Saturday, February 26, 2011

Gemerlap Ekonomi versus Seragam Lusuh


Zulkifli (12), meski tanpa dasi merah berlogo tut wuri handayani, terlihat rapi dengan mengancing krah seragam putihnya yang sudah lusuh dan tipis. Saking tipisnya, warna hijau kaos dalam yang dia kenakan lebih dominan ketimbang warna putih seragamnya itu. Siswa kelas 6 di Sekolah Dasar (SD) Negeri Batu Laccu ini tentu saja tidak akan sanggup mengganti seragam sekolah setiap tahun. Penghasilan bapaknya sebagai penarik becak tentu hanya cukup membeli kebutuhan makan sehari-hari.

Oleh Ahmad Syam


Fajar, 21 April 2010

Zulkifli memang ikut membantu orang tua dengan bekerja sebagai pengumpul plastik-plastik bekas (baca : payabo) setiap pagi sebelum berangkat sekolah, tetapi dengan Rp500 per kilo yang dia dapat tentu memakai seragam baru hanya sebatas impian.

Potret Zulkifli adalah representasi keterbatasan sebagian besar siswa di SDN Batu Laccu. Di SD dengan jumlah siswa 133 orang tersebut juga terdapat siswa yang seragamnya sudah robek dan siswa yang belum memiliki tas sekolah.

Tidak jauh beda dengan dengan keadaan siswa, kondisi sarana sekolah juga sangat memprihatinkan. Dinding bagian dalam kelas yang lembab, plafon yang sudah bolong, meja dan kursi yang masih kurang, serta lingkungan sekolah yang tidak memiliki pagar permanen sehingga kerap dijadikan tempat berjudi dan pesta minuman keras pada malam hari.

SD Batu Laccu di Kecamatan Panakukang merupakan satu dari 128 SD lainnya di Makassar yang mendapatkan bantuan melalui program sekolah bersubsidi penuh. Program tersebut dimulai sejak 2007 dan diperuntukkan pada sekolah yang siswanya mayoritas dari ekonomi lemah seperti sekolah di pinggiran kota dan pulau-pulau.

Foto: Ahmad Syam/FIPO


Prioritas program ini hanya pada pemberian bantuan alat-alat tulis dan buku lembar kerja siswa (LKS). Seragam maupun sepatu yang juga sangat diperlukan siswa-siswi miskin di SD bersubsidi penuh belum masuk daftar bantuan.

Dinas Pendidikan Kota Makassar menjelaskan kepada peneliti the Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) yang melakukan monitoring dan evaluasi program kerja pemkot terkait kegiatan Otonomi Award 2009/2010 tentang mekanisme pengusulan sekolah untuk masuk dalam program ini.

Tahap awal, unit pelaksana teknis dinas (UPTD) tingkat kecamatan sebagai bagian dari stakeholder pendidikan mengajukan sekolah di wilayahnya untuk didaftar dalam program ini. Tahap selanjutnya, Dinas Pendidikan Kota Makassar akan melakukan klarifikasi dan mengobservasi sekolah yang diajukan tersebut.

Pada tahun 2009, Dinas Pendidikan Kota Makassar menganggarkan Rp5,5 miliar untuk 135 sekolah (128 SD dan 7 SMP). Meskipun, sebagaimana pengakuan Dinas Pendidikan Kota Makassar, jumlah anggaran sebesar itu masih kurang untuk meningkatkan kualitas fasilitas pendidikan.

Sebenarnya, jika sistem ekonomi di Makassar bukanlah sistem yang ”sakit” maka nasib Zulkifli dan siswa-siswi lainnya di sekolah kategori miskin akan lebih baik. Setidaknya, mereka akan merasakan dampak positif dari laju pertumbuhan ekonomi Makassar yang melesat dan sangat ”gemerlap” dalam beberapa tahun terakhir.

Foto: Ahmad Syam/FIPO


Bahkan, dari data terkini, pertumbuhan ekonomi Makassar mencapai 10,5 persen yang merupakan pencapaian tertinggi dari seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan (Sulsel). Tingginya pertumbuhan ekonomi di Makassar tidak terlepas dari kerja keras pemkot mempromosikan dan menarik investor ke Makassar di sejumlah negara Asia dan Eropa.

Agresifitas pemkot dalam berpromosi juga beriringan dengan upaya pemkot menciptakan iklim berinvestasi yang kondusif, pembangunan infrastruktur seperti pengembangan pelabuhan, dan semakin banyaknya sarana-sarana yang mendukung kenyamanan investor bila berkunjung ke Makassar seperti hotel dan pariwisata.

Hasilnya, tahun 2009 realisasi investasi dalam negeri di Makassar mencapai kurang lebih Rp195 miliar sedangkan realisasi penanaman modal asing yang berlangsung pada 2009 sebesar USD 13,9 juta). Untuk investasi dalam negeri, jumlah perusahaan yang berinvestasi sebanyak enam perusahaan termasuk diantaranya Trans Studio yang menyerap ribuan tenaga kerja di Makassar.

Selain sektor pendidikan dan ekonomi, pemkot juga meningkatkan mutu layanan kesehatan dengan program pusat kesehatan (puskesmas) ISO. Saat ini Makassar memiliki dua puskesmas ISO masing Puskesmas Bara-Baraya (2007) dan Puskesmas Jongaya (2010). Tahun ini, Dinas Kesehatan Kota Makassar kembali mengajukan ke badan sertifikasi ISO dua puskesmas lainnya masing-masing Puskesmas Kassi-Kassi dan Puskesmas Batua.

Sektor dan program lainnya yang mendapat perhatian tim FIPO antara lain program pelayanan perizinan, jasa publikasi dan layanan publik, program yang berhubungan pemerataan ekonomi, dan kegiatan-kegiatan pemberdayaan ekonomi.

Untuk layanan perizinan, misalnya, dari tahun ke tahun menunjukkan tren peningkatan. Tahun 2007, realisasi izin sebanyak 21.466 izin yang terus meningkat dalam dua tahun berikutnya masing-masing 23.865 izin (2008) dan 24.595 izin (2009).

No comments: