Saturday, May 14, 2011

"Big Bang" Desentralisasi




Ada sepuluh tren besar yang diramalkan bakal melanda masyarakat dunia pada era 1990-an. Satu dari sepuluh tren tersebut adalah bergesernya pola sentralisasi menjadi pola desentralisasi (Naisbitt, 1982). Desentralisasi sendiri sebenarnya sudah menjadi gejala global tiga dekade sebelum ramalan tersebut ramai dibicarakan. Banyaknya negara yang melakukan ”migrasi” ke desentralisasi sekitar tahun 1960-an adalah awal ”big bang” (”ledakan keras") desentralisasi.

Oleh Ahmad Syam
 
 
Di beberapa negara, baik negara berkembang (developing country) maupun negara maju (developed country), transisi dari sentralisasi ke desentralisasi yang mereka lakukan dengan beberapa faktor dan pertimbangan. Pertama, adanya tuntutan perbaikan layanan publik sebagaimana yang terjadi pada sejumlah negara di Asia Timur (Jennie Litvack, Junaid Ahmad, Richard Bird (1998) dalam Sutoro Eko, 2003). Kedua, adanya upaya menata administrasi pemerintahan karena menganggap sistem sentralisasi yang diterapkan selama ini sangat tidak efektif (Haque, 1997).

Perbaikan sistem pelayanan publik adalah faktor pertama yang menggerakkan banyak negara beralih ke desentralisasi. Layanan-layanan seperti pendidikan, kesehatan, dan administrasi dasar kependudukan belum terdistribusi kepada masyarakat dengan baik. Masyarakat kadang tidak mendapatkan akses layanan publik yang memadai karena kantor-kantor pelaksana layanan jauh dari jangkauan masyarakat. Kondisi tersebut bisa menjadi lebih buruk jika tingkat sebaran instansi penyedia layanan tidak proporsional dengan jumlah penduduk sehingga cenderung melahirkan sistem layanan yang tidak berkeadilan.

Desentralisasi kemudian menjadi suatu cara memperbaiki layanan kepada masyarakat. Pendelegasian wewenang pusat kepada daerah termasuk wewenang terkait layanan publik adalah upaya mendekatkan penyedia layanan publik kepada masyarakat. Semakin dekat sumber layanan publik ke masyarakat maka semakin adil pula sistem distribusi layanan bagi masyarakat.
Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, demi perbaikan mutu atau kualitas layanan, pemerintah daerah/lokal dapat mendelegasikan urusan pelayanan publik kepada pihak ketiga. Pemerintah hanya akan mengambil peran sebagai pengarah yang menyediakan jenis-jenis pelayanan sedangkan pihak yang memproses kegiatan produksi pelayanan dilakukan oleh pihak ketiga atau lembaga non pemerintah lainnya (Osborne dan Gaebler, 1992).

Faktor kedua yang mendorong suatu negara, terutama di negara berkembang, menerapkan desentralisasi adalah keinginan mempercepat pengentasan kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui penataan manajemen pemerintahan yang lebih efektif dan efisien. Kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi memang merupakan masalah besar di negara-negara berkembang yang sebagian besar merupakan bekas negara jajahan. Olehnya, salah satu strategi mengurangi tingkat kemiskinan dan memajukan perekonomian adalah manajemen pemerintahan yang terdesentralisasi.

Apa korelasi sistem yang terdesentralisasi dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan? Ada empat poin keuntungan yang akan diperoleh lembaga/negara yang menerapkan desentralisasi sebagaimana dikemukakan Osberne dan Gaebler (1992). Pertama, sistem yang terdesentralisasi akan lebih fleksibel dibandingkan yang tersentralisasi. Konsep ini membuat institusi yang menggunakannya dapat merespon dengan cepat perubahan-perubahan sekeliling dan juga merespon dengan segera kebutuhan kustomer/masyarakat. Dalam sudut pandang ekonomi, institusi yang ”sensitif’ terhadap perubahan tren dunia lalu membuat terobosan dan inovasi sebagai respons atas perubahan tersebut niscaya lebih maju ketimbang institusi yang kurang peka. Kedua, institusi yang terdesentralisasi akan lebih efektif ketimbang institusi yang tersentralisasi. Ilmu ekonomi sekali lagi mengajarkan bahwa faktor efektivitas adalah modal penting dalam memanej institusi berkembang lebih baik. Ketiga, sistem ini memungkinkan berkembangnya inisiatif-inisiatif yang inovatif. Dan yang keempat, desentralisasi akan menggerakkan moral yang lebih tinggi, komitmen yang lebih kuat, dan produktivitas yang lebih besar. Poin ketiga dan keempat adalah suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Inisiatif yang inovatif bukan hanya memperkuat tanggung jawab para karyawan dalam suatu institusi tetapi membuat mereka semakin produktif.

Dengan karakter desentralisasi yang disebutkan di atas seperti efektif, fleksibel, inovatif, dan produktif maka korelasi desentralisasi dengan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan masyarakat adalah suatu keniscayaan. Dari keempat karakter tersebut, inovasi merupakan penghubung utama antara desentralisasi sebagai konsep dengan perbaikan ekonomi/kesejahteraan sebagai dampak. Artinya, bila daerah diberikan kewenangan mengelola urusan pemerintahannya sendiri efeknya bukan hanya pada terbangunnya kemandirian lokal (local self reliance) tetapi juga akan menumbuhkembangkan prakarsa dan inovasi daerah.

Di banyak negara, inovasi menjadi faktor utama yang merangsang pertumbuhan ekonomi. Pada sejumlah negara maju yang terkenal sebagai negara yang science based-technology (berbasis ilmu pengetahuan teknologi), evolusi teknologi adalah semacam pusat atau inti dari modern economic growth(pertumbuhan ekonomi modern) (Helpman, 2004). Pertumbuhan ekonomi yang berlangsung di Belanda (abad ke-18), Inggris (abad ke-19), dan Amerika Serikat (abad ke-20) memang tidak terlepas dari inovasi teknologi yang tumbuh pesat di negara-negara tersebut. Sebenarnya negara lain di luar ketiga negara tersebut juga berbasis teknologi namun tidak melakukan upaya-upaya inovasi sehingga pertumbuhan ekonominya sedikit lebih melambat.

Pengalaman yang sama dalam hal perbaikan sektor ekonomi berkat inovasi juga dapat dijumpai di negara-negara berkembang. Inovasi kebijakan Five-Point Development Agenda yang salah satu agendanya adalah pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di Provinsi Bulacan, satu provinsi di sebelah utara Manila yang telah terdesentralisasi, memicu investasi dan membuka banyak peluang kerja. Pada tahun yang sama ketika kelima agenda tersebut diluncurkan tahun 2001 lalu, sekitar 2.598 perusahaan bisnis dan 282 kantor utama bank, baik yang berpusat di Manila maupun di kota-kota lainnya di Filipina, ramai-ramai membuka kantor cabang di Bulacan. Nilai investasi saat itu ditaksir sekitar 4.695 triliun peso Filipina dan menyerap kurang lebih 31.300 tenaga kerja. Dampaknya, tingkat resapan tenaga kerja di Bulacan pada tahun 2002 mencapai 90,8 persen atau lebih baik dbandingkan tahun 1998 yang hanya 90,1 persen. Pencapaian tersebut juga melampaui rata-rata resapan tenaga kerja di lima provinsi lainnya 89,2 persen dan resapan tenaga kerja secara nasional 89,9 persen (Edralin dan Collado, 2005).

Contoh negara lainnya yang melakukan inovasi kebijakan dalam bingkai desentralisasi adalah India (Vyasulu, 2005). Negara yang terletak di selatan Asia tersebut merupakan salah satu negara termiskin di dunia pada awal kemerdekaannya sekitar tahun 1950-an. Kondisi tersebut diperparah dengan program pengentasan kemiskinan yang cenderung sentralistik dalam arti program-program didesain oleh pemerintah pusat tanpa disesuaikan kebutuhan masyarakat. Kasus di Karnataka Utara dengan program pinjaman kepada masyarakat untuk membeli peralatan pertanian dengan bunga rendah sekilas dapat membantu masyarakat Karnataka keluar dari kemiskinan. Namun, kondisi tanah di Karnataka ternyata tidak begitu cocok untuk pengembangan pertanian sehingga peralatan yang telah dibeli akhirnya tidak digunakan. Tentu saja program tersebut gagal total. Faktor lain yang menjadi penyebab kegagalan program karena masyarakat tidak dilibatkan dalam pembahasan rencana program. Kebijakan program tersebut akhirnya direvisi sekitar tahun 1980-an dengan lebih mempertimbangkan Karnataka sebagai wilayah yang memiliki otonomi. Pemerintah setempat pun membuat inovasi kebijakan berupa pelibatan Non-Governmental Organization (NGO) yang bertugas memberikan pelatihan kapasitas masyarakat. Selain itu pemerintah Karnataka juga meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program itu. Peran NGO yang dianggap berhasil kemudian ditiru oleh beberapa departemen sedangkan kebijakan pelibatan masyarakat dalam perencanaan program kemudian direplikasi sejumlah state government(provinsi) lainnya.

Ekonomi yang tumbuh dan kemiskinan yang berkurang hanyalah satu bagian dari keuntungan suatu sistem yang terdesentralisasi. Sebagai sistem yang terbangun dari pilar-pilar demokrasi sistem ini juga mendorong kemajuan dalam aspek-aspek akuntabilitas, transparansi, representasi, dan partisipasi. Namun demikian, aspek-aspek tersebut selalu membutuhkan inovasi sebagai ”ruh”nya.

Desentralisasi Indonesia di Simpang Jalan

Krisis politik yang berujung pada krisis ekonomi tahun 1997 di Indonesia seolah menjadi "blessing in disguise” - berkah yang tersembunyi(Mardiasmo, 2002). Andai saja krisis hebat yang meluluhlantakkan pondasi perekonomian bangsa itu tidak terjadi mungkin reformasi total, termasuk reformasi terkait implementasi sistem desentralisasi, tidak akan pernah menjadi agenda penting.

Sistem Desentralisasi memang bukan sistem baru di Indonesia. Para pendiri republik ini telah menyadari betapa pentingnya kekuasaan dan pengaturan pemerintahan dibagi ke dalam beberapa wilayah/provinsi di luar pemerintah pusat. Para pemimpin bangsa waktu kemudian merumuskan aturan mengenai pemerintahan daerah yakni Undang Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1945. Undang-Undang tersebut mengatur antara lain penyelenggara pemerintahan sehari-hari yang dipegang oleh Komite Nasional Daerah. Setelah UU ini, selama tujuh periode, lahir aturan demi aturan hingga yang teranyar UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Ada beberapa dampak positif implementasi otonomi daerah, terutama setelah pencanangan resminya tahun 1999 lalu, terhadap pemerintahan lokal. Dampak itu antara lain terbangunnya pemerintahan lokal yang semakin terbuka, tumbuhnya kemitraan dan kerjasama antara pemerintah daerah dengan unsur-unsur nonpemerintah, semakin banyak kepala daerah (bupati/walikota) yang memprakarsai inovasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan merangsang berkembangnya modal sosial dengan hadirnya organisasi-organisasi nonpemerintah seperti LSM, jaringan lokal, maupun organisasi rakyat (Sutoro Eko, 2003).

Namun bukan hanya dampak positif, otonomi daerah di Indonesia juga masih sering berada di simpang jalan. Pemerintahan lokal yang terbuka kadang arahnya dibelokkan oleh para bupati yang karena merasa memegang basis massa yang kuat di daerah lalu secara perlahan mengubah citra dirinya sebagai ”raja-raja” baru di tingkat lokal. Ironisnya, tradisi politik para ”raja” baru tersebut cenderung feodal, sentralistik, birokratis, dan otoritarian.

Dengan sifat-sifat kepemimpinan lokal demikian di atas bukan tidak mungkin akan melemahkan proses kreatif dan menjadi ”blunder’ pertumbuhan ekonomi. Kasus di Sulawesi Selatan, misalnya, feodalisme yang masih terlalu kental mempengaruhi perencanaan suatu kebijakan/program. Banyak kabupaten yang secara kewilayahan sangat dekat tetapi karena kecenderungan feodalnya yang ditonjolkan sehingga masing-masing membuat kawasan industri. Masalahnya kemudian kawasan industri yang luasnya ratusan hektar hanya terisi oleh rumput-rumput liar. Akhirnya, kawasan industri yang dahulunya dibangun dengan anggaran besar bukannya menghasilkan untung malah buntung karena biaya operasional yang dikeluarkan jauh lebih besar ketimbang keuntungan yang diperoleh.

Penguatan pola-pola feodal dan otoritarian dari para pemimpin lokal tentu membawa pengaruh negatif untuk tumbuh-kembangnya inisiatif, prakarsa, inovasi, dan gagasan cerdas di daerah.
Padahal, meskipun ekonomi akan tetap bertumbuh dalam sistem desentralisasi sekalipun tanpa inovasi tetapi kecepatan pertumbuhan akan berbeda jika berada dalam sistem desentralisasi yang dilandasi inovasi dan terobosan baru.
 


 

No comments: