Wednesday, October 11, 2017

Bersepeda London-Makkah, Rashid Berhaji Bantu Anak Jalanan


Bersama Brother Rashid Ali (Picture: Ahmad Syam)

Malam 11 Dhul Hijjah 1438 H (4 September 2017) mabit malam kedua di Mina. Saya tidur cukup pulas karena seharian jalan kaki puluhan kilometer. Berjalan empat kilometer dari tenda di Mina ke lokasi Jamarat untuk melempar. Selanjutnya dari Jamarat ke Masjidil Haram yang juga berjarak empat kilometer menyusuri terowongan. Melakukan Thawaf Ifadah di lantai kedua yang dikira-kira untuk tujuh putaran berkisar tujuh kilometer, kemudian tujuh kali bolak-balik antara Bukit Safa’ dan Bukit Marwah yang jika ditotal jaraknya sekitar empat kilometer. Dan, setelah Thawaf dan Sa’i Ifadah, saya kembali ke tenda di Mina dengan berjalan kaki delapan kilometer dari Masjidil Haram. Total hampir 30 kilometer saya berjalan kaki.
Maghrib ketika saya sampai di tenda. Usai shalat saya merasa tubuh agak dingin. Rencana mandi tertunda karena tubuh saya menggigil. Saya berbaring dalam balutan selimut tipis dan tertidur sampai saya dibangunkan untuk Isya dan makan malam. Tidur sehabis Maghrib dan makan malam membuat stamina saya kembali normal. Biar lebih segar saya masih menyempatkan mandi sebelum menutup malam dengan kembali beristirahat.
Saya bangun sekitar pukul 02.30. Waktu Shubuh kurang lebih pukul 05.00 tetapi agar tidak terjebak dalam antrian panjang bersama jamaah lainnya di kamar mandi umum, maka segala urusan terkait kamar mandi mesti tuntas sebelum Shubuh.
Selasa, 12 Dhul Hijjah, awalnya saya berencana berangkat ke Jamarat untuk melempar seusai Dhuhur sekitar pukul 12.30an. Tetapi ditahan oleh petugas di pintu maktab. Saya memaksa agar diizinkan keluar dari kawasan maktab namun petugas tersebut bersikukuh menyarankan saya tetap berada di tenda dulu hingga pukul 14.30. Ya, baiklah. Saya balik ke tenda dan menunggu sekitar dua jam.

Maktab 44 Australia & Eropa (Picture: Ahmad Syam)

Apa alasannya saya tidak boleh ke Jamarat
? Petugas pintu di maktab itu, seorang anak muda dengan Bahasa Inggris yang sangat fasih (tentu harus berbahasa Inggris karena bertugas di maktab Eropa dan Australia hehehe...) menjelaskan kondisi terakhir di kawasan Jamarat yang padat merayap. Maka atas perintah pengelola haji pemerintah Saudi, kata dia, jamaah yang masih di luar kawasan Jamarat ditahan dulu tidak berangkat untuk melempar sebelum pukul 14.30.
Puncak kesibukan jamaah haji bermula di 8 Dhul Hijjah ketika berangkat mabit (bermalam) di Mina. Paginya,  usai Shubuh, 9 Dhul Hijjah, rombongan jamaah bergelombang menuju Padang Arafah. Setelah hampir seharian di Arafah, sore hingga larut malam jamaah haji bergerak ke Musdalifah untuk bermalam sekaligus mengumpulkan minimal 71 kerikil kecil buat melempar di Jamarat. Usai shalat Shubuh kemudian meninggalkan Musdalifah menuju Jamarat pada 10 Dhul Hijjah yang bertepatan dengan pelaksanaan shalat Idhul Adha bagi yang tidak sedang berhaji. Usai melempar ketiga Jamarat lalu bercukur yang memungkinkan jamaah bisa menanggalkan pakaian ihram dan ketentuan-ketentuan ihram lainnya.
Adapun agenda haji baru tuntas setelah Thawaf dan Sa’i Ifadah yang bisa dilaksanakan antara 10 hingga 13 Dhul Hijjah. Pada saat yang sama, antara 11 dan 13 Dhull Hijjah jamaah kembali ke tenda-tenda di Mina untuk dua-tiga malam yang dirangkai dengan melempar Jamarat setiap harinya.
Agenda yang sudah terjadwal di mana jamaah haji melakukan aktivitas di waktu dan tempat yang sama sangat memungkinkan terjadi kepadatan-kepadatan, terutama di dua titik yakni di Jamarat bagi yang sedang melempar dan di Masjidil Haram bagi yang sedang Thawaf dan Sa’i Ifadah. Apalagi ketika hampir sebagian besar jamaah berpikiran sama tentang waktu-waktu yang paling afdhal.  Misalnya, waktu paling afdhal melempar Jamarat adalah sehabis Ashar maka bisa dipastikan tumpukan jamaah di waktu itu.

Karenanya, pengaturan jadwal yang dilakukan petugas, termasuk yang dilakukan petugas pintu maktab di atas sangat penting apalagi disertai laporan situasi terkini, baik di Jamarat maupun di Masjidil Haram.
Meski tertahan di tenda selama dua jam tetapi saya tetap bersyukur karena setidaknya bisa terhindar dari kondisi berdesak-desakan di Jamarat. Di sepanjang perjalanan kurang lebih satu jam memang tumpukan-tumpukan jamaah masih terlihat terutama saat berada dalam terowongan, tetapi secara keseluruhannya lancar.
Usai melempar Jamarat Aqabah, Jamarat terakhir dari tiga Jamarat, di lantai ketiga, saya turun ke lantai dasar melalui eskalator. Pada eskalator terakhir yang menuju tepat ke lantai dasar, saya melihat seseorang dengan sepedanya. Saya menyilakan dia mendahului saya. Dia tepat berdiri di depan saya sambil mengangkat sepedanya di eskalator yang bergerak. Saya melihat bendera Inggris bertengger di bagian belakang sepeda itu, serta merta ingatan saya berkelabat pada satu berita yang pernah saya baca tentang jamaah haji asal London yang bersepeda ke Makkah.
Selepas dari eskalator, saya menyapanya dan menjabat tangannya. Bertanya untuk memastikan apakah dialah pesepeda yang berangkat dari London ke Makkah untuk berhaji. Dia mengiyakan lalu kami pun berkenalan. Namanya Rashid Ali. Bersama dua orang lainnya, Abdul Hannan dan Shubo Hussain, Rashid Ali memulai perjalanan dari London pada 2 Juli 2017 dan tiba di Makkah pada 25 Agustus 2017. Mereka menempuh 56 hari perjalanan dengan melewati 13 negara: Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Slovenia, Kroasia, Bosnia, Serbia, Bulgaria, Yunani Turki, Mesir, dan berakhir di Saudi Arabia.
Kami mengobrol sebentar saja karena waktu dan keadaan tidak memungkinkan berlama-lama. Saya juga tidak ingin dia merasa terganggu, boleh jadi dia memiliki agenda ibadah selanjutnya atau sekadar pulang ke hotel beristirahat. Sebelum berpisah kami foto bersama. Jamaah haji lainnya yang kebetulan melihat kami berfoto, ikut antri foto bersama Rashid Ali. Rupanya informasi pesepeda yang berhaji dari London ke Makkah sudah tersebar luas. Wajah Rashid Ali, apalagi sambil tenteng-tenteng sepeda berbendera Inggris, sudah dikenali banyak jamaah haji.
Kami bersalaman untuk berpisah. Tangan saya menggenggam lembaran Riyal untuk saya berikan kepada Rashid Ali sebagai sedekah.  Dia tidak mengambilnya tetapi tidak juga menolaknya. Rashid Ali mengeluarkan semacam stiker kecil beberapa lembar dari sakunya. Dia menyerahkan kepada saya dan menyampaikan bahwa untuk berdonasi bisa melalui website resmi mereka seperti tertulis di stiker tersebut. Kemudian  dia menjelaskan secara singkat tujuan perjalanannya ini yakni mengumpulkan dana guna membantu anak-anak jalanan dan anak telantar lainnya seperti korban perang atau pun korban perdagangan anak di seluruh dunia. Saya meminta tambahan beberapa stiker lagi buat saya bagikan ke teman-teman di hotel.


Dari informasi yang dihimpun dari beberapa sumber, baik di website london2makkah.com maupun di fanpage FB @London2Makkah, Rashid Ali dan kawannya menempuh total jarak kurang lebih 5000 kilometer. Strava milik Rashid Ali memberikan kompilasi selama perjalanan itu yakni: total jarak yang ditempuh 5000 kilometer, mendaki 119,060 kaki, 79,636 kalori yang terbakar dengan kecepatan rata-rata 27 kilometer per jam, 56 hari untuk menempuh 13 negara.
Perjalanan Rashid Ali dan kedua kawannya menargetkan dapat mengumpulkan 100,000 Poundsterling. Hingga selesainya rangkaian haji tahun 2017 dan mereka kembali lagi ke London, donasi yang berhasil dihimpun mencapai 66,494.99 Poundsterling atau sudah 66 persen dari target.
Demikianlah, saat berada di dua tanah Haram, Makkah dan Madinah, jamaah haji akan bertemu banyak keadaan. Adakalanya hal-hal yang menyenangkan, juga kurang menyenangkan. Keadaan yang sulit, juga yang mudah. Tersesat tidak tahu jalan, atau tiba-tiba menemukan jalan untuk pulang setelah lama berputar-putar. Allah memberikan banyak kejutan.
Namun, demikian cara Allah mengatur setiap kejadian sehingga siapa pun bisa memperbaiki atau pun meningkatkan kualitas diri sebagai proses dari menunaikan rukun terakhir dari lima rukun dalam Islam tersebut. Rukun pamungkas yang besar harapan padanya menjadi penyempurna ke-Islam-an setiap orang setelah bersyahadat, mendirikan shalat, berpuasa, dan berzakat. 

Anak-anak di Sekitar Mina (Picture: Ahmad Syam)

Pada saat yang sama, sebagaimana saya bertemu Rashid Ali, tentu saja setiap jamaah akan berjumpa dengan beragam orang. Ini hal yang pasti karena ratusan ribu orang berada di tempat yang sama. Asal negara yang berbeda-beda.  Latar belakang sosial, budaya, ekonomi, dan pendidikan yang bervariasi. Termasuk perbedaan-perbedaan profesi, pekerjaan, dan mimpi-mimpi yang mungkin ingin dikerjakan di kelak hari.
Di tengah perjumpaan yang begitu beragam, sesekali Allah mempertemukan kita dengan yang seragam dengan diri kita. Kita bertemu, berjumpa, dan bersua dengan orang-orang yang sama dengan kita. Sama dan seragam dalam budaya, pekerjaan, hobi, atau pun impian-impian. Allah mengatur setiap kejadian sehingga tidak ada peristiwa kebetulan.

Semoga Allah menyampaikan saya kembali (lagi) dan kita semua ke Baitullaah. Aamiin Allahumma aamiin.

#terima kasih kepada Indonesian Muslim Community of Victoria (IMCV) di Melbourne dan Tim Sunshine Travel Hajj 2017 di Sydney serta seluruh bapak/ibu Jamaah Haji Sunshine 2017

Ka'bah from Roof View before Shubuh Prayer (Picture: Ahmad Syam)




No comments: