Saturday, February 26, 2011

Menambang Kekayaan Alam, Tidak Menimbang Lingkungan

Masyarakat menilai upaya pemerintah daerah (pemda) menertibkan aktivitas penambangan galian yang berpotensi merusak lingkungan masih belum serius. Data survei publik The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) menunjukkan, secara akumulatif 44 persen responden menilai upaya pemda masih buruk dan hanya 56 persen responden yang menilai sudah membaik.

Oleh Ahmad Syam

Harian Fajar, 3 November 2010

Sejak otonomi daerah (otoda) diimplementasikan pertama kali tahun 2000 lalu pemerintah daerah (pemda) mendapatkan kewenangan yang begitu besar. Kewenangan tersebut berupa hak otonom yang diperoleh daerah yang antara lain hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri, hak mengelola pembangunan daerah, dan hak mengeluarkan kebijakan/peraturan daerah (perda) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan pusat.

Besarnya kewenangan tersebut berdampak ganda. Satu sisi, daerah dapat menentukan arah kebijakan pembangunan sendiri tanpa terpasung oleh instruksi-instruksi dari pusat. Skala prioritas pembangunan pun dapat didesain sendiri berdasarkan potensi dan kebutuhan daerah. Namun di sisi lain, kewenangan yang begitu besar membuat daerah seringkali kebablasan. Pada kasus pemberian izin bisnis tambang galian, misalnya, pemda terkadang tidak mampu mengendalikan dan menertibkan pengusaha tambang galian. Kurangnya ketegasan pemda dalam menertibkan bisnis tambang galian ini karena pemda sendiri diperhadapkan pada pilihan yang dilematis. Bila pemda membatasi maka itu berarti mengurangi sumber pundi-pundi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tetapi jika membiarkan begitu saja tanpa ada regulasi terhadap aktivitas menambang maka akan sangat riskan terhadap kelestarian lingkungan.

Ketika berada dalam pusaran dilema tersebut pemda cenderung memilih opsi pertama yakni melemahkan kontrol terhadap aktivitas menambang demi menggenjot PAD.

Kepedulian pemda yang masih rendah atas dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan dari setiap aktivitas menambang tercermin dari persepsi masyarakat yang diperoleh melalui survei publik. Dengan 2299 responden yang memberi respons dari total 2300 responden yang disurvei pada 23 kabupaten/kota menyatakan pandangan yang berbeda-beda terhadap kinerja pemda pada perbaikan penertiban penambangan galian.

Responden-responden yang berasal dari 10 kelompok di masyarakat seperti organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, LSM, dan lain-lain tersebut ditentukan melalui random sampling. Hasilnya, responden yang menyatakan kinerja pemda masih sangat buruk adalah 5,80 persen; 38,23 persen yang menyatakan buruk; 51,97 persen yang menyatakan sudah membaik; dan hanya 4,00 persen yang menyatakan telah berjalan sangat baik Sebenarnya kinerja buruk pemda dalam mengendalikan aktivitas penambangan galian sudah berulang kali menuai protes dari masyarakat. Misalnya, protes warga Kecamatan Pallangga, Gowa, yang mengkhawatirkan kerusakan lingkungan akibat semakin maraknya aktivitas penambang galian C di wilayah Parangnoa (Antara, 12 Mei 2009). Protes juga datang dari Forum Pemerhati Lingkungan (FPL) di Sidrap setelah terungkap ada kerusakan lingkungan berat di Kecamatan Watangpulu, Maritengngae, dan Dua Pitue akibat tambang galian C. Menurut FPL, para penambang hanya mementingkan bisnisnya dan mengabaikan keseimbangan alam. Minimnya pengawasan serta belum efektifnya regulasi perpajakan tambang C di daerah, ungkap FPL, menyebabkan menjamurnya penambang termasuk para penambang yang berasal dari luar Sidrap (Pare Pos, 7 April 2010).

Gelombang protes dan kekhawatiran yang bermunculan di sejumlah daerah menandakan mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Kesadaran yang tumbuh tersebut boleh jadi karena masyarakat yang merasakan dampak langsung bila terjadi bencana akibat kerusakan lingkungan. Karena itu, langkah-langkah pencegahan telah diupayakan masyarakat termasuk dengan mengkritisi setiap kebijakan pembangunan yang berpotensi mengganggu keseimbangan alam.

Nah, semestinya dengan mempelajari gelombang protes tersebut pemda kemudian melakukan perbaikan-perbaikan dalam setiap kebijakan dan program yang dibuat. Kebijakan pemda yang menyimpang dari tren positif di masyarakat seperti kesadaran lingkungan sangat riskan melahirkan keadaan kontraproduktif dalam era otoda ini. Ibaratnya, masyarakat yang berharap kebijakan pemda lebih pro lingkungan berjalan ke utara, pemda yang mengabaikan pertimbangan lingkungan dalam membuat kebijakan berjalan ke selatan. Tidak salah jika persepsi masyarakat tentang kinerja dan kepedulian pemda terhadap lingkungan pada beberapa hal lainnya juga masih buruk.

Survei persepsi masyarakat untuk mengetahui bagaimana pemda memperbaiki mekanisme pertimbangan suara masyarakat menyangkut pemberian izin pendirian usaha yang berefek lingkungan seperti pabrik industri besar/kecil, mal, rumah sakit dan lain-lain juga masih buruk. Reaksi responden menunjukkan, 4,89 persen menilai kinerja pemda sangat tidak baik; 40,46 persen responden menganggap masih kurang baik; 51,30 persen menyatakan kinerja sudah sesuai harapan/baik; dan yang mengatakan kinerja pemda sudah sangat baik 3,35 persen responden.

Hasil survei di atas adalah gambaran bahwa hampir sebagian masyarakat kurang dilibatkan dalam memberikan pertimbangan terkait pemberian izin proyek yang dtengarai akan berdampak pada lingkungan dan, tentu saja, berefek pada kehidupan masyarakat. Pada banyak kasus, pemda tidak meminta pertimbangan suara masyarakat ketika ada investor yang berencana membangun pabrik atau sejenis usaha lainnya karena khawatir justru akan mendapat penentangan dari masyarakat.

Secara umum, tingkat kepedulian kabupaten/kota terhadap lingkungan memang sebuah ironi di Sulawesi Selatan. Di tengah kampanye Sulsel Goes Green yang bermakna bahwa Sulsel, termasuk seluruh kabupaten/kota, berpihak pada keseimbangan alam dalam setiap pembuatan kebijakan, tingkat kepuasan masyarakat masih tergolong tinggi.

Responden yang menganggap program kerja lingkungan yang dijalankan pemda masih kurang baik adalah 32,64 persen. Sementara dari segi realisasi program lebih parah lagi karena 56,74 persen responden menilai program kerja lingkungan tidak diimplementasikan secara baik. Artinya, data ini mengindikasikan bahwa pemda hanya rajin membuat program namun kurang serius merealisasikannya.

No comments: