Tuesday, January 14, 2014

Ibuku Bumi, Ibuku Langit


Aku duduk di ujung kursi panjang, tepat di belakang jok sopir. Di samping aku ada bapak yang memangku si bungsu. Setelah bapak ada adikku yang seorang lagi. Di kursi panjang lainnya, kursi yang sebelah-menyebelah yang aku duduki, ada kedua kakak perempuanku bersama tante. Kakak yang laki-laki duduk di jok depan bersama supir untuk mengarahkan jalan.

Di tengah-tengah, diantara kursi panjang tempat kami duduk, ibu terbujur di atas tandu ambulans. Nafasnya semakin melemah. Namun, dari temaram lampu ambulans aku masih bisa melihat bibirnya bergetar pelan mengikuti suara tante yang terus menuntunnya mengucap zikir.

Melihat ibu dengan nafas tersengal-sengal membuat perasaanku tidak menentu. Aku berusaha menata perasaan ini tetapi tidak bisa. Malahan perasaanku semakin tidak karuan mendengar raungan sirine. Perasaanku semakin kacau saat mengintip dari jendela dan kulihat cahaya merah lampu ambulans yang berpendar-pendar.

Aku mematung dengan pandangan jatuh ke bawah. Tertuju pada kedua tanganku yang tidak lepas mengenggam doa. Aku memasung perasaan sepanjang perjalanan 65 kilometer. Memasung pikiranku pada ibu saja; perempuan yang telah mewujud sebagai bumi dan langit sepanjang hidupnya.
***
Ibu laksana bumi. Hamparan tanah tempat anak-anaknya menjalarkan akar-akar untuk bertumbuh. Ladang luas yang menghasilkan banyak buah untuk nutrisi anak-anaknya. Tempat di bawah sehingga terinjak kaki namun senantiasa mengajarkan sikap tak rendah diri.

Di kota kami sekeluarga berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya. Bahkan karena bapak tidak cukup uang mengontrak rumah, selama dua tahun kami mengontrak kolong rumah. Sebuah kolong rumah yang luasnya dua petak dan berlantai tanah. Jika hujan turun dan selokan meluap, maka selama seharian kolong rumah tersebut terendam air setinggi betis. Deritanya masih berlanjut setelah air surut karena lantai tanah baru bisa benar-benar kering setelah satu minggu.


Di tengah kesulitan ekonomi yang mendera itu, ibu tampil sebagai penyeimbang. Misalnya, karena tunjangan beras bapak tidak mencukupi untuk delapan anggota keluarga, ibu sekali sebulan pulang ke kampung. Kadang berhari-hari. Paling cepat seminggu. Mengolah bulir-bulir padi yang masih menempel di tangkainya hingga menjadi beras, selain memakan waktu lama juga menguras banyak tenaga.

Padi-padi itu terlebih dahulu dijemur di bawah terik matahari agar bulir padi mudah terlepas dari tangkainya. Kemudian ibu menumbuknya hingga bulir-bulir tersebut benar-benar lepas dari tangkainya. Bulir-bulir padi tersebut lalu di bawa ke pabrik untuk memisahkan biji beras dari kulitnya. Lalu ibu akan menapisnya guna memisahkan ampas beras. Terakhir, ibu dengan membawa dua karung beras 20 kilogram kembali ke kota.

Terkadang ibu juga ke kampung bukan untuk urusan beras. Meski hanya tamatan sekolah rakyat (SR), sekarang sekolah dasar (SD), ibu sangat ingin anak-anaknya bersekolah setinggi mungkin. Kendalanya kadang di biaya sekolah. Karenanya, ibu harus ke kampung untuk mencari pinjaman. Bukan satu-dua kali tetapi berkali-kali ibu mondar-mandir kota-kampung, kampung-kota. Jika tidak mendapatkan uang pinjaman, ibu akan menggadaikan sedikit perhiasan yang dimilikinya, atau pun menggadaikan petak sawah milik bapak-ibu untuk jangka waktu tertentu.
***
Ibu laksana langit. Atap luas yang melindungi anak-anaknya. Angkasa yang membebaskan anak-anaknya mengembangkan diri. Padanya ada awan yang meneduhkan dari panas matahari. Darinya air hujan dan karunia berasal. Tempat tertinggi dan teratas namun senantiasa mengajarkan sikap rendah hati.

Keinginan ibu yang begitu kuat turut menggairahkan ekonomi keluarga sehingga dia memutuskan berjualan kue. Ya, ibu ingin seperti langit yang menurunkan hujan untuk bumi. Meski aku tahu penghasilan dari berjualan kue dalam skala kecil tidaklah besar. Apalagi ibu harus berbagi keuntungan dengan pemilik warung tempat kue-kue ibu dititip. Karena itu, agar pendapatan yang diperoleh lebih besar maka ibu membuat dua-tiga jenis kue serta dititip hingga di tiga warung berbeda.

Harapan berpendapatan lebih besar tentu berdampak langsung pada bertambahnya beban kerja. Masih sangat lekat dalam ingatanku, walau masa-masa itu telah berlalu hampir tiga puluh tahun silam, ibu mengurangi jatah tidur dan istirahatnya. Di malam hari sebelum berangkat tidur bahan-bahan kue tersebut sudah diolah. Sekitar pukul 03.00 dinihari ibu sudah bangun dan mulai mengukus kue. Biasanya, kue-kue tersebut sudah kelar dan siap diantar ke warung-warung usai shalat shubuh.

Apakah kesibukan ibu menyangkut kue-kue sudah selesai setelah mengantarnya ke beberapa warung? Tentu saja tidak. Pekerjaan membuat kue adalah pekerjaan yang tidak pernah berkesudahan. Pagi hari ibu sudah berangkat ke pasar membeli bahan-bahan kue. Tidak lupa merendam beras untuk diolah jadi tepung beras. Demikian rutinitas keseharian ibu selama bertahun-tahun. Tidak ada hari libur. Tidak ada tanggal merah.

Untuk meringankan pekerjaan ibu, aku biasanya membantu menumbuk beras hingga jadi tepung beras. Aku melihat ada kegembiraan terpancar dari matanya kala aku menawarkan diri membantunya. Terus terang aku senang melakukan pekerjaan menumbuk beras tersebut. Tidak hanya karena dapat meringankan pekerjaan ibu, tetapi juga menjadi satu cara buat aku berolahraga. Meski telapak tanganku kadang lecet, tetapi aku perhatikan setelah rutin menumpuk beras otot-otot bisep di kedua lenganku sedikit terbentuk. Kawan-kawan sepermainan seringkali bertanya-tanya bagaimana aku memiliki otot bisep lengan yang terbentuk. Maklum, dahulu bagi anak-anak seumuran SMP, memiliki otot bisep lengan jadi kebanggaan. Bahkan seringkali adu pamer bisep lengan, hehehe….Tetapi, aku tidak pernah memberitahukan mereka kalau otot bisepku terbentuk karena menumbuk beras. Aku malu. Malu yang tidak pada tempatnya.

Perasaan malu yang ternyata juga keliru adalah ketika ibu memintaku mengantar kue ke warung-warung. Permintaan yang terkadang aku sanggupi, terkadang aku tolak. Kenapa aku tidak mau? Lagi-lagi karena aku merasa malu. Padahal, berulangkali ibu memberi nasehat, “kamu baru perlu malu kalau mencuri!”

Jika perasaan malu sering melanda saat disuruh mengantar kue ke warung, maka tidak demikian kala ibu meminta mengambil kembali tempat kue di warung. Setiap petang tempat kue tersebut diambil dan aku paling bersemangat karena berharap masih ada kue yang tidak terjual. Harapan yang tentu saja berlawanan dengan harapan ibu. Ah, pikiran anak-anak memang pikiran yang lebih banyak kelirunya.

Marahkah ibu melihat kegembiraan anak-anaknya bila ada kue tersisa dari warung? Tidak. Bahkan, kue-kue tersebut dikukusnya kembali. Kemudian dihidangkannya hangat-hangat.
***
Ibu laksana bumi, laksana langit. Bumi menumbuhkan segala rupa tetumbuhan dan langit menyiramkan hujannya. Bumi mengatur air sungai tetap mengalir dan langit dengan mataharinya membagikan siang dan malam secara teratur. Bumi menyajikan pesona alam di hari cerah dan langit menerbitkan bintang dalam gelap. Bumi-langit, tinggi-rendah, siang-malam, lembut-kuat, bukanlah suatu kontradiksi tetapi keseimbangan makrokosmos.

Keseimbangan yang juga dimiliki ibuku sebagai sosok yang menumbuhkan anak-anaknya dalam kelembutan kasih sayang. Sosok yang menafkahi anak-anaknya dengan bekerja keras. Mengajarkan sikap merendah seperti bumi. Mendidik sikap untuk menjaga harga diri setinggi langit. Sosok pekerja keras dan ulet sehingga siang dan malam tidak penting lagi untuknya. Gelap dan terang dia dekap bersama-sama. Pada diri ibu ada keseimbangan mikrokosmos.

Namun, di saat ibu tengah berjuang menjadi bumi dan langit buat kami anak-anaknya, untuk keluarganya, ibu terpaksa berhenti untuk takdirnya yang lain. Ibu sakit. Perutnya sedikit demi sedikit membesar. Dokter yang mendiagnosa ibu menderita sakit maag yang telah akut. Dokter menyampaikan penjelasan awal tetapi sangat mendasar: ibu sering mengabaikan perutnya lapar, kosong tidak diisi makanan dalam jangka waktu lama. Oh, apakah karena ibu terlalu larut dalam bekerja sehingga lupa makan? Apakah ini bentuk pengorbanannya yang lain, mengurangi jatah makannya demi anak-anaknya? Apakah karena energi yang dikeluarkan ibu saat bekerja keras tidak sebandingkan asupan makanan yang dikonsumsinya?

Bulan demi bulan perut semakin membesar. Sangat kontras dengan badannya yang semakin kurus. Untuk berjalan ibu harus dipapah. Seharian dihabiskan dengan berbaring karena tidak lagi berlama-lama duduk. Sesekali terdengar erangan kecil dari mulutnya. Kata ibu, dia kadang tidak kuat oleh rasa nyeri di ulu hati yang kadang menyerang tiba-tiba.

Ternyata, dari keterangan dokter, penyakit maag akut tersebut semakin hari semakin berdampak pada datangnya penyakit lainnya. Penyakit maag akut bisa memicu penyakit yang lebih berat seperti kanker lambung hingga hepatitis A.

Bapak akhirnya memutuskan merawatinapkan ibu di rumah sakit, tentu setelah mendapatkan uang pinjaman dari keluarga di kampung. Selama dua bulan di rumah sakit, kesehatan ibu membaik. Operasi yang dilakukan berhasil mengangkat dua biji daging, semacam tumor, dari perut ibu.

Karena biaya rawat inap termasuk belanja obat-obatan yang semakin memberatkan, bapak memutuskan membawa ibu pulang ke rumah. Meski masih mengonsumsi obat-obat dari dokter, upaya-upaya pengobatan tradisional juga dilakukan. Saudara-saudara ibu berinisiatif membawa ibu menetap di rumah kakek di kampung. Inisiatif yang baik. Setidaknya akan lebih baik buat ibu karena di kampung ada saudara-saudara ibu yang menjaga dan merawat, juga akan lebih baik karena di kampung lebih banyak ahli pengobatan tradisional yang bisa meramu obat-obatan.

Tiga-empat bulan ibu dirawat di rumah tanpa sentuhan medis bukannya penyakit ibu sembuh tetapi perlahan menunjukkan kembali pada kondisi kronis. Bapak kembali memutuskan merawat ibu di rumah sakit. Malam sebelum ibu dibawa ke rumah sakit, aku menemani bapak ke rumah seorang kerabat lainnya untuk meminjam uang. Berjalan kaki di malam gelap menyusuri pematang sawah dengan penerangan lampu senter. Bapak sengaja menggilir kerabat untuk meminjam uang karena tidak ingin meminjam uang pada kerabat yang sama sebelum pinjaman lama lunas.

Keuangan bapak yang tidak besar dan tingginya tarif kamar rumah sakit sehingga ibu hanya ditempatkan di ruang perawatan kelas II. Sebuah ruangan besar yang di dalamnya terdapat sekitar 10 pasien. Kedua kakak perempuan dan seorang tante yang bergantian menjaga ibu. Aku sendiri hanya sempat menjenguk ibu setiap pulang sekolah. Dari siang hingga petang.

Kurang lebih satu bulan ibu berada di ruang perawatan tersebut, hingga pada suatu senja yang tua ibu meminta kakak memapahnya ke kamar mandi. Kata ibu, dia ingin bersih-bersih. Meluruhkan daki di badan. Gosok gigi. Bersuci dengan air wudhu karena sebentar lagi maghrib. Apakah itu pertanda ibu ingin membersihkan diri sebelum berangkat? Entahlah, karena sesampai di tempat tidur dari kamar mandi itu, ibu mengeluhkan sesak nafas tidak tertahan.
***
Ambulans melaju dalam perjalanan 65 kilometer ke kampung. Suara sirine memecah sunyi malam.Cahaya lampu berwarna merah yang berpendar-pendar, berkelebat diantara petak-petak sawah. Tante terus menuntun ibu berzikir. Tetapi dari temaram lampu ambulans aku melihat bibir ibu sudah tidak bergerak lagi. Aku mendengar nafas ibu yang semakin memburu dan tersengal-sengal. Aku merasa tubuhku beku.

Tepat memasuki batas kampung suara sirine ambulans dan suara tuntunan zikir tante tidak terdengar lagi. Lamat yang aku dengar tangis lirih….
Selamat Hari Ibu!

Brunswick, 22 Desember 2013
*) Ilustrasi: www.digaleri.com

No comments: