Sunday, February 9, 2014

Corby, Terima Kasih atas Pelajaran Ini!


Jumat (7/2) kemarin sepertinya milik wanita kelahiran 10 Juli 1977 bernama lengkap Schapelle Leigh Corby itu. Pagi-pagi ketika saya menyalakan TV sejumlah pengamat dan politisi telah membicarakan perihal dirinya. Saya bolak-balik di dua-tiga channel dan semuanya memberitakan wanita asal Tugun, Queensland yang kini berada nun jauh di Pulau Bali, di dalam Lapas Kerobokan, Denpasar.


www.popsugar.com.au


Hari beranjak siang, para awak TV tersebut masih terus meng-update perkembangan terbaru soal pembebasan bersyarat (PB) wanita yang pendidikan formalnya hingga kelas 2 SMA tersebut. Memasuki sore hari, saluran TV utama seperti Channel 9, Ten, dan ABC telah menggelar acara live sejak pukul 17.30 waktu setempat atau pukul 13.30 WIB. Menteri Hukum dan HAM RI, Amir Syamsuddin, sendiri yang ditunggu-tunggu menyampaikan keputusan bebas bersyarat itu baru keluar ruangan sekitar pukul 20.00 waktu setempat atau pukul 16.00 WIB. Dan, Corby menyempurnakan harinya kemarin dengan masuk sebagai satu dari 1.291 yang berhasil mendapatkan bebas bersyarat, mengalahkan 434 narapidana lainnya yang permohonannya belum dikabulkan.

Saya tidak terkejut dengan keputusan bebas bersyarat untuk Corby. Seminggu terakhir media-media di Australia, cetak dan elektronik, telah begitu menyakinkan saya dengan berita yang mereka sajikan bahwa Corby pasti akan menerima pembebasan bersyarat.

Tiba-tiba saya merasa sangat iri, bukan terhadap Corby. Terus terang saya iri pada Australia sebagai suatu bangsa, suatu negara. Saya iri karena negara dan bangsa ini telah melakukan konsolidasi yang sangat kuat dan rapat dalam membela Corby. Mereka tidak menempatkan Corby dalam posisi benar-salah. Berita dan pendapat pengamat soal apakah Corby memang bersalah atau justru benar porsinya sangat sedikit. Porsi terbesar dalam berita di media-media itu adalah Corby merupakan warga negara Australia dan karenanya harus mendapat dukungan. Media-media lebih menonjolkan sisi humanisme dari kasus Corby. Berulangkali tayangan yang ditampilkan adalah Corby yang menangis, dengan wajah tanpa dosa, dan terlihat sangat tertekan.



Kohesi politik pun sangat padu. Tidak saling mengambil keuntungan ketika para pemimpin politik Australia sebenarnya sangat tahu Corby hampir pasti mendapatkan pembebasan bersyarat itu. Perdana Menteri Tony Abbott lebih memilih mengatakan untuk tidak berkomentar soal Corby karena khawatir menuai tafsir berbeda di masyarakat. Abbott hanya mengatakan akan menunggu dan menghormati segala keputusan hukum Indonesia. Di pihak lain, pemimpin oposisi Bill Shorten cukup menyampaikan harapan agar Corby bisa segera pulang ke Australia. Ya, kedua pemimpin politik Australia tersebut tidak saling mengklaim. Tidak menjadikan kasus Corby sebagai satu cara mengambil keuntungan politik sepihak. Keduanya solid mendukung Corby tanpa pamrih dengan bermain cantik di belakang layar.

Rasa iri saya terhadap bangsa dan negara ini juga terutama pada kerja-kerja medianya. Menyajikan perkembangan dari keputusan pembebasan bersyarat Corby adalah cara paling elegan untuk menunjukkan pada seluruh masyarakat Australia bahwa Corby adalah bagian dari mereka. Tayangan sisi humanisme ditampilkan untuk mengundang rasa simpati pada Corby dan mengukuhkan kohesi sosial. Sekali pun mungkin masyarakat Australia sudah tahu siapa Corby dan bagaimana dia bisa berada dalam kasus narkotika yang menjeratnya. Ya, dalam suatu wawancara tahun 2008 antara ABC dengan Andrew Trembath, sepupu dari ayah Corby, terungkap bahwa Michael Corby (ayah Corby) semasa hidupnya juga adalah pengedar narkotika cukup besar di wilayah Queensland.

Tetapi, sekali lagi. Bagi media urusan utama bukan apakah Corby di pihak yang salah atau yang benar. Bagi media, cukuplah teriakan Corby dalam suatu persidangan “Help me! Help me Australia!” untuk membantunya keluar dari persoalan pelik tersebut. Dan, momen pembebasan bersyarat pun menjadi ‘media events of the year’. Sungguh suatu dukungan dari media buat Corby yang sangat dahsyat. Bahkan, ABC (TVRI-nya Australia) paling berperan aktif. Televisi milik pemerintah tersebut dengan cara yang berimbang mengkaver seluruh kejadian sebelum dan setelah keputusan pembebasan bersyarat diumumkan.

Sambil menonton siaran langsung dari ABC dengan sesekali berpindah pada 2 dan 3 channel lainnya, saya tiba-tiba teringat dengan puluhan TKI dan TKW yang sangat jauh dari liputan media. Jarang ada media yang melakukan liputan langsung tentang seorang TKI/TKW yang dijerat hukuman pancung atau gantung. Padahal sesekali saya juga ingin menyaksikan langsung bagaimana keharuan seorang TKI/TKW setelah melalui penantian panjang di dalam penjara, menunggu hari dijatuhkannya hukuman, lalu kemudian mendapatkan pembebasan.

poskota.co.id


Sayangnya, alih-alih mendapatkan keharuan atas titik balik dari kehidupan para TKI/TKW yang menerima pembebasan hukuman. Alih-alih menyaksikan tayangan media nasional yang sebenarnya dapat mengukuhkan kohesi sosial dan mengalirkan spirit persaudaraan. Yang lazim dari setiap pembebasan TKI/TKW adalah kerumunan para politisi yang saling klaim keberhasilan masing-masing.

Media, politisi, dan pemerintah masih sangat jauh dari upaya-upaya melakukan konsolidasi. Banyak kesibukan dan kepentingan masing-masing sehingga tidak sempat untuk saling menguatkan. Puluhan TKI/TKW yang menanti kematian mereka, terkurung bertahun-tahun dalam dekapan hawa dingin penjara pun terabaikan. TV sibuk menayangkan perceraian para selebriti dan mengadu para politisi dalam forum debat. Padahal jika saja mereka mau meluangkan waktu, membuat liputan investigasi, dan menyediakan porsi tayangan secara rutin tentang jalan hidup para TKI/TKW malang itu, saya percaya masyarakat Indonesia akan tergugah. Bangunan sosial masyarakat Indonesia pun akan kembali solid dan nasib TKI/TKW itu tidak perlu berakhir sangat buruk. Oh, terima kasih Corby!

No comments: