Monday, August 18, 2014

Upacara Sore Hari dan 69 Penari Saman

Pasukan pengibar bendera di Federation Square (Ahmad Syam)

Dua belas orang pasukan pengibar bendera berjalan tegap dalam barisan rapi. Mereka merupakan gabungan dari lima pemuda dan tujuh pemudi Indonesia. Berseragam putih-putih dan berpeci hitam dengan logo garuda.

Ratusan pandangan mata, baik dari masyarakat Indonesia maupun warga Australia yang berada di Forecourt, Federation Square, tertuju pada mereka. Suasana berlangsung khidmat meski sesekali suara aba-aba dari komandan pasukan yang lantang dan keras seolah menenggelamkan deru mesin mobil dan gelinding-gelundang roda besi tram.

Sebelum menuju tiang bendera, pasukan pengibar bendera tersebut berjalan kurang lebih dua puluh meter. Mereka melewati tiang bendera lalu membentuk formasi berbalik, berjalan sekitar tujuh meter, berhenti persis di depan tiang bendera. Tiga dari mereka yang bertugas sebagai pengerek bendera melangkah maju, mendekat ke tiang bendera. Tidak lama kemudian terbentanglah merah-putih, perlahan digerek ke atas yang diiringi lagu Indonesia Raya dari peserta upacara dan masyarakat Indonesia yang hadir.

Sang merah putih siap dikibarkan (Ahmad Syam)


Ada rasa haru bercampur bangga menyaksikan upacara bendera memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-69 Kemerdekaan Republik Indonesia di jantung Kota Melbourne ini. Meski upacara bendera sangat berbeda dibandingkan pada umumnya upacara bendera untuk peringatan serupa di Indonesia. Jika upacara pengibaran bendera HUT Kemerdekaan Indonesia di tanah air berlangsung pada pagi hari maka sebaliknya yang berlangsung di Federation Square ini yakni sore hari, pukul 3 p.m.

Saat sang merah putih digerek ke atas ada sedikit kekhwatiran prosesi pengibaran tidak berlangsung sempurna. Terdapat bagian bendera yang terlilit di tali. Hingga mendekati puncak tiang lilitan tersebut belum lepas. Syukurlah begitu sampai di puncak lilitan terlepas oleh tiupan angin. Merah putih berkibar yang disambut tepuk tangan peserta upacara.

Merah putih yang baru saja dikibarkan tersebut melengkapi tujuh merah putih lainnya yang terlebih dahulu sudah berkibar. Di Federation Square terdapat delapan tiang bendera berjejer yang kerap digunakan sebagai tempat mengibarkan bendera oleh negara-negara yang menyelenggaraan event di lokasi bersejarah tersebut. Hari ini, tepat 17 Agustus, tiang-tiang bendera yang sehari-hari mengibarkan bendera berwarna dasar biru dengan ciri khas Union Jack, Commonwealth Star di pojok kanan bawah serta rasi bintang crux milik Australia berganti merah putih.

Delapan merah putih berkibar di jantung Melbourne (Ahmad Syam)


Usai prosesi upacara bendera yang terkesan formal, dibalut dengan kesederhanaan namun sangat khidmat dan bersahaja, kemeriahan peringatan HUT ke-69 Kemerdekaan Republik Indonesia berlanjut penampilan 69 penari yang membawakan Tari Saman. Berdasarkan informasi pihak panitia, 69 penari menunjukkan 69 tahun kemerdekaan Indonesia. Selain itu ke-69 penari tersebut juga merepresentasikan semangat yang diusung kali ini yakni ‘Unity in Diversity’ (Kesatuan dalam Keberagaman). Seperti apa semangat dari motto tersebut dalam 69 penari? Ternyata para penari bukan hanya orang Indonesia tetapi juga terdapat orang Australia, Perancis, dan Ethiopia.

Tari Saman yang telah terdaftar di badan UNESCO milik PBB sebagai warisan kebudayaan langsung memikat orang-orang yang hadir di Federation Square. Tari dengan ciri khas tepuk tangan dan tepukan di dada, serta sejumlah gerakan unik seperti gerak guncang, surang-saring, kirep, dan lingang memukau hadirin. Gerakan selaras dengan tempo cepat menggiring, menghentak, dan menggelorakan kekuatan semangat serta kebersamaan.

69 penari Saman membuat HUT ke-69 RI semarak (Australia Plus Indonesia)
Ratusan orang datang menyaksikan peringatan HUT RI (Australia Plus Indonesia)


Memang terasa pas menikmati tarian Saman hari ini. Langit yang sesekali tidak terlihat birunya karena tertutup awan tebal memang sedikit membawa gundah di hati. Apalagi angin yang bertiup sepoi membawa udara dingin. Maka dengan hentakan para penari tersebut setidaknya memberikan kehangatan.

Selamat ulang tahun indonesiaku....

Brunswick, 17 Agustus 2014
http://luar-negeri.kompasiana.com/2014/08/17/upacara-bendera-sore-hari-dan-69-penari-saman-669013.html

Friday, August 1, 2014

Mendekap Cahaya di Musim Dingin

(Ahmad Syam)

Api unggun dari beberapa bongkahan kayu terus menyala. Lidah apinya sesekali terlihat tajam. Meliuk-liuk mengikuti irama angin. Baranya berkilauan seperti tidak ingin kalah dari gemerlap lampu-lampu kota.

Menikmati api unggun tersebut seperti berada di pedalaman Australia. Tanah merah kecoklatan yang menjadi alas api unggun adalah warna tanah khas yang akan ditemukan di pedalaman-pedalaman negeri Kanguru. Sementara batu-batu kali yang mengitari api unggun membawa pikiran pada sungai-sungai berair jernih jauh di pelosok.



Beberapa orang duduk maupun berdiri di sekitar api unggun. Mereka adalah para pengunjung yang mungkin tertarik merasakan eksotisme api unggun di jantung Kota Melbourne. Atau, boleh jadi, para pengunjung datang hanya untuk berdiam diri sejenak, menghangatkan tubuh dari cuaca dingin sembari mendengarkan alunan suara, nyanyian atau pun musik Aborigin yang sesekali samar terdengar.

Lebih jauh dari sekadar kedua faktor di atas keberadaan api unggun yang menyala non-stop selama 22 hari tersebut menyertakan cerita tentang kehidupan penduduk asli Australia, Suku Aborigin. Api unggun yang dalam istilah Aborigin dikenal dengan leempeeyt weeyn memang untuk kali pertama tampil dalam event The Light in Winter. Dalam karya Vicki Couzens ini api unggun dikitari beberapa simbol-simbol. Ada simbol planet dalam sistem tata surya, ada juga simbol orang yang sedang berdansa.



Jules, salah seorang panitia The Light in Winter 2014 yang bertugas di sekitar leempeeyt weeyn, bercerita kepada saya bahwa simbol planet adalah konsep kehidupan Aborigin tentang alam semesta. Bahwa orang-orang Aborigin telah mengetahui dan menerapkan sistem pengetahuan tentang alam semesta, termasuk pergerakan matahari dan bulan serta pengaruhnya terhadap pergantian musim dalam kehidupan sehari-hari mereka ratusan tahun yang lalu. Sedangkan simbol orang yang sedang berdansa dan menari mengelilingi api adalah sisi lain dari pemaknaan orang-orang Aborigin tentang api sebagai salah satu unsur kehidupan yang penting.

Setiap musim dingin tiba dalam delapan tahun terakhir, kegiatan The Light in Winter selalu hadir menghangatkan warga Melbourne. Musim dingin yang berlangsung selama kurang lebih tiga bulan, Juni-Agustus, disambut dengan event yang menyajikan kolaborasi seni dan cahaya. Karya-karya seninya untuk dinikmati sebagai makanan jiwa dan cahaya dari lampu-lampu adalah penghangat raga. Tahun 2014 ini The Light in Winter berlangsung 1-22 Juni di Federation Square dengan beragam karya yang tidak saja memanjakan mata tetapi juga mengisi ruang batin dan memperkaya pengetahuan.

Bagi saya, selain karya api unggun khas Aborigin terdapat dua karya lainnya yang menarik perhatian. Pertama, Radiant Lines karya Asif Khan yang mewujudkan eksplorasi garis, irama, kecepatan, dan volume. Garis-garis yang membentuk 40 cincin (melingkar) berbahan dasar aluminium dengan ruang kosong di tengahnya. Pada garis-garis yang membentuk lingkaran tersebut terpasang ratusan lampu LED (light-emitting diode) yang di malam hari menyala sangat terang. Radiant Lines dibuat dengan tinggi 8 meter dan pada bagian bawahnya memungkinkan pengunjung masuk ke bagian tengahnya. Nah, pada saat pengunjung berada di tengah-tengah ruang kosong itulah sesekali terdengar getaran dari energi lampu-lampu dalam jumlah dan berkekuatan besar.



Kedua, karya yang saya amat nikmati adalah Teater Boneka ‘Papermoon’. Saya tertarik bukan hanya karena kreatornya adalah orang Indonesia, Maria Tri Sulistyani, tetapi juga karena pesan dari karya ini. Maria menggunakan boneka-boneka unik dan bertingkah aneh serta menggunakan atraksi multimedia untuk menciptakan kembali catatan-catatan personal dan kisah menyedihkan dari periode masa suram dalam sejarah Indonesia. Saya terpesona dengan penampilan boneka-boneka tersebut yang mampu merepresentasikan masa lalu dan menyajikannya di masa kini. Belum lenyap rasa kagum tersebut, tiba-tiba saya dikejutkan oleh boneka yang tiba-tiba muncul dari dalam kotak lalu menghilang dengan sangat cepat. Boneka-boneka yang bergerak memiliki daya pikat yang tak berbatas yang darinya memberikan banyak stimulan bagi imajinasi.



Pergerakan imajinasi adalah penting meski badan kaku sejenak karena dingin. Menurut saya, demikian satu dari beberapa tujuan dihadirkannya kegiatan tahunan The Light in Winter. Program-program yang berlangsung sepanjang hari hingga malam tidak saja meluapkan banyak cahaya dalam pengertian fisik tetapi juga cahaya dari kebijakan spiritual. Para pengunjung yang datang sendirian maupun bersama keluarga tidak ubahnya dalam rangka saling mendekap untuk berbagi keceriaan dan kehangatan.

Brunswick, 1 Agustus 2014
http://luar-negeri.kompasiana.com/2014/08/01/mendekap-cahaya-di-musim-dingin-666722.html