Wednesday, April 1, 2009

CERPEN: Cinta yang Dibungkus Kafan

Cerpen Ahmad Syam
(Lampung Post, 29 Maret 2009)
(Sriti.com, 29 Maret 2009)

Rosdiah memang pantas membuat setiap lelaki Desa Sattu tergila-gila. Rosdiah, tidak sebagaimana pada umumnya gadis-gadis lain di desa tersebut, kulitnya putih bersih. Wajahnya bundar persis bulan purnama yang sempurna. Jika sedang malu, terlihat tanda kemerah-merahan di pipinya.

Matanya akan berbinar-binar seperti bintang-gemintang bila diajak bicara. Itu menciptakan kesan bahwa di dasar matanya tersebut terdapat telaga keriangan.

Meski kerudung panjang dan baju kurung selalu rapi membungkus tubuh semampainya, tidak berarti tertutup keindahan pada tubuh itu. Toh cara berjalan remaja yang tahun ini baru saja menyelesaikan sekolah ibtidaiah melenggak-lenggok bak seorang peragawati.

Tidak ada yang tahu di mana Rosdiah mempelajari cara berjalan demikian. Apakah melalui tontonan di televisi? Apakah di kota saat dia berkunjung ke sana? Tidak ada warga desa yang mengetahui persis.

Bagi para lelaki, yang muda maupun yang telah beristri, itu bukan hal penting untuk diketahui. Bagi mereka jauh lebih penting memikirkan cara menarik hati Rosdiah. Menuntaskan hasrat yang selama ini terpendam dalam-dalam.

Atas desakan hasrat itu pula, Karaeng Beta mengikhlaskan dirinya dalam perjuangan yang teramat besar baginya di malam ini.
***
Sebenarnya Karaeng Beta tidak perlu merepotkan diri dengan melakukan semua itu. Kalau benar-benar mau dia akan mudah menjinakkan Rosdiah dengan harta yang dimiliki dan kebangsawanan yang dia sandang. Tentu Rosdiah, kedua orang tua, serta keluarga besarnya pun tidak akan sanggup menahan keinginan bersuamikan dan bermenantukan seorang karaeng. Harapan yang juga dipendam para gadis dan orang tua lainnya.

Tetapi Karaeng Beta punya pertimbangan lain. Dia tahu kalau bukan hanya dirinya yang kepincut kecantikan Rosdiah. Hampir semua lelaki di Desa Sattu menaruh hati padanya. Tidak terkecuali putra sulung wakil bupati dan anak remaja kepala kecamatan yang saban sore nongkrong di rumah Rosdiah. Bagi Karaeng Beta, kedua pemuda ini menjadi pesaingnya mendapatkan Rosdiah karena orang tua mereka adalah pejabat kabupaten.

Karena Karaeng Beta tahu bahwa setiap lelaki yang menaruh hati pada Rosdiah akan meminta bantuan Daeng Bonto, maka dia juga melakukan hal yang sama. Dia malah bersedia memberi upah lebih besar dari bayaran yang biasa diminta Daeng Bonto, dukun yang telah malang-melintang dan jarang gagal menangani urusan jodoh. Dengan bayaran lebih besar, ditambah janji bonus yang akan diserahkan kepada Daeng Bonto, Karaeng Beta mengusung keyakinan tinggi akan menjadi pemenang dalam persaingan memperebutkan Rosdiah.

Sebab itu, dia juga telah menyusun rencana mengajak Rosdiah silariang. Dia akan membawa sang pujaan hati ke tempat yang jauh. Kalau perlu, dia akan membawa Rosdiah ke Sumatera atau Papua sehingga keluarganya, termasuk anak dan istri, tidak bisa melacak keberadaan mereka.

Tentu seluruh warga desa akan dibuat gempar jika dia dan Rosdiah silariang. Warga akan membicarakan perihal dirinya yang lebih pantas menjadi bapak dari Rosdiah. Apalah dia yang seorang karaeng hanya mengawini gadis biasa dengan kekayaan yang tidak seberapa.
Istri, anak-anak, dan keluarga besar Karaeng Beta akan menyerang keluarga Rosdiah dengan kata-kata yang melecehkan. Bila dengan cara itu belum cukup menawar sakit hati, segalanya mungkin akan berakhir dengannya pecahnya kaca-kaca jendela rumah Rosdiah karena lemparan batu.

Keluarga Rosdiah niscaya tidak akan membalas perbuatan keluarga Karaeng Beta. Secara kultur mereka telanjur dianggap bersalah karena mengingkari nilai-nilai kepantasan.
Kegundahan hati akibat pelecahan tersebut diredam dengan kesabaran. Mereka hanya membuka mulut kepada para tetangga tanpa memiliki keberanian untuk berhadap-hadapan langsung dengan keluarga Karaeng Beta.

Tetapi kegundahan keluarga Rosdiah itu hanya ibarat busa di lautan yang dengan mudah dihempaskan gelombang kegembiraan tiada tara. Dalam hati, keluarga besar Rosdiah akan bersorak kegirangan karena berhasil berkerabat dengan turunan karaeng.

Lalu, warga desa akan saling berbisik; gadis tidak tahu malu, percuma dia berkerudung panjang kalau dengan gampangnya diajak silariang.

Ibu-ibu yang memiliki anak gadis yang paling terpukul, sekaligus dilematis. Satu sisi, mereka merasa anak-anak gadisnya telah kalah oleh Rosdiah. Tapi di lain sisi, mereka senang karena akan terbebas dari tugas sampingan menjagai secara diam-diam suami mereka dari pesona Rosdiah.
***
Dan pada waktu yang telah ditetapkan, malam Jumat di bulan tua, Karaeng Beta, telah mempersiapkan segalanya. Bunga mawar merah, sepotong kain baju bodo' merah tua, linggis kecil, dan sebotol air yang telah diberi berkah Daeng Bonto.

Dia harus menunggu istri dan anak-anaknya tertidur untuk melaksanakan hajatnya. Karaeng Beta telah mencampurkan air penerbit rasa kantuk ke minuman mereka menjelang petang. Memasukkan sepuluh biji beras merah pemberian Daeng Bonto ke dalam sarung bantal mereka. Tujuannya agar mereka tidur lebih cepat dan nyenyak. Daeng Bonto berulang kali mengingatkannya agar tidak seorang pun mengetahui dan melihatnya malam ini.

Prosesi appataba harus mengikuti setiap ketentuan sebagaimana anjuran dukun. Apalagi, dukun sekaliber Daeng Bonto yang sudah tersohor dan disegani ilmunya itu. Menyalahi syarat appataba bisa berakibat fatal bagi yang melakukan.

Salma, perawan tua Haji Natsir, merasakan akibat dari kesalahan appataba. Menurut cerita yang berkembang, dia lupa menyiramkan air berkah pada mawar merah yang telah dia tanam. Kini, pada setiap tengah malam, dia berteriak-teriak tak kuasa menahan panas di seluruh tubuh.

Soal kepercayaan warga desa terhadap perdukunan memang sudah turun-temurun. Bahkan sebelum dokter-dokter datang ke desa dan puskesmas-puskesmas didirikan, dukun-dukun dirujuk bila ada warga desa yang sakit. Kadang mereka sembuh. Namun, tidak sedikit yang justru semakin memburuk dan akhirnya meninggal.

Dahulu terdapat sejumlah dukun yang menetap di Desa Sattu dan desa-desa sekitarnya. Seiring waktu jumlahnya berkurang. Banyak di antara para dukun tersebut meninggal dunia. Anak-anak mereka lebih senang bekerja di kota ketimbang mewarisi ilmu perdukunan.

Ada juga cerita lain soal berkurangnya jumlah dukun. Katanya, sebagian dari mereka alih profesi setelah para ustaz intens menyampaikan kepada warga desa bahwa appataba termasuk perbuatan dosa. Imam desa, pada setiap ceramah tarawih di bulan Ramadan, tidak pernah lupa menyisipkan tema larangan appataba karena bisa menyebabkan celaka bagi siapa pun yang terlibat di dalamnya.

Sekarang tersisa Daeng Bonto dan Daeng Tarang, dukun dari Desa Camba. Ada kesepakatan umum yang mengganggap ilmu keduanya setingkat. Kemampuan keduanya sama.

Tetapi Daeng Bonto lebih dikenal sebagai dukun yang menguasai soal cinta dan perjodohan. Dia dikenal dengan ajian bunga mawar merah dan sepotong kain baju bodo'. Sedangkan Daeng Tarang dengan tiga jarum yang dibungkus potongan kain kafan siap membalaskan sakit hati dan amarah. Jadilah Daeng Bonto menjadi simbol kehidupan, sementara Daeng Tarang perlambang kematian.

Dan ketika malam merangkak semakin larut, Karaeng Beta telah begitu dekat ke rumah Rosdiah, sang gadis pujaan. Dia berharap Rosdiah ada di rumah malam ini. Demikianlah syarat yang diminta Daeng Bonto. Lagi pula, kalau Rosdiah tidak di rumah malam-malam begini, ke mana seorang gadis desa akan pergi, dan berkerudung pula, sepulang berjemaah isya di surau?

Sebenarnya jika melewati jalan desa, jalan yang baru saja dilakukan pengaspalan dan didirikan tiang-tiang lampu jalanan, jarak ke rumah Rosdiah hanya butuh sepuluh menit berjalan kaki.

Tetapi demi menjaga kerahasiaan, Karaeng Beta mengambil jalur lain. Dia berjalan di bawah cahaya bulan tua yang suram dengan penerangan lampu senter kecilnya. Menyusuri anak sungai yang berbatu-batu dan licin, menyisir ladang jagung luas, dan membelah kebun bambu.

Dia harus merelakan kakinya lecet terentuk batu kali, atau menahan rasa gatal tergores daun-daun jagung, juga membuang perasaan gentar atas jeritan batang-batang bambu yang bergesetan kala diterpa angin. Belum lagi rasa khawatir kalau-kalau berpapasan kawanan anjing liar dan lapar yang bisa menjadi sangat berbahaya karena sewaktu-waktu menyerang.

Dari balik kebun pisang, di belakang rumah Rosdiah, Karaeng Beta mengintai hingga benar-benar yakin tidak ada orang yang mengetahui keberadaan dirinya. Dengan cermat dia memperhatikan rumah Rosdiah dan rumah-rumah sekitarnya, menanti hingga lampu-lampu di rumah tersebut dipadamkan, ditinggal tidur penghuninya.

Saatnya tiba. Karaeng Beta keluar dari persembunyiannya. Berjalan perlahan dan sangat pelan menuju kolong rumah Rosdiah--rumah khas Makassar adalah rumah panggung dan memiliki tangga. Jantungnya berdegub keras. Dengan susah payah dia mengatur napas yang seperti memburu.

Karaeng Beta kini tepat di bawah tangga rumah Rosdiah. Dia membungkukkan tubuhnya saat berjalan ke anak tangga paling bawah. Sebagaimana lazimnya rumah-rumah di Desa Sattu, batu penyanggah tangga adalah batu besar setinggi kurang lebih empat puluh sentimeter yang diambil dari pegunungan. Ini memberi ruang yang cukup baginya membuang lubang di bawah anak tangga pertama dengan posisi badan yang nyaman.

Dia harus membuat lubang tepat di bawah anak tangga rumah Rosdiah. Membungkus bunga mawar dengan potongan kain baju bodo' dan menguburnya. Menutup lubang sedemikian rapi dan rata hingga tidak tampak bekas galian. Kemudian menyiramnya dengan air berkah Daeng Bonto.

Ketika menghujamkan linggis kecil ke tanah, tangannya bergetar hebat. Mata linggis seperti membentur tanah liat kering meski kenyataannya hanyalah tanah biasa yang masih basah karena hujan seharian kemarin.

Keringat dingin mulai bercucuran di kedua pelipis yang sesekali dia sapu dengan lengan bajunya. Karaeng Beta terus menggali sambil berusaha agar bunyi linggis yang membentur tanah tidak lebih besar dari suara jangkrik. Dia tidak ingin orang-orang di rumah Rosdiah terbangun.

Pada kedalaman lubang seperti yang dia inginkan, tiba-tiba dia terkejut dengan penemuan yang tidak dia harapkan; sebungkus potongan kain kafan yang berisi tiga jarum. Amarah dan rasa penasaran berbaur menjadi satu. Dia tahu pappataba itu milik Daeng Tarang. Tetapi, siapakah yang telah mengirimkan pappataba tersebut kepada Rosdiah? Siapakah yang justru ingin mencelakai, bahkan membunuh, Rosdiah?

Karaeng Beta mencoba membuat lubang di samping lubang yang pertama. Namun hasil yang dia dapat tetap sama, tiga jarum yang dibungkus potongan kain kafan. Demikian seterusnya hingga sepuluh lubang yang dia buat. Lubang-lubang yang lebih menguras emosi ketimbang tenaganya.

Amarahnya memuncak. Otot wajahnya mengeras. Giginya gemertak. Namun dia tetap menggali lubang. Terlintas dipikirannya menghubungi Daeng Tarang dan Daeng Bonto keesokan hari untuk meminta penawar pappataba. Tetapi dia buang pikiran itu saat menemukan mawar merah di dalam bungkusan kain kafan pada lubang ke sebelas.

Makassar, Januari, 2009


1 comment:

POHON-POHON RINDU said...

wah...wah...cerpennya luar biasa seperti pengalaman pribadi saya, hehehe. dul abdul rahman