Sunday, January 12, 2014

Desa-Desa yang Berhemat, Berenergi, dan Bergairah


Isran (50) sedang mengalirkan feses (kotoran) ternak sapinya ke dalam tabung berkapasitas kurang lebih dua meter kubik (2 m3) ketika saya datang bersama staf Dinas Peternakan Kabupaten Enrekang dan dokter hewan dari tim penyuluh. Di dalam tabung yang juga disebut reaktor biogas (digester) tersebut gas yang terkandung dalam kotoran sapi terpisahkan. Gas tersebut lalu dialirkan ke tabung plastik kedua yang digantung di dinding rumahnya. Dari tabung kedua ini gas terhubung langsung ke kompor biogas di dapurnya.

Warga Dusun Lekkong, Desa Pinang, Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang –236 kilometer arah utara dari Makassar–, Sulawesi Selatan tersebut merupakan satu dari beberapa warga dusun yang telah mengaplikasikan kompor biogas. Dari sapi perah miliknya, Isran tidak saja bisa memanfaatkan susu sapi untuk usaha dangke –makanan khas Enrekang yang menyerupai tahu dari bahan susu sapi segar yang dimasak dan dibekukan– tetapi juga dapat memanfaatkan feses sapi melalui teknologi biogas untuk keperluan memasak. Istrinya tidak lagi risau memikirkan minyak tanah atau gas

Hitungannya, istri Isran sebelumnya menggunakan gas LPG ukuran 3 kilogram untuk pemakaian selama seminggu atau tujuh hari. Artinya, sehari rata-rata pemakaian gas LPG sebanyak 0,43 kilogram. Pemakaian sebanyak itu sama dengan 1.000 liter biogas per hari. Untuk mendapatkan 1.000 liter biogas cukup dengan 30 kilogram feses sapi. Sementara satu ekor sapi perah miliknya mengeluarkan feses 20-25 kilogram per hari. Jadi hanya dengan memanfaatkan feses dua ekor dari enam ekor sapinya kebutuhan biogas untuk memasak satu hari terpenuhi.

Untuk memaksimalkan feses dari keenam sapinya, Isran sengaja membangun reaktor biogas dengan kapasitas dua meter kubik (2m3). Tentu saja kebutuhan biogas untuk keluarganya lebih dari cukup. Olehnya, dia membagi biogas pada 2-3 rumah keluarga dan tetangga.
 
Di Kabupaten Enrekang, pemanfaatan feses sapi menjadi biogas tidak hanya dilakukan Isran. Lokasinya pun bukan hanya di Desa Pinang. Terdapat sejumlah peternak seperti Isran yang tersebar di kurang lebih tiga puluh desa.

Aplikasi biogas dari feses sapi lainnya saya temukan tatkala berkunjung di Desa Tibona, Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba –153 kilometer arah selatan dari Makassar–, Sulawesi Selatan. Saya bertemu Rahman (55) peternak sapi, pengguna biogas, dan juga ketua kelompok tani ternak di desanya. Rahman memiliki empat ekor sapi potong yang dikandangkan pada malam hari (pada siang hari dilepas).

Setiap ekor sapi potong milik Rahman menghasilkan 10-15 kilogram feses jadi bila ditambahkan dengan jumlah feses dari tiga ekor lainnya maka Rahman bisa menampung 40-45 kilogram per hari. Itu lebih dari cukup untuk bahan reaktor biogas miliknya yang berkapasitas satu meter kubik (1 m3). Setidaknya biogas yang dihasilkannya bisa menutupi kebutuhan 1,25 liter minyak tanah per hari selama ini. Malahan, Rahman masih bisa membagi biogas pada tetangganya.

Selain di Desa Tibona, terdapat desa lainnya di Bulukumba yang telah mengaplikasikan biogas dengan baik yakni Desa Lembang Lohe di Kecamatan Kajang. Pemerintah daerah memang menargetkan setiap kecamatan memiliki paling sedikit satu desa yang membangun reaktor biogas skala rumah tangga. Potensi pengembangan biogas di Bulukumba memang prospektif karena populasi ternak sapi dan kerbau memang terbilang besar. Data Sensus Pertanian 2013 menyebutkan, populasi sapi/kerbau di kabupaten dengan slogan ‘Berlayar’ tersebut mencapai kurang lebih 55.700 ekor.

Desa yang Berhemat dan Berenergi

Secara umum desa dan masyarakatnya di atas telah melepaskan ketergantungan pada bahan bakar fosil atau bahan bakar mineral. Bahan bakar fosil merupakan sumber daya alam yang mengandung hidrokarbon seperti batu bara, petroleum, dan gas alam. Bahan bakar yang tidak terbarukan sehingga suatu waktu akan habis.

Dengan demikian, mereka, warga desa tersebut, berkontribusi dalam memperlambat habisnya sumber bahan bakar fosil. Pemanfaatan biogas dari feses ternak adalah upaya membangun kebiasaan untuk menggunakan sumber energi alternatif dan terbarukan. Persis sama tatkala memanfaatkan sinar matahari (panel surya), tenaga angin, atau pun mikro-hidro sebagai sumber energi.

Foto: Ahmad Syam

Bukan hanya itu, karena tidak menggunakan bahan bakar fosil maka secara langsung warga pada sejumlah desa di atas menyelamatkan bumi dari efek rumah kaca dan bahaya pemanasan global. Kenapa? Karena pembakaran bahan bakar fosil adalah sumber utama dari karbon dioksida yang merupakan salah satu gas rumah kaca.

Secara khusus perilaku hemat energi yang dicontohkan warga dari desa-desa tersebut berdampak secara ekonomi dan perbaikan kesejahteraan mereka. Bayangkan, dari feses ternak sapi yang dahulunya mereka buang sekarang malah memberikan keuntungan berlipat ganda. Apa keuntungan-keuntungan tersebut?

Pertama, warga tidak lagi mengeluarkan anggaran untuk membeli gas LPG dan minyak tanah. Kedua, usaha yang mereka kelola selama ini seperti pembuatan dangke di Enrekang dan pembuatan gula merah di Bulukumba lebih lancar karena bahan bakar memasak tersedia setiap saat. Ketiga, ampas biogas (bio-slurry) menjadi pupuk yang sangat berguna sebagai sumber nutrisi untuk tanaman. Pupuk jenis ini juga mengandung lebih sedikit bakteri patogen. Pupuk tersebut sebagian digunakan sendiri, sebagian dijual. Di Desa Tibona, Bulukumba, misalnya, pupuk dari ampas biogas ini dikemas kemudian dijual Rp500 per kilogram sehingga menjadi sumber pendapatan baru bagi warga desa.

Demikian, bagaimana desa-desa yang dicontohkan di atas menggeliat. Bergerak maju dengan memulai dari upaya mencari sumber energi alternatif yang murah dan terbarukan. Tetapi kemudian siapa yang menduga bahwa sumber energi alternatif tersebut memberikan “energi” baru warganya untuk lebih bergairah dan berenergi dalam bidang usaha dan penataan lingkungan. Lihat saja, jalan-jalan di Dusun Lekkong bukan lagi jalan tanah tetapi paving-block. Demikian pula usaha pupuk di Desa Tibona telah terdistribusikan hingga di luar Kabupaten Bulukumba.

Memetakan Potensi Biogas Sulsel

Data Sensus Pertanian 2013

Apa yang diaplikasikan warga beberapa desa di atas baru sebatas reaktor biogas skala rumah tangga. Masalahnya, karena kapasitas reaktor skala rumah tangga rata-rata hanya satu-dua meter kubik sehingga masih banyak feses ternak yang terbuang percuma.

Bagaimana memaksimalkan semua feses ternak menjadi biogas? Tidak lain dengan membangun reaktor biogas skala menengah/besar yang bisa menampung semua potensi biogas. Ukuran reaktor bisa disesuaikan dengan besar potensi biogas dan letak reaktor, apakah di tingkat kecamatan atau kabupaten. Jika potensi besar dan terletak di kecamatan/kabupaten maka reaktor yang dibangun boleh jadi yang berkapasitas minimal 20-30 meter kubik.

Dari pengamatan di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan (Sulsel) memang belum ada reaktor biogas dengan skala menengah/besar. Termasuk di kabupaten-kabupaten yang memiliki populasi ternak sapi/kerbau yang tergolong besar seperti Bone (262.400 ekor), Gowa (88.600 ekor), Wajo (79.500 ekor), Sinjai (71.000 ekor), Maros (61.000 ekor), Bulukumba (55.700 ekor), dan Enrekang (48.400 ekor) –Sensus Pertanian 2013.

Padahal kalau dikalkulasi secara baik, potensi biogas dari ternak sapi dan kerbau saja dapat mengkaver 37,7 persen kebutuhan gas masyarakat Sulsel dalam sehari. Bagaimana hitungannya? Total populasi sapi/kerbau berdasarkan Sensus Pertanian 2013 mencapai 1.070.500 ekor. Asumsinya, rata-rata pemakaian gas di rumah tangga sebesar 0.43 kilogram per hari (LPG 3 kilogram biasanya dipakai selama 7 hari). Gas LPG 0.43 kilogram sebanding dengan 1.000 liter biogas per hari dan itu setara dengan 30 kilogram feses sapi (1 kilogram feses sama dengan 35 liter biogas). Jika setiap ekor sapi/kerbau menghasilkan feses rata-rata 20 kilogram per hari maka dari populasi sapi/kerbau 1.070.500 akan diperoleh feses kurang lebih 21.410.000 kilogram. Feses tersebut jika dikonversi ke dalam ukuran biogas akan diperoleh 713.666.667 liter biogas, atau setara dengan gas LPG 306.876 kilogram.

Berapa Rumah Tangga (RT) di Sulsel? Data Sulawesi Selatan Dalam Angka 2012menyebutkan, jumlah RT di Sulsel adalah 1.892.944. Nah, bila asumsinya pemakaian gas LPG per RT per hari sebanyak 0.43 kilogram maka total pemakaian gas LPG oleh RT dalam sehari 813.965 kilogram. Artinya, andai pemanfaatan feses ternak sapi/kerbau untuk menghasilkan biogas maksimal maka bisa menutupi 37,7 persen kebutuhan gas LPG yang besarnya 813.965 kilogram per hari.

Hitungan di atas baru untuk ternak sapi/kerbau. Bisa dibayangkan betapa besar gas yang dapat dihasilkan per hari jika feses dari ternak lain juga dimanfaatkan. Lihatlah betapa besar populasi ternak lainnya dari data berikut: kambing (477.068 ekor), domba (468 ekor), kuda (133.430 ekor), babi (508.335 ekor), serta ayam (ayam petelur 5.485.425 ekor dan ayam pedaging 17.928.549 ekor) –Sulawesi Selatan Dalam Angka 2012.

Foto: Ahmad Syam

Dan, akan semakin besar gas yang bisa diproduksi jika pemerintah provinsi bersama-sama pemerintah kabupaten/kota juga mengelola seluruh limbah lainnya yang bersumber dari bahan organik seperti limbah industri (tempe, tahu, kecap, atau sawit) dan limbah organik (restoran, rumah tangga, dan pasar-pasar tradisional).

Pemerintah Provinsi Sulsel dapat melakukan pemetaan potensi-potensi biogas di masing-masing kabupaten. Pemetaan ini akan memudahkan pemerintah provinsi bersama pemerintah daerah setempat merencanakan pembangunan reaktor biogas skala besar. Misalnya, Sidrap, Gowa, dan Maros yang dikenal memiliki ternak ayam terbesar maka dibuatlah reaktor biogas skala besar dari feses ayam. Di Toraja dapat dibangun reaktor biogas skala besar dari feses babi karena di daerah ini banyak ternak babi. Atau membangun reaktor biogas skala besar dari limbah rumah tangga dan pasar tradisional di Makassar (volume sampah rumah tangga di Makassar mencapai 500 ton per hari).

Mimpi Reaktor Skala Besar

Laporan Biogas Rumah (BIRU) menyebutkan, dari 8.300 reaktor biogas yang telah dibangun secara nasional, 5.100 reaktor terdapat di Jatim Timur. Sisanya, 3.200 reaktor, tersebar di Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Bali, Yogyakarta, Lampung dan Sulawesi Selatan.

Beberapa aspek yang bisa dicermati dari laporan BIRU tersebut di atas. Pertama, masih banyak provinsi yang potensi biogasnya belum terkelola dengan baik. Bukankah Indonesia memiliki 34 provinsi sedangkan yang sementara ini tertangani dengan baik baru 9 provinsi. Kedua, ke-9 provinsi ini pun belum seutuhnya maksimal dalam pengelolaan potensi biogasnya. Di Kabupaten Malang, Jawa Timur, contohnya, dari 3.388.425 kilogram feses sapi per hari yang terkelola menjadi biogas baru 152.40 kilogram.

Potensi biogas yang belum terkelola dengan baik di Malang (Jawa Timur), dan juga di 8 provinsi lainnya di atas memang buruk. Tetapi masih banyak yang lebih buruk dari itu yang bisa kita temukan di 25 provinsi yang belum tersentuh program nasional pembangunan reaktor biogas. Masih banyak wilayah, entah di level kabupaten atau desa, yang memiliki potensi biogas luar biasa namun belum digarap secara baik.

Bagaimana memaksimalkan potensi biogas ternak, terutama dari feses sapi/kerbau, secara serentak di wilayah-wilayah di Indonesia? Pertama, pemerintah dari level kabupaten, provinsi, hingga pusat tidak harus terpaku pada pembangunan reaktor skala rumah tangga saja. Reaktor skala besar sudah harus mulai digagas sejak sekarang untuk secepatnya ditindaklanjuti. Tujuan dari reaktor skala besar ini agar semua potensi biogas terserap dan tidak terbuang percuma.

Mimpi akan reaktor skala besar bukanlah mimpi di siang bolong. Pengalaman pengembangan biogas di Nanyang, Provinsi Henan, China bisa menjadi contoh akan kisah sukses membangun reaktor skala besar. Wilayah tersebut memiliki potensi biogas yang besar dari limbah ladang gandum. Lalu pemerintah setempat membangun reaktor berkapasitas 30.000 meter kubik. Hasilnya, reaktor tersebut dapat menyuplai gas ke sekitar 20.000 rumah tangga.

Kedua, mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk memanfaatkan limbah-limbah organik dari kegiatan industri dan rumah tangga menjadi biogas. Kota-kota besar memroduksi ratusan ton limbah organik per hari dari pasar tradisional dan rumah tangga namun belum semua kota mengelolanya sebagai biogas.

Ketiga, sambil menunggu gagasan reaktor skala besar terwujud, pembangunan reaktor-reaktor skala rumah tangga tidak boleh berhenti. Kenapa? Karena reaktor skala rumah tangga terbukti telah mampu menggairahkan perekonomian desa.

-2013-

No comments: