Saturday, July 2, 2011

Kinerja Pelayanan Kesehatan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan 2010



Penulis Laporan: Ahmad Syam
Data Survei : Imdev Research Institute
Penerbit : The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO)

Abstract

Local autonomy, up to now, has been implemented in Indonesia for more than one decade. Many things have to be improved. However, this also brings much benefit in improving governance at local level. Some local authorities initiate innovative programs to overcome local problems. The initiative of South Sulawesi Provincial government to introduce free health care system indicates the more freedom given to local government in managing their resources. On the other hand, some local governments do not respond this opportunity well. Some governments do not seem to consider that innovative program will develop their region. Survey conducted by the Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) shows only 50,13 percents respondents think that some local authority heads have strong commitment in achieving the objective of local autonomy. FIPO’s monitoring during 2010 found that some districts/municipalities have strong initiative in improving health services. This can be seen from the programs in helping people to reach health service facilities and in health services cost reduction. Nevertheless, in general, creating innovative programs does not seem to be the agenda of some local authority heads. Most programs presented to FIPO are central government programs. Local governments lack of initiative in designing better programs suggests that they do not seem to feel free in creating their own programs. Regarding surveys on the public, local governments in South Sulawesi have not involved people in preparing health care budget. This kind of condition is also work for the transparency in the process budget examination.

Pendahuluan

Komitmen pemerintah meningkatkan layanan kesehatan secara baik terlihat nyata dari program kesehatan gratis. Masyarakat pun menyambut dengan suka cita dengan berbondong-bondong mendatangi lokasi-lokasi pelayanan kesehatan (RSD, puskesmas, pustu, bidan desa). Antusiasme masyarakat mengunjungi lokasi-lokasi pelayanan kesehatan tersebut boleh jadi mencerminkan dampak dari konsep murah yang diusung program kesehatan gratis, atau juga bisa menggambarkan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk peduli pada kesehatan dirinya.

Data menunjukkan, jumlah kepesertaan program kesehatan gratis yang diluncurkan sejak 1 Juli 2008 meningkat dari tahun ke tahun (2008: 4.298.110 jiwa; 2009: 4.472.546 jiwa; dan 2010: 4.576.525 jiwa). Dari jumlah tersebut sebagian besar mendapatkan pelayanan di puskesmas dan selebihnya memanfaatkan rumah sakit rujukan kelas tiga.

Namun, di tengah masyarakat yang antusias tersebut masih banyak harapan masyarakat yang belum terpenuhi oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab mendistribusikan layanan kesehatan. Dalam beberapa kasus masyarakat masih mengeluhkan keramahan petugas, molornya waktu pelayanan, prosedur yang berbelit-belit, diskriminasi pelayanan, hingga fasilitas toilet.

Artinya, pada satu sisi pemerintah berhasil mendekatkan layanan kesehatan kepada masyarakat dari segi keterjangkauan biaya tetapi, pada sisi lainnya, pemerintah belum sepenuhnya berhasil mendekatkan layanan kesehatan maksimal (maximal health service) dari aspek kualitas layanan. Fakta ini kemudian membangun persepsi masyarakat bahwa hal yang gratis biasanya bermutu rendah.

Laporan ini menyajikan fakta pelayanan kesehatan di 23 dari 24 kabupaten/kota se-Sulsel (Kabupaten Toraja Utara belum dinilai untuk Otonomi Awards 2010/2011). Fakta-fakta tersebut adalah praktik atau program inovatif pelayanan kesehatan yang dilakukan pemerintah daerah sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik.

Pada laporan ini juga tersaji persepsi masyarakat terhadap kinerja pelayanan kesehatan pemerintah daerah. Di era otonomi daerah pemerintah daerah dituntut membuat prakarsa dan inisiatif cerdas guna meningkatkan pelayanan kesehatan. Persepsi masyarakat atas program tersebut digali dari survei publik sebagai informasi penyeimbang bagi pemerintah daerah, khususnya pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Indikator Kesehatan dalam Skema FIPO

Layanan kesehatan, pendidikan, dan administrasi dasar kependudukan dan perizinan dalam skema the Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) merupakan bagian dari parameter layanan publik. Parameter yang secara khusus didesain untuk mengetahui indikator sufisiensi atas kebutuhan dasar sosial.

Sesungguhnya, hakikat otoda adalah mendekatkan layanan pemerintah daerah (pemda) terhadap masyarakatnya. Otoda juga berkonsekuensi pada menguatnya kewenangan pemda. Sedikitnya dua dampak yang sudah pasti timbul. Pertama, pemda dapat merencanakan dan menjalankan urusan pemerintahan sendiri. Kedua, pemda praktis akan lebih kreatif dan inovatif.

Berpedoman pada kedua dampak tersebut maka dalam era otoda ini pemda sedapat mungkin memunculkan serangkaian prakarsa dan terobosan inovatif terkait layanan kesehatan. Dalam skema FIPO terdapat lima isu strategis yang terkait dengan objek penilaian indikator layanan kesehatan.

Pertama, aksesibilitas layanan kesehatan yang mencakup layanan yang mudah, murah, terjangkau, dan merata. Problem terkait isu strategis ini adalah masih terbatasnya akses masyarakat terhadap layanan kesehatan. Meski layanan kesehatan gratis telah diberlakukan di tingkat puskesmas yang memungkinkan layanan diakses masyarakat tanpa biaya, namun di beberapa daerah masyarakatnya hanya mendapat kunjungan layanan kesehatan sekali dalam setahun. Artinya, persoalan aksesibilitas masih menyisakan persoalan-persoalan pada pemerataan. Dalam hal ini, diperlukan upaya dan kebijakan dalam hal pemerataan penempatan tenaga medis dan paramedis.

Kedua, ketercukupan sumber daya manusia dan sarana-prasarana. Persoalan menyangkut isu strategis ini misalnya pada terbatasnya petugas layanan kesehatan baik di tingkat puskesmas maupun polindes. Padahal, ketercukupan tenaga medis dan paramedis berperan penting dalam mendukung optimalisasi layanan kesehatan. Dalam skema FIPO, ketercukupan tenaga kesehatan tercermin dari rasio perbandingan keberadaan tenaga kesehatan dengan jumlah penduduk.

Ketiga, sistem perlindungan kesehatan sebagai isu strategis yang berhubungan upaya-upaya menjamin kesehatan masyarakat. Pemerintah daerah sedapat mungkin menyelenggarakan program kesehatan yang mengarah pada tindakan promotif tentang perilaku hidup sehat dan juga program-program preventif.

Keempat, isu strategis tentang komitmen anggaran kesehatan tercermin dari bantuan pemerintah kepada masyarakat dalam bidang kesehatan. Namun demikian, alokasi anggaran yang ideal yang diharapkan adalah alokasi yang bersifat distributif berkeadilan.

Sedangkan kelima, partisipasi penyelenggaraan layanan kesehatan adalah isu strategis yang memungkinkan sinergi pemerintah dan masyarakat dalam penanganan kesehatan. Artinya, persoalan kesehatan tidak seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah semata melainkan tanggung jawab masyarakat.

Metodologi dan Ruang Lingkup

Laporan ini adalah bagian dari hasil monitoring the Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) yang secara keseluruhan menggunakan paket metodologi sistem monitoring evaluasi kompetitif dan partisipatif (simonev komparatif). Sistem ini merupakan seperangkat metode dan instrument penelitian yang secara spesifik mendalami dan mengevaluasi implementasi otonomi daerah berupa preferensi lokal berdasar pandangan mereka terkait apa yang dilakukan pemda; tentang manfaat otonomi daerah untuk kemajuan daerah. Simonev komparatif melibatkan kompetisi antarkabupaten/kota dalam satu provinsi.

Simonev komparatif mengandalkan tiga jenis pengukuran utama yaitu inovasi, survei publik, dan data dan fakta tentang pencapaian keluaran dan dampak dari kebijakan dan program pemda. Untuk menjalankan simonev komparatif FIPO mengaplikasikan empat teknik pengumpulan data yaitu wawancara semi-terstruktur, observasi, review dokumen resmi, dan survey publik.

Ruang lingkup laporan ini meliputi analisis program dan kebijakan peningkatan akuntabilitas publik kabupaten dan kota se-Sulawesi Selatan. Dalam survei publik terdapat 2.300 responden di 23 kabupaten/kota yang dikonfirmasi terkait program-program yang dijalankan kabupaten/kota.

Program Daerah Menonjol Berdasarkan Indikator Kesehatan FIPO

-Indikator Aksesibilitas (mudah, murah, terjangkau dan merata)

Inisiatif paling menonjol dari program kesehatan yang diselenggarakan kabupaten/kota terkait aksesibilitas terlihat dari program “Brigade Siaga Bencana (BSB)” di Kabupaten Bantaeng. Pelayanan BSB adalah layanan 24 jam yang melibatkan 20 dokter umum, 8 perawat, dan 4 sopir. Setiap hari dibagi 3 shift jaga pagi, siang dan malam dengan masing-masing shift terdiri dari 1 dokter umum, 2 perawat, dan 2 sopir. Masyarakat yang membutuhkan bantuan BSB dapat meminta pertolongan melalui call centre 113 (gratis). Layanan BSB yang menerima panggilan tersebut segera meluncur menuju pasien dan langsung melakukan diagnosa apakah pasien hanya dirawat di rumah atau harus dirujuk di puskesmas/rumah sakit.

Pada catatan sekretariat BSB, rata-rata jumlah panggilan setiap bulan sebanyak 150-200 kali panggilan. Kasus yang ditangani bukan hanya pasien di rumah-rumah tetapi juga pasien akibat kecelakaan lalu lintas serta pasien luka bakar pada kejadian kebakaran. Tim ambulans BSB dalam mengantisipasi kasus luka bakar akan mengikutkan 2 ambulans dibelakang mobil pemadam kebakaran.

Inisiatif menonjol lainnya dilakukan Kabupaten Sidrap melalui program “Akses Layanan Kesehatan untuk Daerah Terpencil”. Berpedoman pada Perda No.2 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis pemerintah daerah mendorong puskemas melayani rawat inap. Total 14 puskesmas di Kabupaten Sidrap 12 puskesmas telah melayani 24 jam perawatan, sedangkan 2 puskesmas lainnya tidak melakukan layanan yang sama karena berdekatan dengan rumah sakit.

-Indikator Ketercukupan Sumber Daya Manusia dan Sarana-Prasarana

Sepanjang 2010 tidak terdapat kebijakan/program yang menonjol terkait pemenuhan sumber daya manusia (tenaga medis/paramedis) di kabupaten/kota di Sulsel. Hal tersebut, tentu saja, berbanding terbalik dengan kebutuhan tenaga kesehatan (dokter/perawat) di daerah masih tinggi terutama pada daerah-daerah terpencil.

Namun demikian, pada bidang penyediaan sarana-prasarana kesehatan FIPO menemukan beberapa program yang menarik di daerah. Program Pembangunan Tempat Pelayanan Kesehatan Minimalis di Kabupaten Wajo, misalnya, adalah salah satu program tersebut. Selain diadakan peningkatan fasilitas dan kegiatan setiap puskesmas, pustu, polindes, dan poskesdes juga dibangun dengan konsep/gaya minimalis. Arsitektur dan cat bangunan yang mengadopsi konsep minimalis tersebut dimaksudkan untuk memberikan nuansa baru dan tidak monoton sehingga menarik minat masyarakat untuk lebih sering berkunjung ke tempat-tempat pelayanan kesehatan.

Perbaikan kualitas sarana-prasarana tempat pelayanan kesehatan juga dapat ditemukan di Kabupaten Pinrang melalui program e-Puskesmas. Program ini ditujukan untuk membangun sistem informasi yang lebih praktis dan efisien dalam proses pelayanan kepada masyarakat. Harapannya, program ini memberi efek yang mengarah pada perencanaan pelayanan yang lebih maksimal.

Output lainnya yakni kemudahan bagi Dinas Kesehatan setempat dalam memantau kegiatan sehari-hari di puskesmas. Data-data seperti jumlah pasien, jenis penyakit, dan obat dapat dipantau setiap hari tanpa harus menunggu laporan mingguan atau bulanan. Bahkan, program ini menjamin akuntabilitas atas pelayanan puskesmas yang diberikan kepada masyarakat karena data-data yang diinput setiap hari dapat dicocokan dengan kondisi ril di lapangan.

-Indikator Sistem Perlindungan Kesehatan

Sistem perlindungan kesehatan adalah langkah-langkah preventif untuk mencegah atau sekurangnya meminimalisasi terganggunya kesehatan masyarakat. Pembentukan kelompok kerja penanggulangan HIV pada setiap kecamatan di Kota Makassar adalah upaya menjaga kelangsungan penanggulangan HIV.

Di kabupaten Takalar pendidikan perilaku hidup sehat ditanamkan sejak dini bagi murid-murid sekolah dasar (SD). Pembelajaran perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui kebiasaan cuci tangan pakai sabun (CTPS), buang air besar di jamban, dan buang sampah di tempat sampah telah diterapkan pada 10 SD. Alhasil, tingkat ketidakhadiran karena sakit berangsur turun yang mulanya mencapai 50 persen menjadi sisa 20 persen.

-Indikator Komitmen Anggaran Kesehatan

Berbagai upaya memperkuat program kesehatan gratis sebagai wujud adanya komitmen anggaran kesehatan dari pemerintah daerah. Di Luwu Timur, misalnya, selain menggratiskan layanan pengobatan juga memberikan secara cuma-cuma 3 (tiga) kantong darah bagi yang membutuhkan.

Di lain pihak, komitmen anggaran kesehatan juga ditunjukkan melalui perbaikan kualitas mutu layanan di tingkat puskesmas. Caranya? Mendorong puskesmas-puskesmas menerapkan standar ISO sebagaimana yang dilakukan di Enrekang dan di beberapa kabupaten/kota lainnya. Pemerintah Kabupaten Enrekang melalui Dinas Kesehatan dan manajemen puskesmas memulai kampanye menjadikan seluruh puskesmas di Enrekang bersertifikat ISO dengan melakukan pelatihan terhadap pengelola puskesmas. Hasilnya, anggaran yang dibelanjakan untuk memperbaiki mutu puskesmas dengan pelatihan manajemen puskemas membuahkan hasil dengan terdaftarnya 3 puskesmas di Enrekang dengan standar yang baik.

Hal yang hampir sama dilakukan Kabupaten Pangkep melalui program “Quality Assurance”. Untuk memperbaiki mutu layanan maka Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep mengeluarkan anggaran pelatihan manajemen dan peningkatan mutu layanan kepada para pengelola puskesmas.

-Indikator Partisipasi Penyelenggaraan Layanan Kesehatan

Tidak banyak inisiatif menonjol terkait partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan layanan kesehatan sepanjang 2010. Meski demikian, FIPO menemukan adanya keseriusan pemerintah daerah dalam menjalankam beberapa program turunan dari program Desa Siaga.

Perilaku hidup sehat seperti membiasakan buang air besar di jamban menjadi pintu masuk bagi pemerintah daerah/dinas kesehatan melibatkan partisipasi dalam pengadaan jamban. Kegiatan arisan jamban keluarga (jaga) yang dilakukan Parepare dan Luwu Utara bukan hanya membentuk perilaku hidup sehat tetapi juga mendorong masyarakat dalam merencanakan dan mambangun sarana kesehatan milik mereka secara partisipatif.

Hasil Survei Publik: Konfirmasi Publik atas Layanan Kesehatan Pemerintah Daerah

Penilaian FIPO mencakup program inovasi, eksisting data, dan survei publik. Sebagian bagian integral dari penilaian FIPO, survei publik sebagai alat mengonfirmasi beberapa temuan kualitatif hasil in-depth interview (wawancara mendalam) dengan pemerintah daerah. Hasil survei ini diharapkan tidak hanya menguatkan program-program pemda tetapi juga dapat memunculkan persepsi negatif program-program pemda.

Metode Survei
Survei ini dilakukan dengan mewawancarai responden secara langsung selama Januari-April 2011. Jumlah responden adalah 2.300 orang yang berdomosili di 23 kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan. Masing-masing kabupaten/kota terdiri dari 100 responden dengan usia minimal 17 tahun yang dipilih secara purposif. Sebanyak sepuluh kelompok responden yang merupakan kalangan well-educated dan well-informed yang mewakili latar belakang profesi, yakni asosiasi profesi kesehatan, asosiasi profesi pendidikan, LSM, organisasi massa, mahasiswa, pelajar, PNS, dan investor

-Apakah lokasi Fasilitas Kesehatan (Puskesmas, RSD, Pustu, Bidan Desa) Semakin Mudah Dijangkau dan Merata

Hasilnya menunjukkan 61,6% responden yang mempersepsikan baik atas pertanyaan apakah lokasi fasilitas kesehatan (puskesmas, RSUD, pustu, bidan desa) semakin mudah terjangkau. Sisanya sebanyak 18,7% mengatakan sangat baik, sedangkan yang mengatakan sangat tidak baik sebanyak 2,7% dan yang menjawab tidak baik yakni 17,1%.

Secara akumulatif, responden yang menjawab baik (80,2%) yang sangat jauh lebih besar daripada yang menjawab tidak baik (19,8%). Artinya, sebagian besar masyarakat menilai bahwa akses lokasi fasilitas kesehatan sudah semakin mudah.

-Apakah daya Tampung Fasilitas Kesehatan (Puskesmas, RSD, Pustu, Bidan Desa) Semakin Memadai

Pada pertanyaan apakah daya tampung fasilitas kesehatan (puskesmas, RSUD, pustu, dan bidan desa) semakin memadai, responden yang menjawab baik (60,0%), yang menjawab sangat baik (12,8%), sedangkan yang menjawab sangat tidak baik (3,7%) dan yang menjawab tidak baik (23,5%).Meski responden yang menjawab baik mencapai 60,0% namun bila diakumulasikan antara yang menjawab baik dan tidak baik maka yang menjawab tidak baik masih tinggi yakni (27,2%) dan yang menjawab baik (72,8%). Masih besarnya persentase jawaban tidak tidak baik (27,2%) menunjukkan masih besarnya persoalan pada daya tampung fasilitas kesehatan.

-Apakah biaya Pelayanan Kesehatan di Fasilitas-fasilitas Tersebut Semakin Terjangkau

Seiring dengan program kesehatan gratis yang gencar diprogramkan kabupaten/kota se-Sulsel, pertanyaan apakah biaya pelayanan kesehatan di fasilitas-fasilitas tersebut semakin terjangkau direspon positif dengan jawaban baik dari 58,4% responden dan jawaban sangat baik sebanyak 13,0%. Adapun responden yang menjawab sangat tidak baik dan tidak baik masing-masing 5,3% dan 23,3%. Secara akumulatif, responden yang menjawab tidak baik (28,6%) dan yang menjawab sudah baik (71,4%).

-Apakah kualitas Pelayanan Kesehatan Semakin Meningkat

Hasil survei FIPO mendapatkan jawaban tidak baik (30,40%) yang cukup signifikan untuk pertanyaan menyangkut kualitas pelayanan kesehatan yang semakin meningkat, sementara 6,80% responden lainnya menjawab sangat tidak baik.

Meski persentase responden yang puas lebih besar dengan menjawab kualitas layanan sudah baik (52,20%) dan yang menjawab sangat baik (10,60%), tetapi secara akumulatif hasil survei tidak dapat mengingkari masih tingginya penilaian bahwa kualitas layanan kesehatan belum mencerminkan harapan yang sebenarnya. Setelah diakumulasikan maka jawaban baik (62,8%) dan yang menjawab tidak baik (37,2%).

-Apakah Prosedur Pelayanan Semakin Mudah

Terkait pertanyaan apakah prosedur pelayanan yang semakin mudah, respon responden bervariasi. Total 2.300 responden memberikan jawaban baik sebanyak 64,4% dan yang menjawab tidak baik atau sama dengan prosedur pelayanan belum benar-benar mudah adalah 35,6%.

Jika memperhatikan dua pertanyaan terakhir (d & e) yang menanyakan kualitas dan prosedur pelayanan maka terlihat kesamaan persepsi publik. Jawaban responden yang mengatakan kualitas dan prosedur pelayanan belum baik untuk kedua indikator penilaian tersebut di atas 35%.

-Apakah ada Kecukupan Jumlah Dokter (dan Spesialis), Paramedis, dan Bidan

Responden juga dimintai pendapatnya tentang dampak pelaksanaan otonomi daerah terhadap peningkatan kesesuaian (responsivitas) antara kebijakan dan program pemerintah daerah dalam pelayanan kesehatan dan kebutuhan masyarakat. Salah satu indikator penilaian adalah kecukupan jumlah dokter (dan spesialis), paramedis, dan bidan. Jawaban publik atas pertanyaan apakah kecukupan jumlah dokter, paramedis, dan bidan adalah: 43,2% yang menjawab tidak baik dan 56,8% menjawab baik.

Persoalan utama terkait kecukupan dokter, paramedis, dan bidan selain menyangkut jumlah juga pemerataannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat ditingkat desa, terutama di wilayah-wilayah terpencil dan sangat terpencil, mengeluhkan kekurangan petugas kesehatan di desa mereka. Seringkali bidan desa yang ditempatkan di wilayah tersebut hanya bertahan 1-2 bulan lalu minta pindah tempat tugas.

-Apakah Penurunan Pungutan Tidak Resmi

Kebijakan dan program kesehatan gratis ternyata belum sepenuhnya berdampak pada penurunan pungutan tidak resmi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Hal tersebut tercermin untuk pertanyaan di atas yang mana secara akumulatif responden yang menjawab tidak baik masih tinggi yakni sebanyak 39,5 persen dan yang menjawab sudah baik sebanyak 60,5%.

-Apakah Masyarakat dari Semua Kalangan Meski Berbeda Status Ekonomi, Sosial, dan Budaya Bisa Mendapatkan Pelayanan di Fasilitas Kesehatan di Daerah

Hasil ini menjelaskan korelasi antara pelaksanaan otonomi daerah dan upaya-upaya peningkatan kesetaraan kesempatan mendapatkan pelayanan kesehatan. Sejauh mana otonomi daerah berdampak terhadap kesetaraan kesempatan semua kalangan meski berbeda status ekonomi, sosial, dan budaya untuk mendapatkan pelayanan pada tempat-tempat fasilitas kesehatan daerah.

Secara akumulatif diperoleh 27,7% responden menjawab bahwa keseteraan kesempatan belum baik, sedangkan sebanyak 72,3% yang memberi jawaban sudah baik. Persentase secara akumulatif tersebut mencerminkan kesetaraan pelayanan kesehatan di Sulsel oleh mayoritas responden dianggap baik.

-Apakah Fasilitas Kesehatan Daerah (RSD, Puskesmas, Pustu, Bidan Desa) Memberikan Keringanan Biaya Bagi Warga Tidak Mampu

Hasil ini menggambarkan bagaimana persepsi masyarakat menyangkut upaya pemerintah daerah dalam memberikan keringanan biaya bagi warga tidak mampu pada fasilitas kesehatan daerah. Apakah reaksi responden? Jawaban yang mengatakan tidak baik (26,9%) dan jawaban baik (73,1%).

-Apakah Meningkatnya Pelibatan Masyarakat dalam Penyusunan Anggaran Kesehatan

FIPO, melalui mitra tim survei yang bekerja secara independen, menyurvei dampak pelaksanaan otonomi daerah terhadap peningkatan partisipasi masyarakat dan transparansi pemerintah daerah dan/atau fasilitas kesehatan daerah dalam pelayanan kesehatan.

Jawaban atas pertanyaan apakah ada peningkatan pelibatan masyarakat dalam penyusunan anggaran kesehatan (APBD); sangat tidak baik (8,5%), tidak baik (40,5%), baik (41,7%), dan sangat baik (9,3%). Secara akumulatif, persepsi responden tentang partisipasi masyarakat dalam pelayanan kesehatan adalah jawaban baik (48,8%) lebih rendah dibandingkan jawaban tidak baik (51,2%).

-Apakah Semakin Transparan Proses Pembahasan Alokasi Anggaran Kesehatan

Hasil survei ini masih kelanjutan dari indikator penilaian di atas. Survei ini menyangkut seberapa besar transparansi pemerintah daerah dalam proses pembahasan alokasi anggaran kesehatan (APBD). Setelah diakumulasikan atas jawaban baik dan tidak dari responden maka diperoleh hasil bahwa jawaban baik hanya (50,9%) dan jawaban tidak baik (49,1%). Artinya, responden yang menilai pemerintah daerah sudah dan belum transparan dalam pembahasan alokasi anggaran kesehatan hampir berimbang.

VI. Penutup

Dari lima isu strategis yang menjadi parameter penilaian layanan kesehatan terdapat dua isu yang menunjukkan inisiatif pemerintah daerah yang masih lemah. Kedua isu tersebut adalah ketercukupan sumber daya manusia (SDM)/sarana-prasarana dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan layanan kesehatan.

Hasil pemonitoran terhadap program-program kesehatan di 23 kabupaten/kota se-Sulsel, untuk isu ketercukupan sumber daya manusia (SDM) hanya 13,04% program.

Masih kurangnya program terkait pemenuhan ketercukupan tenaga medis dan paramedis dipersepsi sama oleh publik sebagaimana terpapar dari hasil survei publik yang dilakukan FIPO (pertanyaan f). Sebanyak 43,2% responden yang menjawab bahwa tenaga medis dan paramedis belum tercukupi baik dan 56,8% responden lainnya mengatakan sudah baik.

Sementara menyangkut peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan layanan kesehatan hanya 13,04% program dari total program yang dimonitor. Jika merujuk pada survei publik maka reaksi responden sama dengan kinerja daerah dalam melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi di layanan kesehatan. Pada pertanyaan apakah ada keterlibatan pasien dan masyarakat lainnya dalam perbaikan pelayanan di fasilitas-fasilitas kesehatan, 44,8% responden mengatakan belum baik dan 55,2% responden lainnya menjawab sudah baik.

Satu catatan penting yang patut diapresiasi dan terus didorong adalah membaiknya tingkat kepuasan masyarakat atas semakin mudah dan meratanya lokasi fasilitas kesehatan. Secara akumulatif (pertanyaan a), responden yang menjawab baik (80,2%) sangat jauh lebih besar daripada yang menjawab tidak baik (19,8%). Kepuasan masyarakat tersebut berkorelasi dengan upaya daerah dalam kebijakan dan program. Dari keseluruhan program/kebijakan yang dimonitor, sebanyak 21,7% program menyangkut upaya-upaya daerah memudahkan akses publik pada layanan kesehatan.

No comments: