Friday, November 10, 2017

Lelaki Tua di Jok Depan




Siang yang terik. Matahari seperti sedang membakar bumi. Angin yang hanya sesekali berhembus tidak kuasa meredam panas; mungkin karena debu-debu yang ikut beterbangan telah menyerap semua kandungan airnya.
Panas dari terik matahari menyatu dengan panas dari api ban yang dibakar; menyatu dengan kata-kata panas dari sejumlah demonstran; dan menyatu dengan panasnya hati para pengguna jalan. Ya, hari ini, 10 November, tepat di Hari Pahlawan, para demonstranmenggelar demonstrasi!
Ratusan kendaraan berjejal. Mengular hingga satu-dua kilometer. Bergerak sedikit, lalu berhenti lagi. Bunyi klakson, teriakan para supir, dan irama berbagai genre musik dangdut, pop, slow rock dari tape angkutan kota (angkot) memekakan teliga.
Dari ratusan kendaraan, umum dan pribadi, yang mengantri berjam-jam untuk lepas dari aksi demo, pada satu angkot duduk seorang lelaki tua di jok depan, bersebelahan dengan supir. Dia mengenakan jaket kulit berwarna hitam. Rambut putihnya mengkilap menunjukkan betapa dia menyapuhnya dengan minyak rambut secara teratur. Kaca mata minus bergagang coklat tua tidak bisa menutupi sinar matanya yang tajam; seperti ada semangat yang masih menyala di dalam sana. Di bagian belakang angkot, dua jok panjang di kiri dan kanan penuh. Di deret kanan duduk enam penumpang, di deret kiri duduk empat penumpang.
Angkot di mana seorang lelaki tua duduk di jok depan semakin dekat ke titik para demonstran yang sedang berorasi. Jarak yang tadinya 500 meter kini tinggal 100 meter. Meski untuk menempuh jarak tersebut setiap kendaraan butuh 15-20 menit. Sungguh kemacetan yang parah. Terlihat beberapa polisi berjaga-jaga dan mengatur lalu lintas; namun mereka seperti tidak berdaya membujuk para demonstran membubarkan diri, atau setidaknya membujuk para demonstran untuk memberi akses jalan yang lebih lebar sehingga kendaraan leluasa lewat.
Dari jarak 100 meter lebih jelas terlihat titik demonstrasi. Ya, sekitar tiga puluhan anak-anak muda meneriakkan kata-kata perlawanan, bernyanyi dan bersorak. Sebagian mengibarkan bendera merah putih dan atribut organisasi mereka. Sebagian yang lain memegang spanduk bertuliskan kata-kata kecemasan, keprihatinan, dan penolakan. Tiga dari mereka menyampaikan orasi dari atas kepala mobil truk secara bergantian. Mereka menguasai tiga lajur jalan dan hanya menyisakan satu lajur bagi kendaraan lewat.
Angkot di mana seorang lelaki tua duduk di jok depan beringsut perlahan, dan tulisan-tulisan serta pidato-pidato para demonstran itu semakin terlihat dan terdengar jelas. Di antara isi spanduk-spanduk itu: “Mengusir penjajah selesai, mengusir koruptor?” “Stop gaji pensiun koruptor di DPR!” “Bangsa besar adalah yang menghargai pahlawannya!” Dan banyak tulisan-tulisan lainnya.
Orasi tiga tokoh demonstran seolah menjelaskan detail dari tulisan-tulisan tersebut. Ya, belasan mahasiswa itu menggunakan moment Hari Pahlawan merespons banyak persoalan di negeri ini. Dari soal penegak hukum yang semakin tidak kebal korupsi, para pensiunan anggota DPR yang menerima gaji pensiun, bahkan yang berstatus koruptor sekalipun, hingga nasib para eks pejuang yang kurang mendapatkan perhatian pemerintah; tunjangan pensiun seadanya dan tempat tinggal dengan status rumah dinas yang sewaktu-waktu harus mereka tinggalkan.
Ayo kawan-kawan, di hari yang heroik ini, Hari Pahlawan, mari kita kembali suarakan perjuangan melawan korupsi, perlawanan terhadap ketidakadilan demi kesejahteraan rakyat! Bayangkan kawan-kawan, bagaimana mungkin para mantan anggota DPR itu menerima gaji pensiun padahal mereka tidak lebih dari lima-sepuluh tahun duduk di dewan, itu pun dengan kinerja seadanya, malas ikut rapat, jarang menemui konstituen mereka. Ironisnya, kawan-kawan, bahkan mantan anggota dewan yang tersangkut korupsi juga menerima uang pensiun! Kawan-kawan, inilah datanya, gaji pensiunan mantan anggota dewan yang mencapai empat hingga lima juta rupiah. Cobalah bandingkan dengan gaji pensiun para veteran kita yang hanya berkisar dua juta rupiah! Mana keadilan untuk para pejuang kita? Mana keadilan buat rakyat?”


Kecuali lelaki tua, tidak satu pun dari sepuluh penumpang lainnya yang menyimak orasi para demonstran. Semua asyik dan sibuk dengan aktivitas masing-masing; memainkan telepon selular, mengintip halaman media sosial, terkantuk-kantuk oleh buaian lantunan lagu pop terbaru yang agak melankolis dari tape angkot. Bahkan, tiga pelajar dari satu sekolah menengah atas sama sekali tidak mendengarkan apa pun kecuali musik-musik dari headset mereka.
Aksi demo memang bukan lagi hal baru bagi penumpang angkot itu dan juga bagi seluruh penduduk kota. Orasi pun telah menjadi pidato-pidato yang selalu terdengar sama. Hal itu karena hampir setiap muncul isu nasional, peringatan hari-hari nasional dan internasional selalu disambut dengan demo lokal. Tidak ada mengetahui persis kenapa di kota ini tiba-tiba mudah sekali menggelar demo, seperti mudahnya jamur-jamur bertumbuhan di musim hujan. Mulai dari demo dengan puluhan massa hingga yang hanya belasan massa tetapi dengan dampak yang sama, kemacetan parah.
Angkot di mana lelaki tua duduk di jok depan sudah akan melewati titik demonstrasi ketika para demonstran berinisiatif lain dengan memalang jalan. Memasang batu dan kayu besar pada satu-satunya lajur jalan yang bisa dilalui saat ini. Angkot yang ditumpangi kakek tua terhenti persis di depan batu-batu besar tersebut.
Kecuali lelaki tua itu, sepuluh penumpang lainnya, termasuk supir, hanya bisa menyembunyikan amarah dalam diam. Lalu mulai sibuk dengan telepon selular masing-masing. Membuka menu kontak dan ramailah angkot dengan suara para penumpang yang sedang menelepon. Ibu yang duduk paling belakang terdengar menghubungi guru di sekolah anaknya jika dirinya telat menjemput, sedangkan bapak setengah baya yang duduk di belakang jok supir terdengar meminta maaf pada istrinya tidak bisa mengantar ke dokter kandungan.
Demonstrasi makin memanas. Beberapa polisi yang semula hanya mengawasi di kejauhan mulai merapat ke titik demonstrasi. Mencoba melakukan negosiasi agar blokade jalan kembali dibuka. Tetapi harapan polisi seperti bertepuk sebelah tangan. Para demonstran malah lebih menguatkan barisan, saling bergandengan tangan, dan bernyanyi lagu-lagu perjuangan.
Bunyi klakson, teriakan supir-supir, alunan musik dari tape kendaraan, ditambah pekikan orasi yang lantang, semuanya tumpah ruah di jalanan, melayang-layang di udara bercampur asap hitam dari ban yang dibakar.
Tambahan satu satuan setingkat pleton dari Brimob baru saja tiba di lokasi demonstrasi. Sepertinya petugas kepolisian sudah mengantisipasi jika kondisi terburuk terjadi: bentrok dengan para demonstran. Derap suara sepatu laras yang membentur aspal seharusnya menggetarkan hati para demonstran. Tetapi ternyata tidak karena anak-anak muda itu telah lama menghimpun keberanian dalam dada mereka. Kini kedua kelompok sudah berhadap-hadapan.
Pintu angkot di mana lelaki tua duduk di jok depan terbuka. Lelaki tua itu turun dari mobil dan berjalan ke arah dua kelompok yang mulai terlibat aksi saling dorong. Bentrok polisi dan demonstran hanya akan memperparah situasi. Bentrok yang akan semakin merugikan masyarakat. Tidak berguna mempertontonkan keberanian masing-masing dengan cara seperti ini. Keberanian dan kepahlawanan dalam falsafah para pejuang adalah pengorbanan membela kebenaran. Dan kedua kelompok ini jika pada akhirnya bentrok maka keduanya hanya berani tetapi sama sekali tidak membela kebenaran sehingga tidak pantas dipredikati sebagai pahlawan.
Lelaki tua itu melangkah dengan kaki tegap, kaki yang masih kuat menopang tubuh ringkihnya. Ratusan pasang mata, dari supir, para penumpang hingga para wartawan berbagai media menunggu gerangan apa yang akan dilakukan lelaki tua itu. Sambil berjalan, dia membuka jaket hitamnya dan menghempaskan ke tanah. Lelaki tua itu, tanpa jaket hitamnya, ternyata mengenakan baju berwarna hijau yang di dadanya berbaris atribut-atribut. Dia merogoh peci dari kantong baju, peci berwarna kuning dengan logo bintang lima di sisi kiri, kemudian dikenakan di kepalanya. Ya, lelaki tua itu nampak gagah dalam seragam veteran pejuang.
Tidak ada yang mengetahui apa yang lelaki tua itu katakan kepada koordinator demonstrasi dan kepada pemegang komando lapangan dari pihak kepolisian. Tentu hanya mereka bertiga yang tahu. Yang jelas, setelah pembicaraan mereka bertiga, demonstran bersedia membuka blokade jalan dan para polisi bergerak mundur. Supir dan para penumpang senang karena kendaraan bisa lewat kembali.
Lelaki tua, para demonstran, dan bapak-bapak polisi telah menjadi pahlawan hari itu. Bukankah pahlawan berarti memberi manfaat bukan susah?  Bukankah pahlawan adalah 'phala-wan' (sansekerta); yakni orang yang pada dirinya menghasilkan buah (phala)?
Esoknya, tidak satu pun media yang memberitakan demonstrasi dengan banyak bumbu heroisme tersebut dari seorang lelaki tua; mungkin karena tidak berlangsung ricuh.
Melbourne, 10 November 2013

Wednesday, November 8, 2017

Perokok Berkurang di Zaman Now



Menyalin berita dari AlJazeraa, tembakau dianggap masih menjadi faktor utama penyebab penyakit-penyakit kronis selain kanker dan jantung. AlJazeera mengambil data badan kesehatan dunia WHO yang memperkirakan tembakau berkontribusi pada kematian penikmatnya (khususnya perokok) di seluruh di dunia sekitar 7 juta jiwa setiap tahunnya. Meski demikian, berkembang kabar baik bahwa jumlah perokok dalam 20 tahun terakhir berkurang signifikan.
Apa yang membuat jumlah perokok terus menurun? Sejumlah negara mulai memperketat kebijakan tembakau khususnya yang terkait produksi rokok. Kebijakan menaikkan pajak produk tembakau adalah satu cara yang dinilai paling efektif melawan kekuatan perusahaan tembakau. Selain itu, sejumlah negara juga sukses dalam upaya menelorkan kebijakan menaikkan harga rokok.

Australia adalah contoh negara yang berhasil menekan jumlah perokok dengan menetapkan harga rokok yang cukup tertinggi, bahkan tertinggi di dunia yakni $18 per pack (setara Rp180 ribu per bungkus). Berdasarkan daftar harga rokok negara-negara di dunia, Australia ($18 per pack) adalah yang paling mahal, menyusul Selandia Baru ($16.30), Islandia ($12.99), Norwegia ($12.00), dan Bermuda ($11.77). Sedangkan negara-negara dengan harga rokok termurah adalah Nigeria ($0.74 per pack), kemudian Ukraina ($0.99), Kazakhstan ($1.02), Vietnam ($1.06), dan Armenia ($1.14).


Laporan terkini dari Australian Institute of Health and Welfare (AIHW) tahun 2016 menyebutkan, dalam 20 tahun terakhir jumlah perokok di Australia menurun hingga 50 persen. Pihak AIHW membandingkan data perokok dua periode yang berjarak lebih dua dekade yakni 1989-1990 dan 2014-2015. Data perokok berusia 18 tahun ke atas pada periode 1989-1990 adalah 27.4 persen (laki-laki) dan 23.8 persen (perempuan) yang menurun pada periode 2014-2015 menjadi 17.0 persen (laki-laki) dan 12.4 persen (perempuan). 

Harga rokok yang tinggi, pajak tembakau yang dinaikkan, bungkus rokok yang dikemas dengan gambar-gambar seram terkait penyakit akibat merokok, serta pengaturan yang super ketat tempat-tempat di ruang publik yang membebaskan merokok adalah kebijakan-kebijakan penting yang dilakukan Australia.

Merokok di Australia memang harus lihat-lihat tempat. Tidak semua ruang publik boleh merokok. Di halte-halte tram, kereta, dan bis, misalnya, terpasang larangan merokok yang jika dilanggar akan menerima denda hingga $300 (Rp3 juta). Dari mana ketahuan? Jangan khawatir tidak ketahuan kalau melanggar aturan di Australia karena CCTV ada di mana-mana. Pun kalau sudah berada di area yang dibenarkan untuk merokok jangan sampai lengah membuang puntung rokok. Tempat sampah disediakan cukup lengkap di Australia dari sampah makanan, sampah daur ulang, hingga sampah puntung rokok. Jadi jangan buang sembarangan puntung rokok karena denda lumayan besar mengintai antara $75 hingga $200.
Berbagai kebijakan yang telah dilakukan Australia menempatkan negara terbesar di Pasifik tersebut juara dalam memerangi perokok. Angka perokok harian di Australia adalah yang terendah diantara negara-negara OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development). Data statistik kesehatan OECD pada tahun 2014, perokok berusia 15 tahun ke atas di Australia hanya 13.0 persen. Bandingkan dengan Inggris (UK) yang besarnya 19.0 persen, di Kanada 14.0 persen, dan 12.9 persen di Amerika Serikat.

picture Daily Mirror

Tuesday, November 7, 2017

Ketika Putaran Bumi di Australia "Terhenti"



Event apa yang membuat putaran bumi di Australia, terutama di Melbourne, seolah-olah sejenak “terhenti”?

Jawabannya bukan Australia Open, Formula One, MotoGP, Grand Final Australia Football League (AFL), dan bahkan, bukan Federal Election untuk menentukan perdana menteri. Event tersebut tidak lain Melbourne Cup Day yang juga terkenal sebagai ajang pacuan kuda tahunan terbesar yang digelar setiap Selasa pertama di bulan November.

Ya, hari ini Selasa (7/11) event tersebut tengah berlangsung dan baru saja menyelesaikan puncak pacuan pukul 3.20 siang waktu Melbourne yang dimenangkan kuda ‘Rekindling’ yang di-joki-i oleh Corey Brown. Sebagai pemenang, Rekindling berhak atas hadiah Rp3,6 miliar dari total hadiah Rp6,2 miliar.

Mengapa event ini menjadikan bumi di Australia sejenak “terhenti”? Tidak saja karena event pacuan kuda ini sejak dahulu dijuluki “the race that stops the nation”, tetapi juga karena antusiasme orang-orang untuk datang di arena pacuan Flemington Racecourse begitu tinggi. Rata-rata setiap tahun jumlah penonton yang datang langsung kurang lebih 100 ribu orang dan yang menyaksikan melalui TV, memantau melalui internet, mendengarkan dari radio baik di Australia maupun di sejumlah negara mencapai 650-700 ribu orang. Pusat pertokoan tutup. Dan menjelang puncak lomba pukul 3 siang jalan-jalan mendadak sangat sepi karena bagi mereka yang tidak sempat datang ke Flemington, mereka berkumpul di kafe-kafe atau berdiam di rumah masing-masing menyaksikan lomba dari layar TV.


Tetapi tidak semua orang di Australia menyambut senang dan gembira dengan Melbourne Cup Day yang sekarang menjadi public holiday untuk negara bagian Victoria dan di wilayah Australia Capital Territory (ACT). Saya memilih beberapa orang secara random untuk memintai tanggapan mereka seputar Melbourne Cup Day.

Giuseppe, migran asal Italia yang telah menetap di Australia kurang lebih 51 tahun, mengatakan tidak setuju dengan Melbourne Cup Day karena menjadi ajang untuk berjudi. Orang-orang membuang-buang uang untuk sesuatu yang sama sekali tidak lebih penting ketimbang membelikan makanan buat keluarga mereka. Senada dengan Giuseppe, Alejandra yang baru datang dari Chili beberapa bulan lalu juga tidak sepakat. Menurutnya, total hadiah $6,2 juta (sama dengan Rp62 miliar jika kurs Rp10.000 untuk $1) terlalu besar untuk ajang pacuan kuda sementara di belahan dunia lain begitu banyak orang-orang yang tidak punya uang untuk membeli makanan.

Tetapi Jian mempunyai pendapat lain. Jian yang telah menetap di Australia selama 21 tahun mengatakan, dari sisi ekonomi Melbourne Cup Day bagus karena menggerakkan aspek-aspek ekonomi. Orang-orang dari berbagai kota di Australia, bahkan dari berbagai negara, akan berkunjung ke Melbourne. Mereka datang bukan hanya untuk menonton tetapi juga berbelanja.

Seorang staf pengajar di lembaga NGO, menjelaskan lebih detail alasan orang-orang yang tidak begitu senang pada Melbourne Cup Day. Menurutnya, hal paling mendasar adalah karena perlakuan terhadap kuda termasuk kejam. Sejak kecil kuda-kuda itu terbatas ruang geraknya dalam kegiatan latihan saja, kadang kuda-kudatersebut diberikan makanan penamah energi yang tidak normal bagi binatang, dan dalam arena pacuan kuda-kuda sangat mungkin jatuh dan cidera. Ironisnya, setelah kuda-kuda tersebut dianggap tidak bisa maksimal lagi untuk ikut ajang pacuan kuda atau cidera, maka nasibnya berakhir di tempat-tempat pemotongan hewan.

Kenapa nasib kuda-kuda eks-pacuan umumnya berakhirnya di rumah pemotongan hewan? Pertama, karena kuda eks-pacuan mengalami cidera yang mustahil bisa kembali normal. Hanya sekitar 2 persen dari kuda-kuda itu bisa kembali normal. Kedua, kuda eks-pacuan tidak memilki keahlian lain selain di lintasan pacu karena sejak kecil memang dilatih untuk itu. Akibatnya, setelah pensiun dari lintasan kuda tidak dapat digunakan untuk tugas yang lain. Ibaratnya orang yang sejak kecil dilatih/fokus untuk satu kegiatan, nah, tentu saja orang tersebut hanya bisa mengerjakan yang diajarkan kepadanya saja.


Kelompok yang tidak setuju gelaran Melbourne Cup Day telah memulai aksi protes mereka satu-dua hari menjelang hari-H. Kemarin, Senin (6/11), sejumlah orang berkumpul untuk mengampayekan anti-pacuan kuda di jalan yang juga nantinya menjadi tempat para pendukung pacuan berparade. Dan hari ini, Selasa (7/11), ketika orang-orang berbondong-bondong ke Flemington untuk berlibur sambil menikmati acara pacuan kuda, kelompok yang anti-pacuan kuda juga bergerak ke Flemington untuk berlibur dengan acara yang berbeda: menentang bentuk-bentuk kekejaman terhadap binatang.

Sejarah Melbourne Cup Day


Melbourne Cup Day untuk tahun ini (2017) adalah pacuan yang ke-156 sejak pertama kali digelar pada tahun 1861. Selain hadiah uang yang fantastis pada ajang dengan jarak yang ditempuh 3,200 meter ini , hal lain yang membuat event ini menjadi gemerlap karena berangkai dengan ajang lain yakni Melbourne Cup Carnival. Sebenarnya Melbourne Cup Carnival ini bukan ajang tersendiri tetapi yang melengkapi Melbourne Cup Day. Para penonton yang datang, terutama perempuan, menggunakan pakaian dan topi terbaik mereka untuk turut dalam acara parade.

Ya, boleh dibilang Melbourne Cup Day tidak sekedar lomba pacuan kuda tetapi ajang fashion terbesar. Data 2012 lalu, ajang “fashion” ini menampilkan kurang lebih 46,461 jenis topi, 29,990 tas jinjing, serta 57,334 pasang sepatu.

Meski Melbourne Cup Day sebagai pacuan kuda terbesar diselenggarakan di Melbourne, tidak berarti lomba pacuan kuda hanya diselenggarakan di Melbourne. Pada hari itu, di beberapa kota besar hingga kota-kota kecil lainnya di seluruh Australia juga menggelar lomba yang sama sebagai rangkaian dari Melbourne Cup Day di level lokal.
 Brunswick, 7 November 2017


Wednesday, October 11, 2017

Bersepeda London-Makkah, Rashid Berhaji Bantu Anak Jalanan


Bersama Brother Rashid Ali (Picture: Ahmad Syam)

Malam 11 Dhul Hijjah 1438 H (4 September 2017) mabit malam kedua di Mina. Saya tidur cukup pulas karena seharian jalan kaki puluhan kilometer. Berjalan empat kilometer dari tenda di Mina ke lokasi Jamarat untuk melempar. Selanjutnya dari Jamarat ke Masjidil Haram yang juga berjarak empat kilometer menyusuri terowongan. Melakukan Thawaf Ifadah di lantai kedua yang dikira-kira untuk tujuh putaran berkisar tujuh kilometer, kemudian tujuh kali bolak-balik antara Bukit Safa’ dan Bukit Marwah yang jika ditotal jaraknya sekitar empat kilometer. Dan, setelah Thawaf dan Sa’i Ifadah, saya kembali ke tenda di Mina dengan berjalan kaki delapan kilometer dari Masjidil Haram. Total hampir 30 kilometer saya berjalan kaki.
Maghrib ketika saya sampai di tenda. Usai shalat saya merasa tubuh agak dingin. Rencana mandi tertunda karena tubuh saya menggigil. Saya berbaring dalam balutan selimut tipis dan tertidur sampai saya dibangunkan untuk Isya dan makan malam. Tidur sehabis Maghrib dan makan malam membuat stamina saya kembali normal. Biar lebih segar saya masih menyempatkan mandi sebelum menutup malam dengan kembali beristirahat.
Saya bangun sekitar pukul 02.30. Waktu Shubuh kurang lebih pukul 05.00 tetapi agar tidak terjebak dalam antrian panjang bersama jamaah lainnya di kamar mandi umum, maka segala urusan terkait kamar mandi mesti tuntas sebelum Shubuh.
Selasa, 12 Dhul Hijjah, awalnya saya berencana berangkat ke Jamarat untuk melempar seusai Dhuhur sekitar pukul 12.30an. Tetapi ditahan oleh petugas di pintu maktab. Saya memaksa agar diizinkan keluar dari kawasan maktab namun petugas tersebut bersikukuh menyarankan saya tetap berada di tenda dulu hingga pukul 14.30. Ya, baiklah. Saya balik ke tenda dan menunggu sekitar dua jam.

Maktab 44 Australia & Eropa (Picture: Ahmad Syam)

Apa alasannya saya tidak boleh ke Jamarat
? Petugas pintu di maktab itu, seorang anak muda dengan Bahasa Inggris yang sangat fasih (tentu harus berbahasa Inggris karena bertugas di maktab Eropa dan Australia hehehe...) menjelaskan kondisi terakhir di kawasan Jamarat yang padat merayap. Maka atas perintah pengelola haji pemerintah Saudi, kata dia, jamaah yang masih di luar kawasan Jamarat ditahan dulu tidak berangkat untuk melempar sebelum pukul 14.30.
Puncak kesibukan jamaah haji bermula di 8 Dhul Hijjah ketika berangkat mabit (bermalam) di Mina. Paginya,  usai Shubuh, 9 Dhul Hijjah, rombongan jamaah bergelombang menuju Padang Arafah. Setelah hampir seharian di Arafah, sore hingga larut malam jamaah haji bergerak ke Musdalifah untuk bermalam sekaligus mengumpulkan minimal 71 kerikil kecil buat melempar di Jamarat. Usai shalat Shubuh kemudian meninggalkan Musdalifah menuju Jamarat pada 10 Dhul Hijjah yang bertepatan dengan pelaksanaan shalat Idhul Adha bagi yang tidak sedang berhaji. Usai melempar ketiga Jamarat lalu bercukur yang memungkinkan jamaah bisa menanggalkan pakaian ihram dan ketentuan-ketentuan ihram lainnya.
Adapun agenda haji baru tuntas setelah Thawaf dan Sa’i Ifadah yang bisa dilaksanakan antara 10 hingga 13 Dhul Hijjah. Pada saat yang sama, antara 11 dan 13 Dhull Hijjah jamaah kembali ke tenda-tenda di Mina untuk dua-tiga malam yang dirangkai dengan melempar Jamarat setiap harinya.
Agenda yang sudah terjadwal di mana jamaah haji melakukan aktivitas di waktu dan tempat yang sama sangat memungkinkan terjadi kepadatan-kepadatan, terutama di dua titik yakni di Jamarat bagi yang sedang melempar dan di Masjidil Haram bagi yang sedang Thawaf dan Sa’i Ifadah. Apalagi ketika hampir sebagian besar jamaah berpikiran sama tentang waktu-waktu yang paling afdhal.  Misalnya, waktu paling afdhal melempar Jamarat adalah sehabis Ashar maka bisa dipastikan tumpukan jamaah di waktu itu.

Karenanya, pengaturan jadwal yang dilakukan petugas, termasuk yang dilakukan petugas pintu maktab di atas sangat penting apalagi disertai laporan situasi terkini, baik di Jamarat maupun di Masjidil Haram.
Meski tertahan di tenda selama dua jam tetapi saya tetap bersyukur karena setidaknya bisa terhindar dari kondisi berdesak-desakan di Jamarat. Di sepanjang perjalanan kurang lebih satu jam memang tumpukan-tumpukan jamaah masih terlihat terutama saat berada dalam terowongan, tetapi secara keseluruhannya lancar.
Usai melempar Jamarat Aqabah, Jamarat terakhir dari tiga Jamarat, di lantai ketiga, saya turun ke lantai dasar melalui eskalator. Pada eskalator terakhir yang menuju tepat ke lantai dasar, saya melihat seseorang dengan sepedanya. Saya menyilakan dia mendahului saya. Dia tepat berdiri di depan saya sambil mengangkat sepedanya di eskalator yang bergerak. Saya melihat bendera Inggris bertengger di bagian belakang sepeda itu, serta merta ingatan saya berkelabat pada satu berita yang pernah saya baca tentang jamaah haji asal London yang bersepeda ke Makkah.
Selepas dari eskalator, saya menyapanya dan menjabat tangannya. Bertanya untuk memastikan apakah dialah pesepeda yang berangkat dari London ke Makkah untuk berhaji. Dia mengiyakan lalu kami pun berkenalan. Namanya Rashid Ali. Bersama dua orang lainnya, Abdul Hannan dan Shubo Hussain, Rashid Ali memulai perjalanan dari London pada 2 Juli 2017 dan tiba di Makkah pada 25 Agustus 2017. Mereka menempuh 56 hari perjalanan dengan melewati 13 negara: Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Slovenia, Kroasia, Bosnia, Serbia, Bulgaria, Yunani Turki, Mesir, dan berakhir di Saudi Arabia.
Kami mengobrol sebentar saja karena waktu dan keadaan tidak memungkinkan berlama-lama. Saya juga tidak ingin dia merasa terganggu, boleh jadi dia memiliki agenda ibadah selanjutnya atau sekadar pulang ke hotel beristirahat. Sebelum berpisah kami foto bersama. Jamaah haji lainnya yang kebetulan melihat kami berfoto, ikut antri foto bersama Rashid Ali. Rupanya informasi pesepeda yang berhaji dari London ke Makkah sudah tersebar luas. Wajah Rashid Ali, apalagi sambil tenteng-tenteng sepeda berbendera Inggris, sudah dikenali banyak jamaah haji.
Kami bersalaman untuk berpisah. Tangan saya menggenggam lembaran Riyal untuk saya berikan kepada Rashid Ali sebagai sedekah.  Dia tidak mengambilnya tetapi tidak juga menolaknya. Rashid Ali mengeluarkan semacam stiker kecil beberapa lembar dari sakunya. Dia menyerahkan kepada saya dan menyampaikan bahwa untuk berdonasi bisa melalui website resmi mereka seperti tertulis di stiker tersebut. Kemudian  dia menjelaskan secara singkat tujuan perjalanannya ini yakni mengumpulkan dana guna membantu anak-anak jalanan dan anak telantar lainnya seperti korban perang atau pun korban perdagangan anak di seluruh dunia. Saya meminta tambahan beberapa stiker lagi buat saya bagikan ke teman-teman di hotel.


Dari informasi yang dihimpun dari beberapa sumber, baik di website london2makkah.com maupun di fanpage FB @London2Makkah, Rashid Ali dan kawannya menempuh total jarak kurang lebih 5000 kilometer. Strava milik Rashid Ali memberikan kompilasi selama perjalanan itu yakni: total jarak yang ditempuh 5000 kilometer, mendaki 119,060 kaki, 79,636 kalori yang terbakar dengan kecepatan rata-rata 27 kilometer per jam, 56 hari untuk menempuh 13 negara.
Perjalanan Rashid Ali dan kedua kawannya menargetkan dapat mengumpulkan 100,000 Poundsterling. Hingga selesainya rangkaian haji tahun 2017 dan mereka kembali lagi ke London, donasi yang berhasil dihimpun mencapai 66,494.99 Poundsterling atau sudah 66 persen dari target.
Demikianlah, saat berada di dua tanah Haram, Makkah dan Madinah, jamaah haji akan bertemu banyak keadaan. Adakalanya hal-hal yang menyenangkan, juga kurang menyenangkan. Keadaan yang sulit, juga yang mudah. Tersesat tidak tahu jalan, atau tiba-tiba menemukan jalan untuk pulang setelah lama berputar-putar. Allah memberikan banyak kejutan.
Namun, demikian cara Allah mengatur setiap kejadian sehingga siapa pun bisa memperbaiki atau pun meningkatkan kualitas diri sebagai proses dari menunaikan rukun terakhir dari lima rukun dalam Islam tersebut. Rukun pamungkas yang besar harapan padanya menjadi penyempurna ke-Islam-an setiap orang setelah bersyahadat, mendirikan shalat, berpuasa, dan berzakat. 

Anak-anak di Sekitar Mina (Picture: Ahmad Syam)

Pada saat yang sama, sebagaimana saya bertemu Rashid Ali, tentu saja setiap jamaah akan berjumpa dengan beragam orang. Ini hal yang pasti karena ratusan ribu orang berada di tempat yang sama. Asal negara yang berbeda-beda.  Latar belakang sosial, budaya, ekonomi, dan pendidikan yang bervariasi. Termasuk perbedaan-perbedaan profesi, pekerjaan, dan mimpi-mimpi yang mungkin ingin dikerjakan di kelak hari.
Di tengah perjumpaan yang begitu beragam, sesekali Allah mempertemukan kita dengan yang seragam dengan diri kita. Kita bertemu, berjumpa, dan bersua dengan orang-orang yang sama dengan kita. Sama dan seragam dalam budaya, pekerjaan, hobi, atau pun impian-impian. Allah mengatur setiap kejadian sehingga tidak ada peristiwa kebetulan.

Semoga Allah menyampaikan saya kembali (lagi) dan kita semua ke Baitullaah. Aamiin Allahumma aamiin.

#terima kasih kepada Indonesian Muslim Community of Victoria (IMCV) di Melbourne dan Tim Sunshine Travel Hajj 2017 di Sydney serta seluruh bapak/ibu Jamaah Haji Sunshine 2017

Ka'bah from Roof View before Shubuh Prayer (Picture: Ahmad Syam)




Saturday, April 29, 2017

29 April (2) : Ayunan...Taman...Kenangan



29 April 2017. Melbourne telah berada di pertengahan Musim Gugur. Daun-daun berlepas dari ranting-ranting. Hanya saja berbeda dari setahun sebelumnya, daun-daun itu seperti tidak bergegas. Masih lebih banyak yang berpegangan erat di ranting. Barangkali saja menunggu kering menyempurnakannya. Atau, hingga datang angin besar menerbangkan mereka. Atau, bila bulir-bulir hujan memaksa mereka ikut memulai gerilya di tanah.
Tetapi tidak hanya daun yang mengubah rotasi waktunya. Ramai orang-orang membicarakan pergantian musim di Melbourne tahun ini. Apa kata mereka? Musim Panas yang datang terlambat. Desember mestinya sudah panas sepanasnya. Namun dingin masih sering tiba-tiba menyergapnya. Lalu Musim Panas meminta perpanjangan waktu. April aturannya sudah mulai adem dengan angin yang membawa serta sisa kabut dari perbukitan, tetapi hingga di ujung April udara panas mengaliri kota.

Meski, obrolan cuaca di Melbourne tidak akan berlangsung sangat mekanik. Orang-orang akan santai menanggapi perubahan cuaca. Bahkan, ada candaan yang terdengar sangat umum soal cuaca Melbourne yang gampang berubah-ubah. Di Melbourne, kata orang-orang yang telah berdiam lama, empat musim bisa berlangsung di dalam satu hari. Pagi sangat dingin, lalu siang menjadi panas, dan sorenya hujan turun.
Melbourne yang moody dan saya ikut dalam alur berubah-ubah tersebut. Maka, saya yang moody. Dalam sehari saya mungkin saja berada dalam kegembiraan dan kesedihan dengan cepat. Itu karena saya masih memegang kuat kenangan seperti daun-daun yang bertahan di ranting. Kenangan yang bertebaran dan saya melewatinya setiap hari.

Trotoar kota. Ada gemericik tawa di sepanjang jalan karena bertemu banyak orang, melihat tram yang lalu-lalang, dan bermain di taman-taman yang semerbak. Rasa capek akhirnya melelapkan dalam tidur di atas pram.
Ayunan di tengah taman. Ada senyum setengah meringis, mungkin perasaan takut menyelimuti karena itu pertama kali berada di atas ayunan.

Kursi di barber shop. Ada surprise karena tidak terlihat ketakutan ketika itu. Duduk di atas pangkuan saya dan membiarkan tukang cukur bekerja.
Halaman rumah. Ada bekas-bekas telapak kaki keci di sana kala berlarian memainkan bola plastik. Sambil berebut bola, tawa pun melayang di udara.

29 April 2017. Ini Musim Gugur terakhir di Melbourne. Saya mesti rajin melafalkan tempat-tempat kenangan itu. Tempat-tempat yang tidak mungkin saya bawa pulang. Tetapi sebisanya saya akan merapikan kenangannya di dalam hati. Bila kelak saya merindukan tempat-tempat tersebut saya cukup menengoknya ke dalam hati. Menengok dirimu, Nak....

Brunswick, 29 April 2017

Friday, March 31, 2017

Bergegaslah, Waktumu tak Banyak Kyrgios


Dalam beberapa jam ke depan, lapangan dengan permukaan keras di Key Biscayne, Florida, akan menjadi saksi duel semifinal seru Roger Federer dan Nick Kyrgios. Jika Federer menang maka berarti peluang baginya mengangkat trofi ketiganya di Miami Open sekaligus trofi ketiganya di awal 2017 ini. Bila Kyrgios yang menang maka akan menjadi pengalaman pertama baginya masuk di final ATP World Tour Master 1000.
Picture: Sydney Moning Herald
Benarkah bagi mereka berdua kemenangan hanya untuk memenuhi target-target prestasi di atas? Menurut saya, Federer memiliki target lainnya yakni membalas kekalahan dari Kyrgios ketika mereka bertemu kali pertama tahun 2015 silam. Kala itu, Kyrgios menghentikan laju Federer di ATP World Tour Master 1000 Madrid dalam pertarungan tiga set. Sebenarnya Federer berkesempatan membalas kekalahan tersebut di Indian Wells akhir Maret 2017. Sayangnya, Kyrgios yang sedianya bertarung untuk satu tiket ke semifinal mundur karena alasan sakit.
Bagaimana dengan Kyrgios? Saya mengira-ngira target paling pribadinya adalah terus mempelajari bagaimana Federer, idola dia, bermain. Meski menang, itu pun dengan susah payah karena tiga set dengan tie break, di Madrid tahun 2015, tentu bagi Kyrgios  bukan ukuran bakal menang lagi kali ini. Maka, daripada mengejar target menang, Kyrgios akan lebih realistis untuk terus membaca bagaimana Federer mengatur emosi saat bermain. Permainan dengan emosi labil itulah yang menjadi kelemahan utama Kyrgios.
Tentu para penggemar tennis masih mengingat dengan sangat segar di Wimbledon 2015 ketika dia beberapa kali mendebat wasit garis lapangan. Puncak kontroversi dari tingkahnya adalah saat melawan Milos Raonic di putaran ketiga. Kyrgios yang emosi membanting raketnya ke lapangan. Raket tersebut terpental ke arah penonton. Sikap kontroversi lainnya pada Australia Open 2016 saat dia menyampaikan berulang kali komplain ke wasit bahwa terdengar olehnya seseorang menyetel musik di kursi penonton. Hanya dengan dua kontroversi tingkah Kyrgios di lapangan itu saja? Tidak, karena ada banyak jika ditelusuri pada setiap pertandingan yang dia ikuti.
Tahun 2017 ini petenis berdarah Yunani dan Malaysia tersebut (ibunya yang seorang insinyur komputer berasal dari keluarga kesultanan di Selangor dan ayahnya yang sehari-hari bekerja sebagai tukang cat rumah berasal dari Yunani) berjanji bisa lebih menahan emosi. Kesempatan itu datang karena lawannya adalah Federer. Berhadapan dengan Federer dengan mental yang teruji dan emosi yang stabil akan menjadi ujian bagi Kyrgios membuktikan janjinya tersebut.
Bila anak muda kelahiran Canberra tersebut bisa terus memperbaiki emosi bukan tidak mungkin kelak, dalam 3-4 tahun ke depan, akan menjadi petenis nomor satu dunia versi ATP. Modal skill sudah ada di tangannya. Permainan yang ciamik juga telah dimilikinya. Catatan mentereng dari pertemuan perdana dengan tiga petenis top saat ini yakni Federer, Nadal, dan Djokovic dilakoninya dengan kemenangan. Bahkan, Djokovic merasakan bagaimana anak muda usia 21 tahun itu menghajarnya secara beruntun dalam dua turnamen awal 2017 ini yakni di Mexican Open dan Indian Wells Masters.
Bila berpedoman pada usia berprestasi beberapa petenis seperti Federer, Djokovic, atau pun Nadal, maka di usianya yang telah memasuki 21 tahun semestinya Kyrgios sudah merebut titel grandslam. Nadal telah juara di Perancis Open 2005 kala usianya 19 tahun. Djokovic juara Australia Open 2008 ketika masih di 21 tahun. Sedangkan Federer meraih titel grandslam kali pertama di Wimbledon 2003 saat berusia 22 tahun.
Picture: News.com.au

Maka, mari menunggu pembuktian Kyrgios di Perancis Open 2017, atau Wimbledon 2017, atau mungkin di grandslam penutup tahun 2017 di US Open. Bila sepanjang 2017 Kyrgios masih juga puasa titel grandslam, bolehlah kita berikan toleransi waktu setahun berikut di 2018. Tetapi, jika di 2018 masih juga tanpa gelar grandslam, biarlah jalan itu diberikan kepada seorang anak muda asal Jerman berusia 19 tahun, Alexander Zverev.
Bergegaslah Kyrgios, waktumu tak banyak….

Wednesday, February 8, 2017

Semenit Bertemu Rod Laver



Semenit bertemu Rod Laver. Itu berlangsung beberapa jam sebelum final Australian Open 2017 antara Roger Federer versus Rafael Nadal tergelar, 29 Januari lalu. Saya secara kebetulan bertemu legenda tennis dunia dan Australia, Rodney George Laver atau sering disingkat Rod Laver.
Bersama beberapa staf dan mungkin juga keluarganya, juara grand slam 11 kali tersebut berjalan-jalan di satu pasar tradisional terbesar dan tertua di Melbourne. Saya langsung merasa surprise begitu melihat wajah yang begitu familiar disorot tv-tv setiap perhelatan Australian Open. Kakek berusia 78 tahun yang masih terlihat gesit berjalan itu mengenakan t-shirt polo berwarna hitam dengan tulisan Rod Laver di dada kiri.
Saya menyapa seorang stafnya, perempuan muda yang berjalan di belakangnya, untuk meminta izin ber-selfi dengan sang legenda. Dia mengiyakan sembari mengingatkan agar tidak mengambil waktu lama. Kamera hp sudah siapkan dalam posisi on sebelum meminta izin tadi. Hanya sekali jepretan dan suami dari mendiang Mary Bensen tersebut segera berlalu. Ya, hanya sekira satu menit bertemu langsung dengan Rod Laver.

Mata saya langsung mengamati hasil jepretan super cepat itu. Memeriksa apakah jepretan setengah terburu-buru sukses mengambil gambar saya dan Rod Laver secara baik. Ada perasaan kurang puas dan ingin mengejar Rod Laver tetapi tertahan oleh aturan kesopanan dan budaya di Australia.  Meski kurang puas tetap terbetik rasa syukur dan senang karena kesempatan sekali jepret berhasil. Tidak terbayang andai kesempatan sekali jepret itu gagal mengabadikan kesempatan bertemu Rod Laver.


Tidak pernah terduga sebelumnya bakal bisa berfoto dengan sang legenda. Empat kali saya sambangi stadion Rod Laver Arena tidak sekali pun saya bertemu atau sekadar berpapasan dengannya. Setiap ke Rod Laver Arena saya hanya menjumpai beberapa patung dirinya yang disebar di beberapa sudut area stadion. Patung-patung itulah yang kerap dijadikan orang-orang tempat berselfi dengan sang legenda. Orang-orang yang tentu hapal benar sosok yang tergambarkan dalam patung tersebut.
Ya, bagi yang mengikuti informasi dunia tennis, nama Rod Laver tentu tidak asing lagi. Apalagi yang pernah datang dan menyaksikan langsung kejuaraan grand slam Australian Open. Rod Laver Arena adalah satu dari 3 stadion utama yang menggelar partai-partai Australian Open. Dari ketiga stadion utama tersebut, Rod Laver Arena adalah yang terbesar dengan kapasitas 14.820 kursi (event tennis), 15.400 kursi (event bola basket), dan 16.200 kursi (event konser).
Rod Laver Arena sebagai Outdoor Stadium
Atap Rod Laver Arena Ditutup jika Hujan

Nama pria dengan tinggi 173 sentimeter ini memang layak dilekatkan untuk stadion yang menggelar event-event tennis dunia di Australia. Semasa aktif, karir The Rocket, begitu dia digelar oleh media-media, adalah yang paling topcer dari sekian banyak petenis putera yang dimiliki Australia sepanjang sejarah. Bahkan, rekor yang pernah dia catat bukan hanya menggema se-Australia tetapi sejagat. Tengok saja, untuk kejuaraan paling bergengsi grand slam, pemain dengan pegangan raket kidal tersebut adalah satu-satunya petenis (baik putera maupun puteri) yang memenangi keempat grand slam dalam satu kalender sebanyak dua kali yakni tahun 1962 dan 1969.
Pembukaan Australian Open Selalu Meriah
Sungai Yarra dan Rod Laver Arena di Kejauhan

Rod Laver yang pernah menjadi petenis peringkat satu dunia dari tahun 1964 hingga 1970 pensiun dari kejuaraan tennis pada 1976. Selama karirnya, pria kelahiran Rockhamton, Queensland, Australia yang kini bermukim di Carlsbad, California, Amerika Serikat tersebut mengemas 200 gelar di sektor tunggal putera dan 28 gelar kala bermain ganda.
See you next time, The Rocket….
Brunswick, 8 Februari 2017

Baliho di Hati Rakyat bukan di Jalanan





Nurdin Abdullah adalah Bupati Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Saat ini dia menjalankan tahun keempat periode kedua masa jabatannya di kabupaten seluas 395,83 kilometer persegi tersebut. 

Pada pemilu kada yang berlangsung April 2013 lalu, Nurdin Abdullah yang berpasangan dengan M. Yasin berhasil meraup suara  83,24 persen. Raihan suara tersebut menempatkan Nurdin-Yasin sebagai pasangan peraih suara terbesar kelima dalam sejarah pemilu kada di Indonesia.

Empat teratas adalah Makmun Ibnu Fuad di Bangkalan (93 persen), Joko Widodo di Solo (90 persen), Ahmadi di Mojokerto (87 persen), dan I Gede Winase di Jembrana (87 persen).

Awal 2011 lalu, saya sempat bertemu guru besar Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (Unhas) tersebut dan berbincang agak lama. Di sela perbincangan, Nurdin Abdullah mengatakan, “Jika ingin disukai masyarakat pasanglah ‘baliho’ di hati masyarakat!” Sebuah ungkapan yang menurut saya seharusnya bisa menjadi pegangan para pejabat yang lebih gemar memasang baliho di jalan-jalan.

Nurdin banyak memaparkan visi Bantaeng sebagai “Wilayah Terkemuka Berbasis Desa Mandiri”. Untuk mewujudkan visi tersebut, sejak terpilih sebagai bupati pertama kali 6 Agustus 2008 lalu, dia membenahi seluruh aspek desa mulai dari infrastruktur hingga pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di 46 desa se-Bantaeng.

Masing-masing BUMDes mendapatkan penguatan baik dari aspek manajemen maupun finansial berupa suntikan dana hibah Rp100 juta. BUMDes diberikan kepercayaan penuh mengelola potensi desa masing-masing di mana BUMDes berada.

Setiap BUMdes memiliki core business berdasarkan potensi desa di mana BUMDes tersebut berada. Misalnya, satu desa yang potensi ekonominya sektor pertukangan maka BUMDes diarahkan untuk bergerak di sektor pertukangan. Dalam menjalankan core business-nya, BUMDes memiliki channeling dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait. BUMDes Pertanian akan berkoordinasi dengan Dinas Pertanian.



Dalam skema yang lebih luas, visi tersebut akan mewujudkan Bantaeng sebagai pusat pertumbuhan di selatan Sulawesi Selatan dengan menyertakan pembangunan pelabuhan, pengembangan agrowisata, serta peningkatan sektor-sektor industri. Sektor pemberdayaan ekonomi rakyat dan peningkatan pertumbuhan ekonomi makro di atas merupakan satu dari dua hal yang menarik perhatian saya waktu itu.

Satu hal lainnya adalah pada pembangunan sektor kesehatan. Merespons kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan yang cepat, Nurdin Abdullah membentuk Brigade Siaga Bencana (BSB). Kantor BSB berada satu atap dengan satuan tugas lainnya yang tergabung dalam tim Emergency Services seperti satuan bantuan sosial, satuan operasi, rehabilitas dan pemulihan, serta satuan pemadam kebakaran.



Secara umum BSB bekerja bila ada panggilan yang masuk melalui call center 113. Atas dukungan puluhan dokter umum dan perawat yang bekerja berdasarkan sistem shift selama 24 jam, tim BSB siap menjemput pasien hingga pelosok desa.

Selain kedua program merakyat di atas, Nurdin Abdullah juga berhasil mengubah wajah Bantaeng yang dahulu terkesan “kusam” menjadi “bergairah”. Pantai Marina dan Seruni yang membentang di sepanjang jalan berhasil disulap menjadi destinasi wisata alternatif di Sulawesi Selatan. Kebersihan dan kearsian kota dijaga dengan baik maka tidak heran kemudian Bantaeng meraih Piala Adipura sebagai Kota Kecil untuk kali pertama di 2010. Piala yang terus dipertahankan hingga 2016.

Program-program pertanian dan perkebunan Nurdin Abdullah juga dinilai sangat inovatif seperti membuka perkebunan apel dan strawberry. Juga industri pengalengan hasil laut yang telah diekspor ke sejumlah negara.

Tentu banyak prestasi lainnya yang telah ditorehkan Nurdin Abdullah selain yang saya sebutkan di atas. Prestasi yang boleh jadi menyerupai  baliho besar di hati masyarakatnya.



Friday, January 27, 2017

Angka 8 Bawa Federer Juara Australian Open 2017



Ini tentu kebetulan belaka ketika Roger Federer yang bertarung di Australian Open 2017 dipenuhi dengan angka 8 (delapan). Angka yang jika merujuk kepada kepercayaan Tionghoa merupakan angka yang akan membawa rezeki dan keberuntungan. Kepercayaan yang sama diyakini masyarakat Jepang. Sebaliknya, sebagian masyarakat di Indonesia yang mempercayai ramalan angka justru menganggap angka 8 membawa kesukaran. Entahlah….
Untuk tidak terjebak dengan berbagai varian kepercayaan tentang angka-angka tersebut, tulisan ini hanya akan menggunakan pendekatan cocoklogi. Tahu khan pendekatan ini sering digunakan segelintir pemain-pemain politik, dari aktor politik di luar panggung, di atas panggung, di kolong panggung, hingga yang sedang mencari panggung.

Nah, pendekatan cocoklogi akan mencoba menelusuri kecocokan antara angka 8 dengan Federer di Australian Open 2017.
Pertama, mari memulai dengan angka pada tahun penyelenggaraan Australian Open tahun ini yakni 2017. Dalam penulisan singkatan, tahun 2017 juga sering disingkat dengan 17. Jika dijumlahkan 1 dan 7 menghasilkan 8.
Kedua, saat ini peringkat terkini Federer di Association Tennis Professional (ATP) yang dirilis sebelum penyelengaraan Australian Open 2017 adalah 17. Lagi-lagi jika dijumlahkan 1 dan 7 menghasilkan angka 8.
Ketiga, karena berperingkat ATP ke-17 sementara semua petenis yang berperingkat di atas Federer ikut ambil bagian dalam ajang Australian Open 2017 ini, otomatis Federer berada di unggulan ke-17. Ingat, 1 dan 7 tetap menghasilkan angka 8 jika ditambahkan. Andai, ada satu atau dua pemain di atas peringkat Federer yang mundur dari ajang Australian Open maka peringkat unggulan Federer kemungkinan bukan di 17, mungkin 16 atau 15.
Keempat, Federer yang lahir 8-8-1981 (tuh, khan penuh angka 8 hehe) pada saat mengikuti Australian Open 2017 berada di usia 35. Jika dijumlahkan angka 3 dan 5 maka hasilnya adalah 8. Di usianya yang ke-35 tersebut, Federer merupakan petenis paling tua untuk sektor tunggal putera di ajang ini.

Kelima, bila pada akhirnya Federer berhasil melaju ke laga puncak, Final Australian Open 2017, maka itu jauh dari target dia. Dalam wawancara usai menalukkan petenis Jerman, Mischa Zverev, di perempat final, Federer mengatakan tidak menyangka bisa melangkah sejauh itu. Usai operasi lutut membuatnya rehat dari bermain tennis selama kurang lebih enam bulan yang membuat peringkatnya terjun bebas ke peringkat 17.  Nah, keberhasilan Federer masuk final di Australian Open 2017 adalah final ke-28 dia dalam ajang Grandslam. Ingat, 28 itu sudah, jangan dibuatkan penjumlahan lagi hehe….
Dan keenam…, ini pamungkas karena kali ini Federer sedang mengejar titel Grandslam yang ke-18. Jika mengamati bagaimana angka 8 begitu ramah bagi Federer, maka titel ke-18 tersebut akan diraihnya siapa pun lawannya di final.


Eh, by the way, dalam sisi tipografi, angka 8 ini ternyata angka yang paling konsisten. Dibandingkan seluruh angka lainnya, dibolak-balik pun bentuk angka 8 ini tetap sama. Dua lingkaran yang menyatu dalam satu tarikan garis membuat angka ini terlihat indah dan elegan…hehehe

Brunswick, 27 Januari 2017
(ditulis ketika sedang menonton semifinal Nadal vs Dimitrov di set ke-4, pemenangnya bakal melawan Federer pada Ahad, 29 Januari.)

---------------------------------------------
Catatan:
Hasil laga Final Australian Open, Ahad 29 Januari 2017