Saturday, February 26, 2011

Kiat Sehat dari Desa Bebas Rokok



Siang yang cerah. Langit di atas Desa Bone Bone terlihat begitu biru. Angin sejuk berhembus dari pegunungan dan hutan yang mengelilingi desa yang terletak pada ketinggian 1.300-1.500 meter di atas permukaan laut itu. Sesekali terdengar tawa dan canda dari sekitar 30 warga yang mengikuti pertemuan perencanaan program desa di kantor desa, bangunan yang dulunya rumah panggung yang kemudian disulap jadi kantor.

Oleh Ahmad Syam

Kepala Desa Bone Bone, Muhammad Idris, yang memimpin pertemuan. Karena ruangan pertemuan tidak begitu luas, sebagian warga duduk di tangga dan kolong kantor. Tidak terlihat seorang pun warga yang merokok meski iklim agak dingin dan juga tersuguh kopi panas arabika typica, sejenis kopi khas Bone Bone yang pernah meraih peringkat pertama pemilihan kopi tingkat nasional pada tahun 2008 lalu. Di Bone Bone memang tidak berlaku asumsi bahwa iklim dingin dan segelas kopi harus ditemani sebatang rokok.

Lima tahun terakhir semua warga di Desa Bone Bone berhenti merokok karena desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, tersebut menjadi Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Inisiator KTR di desa berpenduduk kurang lebih 793 jiwa (data desa tahun 2009) tersebut tidak lain sang kepala desa.

Idris memulai kampanye anti rokok di desanya pada tahun 2001. Hal yang menguatkan tekadnya adalah fenomena yang berlangsung di Bone Bone saat itu. Kebiasaan merokok bukan hanya menjadi kebiasaan para orang dewasa tetapi juga mulai digemari anak-anak yang baru berumur delapan tahun.

Banyak rintangan yang menghadang pria lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alaudin (sekarang Universitas Islam Negeri (UIN), Makassar, tersebut yang mengharuskannya berjuang selama empat tahun untuk membuat warga Bone Bone berhenti merokok. Akhirnya, ajakan Idris membuahkan hasil pada tahun 2005.

Pria yang juga pernah bekerja di Malaysia sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) itu mengajak warga desanya meninggalkan rokok dengan argumen yang bisa diterima, atau, setidaknya bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Bone Bone.

Misalnya, dengan tidak merokok, uang yang biasanya digunakan membeli rokok bisa untuk biaya sekolah anak-anak mereka. Argumen lainnya, masyarakat diberi pemahaman bahwa merokok selain membahayakan kesehatan juga berdampak pada pengeluaran. Contohnya, setiap ada hajatan selalu dianggarkan biaya rokok bagi para tamu sehingga mempengaruhi belanja/pengeluaran.

Selain menyampaikan argumen di atas, Idris juga membuat aturan KTR yang menetapkan sanksi sosial bagi yang melanggar. Jika ada warga desa yang kedapatan merokok maka dia akan dihukum berupa keharusan membersihkan rumah ibadah dan fasilitas umum lainnya.
Secara perlahan terjadi perubahan perilaku masyarakat. Dari yang semula merokok kemudian meninggalkan kebiasaan tersebut. Bahkan Bupati Enrekang, La Tinro La Tunrung, akhirnya juga ikut berhenti merokok sejak tahun 2008.

Melihat semangat masyarakatnya untuk hidup bebas dari rokok, pemerintah daerah (pemda) kemudian memberikan apresiasi yang besar. Salah satunya dengan membuat program replikasi KTR pada dua desa lainnya, yakni Desa Kadinge dan Desa Kenden yang juga masih bagian dari wilayah Kecamatan Baraka.

Pada replikasi KTR di desa tersebut, kepala desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama membuat memorandum of understanding (MoU). Dasar MoU menjadi payung hukum penerapan KTR di dua desa itu. Meski demikian, secara mendasar penerapan KTR di dua desa replikasi dan di Desa Bone Bone berbeda.

Perbedaannya, Desa Bone Bone adalah kawasan bebas rokok di mana seluruh aktifitas yang berhubungan dengan rokok termasuk perdagangan rokok di larang sama sekali. Sementara pada dua desa replikasi, karena masih dalam tahap sosialisasi lebih condong pada konsep pembatasan rokok dan kegiatan merokok. Pembatasan merokok diberlakukan pada sarana-sarana publik, termasuk di kantor-kantor desa dan kecamatan.

Selain mengupayakan replikasi, pemerintah daerah juga menggencarkan program diseminasi informasi tentang bahaya rokok pada setiap kantor instansi pemerintah. Beragam selebaran yang ditempel di dinding atau spanduk yang dibentangkan yang mengimbau untuk tidak merokok pada seluruh kantor instansi pemerintah. Isi selebaran dan spanduk bervariasi. Ada imbauan yang agak klasik seperti, ”Maaf, Dilarang Merokok di Dalam Ruangan Ini!” Juga ada imbauan yang menyertakan sanksi bagi si pelanggar, misalnya, ”Merokok di Kantor Ini Didenda Rp 10.000”.

Bagaimana staf kantor atau tamu kantor merespon peraturan tersebut? Setelah penetapan pembatasan merokok di kantor-kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tanggal 19 Februari 2010, seluruh staf yang ingin merokok akan ke ruangan smoking area atau smoking room. Bila kantor bersangkutan tidak memiliki fasilitas tersebut maka staf yang hendak merokok diharuskan berada di luar ruangan kantor.

Langkah-langkah pengembangan program KTR yang telah dicanangkan Pemda Enrekang, baik dalam bentuk replikasi dan diseminasi informasi, selanjutnya dituangkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD) Pemerintahan Daerah (Pemda) Enrekang 2009-2013.

Dalam rencana program Dinas Kesehatan Enrekang, penetapan KTR pada tahun 2011 sudah meliputi satu kecamatan yakni Baraka. Artinya, pada tahun 2011 nanti seluruh desa di Kecamatan Baraka akan menerapkan KTR.

Pada tahun 2012 ditargetkan enam kecamatan menjadi kawasan tanpa rokok. Kemudian pada akhir tahun 2013 seluruh kecamatan yang berjumlah 12 kecamatan telah menjadi KTR.

Beberapa langkah sebagai persiapan pengembangan KTR antara lain penyusunan kerangka konsep dan materi teknis terkait KTR. Juga dilakukan advokasi terhadap para pengambil kebijakan. Selain itu, juga dibuatkan regulasi yang nantinya mengatur pengembangan KTR. Saat ini pemerintah daerah, melalui Dinas Kesehatan Kabupatan Enrekang sedang menggodok rancangan peraturan daerah (ranperda) KTR.

Program pengembangan KTR telah memperlihatkan pengaruh positif bagi perbaikan kesehatan di Enrekang. Data menunjukkan bahwa program berbasis masyarakat tersebut mempengaruhi turunnya tingkat penyakit yang diakibatkan rokok.

Pada tahun 2007, kasus pneumonia masih 247 kasus yang kemudian mengalami penurunan menjadi 218 kasus pada tahun 2008 dan turun lagi menjadi 174 kasus pada tahun 2009. Begitu pula untuk pengidap Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang terus menurun, meski tren penurunannya belum signifikan sebagaimana kasus pneumonia. Pengidap PPOK dalam tiga tahun terakhir dari 58 kasus pada tahun 2007 menjadi 55 kasus tahun 2008 dan 52 kasus tahun 2009.

Penyakit lainnya yang juga diakibatkan perilaku merokok adalah jantung dan stroke. Untuk pengidap penyakit jantung trennya masih fluktuatif. Tahun 2007 terdapat 50 pengidap dan mengalami peningkatan menjadi 62 pengidap pada tahun 2008 walau kemudian bisa ditekan kembali menjadi hanya 43 pengidap pada tahun 2009. Adapun yang menunjukkan penurunan paling tajam adalah pengidap penyakit stroke. Jika pada tahun 2007 terdapat 21 kasus maka dua tahun berikutnya turun drastis menjadi 18 kasus pada tahun 2008 dan 9 kasus pada tahun 2009.

No comments: