Saturday, August 17, 2019

Berlarilah...Berlarilah...Seperti Sitti Hajar




Sepagi ini sepasang suami-istri itu sudah mendiskusikan satu agenda penting. Agenda Idul Adha yang seminggu lagi menjelang. Tentang keinginan tetap ikut berpartisipasi menyembelih hewan kurban seperti tahun-tahun sebelumnya.  Hanya saja, tahun ini rencana berkurban tepat ketika keuangan lagi pas-pasan.

***
Baru pindah di kota Melbourne tiga bulan lalu memang terasa berat dalam hal pengaturan keuangan. Membayar uang muka sewa rumah, membayar asuransi keluarga, membeli perabot rumah tangga, dari perabot yang berat-berat  (harga tentu saja berat) seperti spring-bed, kulkas, meja, kursi, mesin cuci hingga perabot yang ringan-ringan (tetapi harganya tetap jadi berat karena banyak) seperti piring, gelas, sendok, microwave, dan lainnya. Terakhir, membayar imunisasi anak.

Apalagi Melbourne adalah satu dari dua kota di Australia dengan biaya hidup mahal. Tentang hal tersebut, sepasang suami-istri ini sudah punya gambaran. Sebelum menjatuhkan pilihan untuk menetap dan bermukim sementara di Melbourne, mereka sudah menggali informasi tentang biaya hidup di kota yang terkenal dengan keberagaman penduduk dan budayanya tersebut. Belum lagi dengan membawa tiga orang anak.

Tetapi pembayaran dan biaya-biaya tersebut masih bisa disiasati dengan manajemen pengeluaran yang baik. Misalnya, belanja bukan berdasarkan faktor keinginan melainkan kebutuhan. Artinya, ya belanja untuk kebutuhan hidup sehari-hari saja. Bahasa orang ekonominya: menunda kebutuhan sekunder karena kebutuhan primer lebih utama hehehe.

Di saat kebijakan pengetatan pengeluaran berjalan, tiba-tiba ada kabar buruk lainnya. Uang stipend si istri yang bersumber dari sponsor pemberi beasiswa harus dipotong. Kenapa? Setelah ditanyakan ternyata si istri dianggap melanggar aturan. Mengambil jedah waktu meninggalkan Australia selama seminggu. Padahal berdasarkan peraturan tidak boleh meninggalkan Australia di luar jatah liburan yang telah ditetapkan satu bulan dalam satu tahun. Si Istri tidak tahu aturan tersebut karena memang baru diberlakukan. Dan, ketidaktahuan tersebut tidak berpengaruh sebagai alasan, pemotongan uang stipend yang lumayan besar tetap berjalan.

 Sebelumnya kami ingin menjelaskan dahulu bahwa rencana awal pemotongan hanya satu kali tetapi langsung yang dipotong totalnya. Kami tentu saja berpikir keras kalau pemotongan langsung totalnya maka bulan depan uang belanja hanya cukup untuk dua minggu, plus (nah ini yang lebih seram) tidak bisa membayar sewa rumah dan tagihan bulanan lainnya --air, listrik, dan internet. Setelah bernegosiasi akhirnya mendapatkan kebijakan (sekaligus kebajikan buat kelaurga kami), pemotongan berlangsung bertahap.

Nah, masa-masa menjalani pemotongan dalam tiga bulan ini (September-November) menjadi masa hidup yang paling seru. Meski tidak sampai mengencangkan ikat pinggang, namun yang pasti sekuat mungkin menelan air liur. Sepintar-pintarnya bisa memberi jawaban yang tepat dan nge-pas bila bocah-bocah kami merengek dibelakang ini-itu. Belanja ikan nyaris tidak pernah. Daging sesekali. Telur jadi langganan. Bungkus mie instant memenuhi tempat sampah dapur.

Selama masa pemotongan berlangsung, setengah dari biaya hidup terbantu dari gaji yang masih berjalan di Indonesia. Meski gaji tidak besar tetapi menyelamatkan kami. Tentu tidak lepas dari kisah-kisah menarik tentang gaji dari Indonesia ini ‘berjuang’ menyelamatkan kami. Ya, saya katakan gaji dari Indonesia juga ‘berjuang’ karena harus melawan gap kurs antara Rupiah dan Dollar Australia yang semakin tajam.  Kurs saat ini di kisaran Rp10.000-an untuk $1 Australia. Jadi sangat terasa gaji di Indonesia yang sudah kecil menjadi semakin kecil setelah dikonversi ke Dollar Australia.

Misalnya,  untuk potong rambut  dengan $13 Australia atau sama dengan Rp130.000. Wah Rp130.000 kalau di Indonesia sudah bisa beli macam-macam, di Australia cuma untuk potong rambut hehehe (jadi ingat sama langganan cukur saya di Makassar yang hanya Rp12.000+plus pijat-pijat kepala dan leher pakai balpirik).

Tetapi serunya hidup seperti tidak kunjung berhenti. Satu dari (hanya) dua laptop di rumah kami tiba-tiba rusak. Wah, bagaimana ini? Padahal si istri sedang dikejar laporan tugas-tugas kuliah. Bocah-bocah butuh menggunakan laptop buat nge-games. Lalu si suamii pun harus menyelesaikan beberapa artikel. Yaaa...kejadian deh saling rebutan menggunakan laptop. Tetapi pemenangnya selamanya para bocah-bocah itu hehe....
***
Sepagi ini sepasang suami-istri membicarakan lagi kesungguhan untuk ikut mempersembahkan kecintaan melalui berkurban.  Keputusan untuk kembali berkurban tahun ini ditetapkan: jalan terus! Uangnya dari mana? Pertama, dari anggaran sejumlah kebutuhan yang dipangkas (lagi); dan kedua, dari dana yang sedianya ditabung buat tambah-tambah beli laptop. “Semoga ada berkah dari berkurban ini,” ujar sepasang suami-istri tersebut kompak.

Pengurbanan dan kesabaran tidak mungkin ditandingkan dengan pengurbanan dan kesabaran Sitti Hajar dalam menempuh berbagai kesulitan hidup. Hajar adalah istri kedua Nabi Ibrahim As yang kemudian melahirkan Nabi Ismail As dan kelak menurunkan Nabi Muhammad Saw. Selain Ibrahim dan Ismail, Hajar adalah simbol dari kerelaan berkurban untuk membuktikan kecintaan kepada Allah SWT.

Bagaimana bentuk pengurbanan dan kesabaran Hajar? Setelah menempuh perjalanan panjang selama enam bulan dengan menunggang unta, sampailah Hajar, Ismail dan Ibrahim di suatu lembah gersang yang sekarang dikenal sebagai Mekah. Lembah yang tidak berpenduduk, tidak ada tanaman, tidak ada sumber air (sungai/sumur), hanya ada gunung batu dan padang pasir. Rupanya Ibrahim hanya mengantarkan Hajar ke lembah tersebut karena setelahnya Ibrahim pamit atas perintah Allah SWT. Tinggallah Hajar dan si kecil Ismail.

Ketangguhan Hajar pada pengurbanan dan kesabaran sudah teruji. Bahkan ketika persediaan air mereka telah habis, Hajar kemudian memutuskan berlari antara Bukit Safa dan Marwah untuk mencari air. Jarak keduanya sekitar 450 meter. Hajar tidak menemukan air hingga atas izin Allah SWT  air justru keluar dari  bekas kaki Ismail di tanah setelah Ismail yang menangis memukulkan kakinya di tanah.

“Dan sesungguhnya, Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl : 96).
Brunswick, 20 Oktober 2013


Monday, April 29, 2019

29 April (4): Biarlah Ruang Rindu Itu




Senin, 29 April 2019. Awan tebal masih menggantung di sebagian langit Makassar. Sisa-sisa air yang membonceng di awan tersebut mungkin belum seluruhnya jatuh saat hujan deras semalam. Bahkan rintik-rintik hingga subuh tidak serta merta menurunkan seluruhnya. Maka boleh jadi sore ini atau di malam hari hujan kembali merangkul kota ini. Hujan yang airnya akan mengalirkan kenangan hingga jauh ke muara hati.

Beberapa hari yang lalu aku tancapkan bunga di atas ubun-ubunmu. Bunga dengan daun berwarna merah cerah. Meski belum pernah aku tengok lagi sejak aku tanam tiga belas hari yang lalu, bunga itu akan tumbuh subur. Selain karena hujan masih datang sesekali  menyiram bunga itu, ada embun di pucuk bunga yang meresap ke dalam batang. Air embun bergerak masuk melalui pori-pori batang hingga sampai ke akar. Tetesan air bening dari akar jatuh tepat di dadamu. Itulah perantara rindu kita.

Aku tahu selain bunga berdaun merah itu ada banyak hiburan di sekelilingmu. Dari gesekan batang-batang bambu yang melahirkan musik alam, angin yang berdesir, hingga getaran lembut daun-daun bambu kering yang melayang jatuh. Tetapi aku selalu menggengam khawatir yang berlebihan. Aku menganggapmu kesepian di sana. Ternyata, dirikulah yang memeluk sunyi.

Senin, 29 April 2019. Sinar matahari timbul tenggelam. Awan tebal di sana-sini menghalangi sinar matahari konsisten tetap terang. Beruntunglah ada tiupan angin yang sesekali menggerakkan awan menjauh dari  hadapan matahari. Apakah ini semacam siasat dari ketiganya supaya hari ini cuaca Makassar menjadi lebih adem dan sejuk?

Pada sejuk ada harapan ketenangan. Keinginan yang menyala-nyala dapat diredupkan. Kekhawatiran  meluap-luap tetap tertampung. Kesunyian yang menyergap dapat diretas. Bagaimana dengan kerinduan? Biarkanlah sejuk membebaskan rasa rindu sekehendaknya menemuimu dalam diam, Nak….

Makassar, 29 April 2019