Monday, February 8, 2016

Sekolah Memicu Kecemasan Baru?

Beberapa ibu-ibu yang baru saja mengantar anak-anak mereka mendaftar di suatu sekolah terlihat amat jengkel. Sambil menaiki pete-pete, (angkot, red.) mereka “mengatai-ngatai” sekolah yang tidak menerima anak-anak mereka.
“Terlalu tinggi standardnya padahal sekolahnya biasa-biasa ji!” kata seorang ibu. “Iya, lebih baik pergi daftar di sekolah B (menyebut satu sekolah, red), bagus ji juga di sana!” sambung ibu lainnya. “Anakku kasihan, nilainya beda tipis ji dengan standard sekolah itu tapi tidak diterima juga!” seru seorang ibu. “Jengkelku,  kalau bukan persoalan dekat dengan rumah, hanya sekali naik angkot, tidak saya antar ki anakku daftar di sana!” tandas ibu yang duduk dipojok angkot.
Parade ibu-ibu yang sibuk mengantar anak-anaknya mendaftar sekolah adalah hal lumrah bila yang diantar adalah anak seumuran TK atau SD. Menjadi tidak lumrah karena anak-anak mereka itu hendak mendaftar di sekolah menengah tingkat atas (SMU/SMK). Ah, saya mungkin terlalu cepat membuat kategori “lumrah” dan “tidak lumrah”.

Argumentasi “tidak lumrah” di atas saya pedomani dari pengalaman dahulu saat mendaftar di SMP/SMU. Mulai dari memasukkan berkas, mendaftar ulang, hingga pergi ukur seragam saya lakukan sendiri. Pokoknya para orangtua di zaman saya mendaftar masuk SMU “tidak tahu-menahu” eh, tahu-tahu anaknya sudah berseragam putih abu-abu.

Lha kini, cobalah jalan-jalan di sekolah-sekolah (SMP/SMU) pada musim penerimaan siswa baru. Para ibu/bapaknya antri di depan loket formulir sementara anak-anak mereka duduk-duduk persis di bawah pohon mangga halaman sekolah. Ketika para ibu/bapak mereka diserbu keringat, anak-anak mereka menyerbu penjual es teler. Tatkala para ibu/bapak mulai sibuk mengisi formulir, anak-anak mereka juga sibuk meng-update status fesbuk masing-masing. Begitu tiba masa pengumuman kelulusan, para ibu/bapak cemas dan anak-anak mereka masih memelas.

Saya menganggap ada perbedaan tingkat kecemasan antara para orangtua  zaman dahulu dengan para orangtua zaman sekarang. Faktor perbedaan tersebut harusnya diteliti para ahli pendidikan dan sosiologi kita. Jangan-jangan sistem pendidikan yang sedang berlangsung telah memicu tingginya kecemasan para orangtua. Ataukah, elemen sosial lainnya yang berkontribusi pada kecemasan yang, menurut saya pribadi, agak berlebihan tersebut (katakanlah label sekolah unggulan secara sosial akan jauh lebih bernilai sosial tinggi dari non-unggulan sehingga orangtua cemas kalau-kalau anaknya hanya diterima di sekolah non-unggulan).

Meski demikian, di tengah parade kecemasan orangtua, saya melihat gairah menyekolahkan anak-anak pun sangat tinggi. Ukuran sederhana yang bisa saya sajikan tidak jauh-jauh dari lingkungan kita.
Seperti apa kegairahan itu: sepagi ini, ketika saya membuka pintu depan halaman rumah sejumlah ibu-ibu telah mengantarkan anak-anaknya bersekolah di TK dekat rumah; sepagi ini, ketika saya membuka halaman media sosial milik saya, sejumlah orangtua menceritakan anak-anak mereka yang hari ini akan memulai dunia pendidikan baru, pendidikan formal ala sekolah yang dimulai dengan MOS; sepagi ini pun, saya mengingat-ingat buku yang pernah ngetop di tahun 70-an hingga 90-an karya Ivan Illich, judulnya: Deschooling Society, atau dalam judul Indonesianya, Bebas dari Sekolah. Buku itu tentu tidak akan sejalan dengan ajakan Mandra dalam serial Si Doel Anak Sekolahan, ayo sekolah!
www.unwelcomeguests.net
Ah, mari menyambut hari baru dengan pendidikan yang senantiasa terbarui. Semoga sekolah tak membuat kita semakin cemas!
MAKASSAR, 15 JULI 2013



No comments: