Wednesday, June 24, 2015

Jika Nobar Bola di Kelas...

sumber: www.tempo.co

Amira, si sulung yang kini duduk di kelas IV, bercerita satu kegiatan di kelasnya sepekan yang lalu. Katanya, guru pendamping mengajak siswa-siswi menonton siaran langsung sepakbola di dalam kelas. Menonton ajang sepakbola putaran final Women World Cup 2015 yang saat ini dihelat di Kanada. Satu alasan utama nonton bareng (nobar) tersebut adalah memberikan dukungan kepada Matildas, sebutan tim sepakbola wanita Australia, yang saat itu tengah bermain di fase grup.
Di dalam kelas yang telah dilengkapi tv berukuran besar, sekira 32 inchi,  siswa-siswi larut dalam kegembiraan layaknya menonton sepakbola di rumah masing-masing. Ada sorak yang bergema sebagaimana menonton langsung di stadion. Tidak semua siswa-siswi bergabung dalam keriuhan bola, sebagian memilih aktivitas lainnya seperti membaca buku.

Cerita Amira tentang aktivitas di kelasnya di atas adalah cerita baru buat saya. Seumur-umur saya belum pernah merasakan nobar bola di kelas. Guru pula yang mengajak! Saya hanya mengingat tahun-tahun medio 1980-an ketika Mike Tyson sedang galak-galaknya. Si Leher Beton yang dinanti para penggemar tinju setiap naik ring memunculkan banyak kisah menarik. Satu diantaranya adalah pengalaman saya dan teman-teman sekelas.
Kebetulan jam tayang langsung laga Mike Tyson sekitar pukul 9 atau 10 pagi di hari sekolah. Alhasil, pada jam-jam tersebut hampir setengah dari isi kelas menghilang. Mereka menyelinap di rumah-rumah terdekat dari sekolah menunggui si Badak menyeruduk lawannya dalam hitungan 1-2 ronde. Begitu terus yang berulang setiap Tyson naik ring pada jam sekolah. Kenapa masyarakat, dari dewasa hingga anak-anak, begitu menggilai tinju dan, tentu saja, Tyson? Kemungkinan karena pada saat yang sama petinju andalan Indonesia, Ellyas Pical, juga sedang galak-galaknya.

sumber: smpn175jakarta.sch.id
 

Kembali ke kelas Amira dan masih soal sepakbola. Pada perhelatan sepakbola terakbar sejagad, World Cup 2014, di Brazil, Amira dan kawan-kawannya berpartisipasi dalam lingkup kelas. Guru mereka membagi para siswa-siswi berdasarkan negara peserta. Ada yang mendapat Perancis, Argentina, Brazil, Inggris, Italia, Australia, dan Jepang. Pokoknya mereka semua menjadi pendukung jarak jauh negara-negara tersebut. Amira sendiri mendapatkan Jerman.
 
Awalnya saya menduga dijadikannya ajang World Cup 2014 sebagai satu bagian dalam aktivitas belajar mengajar di kelas karena negara Australia ikut bertanding. Tetapi, ternyata, ada tujuan lain yang tersamarkan. Apa itu? Siswa-siswi, terutama siswi, mulai mengenali olahraga yang mulanya lebih popular untuk kalangan laki-laki. Yaa….pengenalan hal-hal remeh misalnya jumlah pemain setiap tim yang bermain, keberadaan wasit, dan nilai skor.

Di luar dari manfaat pengenalan sepakbola, siswa-siswi secara tidak langsung belajar geografi. Sesampai di rumah Amira mulai bertanya, negara Brazil, sang tuan rumah, itu di mana? Mulailah dia mencari informasi di internet tentang negara Brazil dari letak benua hingga ibukota dari negara penghasil pemain-pemain bola dunia itu.
Oleh guru mereka, siswa-siswi diberikan tugas untuk mencari bendera masing-masing negara yang didukungnya.  Mereka yang mendapatkan negara Meksiko menggambar bendera Meksiko, yang Belgia menggambar bendera Jepang, dan seterusnya. Meski hanya ditugasi oleh guru mencari informasi dan menggambar bendera negara yang mereka dukung, para siswa-siswi juga secara tidak langsung mencari informasi lainnya dari negara-negara tersebut.
 
Amira, misalnya, tidak hanya berkutat pada hitam-merah-kuning (warna bendera Jerman) tetapi juga mencari informasi lainnya tentang Jerman. Ibukota Jerman, jumlah penduduknya, bahasa yang digunakannya, hingga data demografi lainnya seperti agama-agama yang dianut oleh masyarakat Jerman.
 
Tidak puas dengan hanya menggali negara Jerman, Amira juga sangat antusias mencari tahu ke-31 negara lainnya peserta putaran final World Cup 2014 tersebut (saya duga kawan-kawannya sekelasnya pun demikian tidak berhenti hanya menggali informasi tentang negara dukungan mereka). Dia juga mendapatkan informasi tambahan beberapa negara yang penamaannya agak berbeda jika menggunakan Bahasa Indonesia. Misalnya beberapa negara yang dalam versi Bahasa Inggris berbeda jauh ketika menyebutnya dalam Bahasa Indonesia. Misalnya Pantai Gading yang ternyata Ivory Coast, Belanda adalah Netherlands, Yunani ternyata Greece, dan Amerika Serikat itu USA.

Bagi saya, yang terpikir kemudian adalah begitu menyenangkannya belajar banyak hal dengan cara yang menyenangkan pula. Dari nobar sepakbola di kelas yang dikemas sebagai bagian belajar-mengajar beragam informasi bisa dihantarkan kepada siswa-siswi.
Semoga kelak dalam kelas di sekolah-sekolah kita di Indonesia juga dapat mengagendakan nobar bulutangkis misalnya. Siswa-siswi diajak menyaksikan para pebulutangkis Indonesia berlaga di Badminton World Cup, All England, Thomas dan Uber Cup, Piala Sudirman, atau pun diajang-ajang regional seperti Sea Games dan Asian Games.
 
Brunswick, 24 Juni 2015

Monday, June 15, 2015

Enam Tahun Cahaya Bulan di Rumah Kami

Senin, 15 Juni 2015 --Ayla sebelum berangkat sekolah
Ada cahaya bulan yang terus menerangi rumah kami sejak enam tahun lalu. Cahaya bulan yang semakin hari, minggu, bulan, dan tahun semakin membesar. Seiring waktu cahayanya pun semakin terang. Di bawah sinar bulan itu kami serumah bermain bersama, bercandaan, dan saling berdekapan.
Cahaya bulan yang jatuh di rumah kami dari bulan yang bundar sempurna. Dari bulan yang dilingkari halo yang sangat indah. Saking indahnya sehingga kami serumah tidak pernah bosan memandanginya. Dari bulan yang tidak pernah terhalang oleh mendung sehingga sinarnya tidak terputus.

Gelimang cahaya di rumah kami tidak pernah berkurang dan terputus karena dari bulan yang tidak mengenal fase-fase: bulan mati-bulan sabit-bulan separuh-bulan cembung. Rumah kami selamanya seperti dipenuhi cahaya dari bulan penuh.
Pantai Akkarena, Makassar, 2012
15 Juni 2009 ada satu kuncup cahaya dalam genggaman kami. Seperti kuncup bunga, kuncup cahaya itu pun kami rawat dan jaga dengan sepenuh hati. Sekuntum cahaya itu kami beri nama AYLA yang artinya moonlight atau cahaya bulan. Ayla adalah anak kami yang kedua. Lahir pada Senin malam saat langit dipenuhi cahaya bulan. Bayi perempuan cantik berkulit putih tersebut terlahir dengan panjang 48 sentimeter dan berat 2,9 kilogram.
Ayla tumbuh normal. Di usia 0-1 tahun kadang menggigit dan mengunyah kertas dari majalah, koran, atau buku-buku yang didapatnya. Menginjak usia 11 bulan Ayla mulai belajar berjalan. Pada satu kesempatan liburan lebaran di rumah mbah Kun di Salatiga, Ayla akhirnya berhasil berjalan sendiri. Dua pekan di rumah mbah, satu pekan terakhir dimanfaatkannya untuk belajar berjalan dan berhasil.
Usia 1-2 tahun Ayla mulai mengelilingi rumah sendiri. Namun dari banyak tempat favoritnya, ada dua tempat yang paling sering dikunjunginya. Pertama, pintu samping rumah yang temboknya agak keropos sehingga dia leluasa menyalurkan hobinya mengeruk-ngeruk dan membuat lubang. Kedua, pot bunga di teras adalah destinasi Ayla satunya lagi untuk hobi lainnya yakni mengeruk-ngeruk tanah dalam pot. Maka, jika tidak melihat Ayla berada di sekeliling kami berarti dia sedang berada di salah satu dari dua tempatnya favoritnya tersebut.
Rambut Ayla termasuk kelompok rambut tipis hingga usia 2-3 tahun. Sekali waktu, begitu tipis rambut itu sehingga terlihat ada kutu rambut terlihat sangat jelas tengah berjalan-jalan di kepalanya. Pada usia ini pula Ayla menampakan pribadi yang terbuka, kepercayaan diri yang tinggi, dan senang bergaul atau bertemu banyak orang. Selalu, pada setiap pagi, dia memilih berdiri di depan pintu pagar untuk melihat dan menyapa anak-anak TK yang berangkat sekolah.
Pada pertumbuhan selanjutnya banyak kemampuan Ayla yang berkembang pesat. Terutama, dan ini spesial, adalah kemampuan bicara dan kosa kata. Kemampuan berbicara ini untuk mengganti istilah lain yakni cerewet. Sejak usia 3 tahun Ayla sangat rajin bicara, apa saja yang dilihatnya dikomentari atau ditanyakan. Saya menggelarinya sebagai radio yang tidak pernah berhenti siaran. Dia juga kadang membuat lagu sendiri yang bagi kami kosa katanya sudah sangat bagus.
Suara dan kata-kata yang keluar dari mulut Ayla sepanjang hari adalah irama dalam rumah kami. Ayla sanggup menyulap rumah kami seperti panggung orchestra di mana dia bermain dalam banyak peran: sebagai dirigen atau konduktor, yang menggesek biola, yang menekan-nekan akordian, atau pun yang memetik harpa. Suara dan kata-kata dari mulut Ayla adalah keriangan yang tidak ternilai di rumah kami.
Ayla sedang selfi
Ayla si cahaya bulan adalah penghantar cahaya di rumah kami. Ayla si cerewet adalah penghantar suara di rumah kami. Ayla membawa gelombang cahaya dan bunyi di rumah kami. Dua gelombang yang sama-sama menghantar energi.
Meski di usiamu yang kini 6 tahun Ayla baru sebatas cahaya bulan di rumah kita, semoga kelak seiring pertambahan usiamu nak,  Ayla menjadi cahaya kehidupan sekelilingmu, masyarakatmu, dan sesamamu. Pun semoga kelak Ayla akan menjadi penghantar energi kegembiraan dan perbaikan kehidupan banyak orang. Inilah kado untukmu Ayla, kado sederhana yang saya akhiri dengan mata berkaca-kaca….
Brunswick, 15 Juni 2015
Note:
Ayla, which can also be written as Aylah, Aila, Ailah, pronounced (A)rdent + pra(Y) + (LU)sh, is an Arabic word that refers to a city in southern Jordan. The city was founded by the Rashid Khalifa Uthman ibn Affan, may Allah be pleased with him. It doesn't come from a Quranic root and it doesn't seem to have any meaning other than this city, since the meaning is not bad, you can use this as a name for a girl.
Ayla is also a Turkish/Farsi name that means halo around the moon, and more generally it means moonlight. This name doesn't come from Islamic sources, but since the meaning is good Muslims can use it. (www.quranicnames.com)


Wednesday, June 10, 2015

Bocor...Bocor...di Australia pun Bocor

sumber: universalrover.wordpress.com
 
Tiga pria dan satu wanita naik ke tram di satu halte. Dari seragam mereka, kemeja putih bergaris hitam dipadu celana/rok hitam, bisa dikenali jika mereka adalah para petugas yarra trams yakni petugas yang mengurusi operasional tram. Seragam lengkapnya selain kemeja putih bergaris-garis hitam adalah rompi dengan tulisan yarra trams di punggungnya. Memang tidak selamanya dengan rompi yang memberi kesan sebagai petugas lapangan, kadang mereka juga menggunakan jas hitam dan bertopi. Namun dari banyak identitas fisik, kartu identitas diri yang tergantung di leher mereka adalah bukti paling otentik bahwa mereka adalah petugas berwenang.
Keempat petugas berseragam yarra trams tersebut bergegas menaiki tram. Tram memang tidak akan berhenti lama bila tidak banyak penumpang yang turun maupun naik. Pintu tram akan segera menutup begitu aktivitas menurunkan dan menaikkan penumpang selesai.
Belum juga para petugas itu mendapatkan posisi berdiri yang mantap, mereka masih berdiri persis di depan pintu, tiba-tiba seorang penumpang yang duduk di belakang saya terburu-buru hendak turun. Seorang wanita muda yang memegang coklat stik menekan tombol stop. Sepintas, dia terkesan terlambat menyadari kalau harus turun. Tetapi tidak demikian kesan yang ditangkap keempat petugas yarra trams. Para petugas tersebut, kemungkinan karena sudah biasa membaca perilaku penumpang yang coba-coba menghindar dari pemeriksaan, tidak tinggal diam. Mereka ikut turun mengikuti wanita muda itu. Dan….
Berjarak lima halte dari halte sebelumnya seorang pria paruh baya yang baru saja menaiki tram mengambil posisi berdiri di dekat tempat duduk saya. Ramah dia menyapa saya, apa kabar hari ini? Dia berkaos kerah dengan jeans biru tua. Tidak beda dengan pakaian para penumpang lainnya. Saya tidak menyangka dia petugas yarra trams sebelum dia mengeluarkan kartu identitas diri dari saku bajunya dan memina kartu myki saya (kartu myki adalah kartu isi ulang yang digunakan ketika berkendara transportasi publik di Melbourne, isi saldo myki minimal 7 dollar yang bisa digunakan seharian). Lelaki paruh baya itu berdua dengan seorang petugas lainnya, seorang wanita. Setelah memeriksa myki saya, keduanya lalu menyisir penumpang-penumpang lainnya dalam tram bergerbong tiga tersebut.
sumber: heraldsun.com.au
 
Seorang penumpang dua kursi di depan saya menunjukkan sikap agak jengkel ketika dimintai kartu myki-nya. Saya tidak tahu apa yang membuatnya jengkel namun para petugas tetap  memeriksa kartu myki-nya. Sebenarnya para petugas yarra trams tentu hanya menjalankan tugas mereka, hanya saja para penumpang boleh saja menyatakan protesnya atas proses pemeriksaan tersebut. Penumpang yang protes biasanya karena terganggu dengan kegiatan pemeriksaan. Boleh jadi si penumpang yang terganggu sehingga protes karena dalam sehari sudah mengalami berkali-kali pemeriksaan. Setiap ganti tram bertemu lagi dan lagi dan lagi dengan petugas….
 
Sembilan bulan terakhir yarra trams memang sibuk melakukan sidak penumpang. Program berlabel on the spot penalty fares untuk menyisir para penumpang “gelap”; penumpang yang coba-coba berkendara secara gratisan atau pun yang sengaja membayar di bawah tarif. Tahap pertama tentu saja merekrut kurang lebih 70 orang petugas baru. Petugas-petugas inilah yang naik-turun di tram-tram, khususnya di jalur gemuk, untuk mengecek kartu myki penumpang. Mereka bekerja dari pagi buta hingga malam hari. Mungkin tidak setiap waktu ada petugas membonceng di sebuah tram, tetapi kehadiran mereka bisa tidak terduga. Mungkin para penumpang tidak disidak di atas tram, tetapi kadang tidak terduga begitu penumpang turun dari tram para petugas itu telah siap mencegatnya.
Program on the spot penalty fares dibuat setelah pihak yarra trams mendapati terdapat kebocoran pemasukan sebesar 60 juta dollar Australia per tahun. Kerugian sebesar itu ditengarai karena terdapat 1 dari 10 penumpang tidak memiliki myki yang valid dan penumpang menggunakan myki bersubsidi yang tidak semestinya (myki bersubsidi hanya diperuntukkan bagi para senior, sebutan para lanjut usia, dan pelajar). Berdasarkan taksiran pihak yarra trams, kebocoran 60 juta dollars Australia setiap tahunnya jika dimaksimalkan setara dengan pembelian terbaru 10 tram atau 12 kereta api atau pun juga 150 bis.
Secara umum on the spot penalty fares bukan hanya bagi penumpang tram tetapi juga penumpang kereta dan bis. Public Transport Victoria (PTV), semacam dinas perhubungan, menyidak para penumpang di semua jenis moda transportasi publik tersebut. Mei tahun lalu pihak PTV menemukan data bahwa besaran penumpang “gelap” hampir sama baik di tram (8.8%), di bis (12.7%), maupun di kereta (6.3%).
sumber: theage.com.au
 
Bagaimana on the spot penalty fares dijalankan? Petugas dari PTV yang dibekali atribut dan kartu identitas resmi akan memberikan denda langsung kepada para penumpang “gelap”. Denda langsung di tempat sebesar 75 dollar Australia yang hanya boleh dilakukan melalui transaksi mesin kartu, tidak menerima uang dalam bentuk tunai. Jika tidak mampu membayar denda di tempat maka boleh membayar di kantor PTV yang besarnya 217 dollar Australia (wah, hampir tiga kali lipat). Sekali waktu saya mendapati ada penumpang yang sepertinya tidak mampu membayar denda di tempat dan penumpang yang duduk di sebelahnya merasa kasihan lalu membayarkan untuknya (pemandangan sosial yang aduhai…).
 
Apa yang dijalankan PTV di atas tentu belum diketahui keberhasilannya dalam menekan tingkat penumpang "gelap". On the spot penalty fares mungkin baru akan dievaluasi pada Agsustus 2015 mendatang atau tepat setahun masa uji coba denda di tempat tersebut. Mungkin juga sekaligus menyampaikan kepada publik bahwa kebocoran 60 juta dollar Australia per tahun telah berkurang atau hilang sama sekali sehingga uang sebesar itu dapat dimaksimalkan untuk terus meningkatkan layanan transportasi publik.
Ketika menuliskan ini, ribuan pertanyaan menumpuk di batin saya: apa kabar kebocoran di negeri tercinta Indonesia? Kebocoran pemasukan parkir, misalnya. Mungkinkah ada sidak untuk parkir dan jukir liar?

Brunswick, 10 Mei 2015