Friday, November 10, 2017

Lelaki Tua di Jok Depan




Siang yang terik. Matahari seperti sedang membakar bumi. Angin yang hanya sesekali berhembus tidak kuasa meredam panas; mungkin karena debu-debu yang ikut beterbangan telah menyerap semua kandungan airnya.
Panas dari terik matahari menyatu dengan panas dari api ban yang dibakar; menyatu dengan kata-kata panas dari sejumlah demonstran; dan menyatu dengan panasnya hati para pengguna jalan. Ya, hari ini, 10 November, tepat di Hari Pahlawan, para demonstranmenggelar demonstrasi!
Ratusan kendaraan berjejal. Mengular hingga satu-dua kilometer. Bergerak sedikit, lalu berhenti lagi. Bunyi klakson, teriakan para supir, dan irama berbagai genre musik dangdut, pop, slow rock dari tape angkutan kota (angkot) memekakan teliga.
Dari ratusan kendaraan, umum dan pribadi, yang mengantri berjam-jam untuk lepas dari aksi demo, pada satu angkot duduk seorang lelaki tua di jok depan, bersebelahan dengan supir. Dia mengenakan jaket kulit berwarna hitam. Rambut putihnya mengkilap menunjukkan betapa dia menyapuhnya dengan minyak rambut secara teratur. Kaca mata minus bergagang coklat tua tidak bisa menutupi sinar matanya yang tajam; seperti ada semangat yang masih menyala di dalam sana. Di bagian belakang angkot, dua jok panjang di kiri dan kanan penuh. Di deret kanan duduk enam penumpang, di deret kiri duduk empat penumpang.
Angkot di mana seorang lelaki tua duduk di jok depan semakin dekat ke titik para demonstran yang sedang berorasi. Jarak yang tadinya 500 meter kini tinggal 100 meter. Meski untuk menempuh jarak tersebut setiap kendaraan butuh 15-20 menit. Sungguh kemacetan yang parah. Terlihat beberapa polisi berjaga-jaga dan mengatur lalu lintas; namun mereka seperti tidak berdaya membujuk para demonstran membubarkan diri, atau setidaknya membujuk para demonstran untuk memberi akses jalan yang lebih lebar sehingga kendaraan leluasa lewat.
Dari jarak 100 meter lebih jelas terlihat titik demonstrasi. Ya, sekitar tiga puluhan anak-anak muda meneriakkan kata-kata perlawanan, bernyanyi dan bersorak. Sebagian mengibarkan bendera merah putih dan atribut organisasi mereka. Sebagian yang lain memegang spanduk bertuliskan kata-kata kecemasan, keprihatinan, dan penolakan. Tiga dari mereka menyampaikan orasi dari atas kepala mobil truk secara bergantian. Mereka menguasai tiga lajur jalan dan hanya menyisakan satu lajur bagi kendaraan lewat.
Angkot di mana seorang lelaki tua duduk di jok depan beringsut perlahan, dan tulisan-tulisan serta pidato-pidato para demonstran itu semakin terlihat dan terdengar jelas. Di antara isi spanduk-spanduk itu: “Mengusir penjajah selesai, mengusir koruptor?” “Stop gaji pensiun koruptor di DPR!” “Bangsa besar adalah yang menghargai pahlawannya!” Dan banyak tulisan-tulisan lainnya.
Orasi tiga tokoh demonstran seolah menjelaskan detail dari tulisan-tulisan tersebut. Ya, belasan mahasiswa itu menggunakan moment Hari Pahlawan merespons banyak persoalan di negeri ini. Dari soal penegak hukum yang semakin tidak kebal korupsi, para pensiunan anggota DPR yang menerima gaji pensiun, bahkan yang berstatus koruptor sekalipun, hingga nasib para eks pejuang yang kurang mendapatkan perhatian pemerintah; tunjangan pensiun seadanya dan tempat tinggal dengan status rumah dinas yang sewaktu-waktu harus mereka tinggalkan.
Ayo kawan-kawan, di hari yang heroik ini, Hari Pahlawan, mari kita kembali suarakan perjuangan melawan korupsi, perlawanan terhadap ketidakadilan demi kesejahteraan rakyat! Bayangkan kawan-kawan, bagaimana mungkin para mantan anggota DPR itu menerima gaji pensiun padahal mereka tidak lebih dari lima-sepuluh tahun duduk di dewan, itu pun dengan kinerja seadanya, malas ikut rapat, jarang menemui konstituen mereka. Ironisnya, kawan-kawan, bahkan mantan anggota dewan yang tersangkut korupsi juga menerima uang pensiun! Kawan-kawan, inilah datanya, gaji pensiunan mantan anggota dewan yang mencapai empat hingga lima juta rupiah. Cobalah bandingkan dengan gaji pensiun para veteran kita yang hanya berkisar dua juta rupiah! Mana keadilan untuk para pejuang kita? Mana keadilan buat rakyat?”


Kecuali lelaki tua, tidak satu pun dari sepuluh penumpang lainnya yang menyimak orasi para demonstran. Semua asyik dan sibuk dengan aktivitas masing-masing; memainkan telepon selular, mengintip halaman media sosial, terkantuk-kantuk oleh buaian lantunan lagu pop terbaru yang agak melankolis dari tape angkot. Bahkan, tiga pelajar dari satu sekolah menengah atas sama sekali tidak mendengarkan apa pun kecuali musik-musik dari headset mereka.
Aksi demo memang bukan lagi hal baru bagi penumpang angkot itu dan juga bagi seluruh penduduk kota. Orasi pun telah menjadi pidato-pidato yang selalu terdengar sama. Hal itu karena hampir setiap muncul isu nasional, peringatan hari-hari nasional dan internasional selalu disambut dengan demo lokal. Tidak ada mengetahui persis kenapa di kota ini tiba-tiba mudah sekali menggelar demo, seperti mudahnya jamur-jamur bertumbuhan di musim hujan. Mulai dari demo dengan puluhan massa hingga yang hanya belasan massa tetapi dengan dampak yang sama, kemacetan parah.
Angkot di mana lelaki tua duduk di jok depan sudah akan melewati titik demonstrasi ketika para demonstran berinisiatif lain dengan memalang jalan. Memasang batu dan kayu besar pada satu-satunya lajur jalan yang bisa dilalui saat ini. Angkot yang ditumpangi kakek tua terhenti persis di depan batu-batu besar tersebut.
Kecuali lelaki tua itu, sepuluh penumpang lainnya, termasuk supir, hanya bisa menyembunyikan amarah dalam diam. Lalu mulai sibuk dengan telepon selular masing-masing. Membuka menu kontak dan ramailah angkot dengan suara para penumpang yang sedang menelepon. Ibu yang duduk paling belakang terdengar menghubungi guru di sekolah anaknya jika dirinya telat menjemput, sedangkan bapak setengah baya yang duduk di belakang jok supir terdengar meminta maaf pada istrinya tidak bisa mengantar ke dokter kandungan.
Demonstrasi makin memanas. Beberapa polisi yang semula hanya mengawasi di kejauhan mulai merapat ke titik demonstrasi. Mencoba melakukan negosiasi agar blokade jalan kembali dibuka. Tetapi harapan polisi seperti bertepuk sebelah tangan. Para demonstran malah lebih menguatkan barisan, saling bergandengan tangan, dan bernyanyi lagu-lagu perjuangan.
Bunyi klakson, teriakan supir-supir, alunan musik dari tape kendaraan, ditambah pekikan orasi yang lantang, semuanya tumpah ruah di jalanan, melayang-layang di udara bercampur asap hitam dari ban yang dibakar.
Tambahan satu satuan setingkat pleton dari Brimob baru saja tiba di lokasi demonstrasi. Sepertinya petugas kepolisian sudah mengantisipasi jika kondisi terburuk terjadi: bentrok dengan para demonstran. Derap suara sepatu laras yang membentur aspal seharusnya menggetarkan hati para demonstran. Tetapi ternyata tidak karena anak-anak muda itu telah lama menghimpun keberanian dalam dada mereka. Kini kedua kelompok sudah berhadap-hadapan.
Pintu angkot di mana lelaki tua duduk di jok depan terbuka. Lelaki tua itu turun dari mobil dan berjalan ke arah dua kelompok yang mulai terlibat aksi saling dorong. Bentrok polisi dan demonstran hanya akan memperparah situasi. Bentrok yang akan semakin merugikan masyarakat. Tidak berguna mempertontonkan keberanian masing-masing dengan cara seperti ini. Keberanian dan kepahlawanan dalam falsafah para pejuang adalah pengorbanan membela kebenaran. Dan kedua kelompok ini jika pada akhirnya bentrok maka keduanya hanya berani tetapi sama sekali tidak membela kebenaran sehingga tidak pantas dipredikati sebagai pahlawan.
Lelaki tua itu melangkah dengan kaki tegap, kaki yang masih kuat menopang tubuh ringkihnya. Ratusan pasang mata, dari supir, para penumpang hingga para wartawan berbagai media menunggu gerangan apa yang akan dilakukan lelaki tua itu. Sambil berjalan, dia membuka jaket hitamnya dan menghempaskan ke tanah. Lelaki tua itu, tanpa jaket hitamnya, ternyata mengenakan baju berwarna hijau yang di dadanya berbaris atribut-atribut. Dia merogoh peci dari kantong baju, peci berwarna kuning dengan logo bintang lima di sisi kiri, kemudian dikenakan di kepalanya. Ya, lelaki tua itu nampak gagah dalam seragam veteran pejuang.
Tidak ada yang mengetahui apa yang lelaki tua itu katakan kepada koordinator demonstrasi dan kepada pemegang komando lapangan dari pihak kepolisian. Tentu hanya mereka bertiga yang tahu. Yang jelas, setelah pembicaraan mereka bertiga, demonstran bersedia membuka blokade jalan dan para polisi bergerak mundur. Supir dan para penumpang senang karena kendaraan bisa lewat kembali.
Lelaki tua, para demonstran, dan bapak-bapak polisi telah menjadi pahlawan hari itu. Bukankah pahlawan berarti memberi manfaat bukan susah?  Bukankah pahlawan adalah 'phala-wan' (sansekerta); yakni orang yang pada dirinya menghasilkan buah (phala)?
Esoknya, tidak satu pun media yang memberitakan demonstrasi dengan banyak bumbu heroisme tersebut dari seorang lelaki tua; mungkin karena tidak berlangsung ricuh.
Melbourne, 10 November 2013

Wednesday, November 8, 2017

Perokok Berkurang di Zaman Now



Menyalin berita dari AlJazeraa, tembakau dianggap masih menjadi faktor utama penyebab penyakit-penyakit kronis selain kanker dan jantung. AlJazeera mengambil data badan kesehatan dunia WHO yang memperkirakan tembakau berkontribusi pada kematian penikmatnya (khususnya perokok) di seluruh di dunia sekitar 7 juta jiwa setiap tahunnya. Meski demikian, berkembang kabar baik bahwa jumlah perokok dalam 20 tahun terakhir berkurang signifikan.
Apa yang membuat jumlah perokok terus menurun? Sejumlah negara mulai memperketat kebijakan tembakau khususnya yang terkait produksi rokok. Kebijakan menaikkan pajak produk tembakau adalah satu cara yang dinilai paling efektif melawan kekuatan perusahaan tembakau. Selain itu, sejumlah negara juga sukses dalam upaya menelorkan kebijakan menaikkan harga rokok.

Australia adalah contoh negara yang berhasil menekan jumlah perokok dengan menetapkan harga rokok yang cukup tertinggi, bahkan tertinggi di dunia yakni $18 per pack (setara Rp180 ribu per bungkus). Berdasarkan daftar harga rokok negara-negara di dunia, Australia ($18 per pack) adalah yang paling mahal, menyusul Selandia Baru ($16.30), Islandia ($12.99), Norwegia ($12.00), dan Bermuda ($11.77). Sedangkan negara-negara dengan harga rokok termurah adalah Nigeria ($0.74 per pack), kemudian Ukraina ($0.99), Kazakhstan ($1.02), Vietnam ($1.06), dan Armenia ($1.14).


Laporan terkini dari Australian Institute of Health and Welfare (AIHW) tahun 2016 menyebutkan, dalam 20 tahun terakhir jumlah perokok di Australia menurun hingga 50 persen. Pihak AIHW membandingkan data perokok dua periode yang berjarak lebih dua dekade yakni 1989-1990 dan 2014-2015. Data perokok berusia 18 tahun ke atas pada periode 1989-1990 adalah 27.4 persen (laki-laki) dan 23.8 persen (perempuan) yang menurun pada periode 2014-2015 menjadi 17.0 persen (laki-laki) dan 12.4 persen (perempuan). 

Harga rokok yang tinggi, pajak tembakau yang dinaikkan, bungkus rokok yang dikemas dengan gambar-gambar seram terkait penyakit akibat merokok, serta pengaturan yang super ketat tempat-tempat di ruang publik yang membebaskan merokok adalah kebijakan-kebijakan penting yang dilakukan Australia.

Merokok di Australia memang harus lihat-lihat tempat. Tidak semua ruang publik boleh merokok. Di halte-halte tram, kereta, dan bis, misalnya, terpasang larangan merokok yang jika dilanggar akan menerima denda hingga $300 (Rp3 juta). Dari mana ketahuan? Jangan khawatir tidak ketahuan kalau melanggar aturan di Australia karena CCTV ada di mana-mana. Pun kalau sudah berada di area yang dibenarkan untuk merokok jangan sampai lengah membuang puntung rokok. Tempat sampah disediakan cukup lengkap di Australia dari sampah makanan, sampah daur ulang, hingga sampah puntung rokok. Jadi jangan buang sembarangan puntung rokok karena denda lumayan besar mengintai antara $75 hingga $200.
Berbagai kebijakan yang telah dilakukan Australia menempatkan negara terbesar di Pasifik tersebut juara dalam memerangi perokok. Angka perokok harian di Australia adalah yang terendah diantara negara-negara OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development). Data statistik kesehatan OECD pada tahun 2014, perokok berusia 15 tahun ke atas di Australia hanya 13.0 persen. Bandingkan dengan Inggris (UK) yang besarnya 19.0 persen, di Kanada 14.0 persen, dan 12.9 persen di Amerika Serikat.

picture Daily Mirror

Tuesday, November 7, 2017

Ketika Putaran Bumi di Australia "Terhenti"



Event apa yang membuat putaran bumi di Australia, terutama di Melbourne, seolah-olah sejenak “terhenti”?

Jawabannya bukan Australia Open, Formula One, MotoGP, Grand Final Australia Football League (AFL), dan bahkan, bukan Federal Election untuk menentukan perdana menteri. Event tersebut tidak lain Melbourne Cup Day yang juga terkenal sebagai ajang pacuan kuda tahunan terbesar yang digelar setiap Selasa pertama di bulan November.

Ya, hari ini Selasa (7/11) event tersebut tengah berlangsung dan baru saja menyelesaikan puncak pacuan pukul 3.20 siang waktu Melbourne yang dimenangkan kuda ‘Rekindling’ yang di-joki-i oleh Corey Brown. Sebagai pemenang, Rekindling berhak atas hadiah Rp3,6 miliar dari total hadiah Rp6,2 miliar.

Mengapa event ini menjadikan bumi di Australia sejenak “terhenti”? Tidak saja karena event pacuan kuda ini sejak dahulu dijuluki “the race that stops the nation”, tetapi juga karena antusiasme orang-orang untuk datang di arena pacuan Flemington Racecourse begitu tinggi. Rata-rata setiap tahun jumlah penonton yang datang langsung kurang lebih 100 ribu orang dan yang menyaksikan melalui TV, memantau melalui internet, mendengarkan dari radio baik di Australia maupun di sejumlah negara mencapai 650-700 ribu orang. Pusat pertokoan tutup. Dan menjelang puncak lomba pukul 3 siang jalan-jalan mendadak sangat sepi karena bagi mereka yang tidak sempat datang ke Flemington, mereka berkumpul di kafe-kafe atau berdiam di rumah masing-masing menyaksikan lomba dari layar TV.


Tetapi tidak semua orang di Australia menyambut senang dan gembira dengan Melbourne Cup Day yang sekarang menjadi public holiday untuk negara bagian Victoria dan di wilayah Australia Capital Territory (ACT). Saya memilih beberapa orang secara random untuk memintai tanggapan mereka seputar Melbourne Cup Day.

Giuseppe, migran asal Italia yang telah menetap di Australia kurang lebih 51 tahun, mengatakan tidak setuju dengan Melbourne Cup Day karena menjadi ajang untuk berjudi. Orang-orang membuang-buang uang untuk sesuatu yang sama sekali tidak lebih penting ketimbang membelikan makanan buat keluarga mereka. Senada dengan Giuseppe, Alejandra yang baru datang dari Chili beberapa bulan lalu juga tidak sepakat. Menurutnya, total hadiah $6,2 juta (sama dengan Rp62 miliar jika kurs Rp10.000 untuk $1) terlalu besar untuk ajang pacuan kuda sementara di belahan dunia lain begitu banyak orang-orang yang tidak punya uang untuk membeli makanan.

Tetapi Jian mempunyai pendapat lain. Jian yang telah menetap di Australia selama 21 tahun mengatakan, dari sisi ekonomi Melbourne Cup Day bagus karena menggerakkan aspek-aspek ekonomi. Orang-orang dari berbagai kota di Australia, bahkan dari berbagai negara, akan berkunjung ke Melbourne. Mereka datang bukan hanya untuk menonton tetapi juga berbelanja.

Seorang staf pengajar di lembaga NGO, menjelaskan lebih detail alasan orang-orang yang tidak begitu senang pada Melbourne Cup Day. Menurutnya, hal paling mendasar adalah karena perlakuan terhadap kuda termasuk kejam. Sejak kecil kuda-kuda itu terbatas ruang geraknya dalam kegiatan latihan saja, kadang kuda-kudatersebut diberikan makanan penamah energi yang tidak normal bagi binatang, dan dalam arena pacuan kuda-kuda sangat mungkin jatuh dan cidera. Ironisnya, setelah kuda-kuda tersebut dianggap tidak bisa maksimal lagi untuk ikut ajang pacuan kuda atau cidera, maka nasibnya berakhir di tempat-tempat pemotongan hewan.

Kenapa nasib kuda-kuda eks-pacuan umumnya berakhirnya di rumah pemotongan hewan? Pertama, karena kuda eks-pacuan mengalami cidera yang mustahil bisa kembali normal. Hanya sekitar 2 persen dari kuda-kuda itu bisa kembali normal. Kedua, kuda eks-pacuan tidak memilki keahlian lain selain di lintasan pacu karena sejak kecil memang dilatih untuk itu. Akibatnya, setelah pensiun dari lintasan kuda tidak dapat digunakan untuk tugas yang lain. Ibaratnya orang yang sejak kecil dilatih/fokus untuk satu kegiatan, nah, tentu saja orang tersebut hanya bisa mengerjakan yang diajarkan kepadanya saja.


Kelompok yang tidak setuju gelaran Melbourne Cup Day telah memulai aksi protes mereka satu-dua hari menjelang hari-H. Kemarin, Senin (6/11), sejumlah orang berkumpul untuk mengampayekan anti-pacuan kuda di jalan yang juga nantinya menjadi tempat para pendukung pacuan berparade. Dan hari ini, Selasa (7/11), ketika orang-orang berbondong-bondong ke Flemington untuk berlibur sambil menikmati acara pacuan kuda, kelompok yang anti-pacuan kuda juga bergerak ke Flemington untuk berlibur dengan acara yang berbeda: menentang bentuk-bentuk kekejaman terhadap binatang.

Sejarah Melbourne Cup Day


Melbourne Cup Day untuk tahun ini (2017) adalah pacuan yang ke-156 sejak pertama kali digelar pada tahun 1861. Selain hadiah uang yang fantastis pada ajang dengan jarak yang ditempuh 3,200 meter ini , hal lain yang membuat event ini menjadi gemerlap karena berangkai dengan ajang lain yakni Melbourne Cup Carnival. Sebenarnya Melbourne Cup Carnival ini bukan ajang tersendiri tetapi yang melengkapi Melbourne Cup Day. Para penonton yang datang, terutama perempuan, menggunakan pakaian dan topi terbaik mereka untuk turut dalam acara parade.

Ya, boleh dibilang Melbourne Cup Day tidak sekedar lomba pacuan kuda tetapi ajang fashion terbesar. Data 2012 lalu, ajang “fashion” ini menampilkan kurang lebih 46,461 jenis topi, 29,990 tas jinjing, serta 57,334 pasang sepatu.

Meski Melbourne Cup Day sebagai pacuan kuda terbesar diselenggarakan di Melbourne, tidak berarti lomba pacuan kuda hanya diselenggarakan di Melbourne. Pada hari itu, di beberapa kota besar hingga kota-kota kecil lainnya di seluruh Australia juga menggelar lomba yang sama sebagai rangkaian dari Melbourne Cup Day di level lokal.
 Brunswick, 7 November 2017