Wednesday, January 15, 2014

Suamiku Terbang



Gadis kecilku datang memberitahu bahwa ayah terbang. Sambil berlari ke arahku yang sementara menyetrika pakaian, Lila yang bulan depan akan menginjak usia tiga tahun setengah berteriak menyampaikan, “Ibu, ayah terbang!” Lalu aku jawab dengan tenang, “Oh ya? Wah ayah hebat dong!” Tanpa menunggu apa yang Lila ingin sampaikan selanjutnya, buru-buru aku memintanya kembali ke kamar, bermain bersama ayah. Lila menurut. Dia kembali berlari ke kamar.

Hari ini adalah akhir pekan yang menyenangkan. Tahu kenapa? Karena keluarga kecilku dapat berkumpul. Biasanya aku hanya berduaan dengan Lila menghabiskan akhir pekan. Hari ini suamiku juga ada di rumah. Seharusnya, berdasarkan jadwal terbang suamiku, dia tidak di rumah untuk akhir pekan ini tetapi akhir pekan depan. Tetapi gangguan kesehatan yang dialaminya sehingga dia meminta izin tidak masuk kantor untuk beberapa hari. Cuti dari tugas sehari-hari sebagai seorang pilot.

Aku benar-benar sangat riang hari ini. Riang karena kesempatan berkumpul seperti ini jarang terjadi. Apalagi setelah suamiku mendapatkan kepercayaan menerbangkan pesawat untuk beberapa rute luar negeri. Ke sejumlah negara di kawasan Asia, bahkan, rute ke Eropa. Mengeluhkah aku karena sering ditinggal pergi? Karena kesepian? Ah, tentu saja tidak. Jauh sebelum aku memutuskan untuk mengarungi bahtera rumah tangga bersamanya, aku sudah tahu konsekuensi bersuamikan seorang pilot. Perasaan cintaku padanya mengalahkan seluruh kekhawatiranku.

Kami berdua sudah saling mengenal sejak di sekolah menengah. Berada dalam satu sekolah membuat pertemuan intens terjadi. Meski tidak berada di kelas yang sama namun kami mengikuti kegiatan ekstra-kurikuler yang sama yakni kelompok ilmiah remaja. Ya, menyenangi bidang minat yang sama ternyata membuat kami lebih cepat menjadi akrab. Karena sering bertemu, berdiskusi, dan berkegiatan secara bersama-sama sehingga kami perlahan saling mengetahui pribadi masing-masing. Pada dirinya yang aku anggap sama dengan kepribadianku adalah pantang menyerah. Namun aku juga temukan pada dirinya yang bertolak belakang dengan karakterku. Aku cenderung kurang sabar dan kadang terkesan terburu-buru sedangkan dia sangat tenang dan begitu hati-hati. Aku lebih agresif sedangkan dia agak defensif, termasuk ketika di awal-awal masa perkenalan kami. Akulah yang sangat khawatir dia jatuh ke gadis yang lain karenanya akulah yang lebih dahulu ‘nembak’ dia atas bantuan teman dekatnya.

Selepas di sekolah menengah aku tetap tinggal di kota kami dan kuliah psikologi di universitas negeri. Sedangkan dia memilih masuk di sekolah penerbangan di kota lain. Kami jadi jarang bertemu. Tetapi pesan singkat dan berbincang lewat telepon membuat jarak kami tetap dekat. Hingga pada akhir-akhir pendidikannya dan aku pun sudah menyandang gelar sarjana psikologi, dia menelepon dan menyampaikan niat melamarku. Aku sangat senang dan bahagia. Dia memang tidak seromantis para aktor di film-film ketika melamar kekasihnya. Dia tidak menyematkan cincin di jemariku dan juga tidak sambil berlutut.  Tetapi dari getaran suaranya saat menyampaikan niat melamarku aku tahu kekuatan dan kehebatan cinta yang dimilikinya.

Kekuatan dan kehebatan cintanya itu pula yang membuat aku tidak merasa kesepian meski sering ditinggal untuk beberapa hari. Lagi-lagi perbincangan melalui telepon yang membunuh seluruh rasa sepi itu. Suaranya akan bergemuruh dari jauh dan aku tahu suaranya bergemuruh cinta. Bukankah merelakan diri bekerja keras dan jauh dari keluarga adalah perlambang dari rasa cinta yang besar pada keluarga?

Hanya bila aku melihat Lila mulai bosan karena hanya bertemu saya setiap hari lalu aku menelepon mama. Aku memintanya datang. Mama selalu memenuhi permintaanku. Kadang dia menginap dua-tiga malam. Pada lain kesempatan aku membawa Lila ke rumah neneknya.

Tetapi hari ini suamiku ada di rumah. Aku gembira. Lila apalagi. Jika kegembiraanku menggebu karena keluarga kecilku menjadi utuh, maka naluri sebagai perempuan; sebagai istri dan ibu pun bergelora. Mau tahu bagaimana aku menyalurkan rasa gembira yang menggebu dan menggelora? Memasak dan menghidangkan makanan favorit keluarga itulah bentuk penyalurannya. Apalagi hari ini adalah hari terakhir dari izin istirahat suamiku. Besok senin dia akan kembali berdinas. Kembali terbang.

Subuh tadi, begitu bangun, aku sudah bergegas ke pasar. Sebuah pasar tradisional skala kecil yang tidak jauh dari tempat tinggal kami. Jaraknya hanya kurang lebih 500 meter. Semalam aku membuat daftar belanjaan. Termasuk dalam catatan adalah terong. Suamiku adalah penggemar terong yang dipanggang di atas bara api. Terong tersebut setelah matang lalu dikeruk dagingnya. Kemudian daging terong itu disiram dengan perasan asam Jawa. Karena suamiku menyukai yang pedas, dia biasanya menambahkan dua-tiga cabe ke terong yang telah berlumuran asam Jawa tersebut.

Aku juga berencana membuat pepes ikan teri. Bahan-bahannya juga sudah aku beli tadi pagi di pasar. Ikan teri basah, daun pisang, daun salam, daun kemangi, tomat, dan belimbing sayur. Aku paling senang melihatnya melahap pepes ikan teri buatanku. Kulit daun pisang bungkus pepes nyaris bersih, bahkan sisa bumbu di jemarinya pun dia jilat. Sambil bergurau dia sering mengatakan kepadaku, seluruh chef di hotel-hotel bintang lima tempatnya menginap ketika dinas masih kalah sama aku. Jika sudah dipuji sedemikian aku mencubit pinggangnya sambil kudaratkan sekali kecupan di pipinya.
***
Aku masih menyetrika saat Lila kembali datang berlari-lari. Kedua pipinya yang montok bergoyang-goyang. Sengaja rambutnya aku model poni. Aku dan suamiku menyukai potongan rambut yang demikian. Potongan rambut yang mengingatkan pada satu tokoh kartun anak-anak yang terkenal, Dora The Explorer. “Kenapa lagi sayang?” Tanyaku mendahului. “Ibu, lihat ke kamar, ayah terbang!” Pinta Lila. “Tunggu ya Sayang, ibu masih menyetrika baju ayah. Ibu juga masih harus memasak. Nanti kalau ibu sudah selesai masak baru ibu susul ke kamar ya. Ayo, main sama ayah lagi sana…!” Lila pun berlari kembali ke kamar.

Lila anak semata wayang kami itu memang sangat senang bila ayahnya ada di rumah. Mereka berdua kadang menghabiskan seharian untuk bermain. Kadang mereka main petak umpet. Atau, permainan seolah-olah mereka di atas pesawat. Lila jadi penumpang dan ayahnya jadi pilot. Suamiku akan memakai topi khasnya. Seringkali juga suamiku memerankan tokoh imajinasi yang bisa terbang. Selembar sarung dia lilitkan di leher sehingga menyerupai sayap. Beberapa bantal ditumpuk lalu suamiku tengkurap di atasnya sehingga seolah-olah terbang. Lila paling suka jika ayahnya memerankan tokoh yang bisa terbang. Lila akan berteriak-teriak kegeringan, “Ayah terbang…ayah terbang….!”

Aku yang mendengarkan keriangan mereka berdua kadang ikut senyum-senyum. Aku bisa merasakan kebahagiaan Lila bila ayahnya ada di rumah. Dia akan menumpahkan seluruh kemanjaannya. Apa-apa mintanya sama ayah. Minta ditemani mandi. Minta disuapin makan. Minta dininabobokan di tempat tidur. Lila telah membebastugaskan aku saat suamiku di rumah.

Karena kesibukan dengan urusan rumah, kadang aku baru bisa bergabung dengan mereka setelah urusan rumah selesai. Seperti hari ini aku harus menyiapkan pakaian suamiku yang akan mulai bertugas besok. Rute ke Eropa tentu memerlukan beberapa lembar pakaian ganti. Pakaian-pakaian tersebut aku setrika lalu dimasukkan ke kopor. Jika urusan pakaian telah selesai maka urusan masak-memasak adalah kegiatan selanjutnya. “Lha, kamu ya cari pembantu, Tin! Biar tidak terlalu repot mengurus rumah!” Begitu nasehat mama bila berkunjung ke rumahku. “Nanti saja, Mam. Sementara ini saya ingin merasakan bagaimana menjadi ibu rumah tangga!” Jawabku singkat. Seringkali aku ingin mengatakan pada mama bahwa aku ingin belajar tentang hidup darinya. Belajar mengelola rumah tangga. Bagiku, mama seorang ibu terbaik. Aku bersama kedua adiku dibesarkannya sendirian semenjak ayahku berpulang. Mama berjuang sendiri dari mencari nafkah dengan berdagang kue hingga mengasuh kami. Aku merasakan betapa hebat dan kuatnya mama tanpa suami, tanpa pembantu membesarkan anak-anaknya. Itulah pelajaran hidup yang aku ingin ambil dari mama dalam rumah tanggaku sekarang.

Sebenarnya aku belum tenang jika suamiku kembali berkantor besok, apalagi langsung menerbangkan pesawat untuk rute Eropa. Aku tidak yakin kondisinya sudah benar-benar sehat saat ini. Nyeri yang datang tiba-tiba di dada masih sering dikeluhkannya kepadaku. Karena itu, kemarin ketika mengobrol di halaman belakang sambil menghirup kopi sore aku menyarankan ke dia agar meminta ke kantor untuk izin istirahat tambahan. Tetapi dia menolak. Katanya, mendapatkan izin empat hari tidak masuk sudah cukup baginya. Lagi pula, tambahnya, dia merasa tidak enak dengan teman-teman sejawat jika terlalu banyak meminta izin istirahat. “Mama khan tahu kalau bulan Desember begini adalah musim liburan. Tingkat okupansi pesawat pasti naik. Jadwal penerbangan akan padat, terutama ke kota-kota tujuan wisata. Kantor telah mengingatkan jika tidak benar-benar penting sebaiknya tunda dahulu untuk mengambil cuti atau pun meminta izin!”
***
Aku telah merapikan papan setrika. Melipat dan menaruhnya di kamar belakang. Setrika pun sementara telah aku taruh di tempat tinggi, di atas bupet yang tidak terjangkau Lila. Khawatir setrika yang platnya masih panas itu dimainin Lila. Ketika pakaian-pakaian akan aku atur dalam kopor suamiku, tiba-tiba aku mendengar suara Lila memanggil-manggil namaku, “Ibu…ibu…ayah terbang…! Ibu…ibu…ayah terbang…!” Awalnya aku tidak memedulikan karena yang terbetik di pikiranku; paling dia mengajakku ke kamar, mengajakku bermain bersama mereka. Padahal aku belum memasak.

Lila kembali memanggil, “Ibuuu…ayah terbang….ayah terbang….!” Suara Lila kali ini agak berbeda. Ada tangisan lirih terselip diantara suaranya. Perasaanku tiba-tiba menjadi tidak enak. Aku segera mengancing kopor. Sambil mengatur perasaanku yang semakin tidak karuan, aku bergegas ke kamar. Lila menyambutku di pintu kamar, “Ibu, ayah terbang!” Aku memeluk Lila. Menggendongnya ke atas sofa bed di mana suamiku tengkurap tanpa gerakan sedikit pun. Aku menyentuh tubuh suamiku. Dingin…sangat dingin.

Brunswick, 30 Desember 2013
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/12/30/suamiku-terbang-622610.html
*)Ilustrasi: freematot.wordpress.com

No comments: