Friday, January 1, 2016

Mengapa 2015 adalah Tahun Terhebat Saya?




Langit sore Brunswick di ujung 2015 (Ahmad Syam)

Pukul 22 lewat beberapa menit. Sekira dua jam lagi pergantian waktu. Perbincangan riang dan tawa lepas muda-mudi terdengar ramai dari halaman belakang tetangga sebelah rumah. Suara mereka berbaur dengan musik berirama cha cha yang mengalun semenjak sore tadi. Suhu udara yang mulai menurun dari titik 39 ke 28 derajat celcius tentu membuat semakin nyaman melepas 2015 dan menyambut 2016.

Seperti kopi dalam cangkir saya yang hanya cukup sekali sruput, kalender 2015 yang selama setahun menggantung di dinding kini berada di ujung masa. Meski demikian, lembaran-lembarannya seperti akan terekam kuat di pikiran saya. Lembaran-lembarannya akan terkenang abadi dalam ingatan saya. Demikianlah, sehingga saya menyebut 2015 adalah tahun terhebat dalam kehidupan saya.

Kisahnya mulai persis di lembaran pembuka, Januari. Dua perpisahan yang tidak sempat saya saksikan. Paman saya di Makassar meninggal karena sakit  dan bapak mertua saya di Salatiga juga berpulang dua minggu kemudian. Saya seperti terpenjara duka tanpa bisa melepaskan diri karena batasan ruang  dan batasan-batasan lainnya.

Rupanya dua perpisahan di atas adalah intro untuk  skenario perpisahan yang paling dahsyat buat saya. Pada lembaran keempat, April, anak lelaki saya yang ikut ibunya ke Makassar dikabarkan tiada. Kabar yang menyentak saya di sela-sela persiapan menjemputnya kembali ke Melbourne seminggu ke depan. Meski saya masih sempat melepas dia ke rumah terakhirnya, namun saya tidak menyaksikannya pergi.

Kepergian anak lelaki itu membawa hampir separuh harapan hidup saya. Banyak rencana-rencana menjadi buyar. Banyak air menggantung di kelopak mata saya yang bisa jatuh kapan saja. Jika pun tubuh saya berada di keramaian, pikiran saya bersemayam di bawah rindang pohon asam tempat dia tertidur pulas.

Sudah cukupkah perpisahan-perpisahan itu? Lembaran-lembaran berikutnya telah menentukannya. Dua orang bibi dan seorang kakak juga meninggal tanpa saya saksikan. Ketiga dari mereka memang sempat saya temui ketika pulang seminggu ke Makassar, tetapi sekembali ke Melbourne kabar duka silih berganti mengabarkan ketiganya berpulang.

Pelangi melayang di Brunswick (Ahmad Syam)

Apa kuasa saya atas peristiwa-peristiwa perpisahan di atas? Saya tidak memiliki daulat apa pun. Namun satu hal, saya belajar lebih banyak tentang keikhlasan dan kesabaran. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah bacaan  best seller yang saya temukan dalam toko buku kehidupan. Bahwa, hanya Dia yang paling berdaulat dalam semesta ini, hanya Tuhan. Demikianlah, sehingga saya menyebut 2015 adalah tahun terhebat dalam kehidupan saya.
Brunswick, pukul 24 lewat dari 15 menit pertama di 2016




No comments: