Monday, January 13, 2014

Dua Jasad Dikubur di Pemakaman Mandela

Saat acara penghormatan terakhir untuk Nelson Mandela, Dalai Lama XIV duduk tafakur dalam kamar di rumahnya nun jauh di suatu kota kecil bernama Dharamshala, India Utara. Dalai Lama tahu hari ini, Selasa (1012), adalah prosesi memorial serviceuntuk Mandela. Dia tahu hampir 100 pemimpin dunia datang memberikan penghormatan terakhir bagi sang pejuang. Dia sangat ingin berada di tempat itu bersama para tokoh-tokoh dan puluhan ribu rakyat Afsel. Tetapi nyatanya dia hanya bisa mengenang sang sahabat dari kamarnya.

www.foreignpolicy.com

Sambil menyandarkan tubuh tuanya pada bantal kursi, Dalai Lama mencoba membuka beberapa lembar ingatan dari tiga kali pertemuan dengan Mandela. Tiga pertemuan yang begitu berkesan. Kedua sahabat ini tercatat tiga kali bertemu di Johannesburg. Tahun 1996 dan 1999 Mandela yang waktu itu menjabat Presiden Afsel mengabaikan tekanan China dengan tidak saja membuka pintu Afsel bagi kedatangan Dalai Lama tetapi juga bersedia bertemu dengan pejuang tanah Tibet tersebut. Pertemuan ketiga berlangsung 2004 lalu dan masih di Johannesburg, pertemuan yang ternyata telah ditakdirkan menjadi pertemuan terakhir.

Sungguh Dalai Lama sangat ingin melihat dan hadir dalam prosesi penghormatan terakhir buat Mandela. Berbaur dengan hampir 95 ribu masyarakat Afsel yang memadati Stadium FNB Soweto, stadium terbesar se-Afrika yang pernah menjadi tempat pembukaan Piala Dunia 2010. Hadir dan ikut larut dalam tarian dan nyanyian duka masyarakat Afsel. Tetapi nyatanya dia hanya bisa menyanyikan lagu duka buat sang sahabat sendirian di kamarnya.

Dalai Lama masih duduk tafakur di kamarnya ketika prosesi memorial service tengah berlangsung. Tiba-tiba, ada bulir-bulir air bening di matanya. Bulir air mata yang terus menganak sungai. Dia membuka kaca mata dan mencoba membendung air mata dengan selembar sapu tangan. Tetapi bulir-bulir air mata itu semakin banyak dan deras, lebih deras dari hujan yang tengah mengguyur Stadium FNB Soweto di saat bersamaan.

Empat paragraf di atas adalah imajinasi saya akan Dalai Lama untuk menggambarkan betapa sedihnya dia ditinggal seorang sahabat. Kesedihan yang makin membuncah karena dia tidak mendapat izin melayat jazad sang sahabat. Hadir untuk memberikan penghormatan terakhir.

www.heraldsun.com.au

Imajinasi saya lalu meloncat keluar dan masuk ke dalam kenangan pada peristiwa yang saya rasakan 2011 silam. Siang itu, tiga tahun yang lalu, nada pesan singkat berdering di telepon genggam saya. Sebuah pesan singkat yang mengabarkan salah seorang kawan terbaik meninggal dunia. Kawan yang pernah sama-sama berjuang di kampus. Kawan di mana dia dan saya menempati ruang batin yang sama. Setengah bergegas saya meninggalkan kesibukan kantor memacu kendaraan dengan harapan masih ada kesempatan melihat tubuhnya untuk terakhir kali, tubuh yang telah kaku.

Prosesi melayat seorang sahabat memang bukan sekadar datang memberikan penghormatan terakhir. Juga bukan untuk sekadar menyaksikan jasadnya. Melayat seorang sahabat adalah untuk menunjukkan bahwa persahabatan hanya bisa diputuskan oleh takdir kematian. Siapa pun yang datang melayat seorang sahabat adalah untuk menegaskan bahwa, takdir kematian boleh memutus jalan hidup persahabatan tetapi tidak mungkin menghilangkan jejak persahabatan di dalam ruang batin.

Hari ini, Minggu (15/12), imajinasi saya kembali berkelabat, melayang, dan membentang dari sebuah desa kecil di Afsel, Desa Qunu, tempat jasad Mandela dikebumikan, ke sebuah kota kecil di India Utara, Kota Dharamshala, tempat Dalai Lama duduk tafakur di kamarnya. Sungguh, Dalai Lama sangat ingin melihat sang sahabat untuk kali terakhir meski pun itu hanya melihat peti jenasahnya. Tetapi nyatanya, Dalai Lama hanya bisa mengiringi pemakaman sang sahabat dengan doa-doa dari kamarnya.

Ini bukan kali pertama Dalai Lama sangat ingin melihat dan menemui Mandela. Ketika dia mendapat kabar bahwa Mandela dilarikan ke rumah sakit Juni lalu, Dalai Lama sudah berencana datang menjenguk, namun pemerintah Afsel tidak jua mengeluarkan visa kunjungan untuknya. Visa yang pernah juga dia harapkan ketika hendak merayakan ulang tahun sahabatnya, Desmond Tutu, di Johannesburg tahun 2011, serta ketika dia sangat ingin menghadiri konferensi perdamaian dunia tahun 2009 lalu.

www.dailytelegraph.com.au

Mandela dan Dalai Lama adalah dua sahabat yang memiliki banyak kesamaan. Keduanya adalah para pejuang pembebasan dengan cara damai, bukan kekerasan. Keduanya mengalami pengasingan, Mandela di dalam penjara sedangkan Dalai Lama jauh di luar kelahirannya Tibet yakni di India. Baik Mandela (1993) maupun Dalai Lama (1989) pernah menerima Nobel Perdamaian. Ini kesamaan secara lahiriah. Adapun kesamaan batiniah keduanya adalah sosok yang cinta perdamaian, semangat membebaskan atas penindasan, dan menghargai kesetaraan.

Persis pada prosesi memorial service enam hari lalu, pada prosesi pemakaman ini juga dibumbui banyak pidato dan kesaksian tentang sosok Mandela. Saya menyaksikan siaran langsung dari televisi sambil termenung. Saya merasakan banyak pidato yang hanya membicarakan ‘lahiriah’ Mandela dan sedikit yang bisa masuk untuk mendeskripsikan ‘bathiniah’ Mandela. Jika saja, saya mengandai-andai, Dalai Lama hadir dan mendapatkan kesempatan berbicara tentu dia bisa menyampaikan sisi ‘bathiniah’ Mandela secara utuh karena keduanya menempati ruang bathin yang sama.

www.loveindonesia.com

Pada detik-detik ketika jasad Mandela dimasukkan ke dalam bumi, saya membayangkan Dalai Lama hadir bersama kurang lebih 4,500 tamu lainnya menyaksikan kesempatan paling akhir menemui sahabatnya. Jiwa Dalai Lama tentu akan bergetar mendengar 21 tembakan penghormatan untuk sahabatnya itu. Tetapi nyatanya Dalai Lama berada jauh di belahan bumi Asia. Dalai Lama tidak dimungkinkan hadir demi memberi keleluasaan hidup hubungan perdagangan China dan Afsel, demikian selentingan kabar yang beredar.

Tiba-tiba saya merasakan dalam prosesi pemakaman ini terdapat dua jasad yang dikuburkan, jasad Nelson Mandela dan “jasad” kebebasan-kesetaraan. Entahlah….

No comments: