Saturday, February 26, 2011

Bahu-membahu Menerangi Gelap


Belasan murid kelas 6 sekolah dasar (SD) di Desa Bungin, Kecamatan Bungin, Enrekang, malam itu berkumpul di rumah salah seorang guru mereka. Di bawah terang cahaya lampu listrik, mereka nampak serius memecahkan soal-soal matematika menjelang Ujian Nasional (UN) yang tidak lama lagi digelar.

Oleh Ahmad Syam

Fajar, 4 Agustus 2010

Tidak jauh dari rumah tempat siswa belajar, masjid desa terlihat bertabur cahaya. Di masjid itu, sekitar dua puluh murid Taman Pengajian Al-Qur’an (TPA) yang dipandu empat guru mengaji memanfaatkan sela shalat maghrib dan isya untuk belajar membaca Qur’an. Ramai suara anak-anak memecahkan sunyi malam, membasuh bukit-bukit, dan akhirnya menguap terbawa angin.

Masa-masa kegelapan tanpa penerangan lampu listrik memang berangsur meninggalkan Desa Bungin sejak pilot project Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) rampung pada tahun 2005 lalu. Sejak itu, malam bukan lagi penghalang warga desa beraktifitas. Anak-anak bersemangat mengulang kembali pelajaran dari sekolah. Sebagian yang lain bergegas ke masjid belajar mengaji. Perangkat desa pun dapat menggelar pertemuan pada malam hari.

Perubahan drastis di Bungin dan sejumlah desa lainnya yang tersebar pada 9 kecamatan awalnya dipicu persoalan krisis listrik tahun 2005 lalu. Pada waktu itu, sekitar 5.648 rumah masih belum teraliri listrik. Faktor geografis dianggap penyebab utama terhambatnya pasokan listrik ke desa-desa tersebut. Sudah bukan rahasia bahwa sebagian besar desa di Enrekang terletak pada ketinggian 1.300-1.500 meter di atas permukaan laut. Dengan kondisi demikian tentu saja akan sangat menyulitkan PLN membangun infrastruktur dan jaringannya.

Setelah meneliti potensi sungai yang dimiliki Enrekang yang umumnya berarus kuat, Pemerintah Daerah Enrekang pun mulai membangun PLTMH tahun 2005. PLTMH pertama dibangun di Desa Bungin berkapasitas 90 kilo watt dan mengaliri 168 unit rumah.

PLTMH adalah pembangkit listrik skala kecil yang mengubah potensial air menjadi kerja mekanis, memutar turbin dan generator untuk menghasilkan daya listrik (0-100 kilo watt). Di Enrekang, sungai berarus kuat dimanfaatkan sebagai potensial air yang dialirkan ke power house (bangunan pembangkit) di mana turbin dan generator di dalamnya akan bekerja untuk menghasilkan listrik. Karena itu, agar air sungai tetap stabil maka Pemerintah Daerah Enrekang berupaya keras menjaga kelestarian hutan, terutama di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS), memonitor penebangan pohon, dan pembukaan lahan secara liar.

Setelah PLTMH Bungin, satu demi satu PLTMH lainnya dibangun. Jumlahnya hingga tahun 2009 terbangun 13 unit dengan total kapasitas produksi sebesar 676 kilo watt. Untuk membangun seluruh PLTMH tersebut Enrekang telah menggelontorkan dana dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) sebanyak kurang lebih Rp8,7 miliar. Selain mengandalkan APBD, Enrekang mendapatkan dana dari berbagai sumber sebesar kurang lebih Rp14,4 miliar seperti dari Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), PNPM Mandiri, dan lain-lain.

Besarnya biaya yang dihabiskan untuk membangun PLTMH tidak sia-sia karena Enrekang mulai berhasil mengatasi krisis listrik. Dalam kurun waktu empat tahun jumlah rumah yang tidak teraliri listrik berangsur berkurang. Jika pada tahun 2005 jumlah rumah yang belum menerima pasokan sebanyak 5.648 unit rumah maka pada 2009 turun menjadi hanya 1.347 unit rumah.

Jumlah rumah yang belum terlayani listrik sebagaimana menjadi target pemerintah daerah akan terus berkurang dari tahun ke tahun. Dalam rencana pembangunan PLTMH 2010-2012, jumlah unit yang akan dibangun sebanyak 7 unit dengan total kapasitas produksi 175 kilo watt dan akan mendistribusikan listrik ke sekitar 1.187 rumah.

Sumber pasokan listrik ke rumah-rumah di Enrekang bila dirinci juga menunjukkan bahwa sumber listrik alternatif masih yang lebih berperan. Data 2009 menggambarkan, Perusahaan Listrik Negara (PLN) melayani pasokan listrik untuk 650 unit rumah, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) memasok listrik pada 793 unit rumah, dan 2.888 unit rumah yang mendapatkan listrik dari jaringan PLTMH.

Keuntungan tambahan bagi masyarakat selain tersedianya listrik setelah terbangunnya unit-unit PLTMH adalah terciptanya sentra-sentra home industry (industri rumah tangga) pada desa-desa yang memiliki PLTMH. Pada siang hari PLTMH terus memproduksi listrik sementara penggunaan listrik tidak begitu besar pada waktu itu. Agar listrik tidak terbuang percuma pemerintah daerah kemudian memfasilitasi masyarakat melalui penyediaan home industry seperti pengolahan kopi di Desa Ledan, minyak nilam di Potokullin, pengolahan pangan di Tanete, dan pengolahan kopi dan markisa di Parombean.

Pada setiap pembangunan unit-unit PLTMH, pemerintah daerah melibatkan partisipasi masyarakat dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan dan pemeliharaan. Pemerintah daerah pada tahap perencanaan melakukan pertemuan dengan masyarakat untuk menentukan lokasi PLTMH dan bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan PLTMH.

Partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan sangat beragam. Ada yang menghibahkan sebidang lahan dengan luas 12 meter untuk lokasi power house (bangunan pembangkit listrik), menyiapkan makanan untuk para pekerja, dan mengangkat bahan bangunan dan perangkat-perangkat instalasi seperti pipa dan tiang listrik. Ibu-ibu tidak hanya memasak, bersama-sama dengan anak-anak sekolah, mereka turut membantu mengangkat pasir. Menurut pengakuan Kepala Desa Parombean, Patti Nanti (45), dalam pelaksanaan pembangunan PLTMH Parombean ditaksir nilai partisipasi masyarakat sebagai pekerja sama dengan Rp30 juta.

Ketika pembangunan telah selesai tidak berarti partisipasi masyarakat juga selesai. Jika sebelumnya urusan pengelolaan dan pemeliharaan PLTMH adalah tanggung jawab pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pertambangan dan Energi, maka sekarang ini segala urusan pengelolaan dan pemeliharaan sudah ditangani Badan Usaha Desa (BUD). Pengurus BUD dan operator yang semuanya adalah masyarakat bertugas memelihara keberlangsungan mesin turbin, melakukan perawatan rutin, dan mengganti suku cadang mesin bila ada yang rusak. Pengurus BUD dan operator diupah yang anggarannya bersumber dari iuran bulanan masyarakat penerima manfaat PLTMH. Ketua diupah Rp300 ribu per bulan, sekretaris dan bendahara masing-masing Rp200 ribu per bulan, sedangkan tenaga operator menerima upah Rp500 ribu per bulan.

Iuran bulanan setiap Kepala Keluarga (KK) yang memanfaatkan aliran listrik bervariasi tergantung besar ampere pemakaian. Masyarakat juga membayar biaya pemasangan instalasi sebesar Rp300 ribu. Untuk pemakaian listrik 0.5 ampere iurannya sebesar Rp15 ribu, 1 ampere sebesar Rp20 ribu, dan Rp35 ribu untuk pemakaian listrik 2 ampere. Namun demikian, meski ada penetapan tarif, terkadang pembayaran disesuaikan dengan kemampuan masing-masing KK. Bahkan karena pertimbangan kemampuan ekonominya, terdapat KK yang digratiskan

No comments: