada-li-na-628532.html

Catatan:
Sabtu (25/1) malam ini, pertandingan final Australian Open 2014 baru saja berakhir. Li Na mengalahkan Dominika Cibulkova dua set langsung 7(7)-6(3) dan 6-0. Berita selengkapnya di bawah ini:
http://olahraga.kompasiana.com/raket/2014/01/25/juara-li-na-terima-rp32-m-629018.html

Thursday, January 16, 2014

Huruf Braille 'Sorry' untuk Aborigin

Foto: Ahmad Syam


Saya bergegas turun dari bus rute Canberra City Centre-National Museum of Australia begitu bus berhenti. Halte bus berada persis di depan museum. Apakah ini sungguh museum? Menurutku, eksteriornya lebih menyerupai sebuah mal atau pun wahana permainan. Tapi ini ini sungguh museum karena di semenanjung Danau Burley Griffin, Canberra, ini hanya terdapat satu bangunan yakni museum.

Perpaduan merah, kuning, dan hitam begitu cemerlang di bawah terang sinar matahari. Warna-warna yang telah lama bersenyawa karena merupakan warna bendera suku Aborigin tersebut membawa khayalan saya pada tren warna mal dan pusat perbelanjaan. Sedangkan sebuah rangkaian jalur menjulang tinggi yang menyerupai roller-coaster mengingatkan saya pada sebuah wahana permainan.

Museum karya arsitek Howard Raggat dan mulai dibuka pada 2001 ini menggunakan banyak elemen dan bentuk yang terlihat saling tumpang-tindih. Bentuk dan tekstur bagian-bagian bangunan unik dan tidak bisa ditafsirkan dengan baik. Menurut beberapa sumber, arsitektur museum bertema puzzle ini adalah gambaran sejarah yang membentuk Australia, sejarah dengan banyak cerita dan kisah.

Saya tidak langsung masuk ke dalam museum tetapi tertarik melihat sebuah lubang besar, ya… seolah-olah sebuah lubang besar jika dilihat dari jauh. Sebenarnya itu bukan lubang melainkan Garden of Australia Dream. Jika dilihat dari atas, Garden of Australia Dream adalah sebuah hamparan yang dipola menyerupai pulau dan tempat-tempat di Australia. Pulau dan tempat-tempat tersebut sebagian terpisah oleh air.

Foto: Ahmad Syam

Dreamtime...(Foto: Ahmad Syam)


Masih tentang eksterior museum, selain pada view Garden of Australia Dream saya juga tertarik pada huruf-huruf braile yang tertulis di beberapa bagian dinding museum. Saya bertanya pada staf museum tentang huruf-huruf braille tersebut apakah sebatas dekoratif dinding atau ada makna lain. Staf menjelaskan bahwa huruf-huruf braille tersebut adalah kata-kata terkait sejarah Australia; tentang hubungan antara para pendatang dari Eropa dengan penduduk asli, suku Aborigin.

Di beberapa bagian dinding, urai staf tersebut, ada tulisan braille yang berarti “God knows”. Juga ada tulisan yang artinya “mate”. Pada sisi dinding lainnya terdapat tulisan yang dianggap paling kontroversi karena artinya “forgive us our genocide” dan juga kata “sorry”. Dua pesan dalam huruf braille terakhir terebut paling mendapatkan perhatian sehingga atas kebijakan manajemen museum sebagian ditutupi dengan plat mirip disc agar tidak begitu terlihat.

Pesan-pesan yang hadir melalui huruf braille, khususnya yang menekankan pada pesan “sorry”, adalah pesan yang ditujukan kepada pemerintah. Sejak lama sebagian masyarakat Australia meminta pihak pemerintah meminta maaf secara resmi atas perlakuan pemerintah di masa lalu. Perlakuan buruk terhadap suku Aborigin terutama pada saat penguasa mengambil dan memisahkan anak-anak suku Aborigin dari orang tuanya. Kejadian yang dikenal sebagai ‘stolen generations’ ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama, dari 1800-an hingga pertengahan 1960-an.

Kalimat dalam huruf braille ditutupi disc (Foto: Ahmad Syam)

Sorry in Braille (Foto: Ahmad Syam)


Anak-anak itu, berdasarkan kesaksian dari para ‘stolen generations‘ ini, menderita karena seperti berada dalam kamp-kamp konsentrasi meski labelnya adalah sekolah khusus bagi anak-anak Aborigin. Mereka menderita bukan hanya karena dipisahkan secara paksa dari orangtua mereka tetapi juga menderita akibat mengalami disorientasi setelah terpisah dari komunitas mereka, terpisah dari budaya mereka.

Gelombang tuntutan terutama dari komunitas orang-orang Aborigin supaya pemerintah Australia mengakui kesalahan masa lalu dan meminta maaf kepada suku Aborigin semakin tahun semakin menguat. Puncaknya pada 28 Mei 1998 ketika lebih dari 250 ribu orang ikut berpartisipai dalam long-march di Sydney mendukung suku Aborigin terkait ‘stolen generations’. Parade di 1998 tersebut yang menjadi cikal bakal ‘Sorry Day’ yang sekarang menjadi event tahunan.

Orang-orang yang mendukung suku Aborigin atas kasus ‘stolen generations’ dan yang turut berparade 1998 silam harus menunggu 10 tahun untuk suatu kabar gembira. Pada 13 Februari 2008, di hadapan parlemen Australia, Kevin Rudd, Perdana Menteri Australia saat itu, menyampaikan ‘sorry speech’ sebagai permintaan maaf resmi dari pemerintah. Ribuan orang Australia menyimak pidato tersebut yang disiarkan langsung sejumlah televisi dan radio. Mereka mendengarkan dan menonton di tempat-tempat terbuka dan tempat kerja masing-masing. Satu baris kutipan pidato Rudd: …for the pain, suffering and hurt of these stolen generations, their descendants and for their families left behind, we say sorry. Dan, rasa haru membuncah di dada. Air mata tidak tertahan lagi. Ribuan orang yang berkumpul di lapangan terbuka menyaksikan pidato penting itu terisak.



www.nytimes.com
www.creativespirits.info


Sebagai catatan tambahan, negara lain yang meminta maaf atas hubungan suram di masa lalu dengan penduduk asli adalah New Zealand dan Kanada. Pemerintah New Zealand telah meminta maaf pada suku Maori, demikian pula pemerintah Kanada meminta maaf pada suku Indian.

Puas melihat-lihat bagian luar museum, saya melangkahkan kaki menuju pintu masuk utama. Customer service, seorang gadis muda, berseragam hitam cerah menyambut saya dengan sangat ramah. Menyapa dan menyilahkan saya menaruh tas di tempat penitipan barang. Seorang staf lainnya mendatangi saya dan memberikan peta museum. “Bolehkah saya mengambil foto di dalam museum?” tanyaku. “Oh ya, tentu saja boleh kecuali di bagian Focus Gallery!” jelasnya.

Ruang pameran, restauran, dan kafe adalah pendukung utama museum yang terletak di lantai satu. Saya berkeliling melihat elemen-elemen sejarah yang membentuk Australia. Dari kehidupan suku Aborigin sebelum kedatangan bangsa Eropa, gelombang migrasi Asia (China, India, Iran, Libanon) ke Australia, serta masa di mana terjadi hubungan dagang antara nelayan Makassar dengan suku Aborigin pada awal abad ke-16.

Perahu nelayan Makassar (Foto: Ahmad Syam)


Dari bagian samping ruang koleksi terdapat pintu keluar menuju Garden of Australia Dream. Taman ini menyajikan landscape yang sangat kaya akan kehidupan Australia. Peta yang terhampar di atas kolam air terdiri atas dua bagian, satu melambangkan tanah yang secara tradisional milik suku Aborigin, peta lainnya menjelaskan peta standar yang digunakan Australia. Air kolam yang jernih sangat menggoda untuk turun bermain air, tetapi ada peringatan tertulis agar tidak turun ke kolam.

Setelah berkeliling di seluruh bagian museum, saya pun bersiap pulang. Tetapi sekali lagi saya memandangi dengan seksama tekstur bangunan museum yang seperti tanpa pola namun indah. Sekali lagi menoleh pada huruf-huruf braille yang menyimpan banyak pesan dari masa lalu. Pesan tentang ‘sorry’ yang akan tetap abadi….


-2013-




Wednesday, January 15, 2014

Suamiku Terbang



Gadis kecilku datang memberitahu bahwa ayah terbang. Sambil berlari ke arahku yang sementara menyetrika pakaian, Lila yang bulan depan akan menginjak usia tiga tahun setengah berteriak menyampaikan, “Ibu, ayah terbang!” Lalu aku jawab dengan tenang, “Oh ya? Wah ayah hebat dong!” Tanpa menunggu apa yang Lila ingin sampaikan selanjutnya, buru-buru aku memintanya kembali ke kamar, bermain bersama ayah. Lila menurut. Dia kembali berlari ke kamar.

Hari ini adalah akhir pekan yang menyenangkan. Tahu kenapa? Karena keluarga kecilku dapat berkumpul. Biasanya aku hanya berduaan dengan Lila menghabiskan akhir pekan. Hari ini suamiku juga ada di rumah. Seharusnya, berdasarkan jadwal terbang suamiku, dia tidak di rumah untuk akhir pekan ini tetapi akhir pekan depan. Tetapi gangguan kesehatan yang dialaminya sehingga dia meminta izin tidak masuk kantor untuk beberapa hari. Cuti dari tugas sehari-hari sebagai seorang pilot.

Aku benar-benar sangat riang hari ini. Riang karena kesempatan berkumpul seperti ini jarang terjadi. Apalagi setelah suamiku mendapatkan kepercayaan menerbangkan pesawat untuk beberapa rute luar negeri. Ke sejumlah negara di kawasan Asia, bahkan, rute ke Eropa. Mengeluhkah aku karena sering ditinggal pergi? Karena kesepian? Ah, tentu saja tidak. Jauh sebelum aku memutuskan untuk mengarungi bahtera rumah tangga bersamanya, aku sudah tahu konsekuensi bersuamikan seorang pilot. Perasaan cintaku padanya mengalahkan seluruh kekhawatiranku.

Kami berdua sudah saling mengenal sejak di sekolah menengah. Berada dalam satu sekolah membuat pertemuan intens terjadi. Meski tidak berada di kelas yang sama namun kami mengikuti kegiatan ekstra-kurikuler yang sama yakni kelompok ilmiah remaja. Ya, menyenangi bidang minat yang sama ternyata membuat kami lebih cepat menjadi akrab. Karena sering bertemu, berdiskusi, dan berkegiatan secara bersama-sama sehingga kami perlahan saling mengetahui pribadi masing-masing. Pada dirinya yang aku anggap sama dengan kepribadianku adalah pantang menyerah. Namun aku juga temukan pada dirinya yang bertolak belakang dengan karakterku. Aku cenderung kurang sabar dan kadang terkesan terburu-buru sedangkan dia sangat tenang dan begitu hati-hati. Aku lebih agresif sedangkan dia agak defensif, termasuk ketika di awal-awal masa perkenalan kami. Akulah yang sangat khawatir dia jatuh ke gadis yang lain karenanya akulah yang lebih dahulu ‘nembak’ dia atas bantuan teman dekatnya.

Selepas di sekolah menengah aku tetap tinggal di kota kami dan kuliah psikologi di universitas negeri. Sedangkan dia memilih masuk di sekolah penerbangan di kota lain. Kami jadi jarang bertemu. Tetapi pesan singkat dan berbincang lewat telepon membuat jarak kami tetap dekat. Hingga pada akhir-akhir pendidikannya dan aku pun sudah menyandang gelar sarjana psikologi, dia menelepon dan menyampaikan niat melamarku. Aku sangat senang dan bahagia. Dia memang tidak seromantis para aktor di film-film ketika melamar kekasihnya. Dia tidak menyematkan cincin di jemariku dan juga tidak sambil berlutut.  Tetapi dari getaran suaranya saat menyampaikan niat melamarku aku tahu kekuatan dan kehebatan cinta yang dimilikinya.

Kekuatan dan kehebatan cintanya itu pula yang membuat aku tidak merasa kesepian meski sering ditinggal untuk beberapa hari. Lagi-lagi perbincangan melalui telepon yang membunuh seluruh rasa sepi itu. Suaranya akan bergemuruh dari jauh dan aku tahu suaranya bergemuruh cinta. Bukankah merelakan diri bekerja keras dan jauh dari keluarga adalah perlambang dari rasa cinta yang besar pada keluarga?

Hanya bila aku melihat Lila mulai bosan karena hanya bertemu saya setiap hari lalu aku menelepon mama. Aku memintanya datang. Mama selalu memenuhi permintaanku. Kadang dia menginap dua-tiga malam. Pada lain kesempatan aku membawa Lila ke rumah neneknya.

Tetapi hari ini suamiku ada di rumah. Aku gembira. Lila apalagi. Jika kegembiraanku menggebu karena keluarga kecilku menjadi utuh, maka naluri sebagai perempuan; sebagai istri dan ibu pun bergelora. Mau tahu bagaimana aku menyalurkan rasa gembira yang menggebu dan menggelora? Memasak dan menghidangkan makanan favorit keluarga itulah bentuk penyalurannya. Apalagi hari ini adalah hari terakhir dari izin istirahat suamiku. Besok senin dia akan kembali berdinas. Kembali terbang.

Subuh tadi, begitu bangun, aku sudah bergegas ke pasar. Sebuah pasar tradisional skala kecil yang tidak jauh dari tempat tinggal kami. Jaraknya hanya kurang lebih 500 meter. Semalam aku membuat daftar belanjaan. Termasuk dalam catatan adalah terong. Suamiku adalah penggemar terong yang dipanggang di atas bara api. Terong tersebut setelah matang lalu dikeruk dagingnya. Kemudian daging terong itu disiram dengan perasan asam Jawa. Karena suamiku menyukai yang pedas, dia biasanya menambahkan dua-tiga cabe ke terong yang telah berlumuran asam Jawa tersebut.

Aku juga berencana membuat pepes ikan teri. Bahan-bahannya juga sudah aku beli tadi pagi di pasar. Ikan teri basah, daun pisang, daun salam, daun kemangi, tomat, dan belimbing sayur. Aku paling senang melihatnya melahap pepes ikan teri buatanku. Kulit daun pisang bungkus pepes nyaris bersih, bahkan sisa bumbu di jemarinya pun dia jilat. Sambil bergurau dia sering mengatakan kepadaku, seluruh chef di hotel-hotel bintang lima tempatnya menginap ketika dinas masih kalah sama aku. Jika sudah dipuji sedemikian aku mencubit pinggangnya sambil kudaratkan sekali kecupan di pipinya.
***
Aku masih menyetrika saat Lila kembali datang berlari-lari. Kedua pipinya yang montok bergoyang-goyang. Sengaja rambutnya aku model poni. Aku dan suamiku menyukai potongan rambut yang demikian. Potongan rambut yang mengingatkan pada satu tokoh kartun anak-anak yang terkenal, Dora The Explorer. “Kenapa lagi sayang?” Tanyaku mendahului. “Ibu, lihat ke kamar, ayah terbang!” Pinta Lila. “Tunggu ya Sayang, ibu masih menyetrika baju ayah. Ibu juga masih harus memasak. Nanti kalau ibu sudah selesai masak baru ibu susul ke kamar ya. Ayo, main sama ayah lagi sana…!” Lila pun berlari kembali ke kamar.

Lila anak semata wayang kami itu memang sangat senang bila ayahnya ada di rumah. Mereka berdua kadang menghabiskan seharian untuk bermain. Kadang mereka main petak umpet. Atau, permainan seolah-olah mereka di atas pesawat. Lila jadi penumpang dan ayahnya jadi pilot. Suamiku akan memakai topi khasnya. Seringkali juga suamiku memerankan tokoh imajinasi yang bisa terbang. Selembar sarung dia lilitkan di leher sehingga menyerupai sayap. Beberapa bantal ditumpuk lalu suamiku tengkurap di atasnya sehingga seolah-olah terbang. Lila paling suka jika ayahnya memerankan tokoh yang bisa terbang. Lila akan berteriak-teriak kegeringan, “Ayah terbang…ayah terbang….!”

Aku yang mendengarkan keriangan mereka berdua kadang ikut senyum-senyum. Aku bisa merasakan kebahagiaan Lila bila ayahnya ada di rumah. Dia akan menumpahkan seluruh kemanjaannya. Apa-apa mintanya sama ayah. Minta ditemani mandi. Minta disuapin makan. Minta dininabobokan di tempat tidur. Lila telah membebastugaskan aku saat suamiku di rumah.

Karena kesibukan dengan urusan rumah, kadang aku baru bisa bergabung dengan mereka setelah urusan rumah selesai. Seperti hari ini aku harus menyiapkan pakaian suamiku yang akan mulai bertugas besok. Rute ke Eropa tentu memerlukan beberapa lembar pakaian ganti. Pakaian-pakaian tersebut aku setrika lalu dimasukkan ke kopor. Jika urusan pakaian telah selesai maka urusan masak-memasak adalah kegiatan selanjutnya. “Lha, kamu ya cari pembantu, Tin! Biar tidak terlalu repot mengurus rumah!” Begitu nasehat mama bila berkunjung ke rumahku. “Nanti saja, Mam. Sementara ini saya ingin merasakan bagaimana menjadi ibu rumah tangga!” Jawabku singkat. Seringkali aku ingin mengatakan pada mama bahwa aku ingin belajar tentang hidup darinya. Belajar mengelola rumah tangga. Bagiku, mama seorang ibu terbaik. Aku bersama kedua adiku dibesarkannya sendirian semenjak ayahku berpulang. Mama berjuang sendiri dari mencari nafkah dengan berdagang kue hingga mengasuh kami. Aku merasakan betapa hebat dan kuatnya mama tanpa suami, tanpa pembantu membesarkan anak-anaknya. Itulah pelajaran hidup yang aku ingin ambil dari mama dalam rumah tanggaku sekarang.

Sebenarnya aku belum tenang jika suamiku kembali berkantor besok, apalagi langsung menerbangkan pesawat untuk rute Eropa. Aku tidak yakin kondisinya sudah benar-benar sehat saat ini. Nyeri yang datang tiba-tiba di dada masih sering dikeluhkannya kepadaku. Karena itu, kemarin ketika mengobrol di halaman belakang sambil menghirup kopi sore aku menyarankan ke dia agar meminta ke kantor untuk izin istirahat tambahan. Tetapi dia menolak. Katanya, mendapatkan izin empat hari tidak masuk sudah cukup baginya. Lagi pula, tambahnya, dia merasa tidak enak dengan teman-teman sejawat jika terlalu banyak meminta izin istirahat. “Mama khan tahu kalau bulan Desember begini adalah musim liburan. Tingkat okupansi pesawat pasti naik. Jadwal penerbangan akan padat, terutama ke kota-kota tujuan wisata. Kantor telah mengingatkan jika tidak benar-benar penting sebaiknya tunda dahulu untuk mengambil cuti atau pun meminta izin!”
***
Aku telah merapikan papan setrika. Melipat dan menaruhnya di kamar belakang. Setrika pun sementara telah aku taruh di tempat tinggi, di atas bupet yang tidak terjangkau Lila. Khawatir setrika yang platnya masih panas itu dimainin Lila. Ketika pakaian-pakaian akan aku atur dalam kopor suamiku, tiba-tiba aku mendengar suara Lila memanggil-manggil namaku, “Ibu…ibu…ayah terbang…! Ibu…ibu…ayah terbang…!” Awalnya aku tidak memedulikan karena yang terbetik di pikiranku; paling dia mengajakku ke kamar, mengajakku bermain bersama mereka. Padahal aku belum memasak.

Lila kembali memanggil, “Ibuuu…ayah terbang….ayah terbang….!” Suara Lila kali ini agak berbeda. Ada tangisan lirih terselip diantara suaranya. Perasaanku tiba-tiba menjadi tidak enak. Aku segera mengancing kopor. Sambil mengatur perasaanku yang semakin tidak karuan, aku bergegas ke kamar. Lila menyambutku di pintu kamar, “Ibu, ayah terbang!” Aku memeluk Lila. Menggendongnya ke atas sofa bed di mana suamiku tengkurap tanpa gerakan sedikit pun. Aku menyentuh tubuh suamiku. Dingin…sangat dingin.

Brunswick, 30 Desember 2013
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/12/30/suamiku-terbang-622610.html
*)Ilustrasi: freematot.wordpress.com

Tuesday, January 14, 2014

Ibuku Bumi, Ibuku Langit


Aku duduk di ujung kursi panjang, tepat di belakang jok sopir. Di samping aku ada bapak yang memangku si bungsu. Setelah bapak ada adikku yang seorang lagi. Di kursi panjang lainnya, kursi yang sebelah-menyebelah yang aku duduki, ada kedua kakak perempuanku bersama tante. Kakak yang laki-laki duduk di jok depan bersama supir untuk mengarahkan jalan.

Di tengah-tengah, diantara kursi panjang tempat kami duduk, ibu terbujur di atas tandu ambulans. Nafasnya semakin melemah. Namun, dari temaram lampu ambulans aku masih bisa melihat bibirnya bergetar pelan mengikuti suara tante yang terus menuntunnya mengucap zikir.

Melihat ibu dengan nafas tersengal-sengal membuat perasaanku tidak menentu. Aku berusaha menata perasaan ini tetapi tidak bisa. Malahan perasaanku semakin tidak karuan mendengar raungan sirine. Perasaanku semakin kacau saat mengintip dari jendela dan kulihat cahaya merah lampu ambulans yang berpendar-pendar.

Aku mematung dengan pandangan jatuh ke bawah. Tertuju pada kedua tanganku yang tidak lepas mengenggam doa. Aku memasung perasaan sepanjang perjalanan 65 kilometer. Memasung pikiranku pada ibu saja; perempuan yang telah mewujud sebagai bumi dan langit sepanjang hidupnya.
***
Ibu laksana bumi. Hamparan tanah tempat anak-anaknya menjalarkan akar-akar untuk bertumbuh. Ladang luas yang menghasilkan banyak buah untuk nutrisi anak-anaknya. Tempat di bawah sehingga terinjak kaki namun senantiasa mengajarkan sikap tak rendah diri.

Di kota kami sekeluarga berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya. Bahkan karena bapak tidak cukup uang mengontrak rumah, selama dua tahun kami mengontrak kolong rumah. Sebuah kolong rumah yang luasnya dua petak dan berlantai tanah. Jika hujan turun dan selokan meluap, maka selama seharian kolong rumah tersebut terendam air setinggi betis. Deritanya masih berlanjut setelah air surut karena lantai tanah baru bisa benar-benar kering setelah satu minggu.


Di tengah kesulitan ekonomi yang mendera itu, ibu tampil sebagai penyeimbang. Misalnya, karena tunjangan beras bapak tidak mencukupi untuk delapan anggota keluarga, ibu sekali sebulan pulang ke kampung. Kadang berhari-hari. Paling cepat seminggu. Mengolah bulir-bulir padi yang masih menempel di tangkainya hingga menjadi beras, selain memakan waktu lama juga menguras banyak tenaga.

Padi-padi itu terlebih dahulu dijemur di bawah terik matahari agar bulir padi mudah terlepas dari tangkainya. Kemudian ibu menumbuknya hingga bulir-bulir tersebut benar-benar lepas dari tangkainya. Bulir-bulir padi tersebut lalu di bawa ke pabrik untuk memisahkan biji beras dari kulitnya. Lalu ibu akan menapisnya guna memisahkan ampas beras. Terakhir, ibu dengan membawa dua karung beras 20 kilogram kembali ke kota.

Terkadang ibu juga ke kampung bukan untuk urusan beras. Meski hanya tamatan sekolah rakyat (SR), sekarang sekolah dasar (SD), ibu sangat ingin anak-anaknya bersekolah setinggi mungkin. Kendalanya kadang di biaya sekolah. Karenanya, ibu harus ke kampung untuk mencari pinjaman. Bukan satu-dua kali tetapi berkali-kali ibu mondar-mandir kota-kampung, kampung-kota. Jika tidak mendapatkan uang pinjaman, ibu akan menggadaikan sedikit perhiasan yang dimilikinya, atau pun menggadaikan petak sawah milik bapak-ibu untuk jangka waktu tertentu.
***
Ibu laksana langit. Atap luas yang melindungi anak-anaknya. Angkasa yang membebaskan anak-anaknya mengembangkan diri. Padanya ada awan yang meneduhkan dari panas matahari. Darinya air hujan dan karunia berasal. Tempat tertinggi dan teratas namun senantiasa mengajarkan sikap rendah hati.

Keinginan ibu yang begitu kuat turut menggairahkan ekonomi keluarga sehingga dia memutuskan berjualan kue. Ya, ibu ingin seperti langit yang menurunkan hujan untuk bumi. Meski aku tahu penghasilan dari berjualan kue dalam skala kecil tidaklah besar. Apalagi ibu harus berbagi keuntungan dengan pemilik warung tempat kue-kue ibu dititip. Karena itu, agar pendapatan yang diperoleh lebih besar maka ibu membuat dua-tiga jenis kue serta dititip hingga di tiga warung berbeda.

Harapan berpendapatan lebih besar tentu berdampak langsung pada bertambahnya beban kerja. Masih sangat lekat dalam ingatanku, walau masa-masa itu telah berlalu hampir tiga puluh tahun silam, ibu mengurangi jatah tidur dan istirahatnya. Di malam hari sebelum berangkat tidur bahan-bahan kue tersebut sudah diolah. Sekitar pukul 03.00 dinihari ibu sudah bangun dan mulai mengukus kue. Biasanya, kue-kue tersebut sudah kelar dan siap diantar ke warung-warung usai shalat shubuh.

Apakah kesibukan ibu menyangkut kue-kue sudah selesai setelah mengantarnya ke beberapa warung? Tentu saja tidak. Pekerjaan membuat kue adalah pekerjaan yang tidak pernah berkesudahan. Pagi hari ibu sudah berangkat ke pasar membeli bahan-bahan kue. Tidak lupa merendam beras untuk diolah jadi tepung beras. Demikian rutinitas keseharian ibu selama bertahun-tahun. Tidak ada hari libur. Tidak ada tanggal merah.

Untuk meringankan pekerjaan ibu, aku biasanya membantu menumbuk beras hingga jadi tepung beras. Aku melihat ada kegembiraan terpancar dari matanya kala aku menawarkan diri membantunya. Terus terang aku senang melakukan pekerjaan menumbuk beras tersebut. Tidak hanya karena dapat meringankan pekerjaan ibu, tetapi juga menjadi satu cara buat aku berolahraga. Meski telapak tanganku kadang lecet, tetapi aku perhatikan setelah rutin menumpuk beras otot-otot bisep di kedua lenganku sedikit terbentuk. Kawan-kawan sepermainan seringkali bertanya-tanya bagaimana aku memiliki otot bisep lengan yang terbentuk. Maklum, dahulu bagi anak-anak seumuran SMP, memiliki otot bisep lengan jadi kebanggaan. Bahkan seringkali adu pamer bisep lengan, hehehe….Tetapi, aku tidak pernah memberitahukan mereka kalau otot bisepku terbentuk karena menumbuk beras. Aku malu. Malu yang tidak pada tempatnya.

Perasaan malu yang ternyata juga keliru adalah ketika ibu memintaku mengantar kue ke warung-warung. Permintaan yang terkadang aku sanggupi, terkadang aku tolak. Kenapa aku tidak mau? Lagi-lagi karena aku merasa malu. Padahal, berulangkali ibu memberi nasehat, “kamu baru perlu malu kalau mencuri!”

Jika perasaan malu sering melanda saat disuruh mengantar kue ke warung, maka tidak demikian kala ibu meminta mengambil kembali tempat kue di warung. Setiap petang tempat kue tersebut diambil dan aku paling bersemangat karena berharap masih ada kue yang tidak terjual. Harapan yang tentu saja berlawanan dengan harapan ibu. Ah, pikiran anak-anak memang pikiran yang lebih banyak kelirunya.

Marahkah ibu melihat kegembiraan anak-anaknya bila ada kue tersisa dari warung? Tidak. Bahkan, kue-kue tersebut dikukusnya kembali. Kemudian dihidangkannya hangat-hangat.
***
Ibu laksana bumi, laksana langit. Bumi menumbuhkan segala rupa tetumbuhan dan langit menyiramkan hujannya. Bumi mengatur air sungai tetap mengalir dan langit dengan mataharinya membagikan siang dan malam secara teratur. Bumi menyajikan pesona alam di hari cerah dan langit menerbitkan bintang dalam gelap. Bumi-langit, tinggi-rendah, siang-malam, lembut-kuat, bukanlah suatu kontradiksi tetapi keseimbangan makrokosmos.

Keseimbangan yang juga dimiliki ibuku sebagai sosok yang menumbuhkan anak-anaknya dalam kelembutan kasih sayang. Sosok yang menafkahi anak-anaknya dengan bekerja keras. Mengajarkan sikap merendah seperti bumi. Mendidik sikap untuk menjaga harga diri setinggi langit. Sosok pekerja keras dan ulet sehingga siang dan malam tidak penting lagi untuknya. Gelap dan terang dia dekap bersama-sama. Pada diri ibu ada keseimbangan mikrokosmos.

Namun, di saat ibu tengah berjuang menjadi bumi dan langit buat kami anak-anaknya, untuk keluarganya, ibu terpaksa berhenti untuk takdirnya yang lain. Ibu sakit. Perutnya sedikit demi sedikit membesar. Dokter yang mendiagnosa ibu menderita sakit maag yang telah akut. Dokter menyampaikan penjelasan awal tetapi sangat mendasar: ibu sering mengabaikan perutnya lapar, kosong tidak diisi makanan dalam jangka waktu lama. Oh, apakah karena ibu terlalu larut dalam bekerja sehingga lupa makan? Apakah ini bentuk pengorbanannya yang lain, mengurangi jatah makannya demi anak-anaknya? Apakah karena energi yang dikeluarkan ibu saat bekerja keras tidak sebandingkan asupan makanan yang dikonsumsinya?

Bulan demi bulan perut semakin membesar. Sangat kontras dengan badannya yang semakin kurus. Untuk berjalan ibu harus dipapah. Seharian dihabiskan dengan berbaring karena tidak lagi berlama-lama duduk. Sesekali terdengar erangan kecil dari mulutnya. Kata ibu, dia kadang tidak kuat oleh rasa nyeri di ulu hati yang kadang menyerang tiba-tiba.

Ternyata, dari keterangan dokter, penyakit maag akut tersebut semakin hari semakin berdampak pada datangnya penyakit lainnya. Penyakit maag akut bisa memicu penyakit yang lebih berat seperti kanker lambung hingga hepatitis A.

Bapak akhirnya memutuskan merawatinapkan ibu di rumah sakit, tentu setelah mendapatkan uang pinjaman dari keluarga di kampung. Selama dua bulan di rumah sakit, kesehatan ibu membaik. Operasi yang dilakukan berhasil mengangkat dua biji daging, semacam tumor, dari perut ibu.

Karena biaya rawat inap termasuk belanja obat-obatan yang semakin memberatkan, bapak memutuskan membawa ibu pulang ke rumah. Meski masih mengonsumsi obat-obat dari dokter, upaya-upaya pengobatan tradisional juga dilakukan. Saudara-saudara ibu berinisiatif membawa ibu menetap di rumah kakek di kampung. Inisiatif yang baik. Setidaknya akan lebih baik buat ibu karena di kampung ada saudara-saudara ibu yang menjaga dan merawat, juga akan lebih baik karena di kampung lebih banyak ahli pengobatan tradisional yang bisa meramu obat-obatan.

Tiga-empat bulan ibu dirawat di rumah tanpa sentuhan medis bukannya penyakit ibu sembuh tetapi perlahan menunjukkan kembali pada kondisi kronis. Bapak kembali memutuskan merawat ibu di rumah sakit. Malam sebelum ibu dibawa ke rumah sakit, aku menemani bapak ke rumah seorang kerabat lainnya untuk meminjam uang. Berjalan kaki di malam gelap menyusuri pematang sawah dengan penerangan lampu senter. Bapak sengaja menggilir kerabat untuk meminjam uang karena tidak ingin meminjam uang pada kerabat yang sama sebelum pinjaman lama lunas.

Keuangan bapak yang tidak besar dan tingginya tarif kamar rumah sakit sehingga ibu hanya ditempatkan di ruang perawatan kelas II. Sebuah ruangan besar yang di dalamnya terdapat sekitar 10 pasien. Kedua kakak perempuan dan seorang tante yang bergantian menjaga ibu. Aku sendiri hanya sempat menjenguk ibu setiap pulang sekolah. Dari siang hingga petang.

Kurang lebih satu bulan ibu berada di ruang perawatan tersebut, hingga pada suatu senja yang tua ibu meminta kakak memapahnya ke kamar mandi. Kata ibu, dia ingin bersih-bersih. Meluruhkan daki di badan. Gosok gigi. Bersuci dengan air wudhu karena sebentar lagi maghrib. Apakah itu pertanda ibu ingin membersihkan diri sebelum berangkat? Entahlah, karena sesampai di tempat tidur dari kamar mandi itu, ibu mengeluhkan sesak nafas tidak tertahan.
***
Ambulans melaju dalam perjalanan 65 kilometer ke kampung. Suara sirine memecah sunyi malam.Cahaya lampu berwarna merah yang berpendar-pendar, berkelebat diantara petak-petak sawah. Tante terus menuntun ibu berzikir. Tetapi dari temaram lampu ambulans aku melihat bibir ibu sudah tidak bergerak lagi. Aku mendengar nafas ibu yang semakin memburu dan tersengal-sengal. Aku merasa tubuhku beku.

Tepat memasuki batas kampung suara sirine ambulans dan suara tuntunan zikir tante tidak terdengar lagi. Lamat yang aku dengar tangis lirih….
Selamat Hari Ibu!

Brunswick, 22 Desember 2013
*) Ilustrasi: www.digaleri.com

Monday, January 13, 2014

Dua Jasad Dikubur di Pemakaman Mandela

Saat acara penghormatan terakhir untuk Nelson Mandela, Dalai Lama XIV duduk tafakur dalam kamar di rumahnya nun jauh di suatu kota kecil bernama Dharamshala, India Utara. Dalai Lama tahu hari ini, Selasa (1012), adalah prosesi memorial serviceuntuk Mandela. Dia tahu hampir 100 pemimpin dunia datang memberikan penghormatan terakhir bagi sang pejuang. Dia sangat ingin berada di tempat itu bersama para tokoh-tokoh dan puluhan ribu rakyat Afsel. Tetapi nyatanya dia hanya bisa mengenang sang sahabat dari kamarnya.

www.foreignpolicy.com

Sambil menyandarkan tubuh tuanya pada bantal kursi, Dalai Lama mencoba membuka beberapa lembar ingatan dari tiga kali pertemuan dengan Mandela. Tiga pertemuan yang begitu berkesan. Kedua sahabat ini tercatat tiga kali bertemu di Johannesburg. Tahun 1996 dan 1999 Mandela yang waktu itu menjabat Presiden Afsel mengabaikan tekanan China dengan tidak saja membuka pintu Afsel bagi kedatangan Dalai Lama tetapi juga bersedia bertemu dengan pejuang tanah Tibet tersebut. Pertemuan ketiga berlangsung 2004 lalu dan masih di Johannesburg, pertemuan yang ternyata telah ditakdirkan menjadi pertemuan terakhir.

Sungguh Dalai Lama sangat ingin melihat dan hadir dalam prosesi penghormatan terakhir buat Mandela. Berbaur dengan hampir 95 ribu masyarakat Afsel yang memadati Stadium FNB Soweto, stadium terbesar se-Afrika yang pernah menjadi tempat pembukaan Piala Dunia 2010. Hadir dan ikut larut dalam tarian dan nyanyian duka masyarakat Afsel. Tetapi nyatanya dia hanya bisa menyanyikan lagu duka buat sang sahabat sendirian di kamarnya.

Dalai Lama masih duduk tafakur di kamarnya ketika prosesi memorial service tengah berlangsung. Tiba-tiba, ada bulir-bulir air bening di matanya. Bulir air mata yang terus menganak sungai. Dia membuka kaca mata dan mencoba membendung air mata dengan selembar sapu tangan. Tetapi bulir-bulir air mata itu semakin banyak dan deras, lebih deras dari hujan yang tengah mengguyur Stadium FNB Soweto di saat bersamaan.

Empat paragraf di atas adalah imajinasi saya akan Dalai Lama untuk menggambarkan betapa sedihnya dia ditinggal seorang sahabat. Kesedihan yang makin membuncah karena dia tidak mendapat izin melayat jazad sang sahabat. Hadir untuk memberikan penghormatan terakhir.

www.heraldsun.com.au

Imajinasi saya lalu meloncat keluar dan masuk ke dalam kenangan pada peristiwa yang saya rasakan 2011 silam. Siang itu, tiga tahun yang lalu, nada pesan singkat berdering di telepon genggam saya. Sebuah pesan singkat yang mengabarkan salah seorang kawan terbaik meninggal dunia. Kawan yang pernah sama-sama berjuang di kampus. Kawan di mana dia dan saya menempati ruang batin yang sama. Setengah bergegas saya meninggalkan kesibukan kantor memacu kendaraan dengan harapan masih ada kesempatan melihat tubuhnya untuk terakhir kali, tubuh yang telah kaku.

Prosesi melayat seorang sahabat memang bukan sekadar datang memberikan penghormatan terakhir. Juga bukan untuk sekadar menyaksikan jasadnya. Melayat seorang sahabat adalah untuk menunjukkan bahwa persahabatan hanya bisa diputuskan oleh takdir kematian. Siapa pun yang datang melayat seorang sahabat adalah untuk menegaskan bahwa, takdir kematian boleh memutus jalan hidup persahabatan tetapi tidak mungkin menghilangkan jejak persahabatan di dalam ruang batin.

Hari ini, Minggu (15/12), imajinasi saya kembali berkelabat, melayang, dan membentang dari sebuah desa kecil di Afsel, Desa Qunu, tempat jasad Mandela dikebumikan, ke sebuah kota kecil di India Utara, Kota Dharamshala, tempat Dalai Lama duduk tafakur di kamarnya. Sungguh, Dalai Lama sangat ingin melihat sang sahabat untuk kali terakhir meski pun itu hanya melihat peti jenasahnya. Tetapi nyatanya, Dalai Lama hanya bisa mengiringi pemakaman sang sahabat dengan doa-doa dari kamarnya.

Ini bukan kali pertama Dalai Lama sangat ingin melihat dan menemui Mandela. Ketika dia mendapat kabar bahwa Mandela dilarikan ke rumah sakit Juni lalu, Dalai Lama sudah berencana datang menjenguk, namun pemerintah Afsel tidak jua mengeluarkan visa kunjungan untuknya. Visa yang pernah juga dia harapkan ketika hendak merayakan ulang tahun sahabatnya, Desmond Tutu, di Johannesburg tahun 2011, serta ketika dia sangat ingin menghadiri konferensi perdamaian dunia tahun 2009 lalu.

www.dailytelegraph.com.au

Mandela dan Dalai Lama adalah dua sahabat yang memiliki banyak kesamaan. Keduanya adalah para pejuang pembebasan dengan cara damai, bukan kekerasan. Keduanya mengalami pengasingan, Mandela di dalam penjara sedangkan Dalai Lama jauh di luar kelahirannya Tibet yakni di India. Baik Mandela (1993) maupun Dalai Lama (1989) pernah menerima Nobel Perdamaian. Ini kesamaan secara lahiriah. Adapun kesamaan batiniah keduanya adalah sosok yang cinta perdamaian, semangat membebaskan atas penindasan, dan menghargai kesetaraan.

Persis pada prosesi memorial service enam hari lalu, pada prosesi pemakaman ini juga dibumbui banyak pidato dan kesaksian tentang sosok Mandela. Saya menyaksikan siaran langsung dari televisi sambil termenung. Saya merasakan banyak pidato yang hanya membicarakan ‘lahiriah’ Mandela dan sedikit yang bisa masuk untuk mendeskripsikan ‘bathiniah’ Mandela. Jika saja, saya mengandai-andai, Dalai Lama hadir dan mendapatkan kesempatan berbicara tentu dia bisa menyampaikan sisi ‘bathiniah’ Mandela secara utuh karena keduanya menempati ruang bathin yang sama.

www.loveindonesia.com

Pada detik-detik ketika jasad Mandela dimasukkan ke dalam bumi, saya membayangkan Dalai Lama hadir bersama kurang lebih 4,500 tamu lainnya menyaksikan kesempatan paling akhir menemui sahabatnya. Jiwa Dalai Lama tentu akan bergetar mendengar 21 tembakan penghormatan untuk sahabatnya itu. Tetapi nyatanya Dalai Lama berada jauh di belahan bumi Asia. Dalai Lama tidak dimungkinkan hadir demi memberi keleluasaan hidup hubungan perdagangan China dan Afsel, demikian selentingan kabar yang beredar.

Tiba-tiba saya merasakan dalam prosesi pemakaman ini terdapat dua jasad yang dikuburkan, jasad Nelson Mandela dan “jasad” kebebasan-kesetaraan. Entahlah….