Wednesday, February 8, 2017

Semenit Bertemu Rod Laver



Semenit bertemu Rod Laver. Itu berlangsung beberapa jam sebelum final Australian Open 2017 antara Roger Federer versus Rafael Nadal tergelar, 29 Januari lalu. Saya secara kebetulan bertemu legenda tennis dunia dan Australia, Rodney George Laver atau sering disingkat Rod Laver.
Bersama beberapa staf dan mungkin juga keluarganya, juara grand slam 11 kali tersebut berjalan-jalan di satu pasar tradisional terbesar dan tertua di Melbourne. Saya langsung merasa surprise begitu melihat wajah yang begitu familiar disorot tv-tv setiap perhelatan Australian Open. Kakek berusia 78 tahun yang masih terlihat gesit berjalan itu mengenakan t-shirt polo berwarna hitam dengan tulisan Rod Laver di dada kiri.
Saya menyapa seorang stafnya, perempuan muda yang berjalan di belakangnya, untuk meminta izin ber-selfi dengan sang legenda. Dia mengiyakan sembari mengingatkan agar tidak mengambil waktu lama. Kamera hp sudah siapkan dalam posisi on sebelum meminta izin tadi. Hanya sekali jepretan dan suami dari mendiang Mary Bensen tersebut segera berlalu. Ya, hanya sekira satu menit bertemu langsung dengan Rod Laver.

Mata saya langsung mengamati hasil jepretan super cepat itu. Memeriksa apakah jepretan setengah terburu-buru sukses mengambil gambar saya dan Rod Laver secara baik. Ada perasaan kurang puas dan ingin mengejar Rod Laver tetapi tertahan oleh aturan kesopanan dan budaya di Australia.  Meski kurang puas tetap terbetik rasa syukur dan senang karena kesempatan sekali jepret berhasil. Tidak terbayang andai kesempatan sekali jepret itu gagal mengabadikan kesempatan bertemu Rod Laver.


Tidak pernah terduga sebelumnya bakal bisa berfoto dengan sang legenda. Empat kali saya sambangi stadion Rod Laver Arena tidak sekali pun saya bertemu atau sekadar berpapasan dengannya. Setiap ke Rod Laver Arena saya hanya menjumpai beberapa patung dirinya yang disebar di beberapa sudut area stadion. Patung-patung itulah yang kerap dijadikan orang-orang tempat berselfi dengan sang legenda. Orang-orang yang tentu hapal benar sosok yang tergambarkan dalam patung tersebut.
Ya, bagi yang mengikuti informasi dunia tennis, nama Rod Laver tentu tidak asing lagi. Apalagi yang pernah datang dan menyaksikan langsung kejuaraan grand slam Australian Open. Rod Laver Arena adalah satu dari 3 stadion utama yang menggelar partai-partai Australian Open. Dari ketiga stadion utama tersebut, Rod Laver Arena adalah yang terbesar dengan kapasitas 14.820 kursi (event tennis), 15.400 kursi (event bola basket), dan 16.200 kursi (event konser).
Rod Laver Arena sebagai Outdoor Stadium
Atap Rod Laver Arena Ditutup jika Hujan

Nama pria dengan tinggi 173 sentimeter ini memang layak dilekatkan untuk stadion yang menggelar event-event tennis dunia di Australia. Semasa aktif, karir The Rocket, begitu dia digelar oleh media-media, adalah yang paling topcer dari sekian banyak petenis putera yang dimiliki Australia sepanjang sejarah. Bahkan, rekor yang pernah dia catat bukan hanya menggema se-Australia tetapi sejagat. Tengok saja, untuk kejuaraan paling bergengsi grand slam, pemain dengan pegangan raket kidal tersebut adalah satu-satunya petenis (baik putera maupun puteri) yang memenangi keempat grand slam dalam satu kalender sebanyak dua kali yakni tahun 1962 dan 1969.
Pembukaan Australian Open Selalu Meriah
Sungai Yarra dan Rod Laver Arena di Kejauhan

Rod Laver yang pernah menjadi petenis peringkat satu dunia dari tahun 1964 hingga 1970 pensiun dari kejuaraan tennis pada 1976. Selama karirnya, pria kelahiran Rockhamton, Queensland, Australia yang kini bermukim di Carlsbad, California, Amerika Serikat tersebut mengemas 200 gelar di sektor tunggal putera dan 28 gelar kala bermain ganda.
See you next time, The Rocket….
Brunswick, 8 Februari 2017

Baliho di Hati Rakyat bukan di Jalanan





Nurdin Abdullah adalah Bupati Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Saat ini dia menjalankan tahun keempat periode kedua masa jabatannya di kabupaten seluas 395,83 kilometer persegi tersebut. 

Pada pemilu kada yang berlangsung April 2013 lalu, Nurdin Abdullah yang berpasangan dengan M. Yasin berhasil meraup suara  83,24 persen. Raihan suara tersebut menempatkan Nurdin-Yasin sebagai pasangan peraih suara terbesar kelima dalam sejarah pemilu kada di Indonesia.

Empat teratas adalah Makmun Ibnu Fuad di Bangkalan (93 persen), Joko Widodo di Solo (90 persen), Ahmadi di Mojokerto (87 persen), dan I Gede Winase di Jembrana (87 persen).

Awal 2011 lalu, saya sempat bertemu guru besar Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (Unhas) tersebut dan berbincang agak lama. Di sela perbincangan, Nurdin Abdullah mengatakan, “Jika ingin disukai masyarakat pasanglah ‘baliho’ di hati masyarakat!” Sebuah ungkapan yang menurut saya seharusnya bisa menjadi pegangan para pejabat yang lebih gemar memasang baliho di jalan-jalan.

Nurdin banyak memaparkan visi Bantaeng sebagai “Wilayah Terkemuka Berbasis Desa Mandiri”. Untuk mewujudkan visi tersebut, sejak terpilih sebagai bupati pertama kali 6 Agustus 2008 lalu, dia membenahi seluruh aspek desa mulai dari infrastruktur hingga pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di 46 desa se-Bantaeng.

Masing-masing BUMDes mendapatkan penguatan baik dari aspek manajemen maupun finansial berupa suntikan dana hibah Rp100 juta. BUMDes diberikan kepercayaan penuh mengelola potensi desa masing-masing di mana BUMDes berada.

Setiap BUMdes memiliki core business berdasarkan potensi desa di mana BUMDes tersebut berada. Misalnya, satu desa yang potensi ekonominya sektor pertukangan maka BUMDes diarahkan untuk bergerak di sektor pertukangan. Dalam menjalankan core business-nya, BUMDes memiliki channeling dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait. BUMDes Pertanian akan berkoordinasi dengan Dinas Pertanian.



Dalam skema yang lebih luas, visi tersebut akan mewujudkan Bantaeng sebagai pusat pertumbuhan di selatan Sulawesi Selatan dengan menyertakan pembangunan pelabuhan, pengembangan agrowisata, serta peningkatan sektor-sektor industri. Sektor pemberdayaan ekonomi rakyat dan peningkatan pertumbuhan ekonomi makro di atas merupakan satu dari dua hal yang menarik perhatian saya waktu itu.

Satu hal lainnya adalah pada pembangunan sektor kesehatan. Merespons kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan yang cepat, Nurdin Abdullah membentuk Brigade Siaga Bencana (BSB). Kantor BSB berada satu atap dengan satuan tugas lainnya yang tergabung dalam tim Emergency Services seperti satuan bantuan sosial, satuan operasi, rehabilitas dan pemulihan, serta satuan pemadam kebakaran.



Secara umum BSB bekerja bila ada panggilan yang masuk melalui call center 113. Atas dukungan puluhan dokter umum dan perawat yang bekerja berdasarkan sistem shift selama 24 jam, tim BSB siap menjemput pasien hingga pelosok desa.

Selain kedua program merakyat di atas, Nurdin Abdullah juga berhasil mengubah wajah Bantaeng yang dahulu terkesan “kusam” menjadi “bergairah”. Pantai Marina dan Seruni yang membentang di sepanjang jalan berhasil disulap menjadi destinasi wisata alternatif di Sulawesi Selatan. Kebersihan dan kearsian kota dijaga dengan baik maka tidak heran kemudian Bantaeng meraih Piala Adipura sebagai Kota Kecil untuk kali pertama di 2010. Piala yang terus dipertahankan hingga 2016.

Program-program pertanian dan perkebunan Nurdin Abdullah juga dinilai sangat inovatif seperti membuka perkebunan apel dan strawberry. Juga industri pengalengan hasil laut yang telah diekspor ke sejumlah negara.

Tentu banyak prestasi lainnya yang telah ditorehkan Nurdin Abdullah selain yang saya sebutkan di atas. Prestasi yang boleh jadi menyerupai  baliho besar di hati masyarakatnya.